Istana-istana tanpa tuah

MEMAKAI sekop, sekitar 60 orang itu menggaruki halaman. Setelah kebakaran 31 Januari lalu, ribuan meter persegi pekarangan Keraton Solo tertutul abu. Dengan hati-hati, abu itu dimasukkan dalam kantung-kantung plastik. Semua bekerja dengan serius. Mereka adalah anggota ABRI dari Brigif VI Kostrad, karyawan DPU Kota Madya Surakarta, dan beberapa abdi dalem keraton. Beberapa putra dan putri Paku Buwono XII bertindak sebagai pengawas .

"Sinuhun menganggap abu itu keramat," kata K.G.P.H. Hangabehi, putra PB XII. Yang disebutnya Sinuhun adalah PB XII. Karena itu, rencana semula untuk membuang abu itu ke tempat sampah dibatalkan. Sampai akhir pekan lalu sebagian besar lokasi kebakaran telah bersih, dan terkumpul sekitar 154 kantung plastik abu yang masing-masing beratnya kurang lebih 5 kg. Abu ini berasal dari atap sirap, plafon dan tiang kayu jati yang terbakar. Saat pembersihan, ditemukan sekitar 40 kg emas, yang semula dipasang di tiang dan belandar untuk penolak bencana.

Menurut rencana, abu yang berasal dari gedung Sasana Sewaka akan ditanam kembali di bawah Sasana Sewaka yang akan dibangun kembali. Begitu juga abu bekas gedung Handrawina. Namun, hingga awal pekan ini abu di reruntuhan bangunan Prabasuyasa belum diutik-utik. "Itu tempat pusaka," kata Hadiprabowo, putra PB XII yang lain. Menurut dia, ada beberapa pusaka yang belum ditemukan di reruntuhan bangunan ini.

Sebagian kecil abu itu akan dilabuh di Lautan Indonesia. Kapan? "Sinuhun belum menetapkan harinya," sahut Hadiprabowo. Melabuh di Lautan Indonesia merupakan kebiasaan raja-raja Yogyakarta dan Surakarta yang dianggap mempunyai ikatan batin dengan Nyi Roro Kidul, "penguasa" laut selatan.

Mungkin karena dianggap keramat, tak seorang pun yang berusaha memperoleh abu istimewa itu. "Saya tak berani membawa pulang abu itu. Hidup kami seketurunan bisa sial," kata Suprapto, abdi dalem yang merasa memperoleh tugas mulia karena ikut membersihkan abu.

Kini kantung-kantung plastik berisi debu berwarna kecokelatan, karena bercampur tanah basah akibat hujan, itu dionggokkan di emper museum Keraton, dan menjadi sasaran perhatian para pengunjung. Jumlah pengunjung museum Suaka Budaya, sesudah ditutup delapan hari setelah kebakaran, melonjak, meski harga karcis dinaikkan Rp 100 ("Untuk keamanan", kata sang petugas).

Pengunjung museum tak bisa mendekati lokasi kebakaran. Selain karena telah dipasang pagar kayu, kompleks Keraton kini dijaga ketat pasukan ABRI. "Itu perintah Jenderal Moerdani," kata petugas. Bukan hanya wartawan, kerabat Keraton yang bukan anggota panitia lokal pembangunan kembali Keraton juga dilarang masuk.

Keraton Solo yang terbakar itu memang akan dibangun kembali. Lima hari setelah terjadinya kebakaran, sebuah Panitia Pembangunan Kembali Keraton Surakarta dibentuk di Bina Graha. Sejumlah pejabat dan tokoh yang berasal dari Solo (atau istri mereka) dua pekan lalu dipanggil Presiden Soeharto. Seusai pembicaraan, diumumkanlah terbentuknya panitia tadi, yang diketuai Menko Polkam Surono dengan Menteri Kehutanan Soedjarwo dan Pangab/ Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani sebagai wakil ketua. Presiden Soeharto sendiri menjabat pelindung, sedangkan Ny. Tien Soeharto dan G.P.H. Djatikusumo menjadi penasihat.

Duduknya para pejabat tadi dalam panitia, kata Menko Surono, "Sebagai pribadi yang merasa mencintai kebudayaan Indonesia, khususnya Jawa." Secara bertahap Keraton yang terbakar akan dibangun kembali, "Untuk melestarikan pusat pengembangan budaya," kata Surono.

