Oleh Abudarsih
Teater Koma pernah gagal mementaskan Sampek Engtay di Medan untuk sebuah alasan yang tidak jelas. Dikatakan tidak jelas karena pelarangan tersebut semata-mata hanya karena pagelaran itu mengadopsi legenda cerita dari Tiongkok, kemudian dalam pagelaran mengusung tarian barongsai sebagai pembuka. Ironisnya, aparat penguasa pada masa itu melarang pementasan hanya belasan menit jelang pementasan dimulai. Penonton yang antri di depan pintu Tiara Convention Hall, tempat acara digelar, kecewa. Tiket dikembalikan, penonton bubar.
Sampek Engtay baru berhasil digelar di tempat yang sama duapuluhlima tahun kemudian. Teater Koma memukau dan berhasil menghibur penontonnya. Kecemasan entah apa atas kisah yang diadopsi dari legenda Tiongkok itu, di atas pentas justru terasa "ketoprak" banget. Narator -atau ki dalang- yang mengantar cerita itu tampil sebagai sosok Ki Semar dalam dunia pewayangan pada kesenian Jawa. Barongsai? Ya. Tapi hal itu lebih mengingatkan kita pada kesenian reog Ponorogo.
Ya, pelarangan, pencekalan tampil, atau apalah namanya, terhadap kesenian berbau Tionghoa menjadi sesuatu yang tidak kekal. Pergantian rezim dari Orde Baru ke orde reformasi membawa angin segar bagi aktivitas dan kreativitas budaya Tionghoa. Pada masa pemerintahan Gus Dur, sebuah aturan yang menciptakan diskriminasi terhadap budaya Tionghoa dicabut. Perayaan Imlek disahkan sebagai hari libur resmi nasional.
Masa kebebasan berekspresi kesenian Tionghoa dimulai. Kesenian Tionghoa yang sebelumnya ibarat gadis cantik yang dipingit, kini mulai tampil di depan publik nusantara. Diskriminasi perlakuan terhadap budaya Tionghoa sudah dihapus. Kesenian Tionghoa dianggap telah berkontribusi memperkaya khasanah budaya nusantara. Atmosfir politik pemerintah mendukung peluang kebebasan ekspresi kesenian Tionghoa.
Perayaan Imlek yang puncaknya berlangsung pada peringatan Cap Go Meh dijadikan momentum untuk menggelar berbagai kesenian Tionghoa. Berbagai even budaya Tionghoa pun digelar di berbagai kota. Bahkan Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Singkawang telah menjadikan pekan budaya Tionghoa sebagai agenda wisata. Di Medan, ada Chinese Lantern Festival dan sejumlah agenda lainnya. Namun kita berharap, pada masa mendatang even ini lebih bisa ditingkatkan.
Kearifan Seni
Kesenian dalam ekspresinya memiliki bahasa universal bernama estetika. Kesenian merupakan wilayah netral yang bebas dari konflik politik. Kesenian bekerja untuk sebuah pesan mengajak hati siapa pun mengenal keindahan cinta kasih, moral, etika, perdamaian dan harmonisasi dalam keberagaman. Maka, sungguh naif mendiskriminasi kesenian atas nama apa pun.
Contohnya, barongsai. Kesenian Tionghoa yang satu ini cukup membumi, tidak hanya di kalangan etnis Tionghoa tapi juga masyarakat etnis lainnya. Ternyata setelah didalami, barongsai mengandung makna filosofi yang menarik untuk dijadikan referensi ketika menonton tarian itu. Menurut sebuah literatur budaya Tionghoa, tarian barongsai, secara garis besar, dianggap sebagai suatu cara untuk mendapatkan berkah dari dewa-dewa dan menghindarkan diri dari segala kemalangan. Kepercayaan ini berlaku turun temurun.
Gerakan barongsai sebenarnya didasarkan pada satu alur cerita yang cukup sederhana. Biasanya tarian barongsai dimulai adegan sang singa sedang tertidur pulas di sebuah gua yang terletak di belakang portal yang tertutup.
Kemudian, seorang biksu yang bertubuh besar datang di depan gua dan mulai mempersiapkan altar. Setelah membersihkan tempat tersebut, sang biksu membangunkan sang singa dengan membunyikan gong sekeras mungkin. Rupanya sang biksu sengaja melakukan hal tersebut agar sang singa juga ikut sembahyang.
