Bali Bagi Wisatawan Nusantara


Jakarta - Hari ini saya mendengar di radio, bahwa Pemerintah Daerah Provinsi Bali menganggarkan dana sebesar Rp 5 miliar untuk pengembangan pariwisata. Anggaran itu akan dipakai untuk berpromosi di berbagai pasar di luar negeri, mengundang para wartawan asing ke Bali, dan melakukan lobby agar para pembuat film melakukan pengambilan gambar di Bali.

Tentu saja saya gembira mendengar berita itu. Setidaknya, harapan Bali untuk menggaet 1,9 juta wisatawan mancanegara ke Bali dibarengi dengan ketersediaan dana untuk melakukan perbaikan di sektor pariwisata di Bali.

Tetapi, di balik kegembiraan itu juga terbersit sebuah tanda tanya. Mengapa yang dipikir hanya wisatawan asing? Mengapa tidak ada perbaikan yang dilakukan agar wisatawan nusantara makin banyak berkunjung ke Bali? Bukankah dengan iklan besar-besaran Visit Malaysia Year 2007 kemarin semakin banyak warga Indonesia yang berwisata ke negeri jiran itu? Mengapa tidak terdengar ada target untuk meningkatkan wisatawan nusantara ke Bali?

Sebagai seorang yang sangat mencintai Bali, saya berkunjung ke Bali sedikitnya empat kali dalam setahun. Terus terang, hingga saat ini saya masih menyimpan berbagai catatan negatif tentang sikap pelaku bisnis pariwisata di Bali terhadap wisatawan nusantara.

Contohnya adalah apa yang saya alami awal tahun ini. Untuk merayakan pergantian tahun, saya mengajak istri beristirahat di Bali. Sengaja kami pindah-pindah tempat menginap. Di Candidasa, kami menginap di Lotus Bungalows, sebuah fasilitas penginapan di tepi pantai yang dimiliki oleh kelompok restoran Lotus.

Ketika check in, saya melihat seorang perempuan asing yang saya tahu adalah pengelola fasilitas itu. Perempuan itu hanya melihat sebentar ke arah kami, lalu meneruskan bekerja di komputer, sementara kami dilayani oleh petugas resepsi. Tidak ada ucapan selamat datang dari si pengelola, sekalipun jarak kami hanya sekitar dua meter.

Satu jam kemudian, kami makan siang di restoran yang berada di dalam Lotus Bungalows itu. Kami melihat lagi perempuan itu bercengkerama dengan para tamu asing dari satu meja ke meja lain. Meja kami tidak didatanginya. Kami adalah satu-satunya warga negara Indonesia yang menginap di sana ketika itu.

Mengapa ada perbedaan sikap seperti itu? Mengapa ia bisa menyapa tamu asing dan tidak menyapa kami? Kalaupun ia khawatir bahwa kami tidak berbahasa Inggris, kami tahu bahwa dia cukup mampu berbahasa Indonesia.

Entah kenapa, ketika kami check out dua hari kemudian, barulah ia menyapa kami dan menanyakan apakah kunjungan kami mengesankan. Terus terang saya jadi enggan menjawab. “Fine. Could be better,” begitu saja jawab saya, tanpa menunjukkan kehangatan.

Konsumen Kelas Dua
Sikap seperti itu sudah terlalu sering saya alami di Bali. Bukan saja dari orang-orang asing yang bekerja di sektor pariwisata, tetapi juga dari orang-orang Bali sendiri. Dari pembicaraan saya dengan banyak teman-teman lain, sikap kurang bersahabat dari para pekerja pariwisata di Bali memang sangat terasa. Tercuat kuat kesan bahwa wisatawan nusantara hanyalah konsumen kelas dua di Bali. Orang asing selalu dielu-elukan secara lebih istimewa.

Secara tidak langsung kita juga melihat sikap ini dalam pemilihan bahasa yang dipakai orang Bali. Bagi orang Bali, yang dimaksud “tamu” adalah orang asing. Orang Indonesia yang menjadi wisatawan di Bali tidak pernah disebut tamu. Kalau kita memakai prinsip law of attraction, kita menjadi sadar bahwa pilihan kata itu ternyata memengaruhi sikap orang Bali terhadap wisatawan nusantara.

Kita tentu masih ingat solidaritas yang ditunjukkan bangsa ini ketika Bali mengalami Tragedi Bom Bali. Berbagai inisiatif dinyatakan dalam tindak nyata dengan berbondong-bondongnya wisatawan nusantara mengunjungi Bali. Saya sendiri datang lima kali ke Bali dalam kurun waktu tiga bulan setelah musibah itu. Tetapi, adakah rasa terima kasih itu tercermin dalam sikap warga Bali terhadap wisatawan nusantara?