Menurut Surono, karena sulit memperoleh bahan-bahan yang sama seperti dulu, kerangka bangunan baru Keraton Solo nanti akan dibuat dari baja dan beton, tapi dilapisi kayu, supaya daya tahannya lebih kuat. Yang membangun kembali bukan pemerintah, tapi panitia yang berslfat perorangan tadi. Masyarakat yang ingin menyumbang dipersilakan. Presiden Soeharto memelopori dengan menyumbangkan separuh gajinya selama lima bulan, yang berjumlah Rp 10 juta. Diperkirakan pembangunan kembali itu akan memakan waktu 2 1/2 tahun.

Menteri Kehutanan Soedjarwo menjelaskan, "Benar, kita akan memberikan kayu jati kualitas nomor satu untuk pembangunan kembali Keraton Solo. Akan dipilih kayu yang usianya ratusan tahun, dan akan diambil, misalnya, dari hutan jati di Cepu.

Dengan sendirinya rencana panitia itu menggembirakan Paku Buwono XII. "Saya ama berterima kasih kepada Presiden Soeharto, kepada semua pihak yang telah ikut memikirkan kelangsungan Keraton Solo ini," katanya pada TEMPO Pekan lalu. PB XII, 62 naik tahta pada 1944. Ia memiliki garwa ampilan (selir) enam orang (dua sudah meninggal). Dari keenam selir itu, ia memiliki 35 anak dan 34 cucu. "Saya adalah ratu eekasan, raja masa kini," ujarnya.

Penggunaan tiang besi dan beton cor untuk keraton yang dibangun kembali merisaukan hati sejumlah bangsawan Solo yang ingin agar yang dipakai cuma kayu jati. Tapi, K.R.T. Hardjonagoro, ketua museum Suaka Budaya, membantah. "Tiang yang dipakai di Paningrat dan Parasdya terbuat dari besi, juga kerangka atapnya," tuturnya.

Soal pembangunan kembali keraton ini menimbulkan pertentangan pendapat. Banyak yang menganggap Keraton Solo kini telah sangar (sial) dan kotor karena telah terbakar. "Keraton Solo sudah selesai, sudah tidak ada lagi keangkerannya, karena sudah dipundut (diambil) Yang Mahakuasa. Wahyu yang semula ada dalam Keraton sudah hilang," kata Dr. Budhi Santosa, dosen antropologi Universitas Indonesia yang menjabat direktur Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional Ditjen Kebudayaan Departemen P & K. Budhi menyamakan nasib Keraton Solo, yang kesuciannya hilang karena sudah diinjak-injak pemadam kebakaran, dengan Keraton Kartasura yang terpaksa dipindah ke Solo karena diserbu pemberontakan Cina.

Keraton yang sudah dijamah orang luar, menurut Dr. Soedarsono, pimpinan proyek Javanologi Nusantara, Yogyakarta, memang dianggap kotor dan sangar, kekeramatannya hilang. "Kalau fungsi bangunan ingin dilestarikan seperti fungsi keraton zaman dulu, jelas istana harus pindah," ujarnya. Sebab, menurut persepsi kerajaan klasik, bukan hanya di Jawa, pusat kerajaan itu harus suci.

Pangeran Hadiwidjojo, 62, adik Hamengku Buwono IX, juga beranggapan, Keraton Solo yang terbakar itu bisa saja dibangun kembali persis seperti aslinya, "kayak fotokopi, tapi hilang isinya secara mistis".

Tapi ada bantahan. "Saya meyakini keraton kami masih memiliki kesaktian. Benda pusaka keraton yang kelas utama, seperti Kanjeng Nyi Ageng, dan yang kelas dua, seperti Kanjeng Kiai, bisa diselamatkan. Dengan begitu, Keraton Solo, biarpun terbakar, belum meniadi keraton yang sangar," kata K.G.P.H. Hangabehi, 38, putra PB XII yang konon akan menggantikan ayahnya.

Apa pun pendapat orang, Keraton Solo akan dibangun kembali. Tapi fungsi dan peran apa yang dipegangnya? Pemerintah sendiri, seperti ditegaskan Menko Polkam Surono, menganggap keraton sebagai pusat pengembangan budaya.

K.R.T. Hardjonagoro menilai, Keraton Solo masih berfungsi sebagai panutan. "Lihat saja kalau malam tanggal satu di bulan Sura," katanya. Pada malam itu ribuan orang, banyak di antaranya dari pedesaan, memadati jalan-jalan di Solo, dan kemudian tepat pada pukul 12 mengelilingi tembok Keraton, mengiringi pusaka Keraton yang dikirab. Hardionagoro mengajak untuk melihat, setelah keraton selesai dibangun kembali, masihkah acara mengelilingi tembok keraton itu dilakukan. "Jika masih, berarti Keraton masih punya makna," katanya.

