Oleh : Kun Zachrun Istanti
1. Pengantar
Dalam karya sastra masa lampau bangsa Indonesia, di antaranya karya sastra Melayu klasik, tergambar identitas bangsa pada masanya. Karya sastra lama itu menginformasikan kepada pembaca tentang pikiran, adat-istiadat, kepercayaan, keadaan sosial masyarakat, kepribadian individu, hubungan antarindividu, dan sistem nilai yang berlaku di dalam masyarakat pendukungnya pada masanya (Panuti-Sudjiman, 1984:14). Berita tentang hasil budaya bangsa Indonesia pada masa lampau yang terungkap dalam sastra lama dapat dibaca pada peninggalan yang berupa tulisan yaitu naskah (Panuti-Sudjiman, 1984: 46).
Hasil kesusasteraan Melayu klasik sebelum agama Islam masuk ke kawasan Nusantara sebagian besar berasal dari India (cerita Hindu). Dua cerita besar yakni Mahabarata dan Ramayana yang memuat ajaran dan kepercayaan dari India serta cerita-cerita rakyat India banyak memberikan inspirasi pada karya sastra Melayu. Hikayat Sri Rama dan Hikayat Sang Boma adalah dua di antara karya sastra Melayu yang bersumber pada kedua karya India itu (Yock Fang, 1982; Winstedt, 1969).
Agama Islam masuk ke kawasan Melayu pada khususnya dan Nusantara pada umumnya melalui Gujarat, India (Graaf, 1949: 73). Bersamaan dengan masuknya agama Islam di Melayu, masuk pula kebudayaan, kesusastraan, dan bahasa Arab dan Persi. Masuknya bahasa Arab ke Melayu diikuti pula dengan masuknya tulisan dan kosakata Arab. Masuknya kata-kata Arab dalam bahasa Melayu sebagian besar melalui proses asimilasi dan adaptasi fonemis dan morfemis. Pengaruh Persi dalam bahasa Melayu melalui bahasa Hindustan (Morrison, 1955: 52).
Dalam bidang sastra, penyerapan unsur Arab dapat dilihat dalam bentuk struktur genre-nya, seperti hikayat, syair, silsilah, dan kisah. Di samping itu, materi teks yang terambil dari ajaran agama Islam meluas pada karya-karya sastra Melayu, baik dalam bentuk terselubung, misalnya riwayat nabi-nabi, sahabat nabi, dan peristiwa-peristiwa penting dalam tarikh Islam maupun dalam bentuk eksplisit ajaran, seperti karyasastra kitab fikih dan tasawuf.
Apabila karya tulis sebelum kedatangan Islam berpusat di istana, sejak kedatangan Islam pusat tradisi tulis karya-karya sastra tersebar di berbagai daerah, baik di pantai (pesisir) maupun di pedalaman. Dalam ajaran Islam, untuk menuntut ilmu bagi semua orang dan anjuran kepada pemeluknya agar mampu membaca kitab suci Alquran diperlukan adanya pusat-pusat pembelajaran, dalam hal ini pusat pendidikan. Dari pusat-pusat pembelajaran/pusat -pusat pendidikan ini lahir tradisi tulis. Tradisi ini kemudian difungsikan sebagai wahana Islamisasi.
Kedatangan Islam di Melayu khususnya dan di Nusantara pada umumnya dipandang memberikan sumbangan besar dalam perkembangan kebudayaan di kawasan ini. Hampir semua aspek budaya Nusantara dimasuki unsur Islam dengan nuansa yang berbeda-beda. Penulis-penulis sastra Melayu pada masa itu memerlukan cerita-cerita Islam sebagai pengganti cerita yang bernuansa Hindu dan menggubah sastra Melayu yang sudah ada menjadi sastra bernuansa Islam (Baroroh-Baried, 1996:222). Pada awal kedatangan Islam ke kawasan Nusantara, para mubalig dalam melaksanakan tugasnya menggunakan jenis cerita sebagai alat daya tarik. Di antara jenis cerita yang sering dimanfaatkan sebagai sarana berdakwah adalah cerita pahlawan(epos) dan mitologi (Mangunwijoyo, 1981: 35). Cerita-cerita pahlawan ini banyak dibaca dalam kesempatan merayakan hari-hari besar Islam, seperti Hikayat Muhammad Hanafiyyah dibaca dalam merayakan hari 10 Muharam untuk memperingati kesyahid an Hasan Husain (Brakel, 1975: 67). Kebiasaan seperti ini sudah ada dalam kehidupan umat Islam sejak abad ke-8 di negara-negara Islam (Hamid, 1982: 116; Baroroh-Baried, 1996: 222).