Karena sang singa cepat bosan, biksu pun mulai menarik perhatiannya dengan benda yang berwarna hijau. Hal itu malah memancing kemarahan sang singa dan ia pun mencoba menggigit si penggoda.
Kesimpulannya, gerakan permainan barongsai sebenarnya sarat filosofi. Demikian pula dalam warna kostum singa dari barongsai, ada artinya. Untuk warna, terdapat lima warna yang biasanya selalu ada dalam kostum, yaitu kuning, hitam, hijau, merah, dan putih. Konon, kelima warna ini digunakan untuk mengendalikan lima arah utama.
Selain itu, gerakan juga mengandung arti. Sang singa biasanya menari dengan gerakan maju-mundur dan zig-zag untuk membingungkan setan-setan. Konon, masyarakat asal kesenian ini percaya bahwa kekuatan jahat selalu bergerak lurus. Sedangkan adegan makan dan membagikan benda hijau melambangkan pembagian kekayaan dan keberuntungan bagi mereka yang hadir.
Begitulah. Seiring bergulirnya waktu, aktivitas kesenian Tionghoa dalam mengespresikan kreativitasnya semakin meyakinkan siapa pun, bahwa kesenian yang sekian lama bagai "gadis pingitan" ini potensial memberi kontribusi lebih banyak dari sekadar mengekspresikan kearifan tradisi kesenian.
Di beberapa kota tempat diselenggarakannya festival budaya Tionghoa, para pejabat setempat justru kemudian mendorong kesenian Tionghoa sebagai agenda wisata. Dengan kata lain budaya Tionghoa sudah dianggap komoditas berdampak pada sisi ekonomis melalui sektor wisata. Sayangnya, di Medan belum ada wadah pengembangan apresiasi yang memadai dari kehadiran kelompok-kelompok kesenian ini, sehingga bisa membuat wisatawan berbondong datang ke kota ini. Sebagaimana kita ketahui menunggu kesenian tradisional menjadi komoditas industri hiburan bukan perkara sederhana. Memuja budaya Tionghoa, semoga tidak sekadar ephoria merayakan kebebasannya.
Sumber : http://www.harian-global.com
Teater Koma pernah gagal mementaskan Sampek Engtay di Medan untuk sebuah alasan yang tidak jelas. Dikatakan tidak jelas karena pelarangan tersebut semata-mata hanya karena pagelaran itu mengadopsi legenda cerita dari Tiongkok, kemudian dalam pagelaran mengusung tarian barongsai sebagai pembuka. Ironisnya, aparat penguasa pada masa itu melarang pementasan hanya belasan menit jelang pementasan dimulai. Penonton yang antri di depan pintu Tiara Convention Hall, tempat acara digelar, kecewa. Tiket dikembalikan, penonton bubar.
Sampek Engtay baru berhasil digelar di tempat yang sama duapuluhlima tahun kemudian. Teater Koma memukau dan berhasil menghibur penontonnya. Kecemasan entah apa atas kisah yang diadopsi dari legenda Tiongkok itu, di atas pentas justru terasa "ketoprak" banget. Narator -atau ki dalang- yang mengantar cerita itu tampil sebagai sosok Ki Semar dalam dunia pewayangan pada kesenian Jawa. Barongsai? Ya. Tapi hal itu lebih mengingatkan kita pada kesenian reog Ponorogo.
Ya, pelarangan, pencekalan tampil, atau apalah namanya, terhadap kesenian berbau Tionghoa menjadi sesuatu yang tidak kekal. Pergantian rezim dari Orde Baru ke orde reformasi membawa angin segar bagi aktivitas dan kreativitas budaya Tionghoa. Pada masa pemerintahan Gus Dur, sebuah aturan yang menciptakan diskriminasi terhadap budaya Tionghoa dicabut. Perayaan Imlek disahkan sebagai hari libur resmi nasional.
Masa kebebasan berekspresi kesenian Tionghoa dimulai. Kesenian Tionghoa yang sebelumnya ibarat gadis cantik yang dipingit, kini mulai tampil di depan publik nusantara. Diskriminasi perlakuan terhadap budaya Tionghoa sudah dihapus. Kesenian Tionghoa dianggap telah berkontribusi memperkaya khasanah budaya nusantara. Atmosfir politik pemerintah mendukung peluang kebebasan ekspresi kesenian Tionghoa.