Keraton sebagai pusat pengembangan budaya? Suprapto, dosen Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, menganggap fungsi keraton lebih banyak sebagai sumber literatur budaya, semacam museum kebudayaan. Alasannya Keraton Solo bukan lagi pusat pendidikan kebudayaan, karena peran itu sudah diambil alih ASKI, Universitas Negeri Sebelas Maret, dan pusat-pusat kebudayaan lainnya. "Sebenarnya, kami-kami inilah yang berkecimpung di bidang kebudayaan, yang mempunyai beban moral untuk melestarikan."

Soedarsono juga menganggap, sudah tidak tepat lagi keraton disebut pusat kebudayaan. "Kebudayaan istana tidak lagi di istana, tapi berkembang di luar. Kalau toh di istana masih ada sisa-sisanya, itu sebenarnya hanya menyimpan saja," katanya Pembmaan lewat lembaga-lembaga kesenian dinilainya lebih besar dibanding istana sendiri.

Pada aman dulu, sebagai pusat kebudayaan, keraton setiap hari, siang malam, selalu mengadakan latihan tari. Sekarang, latihan tari di Keraton Yogyakarta cuma pada hari Rabu. Kegiatan kesenian Keraton Yogya paling setahun sekali, yaitu pentas menyambut peringatan kelahiran Sultan atau ulang tahun berdirinya Keraton. Dan dalam acara Sekaten, sebagian kegiatannya bukan lagi milik Keraton, karena juga ada pentas dangdutnya.

Berdasarkan itu, tutur Soedarsono, fungsi keraton sekarang tidak lebih dari monumen sejarah, di samping sebagai obyek pariwisata. "Kalau keraton tetap berfungsi seperti aman dulu, jelas turis tidak boleh masuk," katanya.

Tapi para kerabat keraton umumnya ingin mempertahankan peran keraton sebagai pusat kebudayaan. Misalnya Paku Alam VIII. Pada TEMPO, Senin pekan ini, ia mengatakan, "Arti penting Pura Pakualaman sekarang ini terutama untuk melestarikanjenis kesenian kuno." Tiap Senin dan Kamis diadakan latihan tari tradisional, beberapa di antaranya gending dan tarian yang tidak dipelajari di luar. "Pelestarian nilai-nilai tradisional itu penting juga bagi generasi muda. Sebab, kalau kita tidak mengenal kebudayaan sendiri, berarti kita tidak mengenal diri sendiri. Dan itu berbahaya, sebab sifat bangsa nantinya bisa hilang."

"Jadi," lanjut Paku Alam, "fungsi Pakualaman adalah sebagai cagar budaya nilai-nilai. Itu tidak terbatas pada keris atau tari, misalnya. Semua yang ada perlu terus dipelihara, walaupun seharihari sebagian besar tidak dipakai lagi, kecuali pada saat upacara tradisional."

Menurut Paku Alam, yang sulit sekarang mencari niyaga (penabuh gamelan). "Kebanyakan niyaga terbaik sudah tua. Untuk mengatasi ini, kami melatih niyaga muda secara kontinu." Saat ini ada sekitar 60 abdi dalem di istananya. Minat menjadi abdi dalem masih tinggi. Banyak abdi dalem di tempatnya yang berusia 20-an tahun. Besarnya minat ini dianggap Paku Alam bukti masih tingginya pamor Pakualaman, kadipaten yang berdiri pada 1813 itu.

Di Keraton Yogyakarta, minat menjadi abdi dalem juga sangat tinggi. Selain 243 abdi dalem yang ada, tercatat 2.400 abdi dalem magang (calon). Selain itu sekitar 45 ribu warga masyarakat dari luar Yogyakarta juga punya keinginan menjadi abdi dalem. Mereka berasal dari berbagai desa di Ja-Tim dan Ja-Teng, yang tergabung dalam perkumpulan Sabtu Pahing. Perkumpulan itu diasuh 25 orang yang dipilih oleh Keraton Yogyakarta. "Kegiatannya hanya kumpul-kumpul," kata G.B.P.H. Hadikusumo, putra Hamengku Buwono IX.