Dalam kesusastraan Melayu klasik, terdapat sejumlah cerita yang dapat dikategorikan sebagai cerita pahlawan Islam, misalnya Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah (selanjutnya disingkat HAH) dan Hikayat Muhammad Hanafiyyah (Winstedt, 1940: 63-68, Iskandar, 1995:127-148). Ketiga hikayat itu mempunyai struktur asasi sebuah hikayat Melayu sebagai berikut (Brakel, 1975: 76-77): tergolong sebagai karya sastra yang ditulis dalam huruf Jawi (huruf Arab, bahasa Melayu); pengarang tidak diketahui (anonim); menceritakan kisah-kisah yang menakjubkan; disalin dari satu naskah ke naskah lain; sewaktu menyalin si penyalin bebas mengubah, menambah, dan mengurangi hal-hal yang dianggapnya perlu. Ketiga hikayat itu dikategorikan sebagai hikayat pahlawan Islam karena berisi perjuangan tokoh utama yang mencurahkan hidupnya untuk menegakkan Islam (artinya ia turut serta dalam menyebarkan, menjaga, mempertahankan, dan membela agama Islam) (Dipodjojo, 1981: 122).
Tulisan ini mengemukakan jejak dan pengaruh HAH, salah satu cerita pahlawanIslam dalam kesusasteraan Melayu klasik, dalam dunia sastra Nusantara.
2. Dasar Sejarah Cerita Amir Hamzah
Hikayat Amir Hamzah adalah suatu karya sastra yang menceritakan peristiwa dan kejadian yang berlaku pada abad ke-7 di Timur Tengah. Tokoh yang memegang peranan penting adalah Amir Hamzah bin Abdul Mutalib (paman Nabi Muhammad saw.).
Dalam sejarah Islam, Amir Hamzah adalah seorang panglima perang Islam yang disejajarkan dengan Umar bin Khattab (sahabat dan panglima perang Nabi Muhammad saw.) mengenai kepahlawanan dan keberaniannya (Haikal, 1996: 112,122,226). Amir Hamzah sebaya dengan Muhammad saw. dan menjadi saudara sesusuannya (Haikal, 1996: 50,103). Dia masuk Islam demi membela Muhammad saw. dari gangguan orang-orang kafir Quraisy. Sejak itu, ia selalu mendampingi, melindungi, dan membela Muhammad saw. dalam usaha menyiarkan agama Islam. Ia pernah dikirim oleh Muhammad saw. dengan tentara sebanyak 30 orang ke daerah Ish di tepi Laut Merah untuk berperang melawan Abu Jahal (paman Nabi Muhammad saw. dan juga pemimpin kaum kafir Quraisy) yang membawatentara sebanyak 300 orang.
Peperangan itu batal karena ada pihaklain yang melerainya. Peperangan yang benar-benar menunjukkan kegagahberanian Amir Hamzah adalah perang di daerah Badar pada tahun 624 Masehi (2 Hijriah) yang dikenal dengan Perang Badar dan perang di Uhud (daerah pegunungan disebelah utara Medinah) pada tahun 625 (3 Hijriah) yang dikenal dengan Perang Uhud (Haikal, 1996:226,227,284). Pada awal Perang Uhud kaum muslimin menang. Dengan kemenangan itu, tentara Muhammad saw. sibuk mengurusi harta rampasan sehingga mereka lengah terhadap musuh yang datang secara mendadak. Pada Perang Uhud itulah, Amir Hamzah memperlihatkan kegagahberaniannya sehingga banyak musuh yang tewas oleh pedangnya (Haikal, 1996: 320-322).
Dalam dunia sastra, keberanian dan kepahlawanan Amir Hamzah ini mengilhami seorang penulis epos bangsa Parsi. Oleh karena itu, ia menggubah sebuah epos kepahlawanan Amir Hamzah ke dalam bahasa Parsi yang diberi judul Qissa‘i Emir Hamza (Ronkel, 1895: 98). Teks Amir Hamzah versi Parsi terdiri atas 71 sampai 73 cerita (Ronkel, 1895: 175-180). Dalam roman Parsi ini Amir Hamzah ditampilkan sebagai tokoh legendaris, sebagai panglima perang yang memerangi banyak negara yang rajanya menolak memeluk agama Nabi Ibrahim. Tokoh Amir Hamzah ini selalu didampingi oleh Umar ibn Umayah al Damri. Amir Hamzah tetap diceritakan sebagai paman Nabi Muhammad saw. atau saudara laki-laki Abdullah (ayah Muhammad saw.). Diceritakan bahwa Amir Hamzah itu seorang pahlawan Islam yang hidup berpindah-pindah sambil berjuang. Amir Hamzah hidup seabad sebelum Muhammad saw. Lahir sampai ia diyakinkan keislamannya oleh Nabi Muhammad saw. Sifat kepahlawanan Amir Hamzah versi Parsi ini juga diperhebat dengan sifat-sifat Rustam (pahlawan bangsa Parsi) yang diambil dari cerita Syah Namah (“Kitab Raja-Raja”) (Ronkel, 1895: 240).