Perayaan Imlek yang puncaknya berlangsung pada peringatan Cap Go Meh dijadikan momentum untuk menggelar berbagai kesenian Tionghoa. Berbagai even budaya Tionghoa pun digelar di berbagai kota. Bahkan Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Singkawang telah menjadikan pekan budaya Tionghoa sebagai agenda wisata. Di Medan, ada Chinese Lantern Festival dan sejumlah agenda lainnya. Namun kita berharap, pada masa mendatang even ini lebih bisa ditingkatkan.
Kearifan Seni
Kesenian dalam ekspresinya memiliki bahasa universal bernama estetika. Kesenian merupakan wilayah netral yang bebas dari konflik politik. Kesenian bekerja untuk sebuah pesan mengajak hati siapa pun mengenal keindahan cinta kasih, moral, etika, perdamaian dan harmonisasi dalam keberagaman. Maka, sungguh naif mendiskriminasi kesenian atas nama apa pun.
Contohnya, barongsai. Kesenian Tionghoa yang satu ini cukup membumi, tidak hanya di kalangan etnis Tionghoa tapi juga masyarakat etnis lainnya. Ternyata setelah didalami, barongsai mengandung makna filosofi yang menarik untuk dijadikan referensi ketika menonton tarian itu. Menurut sebuah literatur budaya Tionghoa, tarian barongsai, secara garis besar, dianggap sebagai suatu cara untuk mendapatkan berkah dari dewa-dewa dan menghindarkan diri dari segala kemalangan. Kepercayaan ini berlaku turun temurun.
Gerakan barongsai sebenarnya didasarkan pada satu alur cerita yang cukup sederhana. Biasanya tarian barongsai dimulai adegan sang singa sedang tertidur pulas di sebuah gua yang terletak di belakang portal yang tertutup.
Kemudian, seorang biksu yang bertubuh besar datang di depan gua dan mulai mempersiapkan altar. Setelah membersihkan tempat tersebut, sang biksu membangunkan sang singa dengan membunyikan gong sekeras mungkin. Rupanya sang biksu sengaja melakukan hal tersebut agar sang singa juga ikut sembahyang.
Karena sang singa cepat bosan, biksu pun mulai menarik perhatiannya dengan benda yang berwarna hijau. Hal itu malah memancing kemarahan sang singa dan ia pun mencoba menggigit si penggoda.
Kesimpulannya, gerakan permainan barongsai sebenarnya sarat filosofi. Demikian pula dalam warna kostum singa dari barongsai, ada artinya. Untuk warna, terdapat lima warna yang biasanya selalu ada dalam kostum, yaitu kuning, hitam, hijau, merah, dan putih. Konon, kelima warna ini digunakan untuk mengendalikan lima arah utama.
Selain itu, gerakan juga mengandung arti. Sang singa biasanya menari dengan gerakan maju-mundur dan zig-zag untuk membingungkan setan-setan. Konon, masyarakat asal kesenian ini percaya bahwa kekuatan jahat selalu bergerak lurus. Sedangkan adegan makan dan membagikan benda hijau melambangkan pembagian kekayaan dan keberuntungan bagi mereka yang hadir.
Begitulah. Seiring bergulirnya waktu, aktivitas kesenian Tionghoa dalam mengespresikan kreativitasnya semakin meyakinkan siapa pun, bahwa kesenian yang sekian lama bagai "gadis pingitan" ini potensial memberi kontribusi lebih banyak dari sekadar mengekspresikan kearifan tradisi kesenian.
Di beberapa kota tempat diselenggarakannya festival budaya Tionghoa, para pejabat setempat justru kemudian mendorong kesenian Tionghoa sebagai agenda wisata. Dengan kata lain budaya Tionghoa sudah dianggap komoditas berdampak pada sisi ekonomis melalui sektor wisata. Sayangnya, di Medan belum ada wadah pengembangan apresiasi yang memadai dari kehadiran kelompok-kelompok kesenian ini, sehingga bisa membuat wisatawan berbondong datang ke kota ini. Sebagaimana kita ketahui menunggu kesenian tradisional menjadi komoditas industri hiburan bukan perkara sederhana. Memuja budaya Tionghoa, semoga tidak sekadar ephoria merayakan kebebasannya.
Sumber : http://www.harian-global.com