Saya masih ingat benar ketika dengan bodohnya saya percaya pada ucapan captain waiter di Amandari, Sayan, Ubud. Kami berenam ingin makan siang di hotel mewah itu. “Maaf, silakan menunggu di lobby, kami fully booked hari ini,” katanya.

Kami menunggu dan menunggu. Setelah hampir satu jam kami belum juga mendapat meja, anak kami mulai curiga. Kami memang melihat ada empat orang tamu berkulit putih dan sepasang turis Jepang yang datang setelah kami dan langsung mendapat meja. Melihat gelagatnya, anak kami menduga bahwa kedua kelompok itu juga tidak memiliki reservasi.

Ketika saya tanya kepada captain waiter, ia meyakinkan saya bahwa para tamu itu punya reservasi. Saya langsung mendatangi tamu Jepang dan menanyai mereka. Ternyata, mereka juga walk-in guest seperti kami. Begitu pula empat tamu dari Prancis itu. Berlebihankah kalau kemudian saya marah besar karena merasa ditipu dan diperlakukan tidak adil?

Perlakuan tidak adil para pekerja sektor pariwisata di Indonesia terhadap tamu bangsa sendiri memang tidak hanya terjadi di Bali. Di mana pun di Indonesia ini, bila fasilitas pariwisata sudah mulai berbintang-bintang, maka selalu saja terasa adanya perbedaan layanan. Di Bandung kami memboikot sebuah hotel cantik yang semula menjadi langganan kami. Di Semarang pun ada sebuah hotel yang tidak akan pernah lagi kami datangi.

Edukasi Budaya Pariwisata
Kembali ke soal dana yang Rp 5 miliar itu tadi, saya sungguh sangat ingin agar sebagian dana itu dipakai oleh otoritas pariwisata untuk kegiatan-kegiatan menggalakkan wisatawan nusantara ke Bali.

Contohnya? Diperlukan adanya promosi kuliner Bali. Karena kebanyakan wisatawan nusantara yang berkunjung ke Bali adalah kaum Muslim, tentulah soal makanan menjadi isu penting. Banyak yang menduga bahwa semua masakan di Bali mengandung babi. Dugaan itu semata-mata karena kuliner Bali yang paling sering ditonjolkan adalah be guling yang tidak halal.

Padahal, kuliner Bali memiliki jauh lebih banyak sajian juara yang justru sama sekali tidak mengandung babi. Sambal matah, srombotan, sate lilit (ikan, sapi, ayam), tum (ikan, sapi, ayam, klengis), serapah sapi, be pasih mekuah (sup ikan), mbulung (rumput laut), ayam/bebek betutu, garang asem ayam, be sisit (ayam suwir sambal matah), dan masih banyak lagi.

Bahkan lawar yang diduga hampir selalu mengandung babi, sebetulnya memiliki lebih banyak versi yang justru halal karena dibuat dengan cumi-cumi, bebek, klungah (sabut kelapa yang sangat muda), dan sebagainya. Mengapa masakan-masakan seperti ini tidak lebih dipopulerkan dengan upaya promosi yang nyata?

Mengapa pula tidak mulai berpikir membuat segregasi yang jelas untuk rumah makan yang menyajikan kuliner Bali tradisional halal?

Tetapi, kegiatan yang sebetulnya lebih perlu dilakukan adalah langkah-langkah untuk memberi edukasi tentang budaya pariwisata bagi masyarakat Bali sendiri. Apa sulitnya membuat modul-modul pembelajaran bagi berbagai kelompok masyarakat Bali dalam berinteraksi dengan wisatawan?

Para pekerja di hotel dan restoran perlu diajak mengerti bahwa wisatawan nusantara pun merupakan sendi penting dalam menyediakan gaji mereka. Para pengasong pun perlu diajari bahwa cara menjual yang terlalu mendesak justru membuat wisatawan enggan membeli.

Coba lihat bagaimana beach bumps memerlakukan kaum perempuan seolah-olah semua perempuan sama seperti wisatawan dari negara tertentu yang membayar mereka untuk layanan personal. Sungguh banyak lagi sikap-sikap negatif yang dapat diperbaiki untuk membuat Bali sebuah tujuan wisata yang menyenangkan bagi semua wisatawan.

Budaya pariwisata adalah landasan yang paling kuat untuk menyiapkan masyarakat Bali menjadi tuan rumah yang baik bagi semua wisatawan – apapun warna kulitnya. Saya yakin, pada dasarnya warga Bali adalah masyarakat yang ramah. Mereka hanya perlu mendapat sedikit pendidikan dan arahan agar menjadi pelaku yang kompeten di sektor pariwisata.

Sumber : http://meok.detik.com