Arak Batavia Beken di Dunia

Oleh Pradaningrum Mijarto

Beberapa bulan lalu, di salah satu milis komunitas terkirim sebuah surat elektronik yang menanyakan tentang Batavia Arrack, arak Batavia, yang pada masanya begitu beken hingga ke Swedia. Sejarah minuman beralkohol tidak lepas dari sejarah Batavia dan Tionghoa. Dalam beberapa buku sejarah Indonesia disebutkan, arak bikinan orang Tionghoa di Batavia memang punya cita rasa yang bikin orang-orang Eropa mabuk kepayang. Dalam sebuah tulisan, Peran Etnis Cina dalam Pengembangan Iptek, tertulis bahwa sudah sejak abad 17 warga Tionghoa di Batavia mengembangkan berbagai budidaya seperti tebu dan padi. Dari dua komoditi itu dibuatlah arak yang terdiri dari beras yang difermentasi, tetes tebu dan nira. Mereka telah mengembangkan penyulingan arak sejak awal abad 17.

Beberapa situs juga mengakui bahwa Batavia Arrack merupakan minuman beralkohol dari Hinda Belanda yang sudah melanglang buana. Beraroma sitrus dan cokelat yang lekat. Minuman ini diproduksi sejak akhir abad 17 hingga abad 19 dan merupakan minuman yang digemari di Eropa, khususnya Swedia. Minuman ini juga biasa disebut sebagai Batavia Arrack van Oosten. Pada Mei tahun lalu, The New York Times edisi Minggu memuat artikel berjudul "Out of the Blue: Batavia Arrack Comes Back". Paul Clarke, si penulis, menuliskan, Batavia Arrack bikinan awal abad 17 di sebuah pulau di Jawa terbuat dari air tebu dan fermentasi beras merah. Punya cita rasa berbeda, seperti rum Haiti dan Scotch.

Dalam buku Nusantara: Sejarah Indonesia, Bernard HM Vlekke menyebutkan, hingga tahun 1775 masih ada perintah dari Pemerintah Tinggi melarang pemaksaan terhadap serdadu garnisun agar mandi sekali seminggu. Para istri orang Belanda yang hampir semuanya lahir di Indonesia tidak setakut itu pada air dibandingkan suami mereka yang datang dari Belanda yang basah dan berhujan. Banyak rumah yang dibangun di sepanjang kanal punya kamar mandi kecil di atas air kanal dan dari sana nyonya-nyonya itu tanpa malu-malu terjun berendam di dalam bak mandi untuk masyarakat umum.

Oleh Baron Van Imhoff, Gubernur Jenderal VOC, hal itu sebetulnya dilarang karena kanal itu dipakai sebagai got jadi memang jorok. Tapi tuan-tuan Belanda punya cara lain untuk melindungi kesehatan. Hari mereka dimulai dengan minum segelas gin dengan perut kosong. "Bangsa kita harus minum atau mati," tulis Coen pada 1619. Tidaklah heran bahwa penyulingan arak disebut industri utama di Batavia. Arak Batavia menjadi terkenal di seluruh Asia. "Orang-orang kita saling merangkul dan memberkati diri sendiri karena mereka berhasil tiba di tempat yang begitu luar biasa racikan punch-nya," tulis Kapten Britania, Woodes Rogers, dalam catatan hariannya di awal abad 18.

Sementara itu, Kapten James Cook terpesona dengan keampuhan arak Batavia yang membuat seorang awaknya tak pernah jatuh sakit. Padahal usia awak kapal tadi sudah di atas 70 tahun dan kerjanya hanya mabuk arak Batavia. Naskah sejarah lain menyatakan, dua jenis industri yang pernah berkembang menjadi besar di Batavia adalah industri gula dan pembuatan arak. Penyulingan arak terutama dilakukan di dalam tembok kota, seperti di Kali Besar. Di kawasan itu pabrik penyulingan bertahan cukup lama.

Kisah perjalanan arak Batavia hingga ke Swedia bisa jadi dimulai ketika Kapal Gotheborg mampir ke Batavia pada 1743. Awak kapal harus memenuhi kebutuhan kapal dan awaknya seperti arak, kayu bakar, kebutuhan untuk mengisi perut, serta mesiu cadangan untuk keamanan. Sebagai warga dari negeri super dingin di kawasan Skandinavia, maka tak aneh jika arak menjadi menu utama awak kapal. Rupanya mereka menyukai cita rasa arak bikinan Batavia – Batavi Arrack van Oosten yang mengandung alkohol 50%.

Kasijanto Sastrodinomo, pengajar pada Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, pernah menulis, di awal abad 20 pemerintah kolonial pernah mengeluarkan buku karangan J Kats berjudul Het alcoholkwaad. Kats mengutip hasil penelitian tentang dampak negatif penggunaan alkohol di beberapa negara di Eropa. Ditunjukkan antara lain adanya hubungan antara kebiasaan meminum alkohol dan merosotnya daya tahan tubuh penggunanya sehingga mudah menimbulkan sakit.

Sebelum buku itu muncul, pemerintah sudah membentuk Komisi Pemberantasan Alkohol (Alcoholbes Trijdings Commissie) yang ditugasi untuk menyelidiki dan memerangi penggunaan dan penyalahgunaan alkohol di kalangan masyarakat Hindia Belanda. Komisi menemukan, konsumsi minuman keras telah meluas di kalangan masyarakat. Di Batavia, misalnya, pembuatan, penjualan, dan penggunaan minuman jenis itu sudah sampai pada taraf mengkhawatirkan. Kawasan Senen disebut-sebut sebagai tempat jual-beli minuman beralkohol secara gelap.

Minuman keras tradisional yang populer di kalangan masyarakat pribumi dikenal sebagai arak, badèg, ciu, yang menurut polisi digolongkan sebagai gelap alias tidak berizin. Kenyataannya hingga kini minuman beralkohol tak berizin masih merajalela hingga ke dusun-dusun di Indonesia. Biasa disebut oplosan, campuran berbagai minuman beralkohol, berenergi, dan lain-lain.

Sumber : http://www.kompas.com