Sabtu Pahing adalah hari kelahiran HB IX. Jika Keraton Yogyakarta mengadakan wayangan, banyak anggota perkumpulan itu yang datang dengan tujuan ngalap (mendapat) berkah.

Meski minat tinggi, Keraton Yogya punya pertimbangan lain untuk mengangkat abdi dalem. "Kami harus menyesuaikan diri dengan anggaran yang ada," kata Hadikusumo. Anggaran belanja pegawai keraton berasal dari subsidi pemerintah pusat, sebesar Rp 5.166.450. Gaji abdi dalem paling tinggi Rp 15 ribu, paling rendah Rp 1.000. Selain gaji pegawai, untuk perawatan dibutuhkan biaya setiap bulan Rp 5 juta, yang harus ditanggung Sultan sendiri.

Tentang peranan keraton, Pangeran Mangkubumi menganggap, yang terpenting sebagai pusat kebudayaan. Pertimbangan inilah yang menjadi dasar mengapa beberapa upacara, seperti garebeg dan labuhan, yang oleh Sultan beberapa tahun lalu direncanakan untuk dihapus karena dianggap kurang punya relevansi, dibatalkan. Dalam masyarakat yang lebih terdidik, upacara yang dinilai bersifat mistis ini dipandang akan tidak relevan.

Namun, dalam suatu diskusi kerabat keraton yang juga dihadiri Sultan, timbul pertanyaan: Apa implikasi secara intern dan ekstern kalau upacara itu dihapus ? "Ternyata, bobot ekstern yang dianggap lebih besar," kata Mangkubumi. Maksudnya, kalau upacara itu dihapus, pengaruh internnya tidak ada, tapi masyarakat mungkin akan merasa kehilangan sesuatu. Akhirnya diputuskan, selama itu dianggap masyarakat membawa manfaat, upacara akan tetap diadakan, meski biayanya besar. Tapi kalau masyarakat nantinya berubah, otomatis perubahan akan terjadi.

Melihat semuanya itu, tampak bahwa istana-istana di Surakarta (Kasunanan dan Mangkunegaran) dan Yogyakarta (Kasultanan dan Paku Alaman) masih cukup punya pamor. Sekalipun peranan kebudayaannya menyusut, bahkan telah diambilalih sejumlah lembaga pendidikan, sebagian masyarakat tampaknya masih menganggapnya sebagai panutan. Di antara keempatnya, Keraton Kasultanan Yogyakarta agaknya yang paling tinggi pamornya. Itu terbukti dari jumlah pengunjungnya yang paling besar, juga minat menjadi abdi dalem yang sangat tinggi. Tampaknya, ini tidak bisa dilepaskan dari faktor Sultan Hamengku Buwono IX, sifat nasionalismenya dan kerakyatannya, serta Jabatan yang pernah dan masih dipegangnya di pemerintahan.

Bagaimana dengan istana-istana yang lain? Di Medan, Istana Maymoon, bekas Kerajaan Deli, tampak tak terurus. Bangunan Istana banyak yang rusak. Lampu antik di halaman habis berantakan. Di pekarangan rumput menyemak. Di waktu malam, kompleks ini dijadikan tempat "indehoi", kata orang Medan.

Di bagian belakang istana seluas 4,8 hektar ini berdiri pondok-pondok darurat yang merusakkan pemandangan. Di beberapa sudut, tampak keluarga Istana membasuh piring atau menjemur pakaian. Toh buat masyarakat Melayu Deli, Langkat, Asahan, Serdang, dan pesisir lainnya, Istana Maymoon ini secara moral masih dianggap simbol sejarah dan kejayaan masa lalu.

Saat ini, di istana yang pada 1970-an dipugar pemerintah ini tinggal 120 penghuni dari 17 keluarga. Mereka adalah ahli waris, keluarga, dan pembantu. Tengku Muhammad Djoefri Al Rasyid Deli Khan, 35, mengaku diberi kepercayaan tak resmi para ahli waris menjadi penanggung jawab istana ini "Belum ada suatu proram yang terpadu dari ahli waris untuk menyelamatkan Maymoon," ucap Djoefri.

Kehidupan para bangsawan Deli kini memang kocar-kacir. Meski pada 1967 Azmi Perkasa Alam telah dinobatkan menjadi sultan Deli, menggantikan ayahnya Sultan Othman Al Sani Perkasa Alam, nasib Istana Maymoon masih belum tertolong. Tak pernah terdapat persesuaian antara para ahli waris apa yang bisa mereka lakukan. Masalah utama: tidak adanya dana untuk merawat istana itu.

Azmi Perkasa Alam, 50, mengakui keadaan istananya yang morat-marit dan rusak. "Keadaannya begitulah. Tidak ada perawatan," kata anggota DPR dari FKP ini. Gaji Sultan cuma Rp 15 ribu-Rp 20 ribu sebulan. Dulu memang ada bantuan perawatan Rp 800 ribu setahun, tapi kini mandek, entah kenapa. "Perhatian pemerintah kurang sekali," keluh Azmi.

Pemerintah Kota Madya Medan memang membantu dua tenaga pembersih halaman Istana, tapi melihat halaman yang menyemak itu, tenaga itu tampaknya tak cukup. Ada juga dana masuk: setiap bulan sekitar 500 turis mengunjungi Maymoon. Tiap orang dipungut biaya Rp100. "Apa yang bisa kita perbuat dengan uang sebanyak itu?" keluh Djoefri.

Istana Maymoon masih lumayan dibanding Keraton Kanoman dan Kasepuhan di Cirebon. Di depan Keraton Kasepuhan, di lapangan bernama Taman Giyanti, tempat raja dulu mencari angin (dibangun Pangeran Giyanti pada 1720), pekan lalu bau sampah yang bertimbun memenuhi udara. Di tembok taman, di pinggir sungai, tampak seorang pemuda membuang hajat. Di sebelah timurnya, ada bangunan yang bernama Siti-inggil.

Ada empat bangunan tanpa dinding beratap sirap di situ. Ada yang dipakai sebagai tempat raja melihat alun-alun tempat pelaksanaan hukuman mati, ada juga tempat gamelan sekaten. Itu dulu. Kini bangunan yang dihiasi piring-piring antik Cina (sebagian sudah raib) itu dijadikan tempat peristirahatan gelandangan di waktu malam.

Museum kereta keraton juga kotor dan tak terawat. Lantainya basah oleh air hujan yang mengocor dari atap yang bocor. Selain kereta dan tandu yang penuh debu, di situ terdapat sejumlah tombak, gada, dan trisula yang sama kotornya. Di luar, beberapa anak-anak pegawai Keraton mengemis dan merengek-rengek pengunjung.

Kompleks Keraton Kanoman tak jauh berbeda. Secara umum kompleks istana seluas 5,5 hektar itu tak terawat. Tembok berlumut. Ruang dalam dan bangunan kotor. Halaman dan lapangan lebat dengan semak rumput sebatas lutut. Di museum keraton, ratusan barang antik digeletakkan berserakan seperti di gudang saja.

Para kerabat kedua keraton itu hampir semuanya pesimistis akan nasib istana mereka. "Saya belum punya rencana apa-apa," kata Pangeran Raja Haji Mohamad Djalaludin, putra sulung sultan Kasepuhan, ketika ditanya rencananya jika kelak menggantikan ayahnya. "Keraton tak lagi punya modus politis maupun ekonomis." Peran keratonnya sekarang? "Susah. Saya pikir keraton hanya punya peran sebagai pusat adat dan kebudayaan. Peran lain tidak ada," sahutnya.

Di tepi Sungai Mahakam, di Tenggarong (sekitar 45 km sebelah barat Samarinda), berdiri Istana Kesultanan Kutai. Istana ini dibangun pada 1935, di saat Aji Mohammad Parikesit menjabat sultan. Keraton seluas 4 hektar ini dikelilingi tembok beton tinggi dan keadaannya kini masih kukuh. Pada 1971 keraton ini dijual Parikesit kepada pemerintah sehara Rp 64 juta, dan Parikesit kemudian membangun sebuah rumah kayu tak jauh dari Istana. Istana itu kini menjadi Museum Mulawarman.

Karena dianggap memihak Belanda, kebanyakan rakyat Kal-Tim bersikap antiswapraja, dan kemudian pada 1959 swapraja Kutai dihapuskan dan dipecah menjadi tiga daerah swatantra. Pada 1960 Sultan Parikesit menyerahkan kekuasaannya atas Kota Praja Balikpapan, Daerah tingkat II Kutai, dan Kota Praja Samarinda. Sejak itu keadaan keluarga Kerajaan tak teratur dan tercerai berai.

Aji Dino, 35, salah seorang cucu Sultan, mengaku kini tak ada lagi status sosial yang dimiliki mereka. "Masa kejayaan itu tinggal nostalgia. Kami sekarang hidup sebagai keluarga biasa. Bahkan berkumpul dengan keluarga kerajaan jarang sekali."

Akibat lain, khasanah kebudayaan Kutai dan sejarahnya kini mulai punah. Sisa pengaruh kerajaan, kalaupun masih ada, terasa di pedalaman. Menurut Aji Burhanuddin, salah satu sisa kerabat Sultan, para kepala adat suku Dayak yang dulu dikuasai Kutai Kartanegara sampai sekarang masih hormat pada keluarga kerajaan. "Tapi sekarang tak ada upeti lagi, kecuali kalau kita berkunjung ke sana," katanya.

Istana terakhir Kerajaan Gowa, yang pernah menguasai wilayah Indonesia Timur hingga Kalimantan Selatan dan Timur, tak jauh berbeda dengan rumah adat. Terletak di Kota Sungguminasa, bangunan seluas 1.144 m2 di tanah 7.663 m itu berupa rumah panggung besar, disebut Balla Lompoa (rumah kebesaran). Pagar besi membatasi jalan di depannya dengan halaman yang menghijau oleh rumput.

Istana Balla Lompoa dibangun pada 1935 oleh Belanda dengan tetap mendasarkan pada kaidah rumah Makassar-Bugis. Kini bangunan ini dijadikan museum. Tak banyak isinya: antara lain gendang, parang, tempat perhiasan, sllsilah keraJaan dan Alquran tulis tangan. Tak ada yang tinggal di situ. Pemeliharaannya ditanggung Pemda Gowa. Praktis tak ada lagi pengaruh istana pada masyarakat, walau belakangan ini sejumlah adat lama dihidupkan.

Begitulah potret sejumlah istana di Indonesia yang masih tersisa. Kecuali di Yogyakarta dan Solo, istana-istana lain tampaknya makin hampir tak berarti kecuali sebagai monumen budaya, yang sayangnya sebagian kurang terawat. Dengan kata lain, sebagian besar istana itu telah hilang kesaktiannya, dan tinggal menjadi bangunan mati yang sepi dan berdebu.

Sampai kapankah istana Yogyakarta dan Surakarta bisa bertahan? "Kalau dulu kewibawaan keraton bisa dibangun lewat wahyu, sekarang bisa dibangun lewat peranan sosial yang bisa dimainkan," ujar Budhi Santosa. Sebagai contoh ia menunjuk Hamengku Buwono IX yang masih aktif sebagai ketua KONI.

Apakah itu berarti generasi penguasa keraton mendatang harus mempersiapkan diri mulai sekarang? Lagi-lagi tampaknya Keraton Yogyakarta masih berada di depan.

Yang menjadi tanda tanya: apakah lembaga kasunanan atau kasultanan akan masih bisa bertahan. Hingga kini belum ada ketentuan perundang-undangan yang mengatur lembaga kerajaan tersebut. Keempat raja di Yogyakarta dan Surakarta yang masih bertahan: Paku Buwono XII, Mangkunagoro VIII, Hamengku Buwono IX, dan Paku Alam VIII, semuanya bertahta sebelum Kemerdekaan. Hingga kini belum ada seorangpun yang memberi isyarat akan mundur dan menunjukn penggantinya.

Hamengku Buwono IX, misalnya, memang memberi gelar putra tertuanya, Mangkubumi, dengan Gusti, yang oleh masyarakat sering ditafsirkan sebagai petunjuk bahwa ia akan menjadi "putra mahkota". Sedangkan Paku Buwono konon mempersiapkan K.G.P.H. Hangabehi sebagai calon penggantinya. Di Mangkunegaran, G.P.H. Jiwokusumo konon bakal menjadi Mangkunegoro IX.

Apakah keempat "dinasti" itu akan berlanjut? Tampaknya begitu. Paku Alam VIII menjawab, "Ya kami harapkan begitu. Sejak sekarang kami sudah bersiap-siap. Kami harus mengusahakan terjadinya regenerasi. Tidak bisa tidak." Alasannya: "Itu sukar dijawab. Ya, pelestarian dari sebagian kebudayaan, misalnya." Selain itu, kata Paku Alam, kedudukannya dinyatakan dalam undang-undang.

Menurut UU Nomor 3 Tahun 1950, gubernur DIY dijabat Sultan Hamengku Buwono, sedang wakil gubernur dijabat Paku Alam. Kapan putra mahkota akan diangkat? "Oh, itu tidak perlu tergesa-gesa," kata Paku Alam.

Sumber: http://majalah.tempointeraktif.com