Teks Amir Hamzah Parsi ini kemudian disadur ke dalam bahasa Arab. Teks Amir Hamzah versi Arab berjudul Sirat Hamzah, disadur oleh Ahmad bin Muhammad bin Abu al Ma‘ali al Kufi yang juga penulis Sirat Sayf bin Dhi Yazan (Hamid, 1982: 106; Ronkel, 1895: 90; Winstedt, 1940: 67). Tema pokok Sirat Hamzah tetap sama, yakni mengisahkan perjuangan Amir Hamzah sebagai pahlawan Islam. Oleh karena sifat legendarisnya cerita Amir Hamzah versi Persi itu, Ahmad bin Muhammad bin Abu‘l Ma‘ali menghapuskan hubungan kekeluargaan Amir Hamzah dengan Nabi Muhammad saw. Amir Hamzah ditampilkan sebagai keturunan Kinana (nenek moyang Suku Quraiys)(Hamid, 1982: 132). Sahabat karib Amir Hamzah yang bernama Umar Umayah diceritakan sebagai anak budak Kinana. Cerita ini berbeda dengan versi Parsi. Menurut van Ronkel, cerita Amir Hamzah versi Arab merupakan campuran dari beberapa unsur atau yang disebut sebagai roman hybridisch (Ronkel, 1895:82-90; Winstedt, 1940:65; Yock Fang, 1982:150). Saduran dalam bahasa Arab ini semakin jauh dari cerita Amir Hamzah versi Parsi karena Amir Hamzah tidak lagi sebagai paman Nabi Muhammad saw. Selanjutnya dikemukakan bahwa versi Arab ini tidak mempengaruhi HAH Melayu (Ronkel,1895: 82-84). Dalam naskah Melayu jelas dinyatakan bahwa Amir Hamzah adalah paman Nabi Muhammad SAW.
3. Perkembangan Cerita Amir Hamzah
Cerita Amir Hamzah tersebar ke dalam berbagai bahasa di seluruh dunia (Ronkel, 1895:242-248) seperti dalam bahasa Turki (dengan judul Hamsaname), bahasa Hindustan (dengan judul Quissa-i Amir Hamza), bahasa di Benggali (dengan judul d‘ Amir Hamza), dan bahasa-bahasa di Nusantara. Di Nusantara, cerita Amir Hamzah dikenal dalam bahasa Melayu dengan judul Hikayat Amir Hamzah, dalam bahasa Jawa dengan judul Serat Menak, dalam bahasa Sunda dengan judul Amir Hamjah, dalam bahasa Bugis dengan judul Hikayat Amir Hamzah, dan dalam bahasa Bali dengan judul Amir (Ronkel, 1895:245-251; Yock Fang, 1982:151).
4. Cerita Amir Hamzah dalam Kesusastraan Nusantara
Dalam dunia sastra Melayu teks Amir Hamzah yang berjudul Hikayat Amir Hamzah ditulis dalam bentuk prosa dan disalin dalam banyak naskah. Berdasarkan inventarisasi naskah HAH yang terdapat di Leiden, London, dan Jakarta tercatat sebanyak 15 naskah. Naskah HAH ini sebagian besar ditulis dengan tangan dan sebagian kecil ditulis dengan cetak batu (litografi).
HAH adalah salah satu “dunia dalam kata” yang berbentuk “hikayat” tentang Amir Hamzah. Secara struktural judul teks itu mengarahkan dan sekaligus membimbing pembaca untuk memfokuskan harapannya kepada tokoh Amir Hamzah sebagai unsur sentral yang membangun keutuhan struktur HAH. Dalam dunia sastra Melayu teks yang tertulis sebagai karya “hikayat” memperlihatkan dalam bentuk prosa yang berbeda dengan hikayat yang dipakai di Aceh, ialah untuk jenis puisi (Chambert Loir, 1999; Hurgronje, 1894,II).
Dalam menyajikan kisah Amirul Mukminin Hamzah teks HAH telah memanfaatkan biografi sebagai unsur yang penting. Dalam biografi literernya, tokoh Amir Hamzah diungkapkan secara luas. Teksnya bermula dari peristiwa tokoh-tokoh yang akan menjadi pendamping dan lawan yang akan memperkuat kebesarannya, yakni dengan lahirnya hakim agung (Khoja Buzurjamir Hakim), mertua yang juga musuhnya (Raja Nusirwan), dan musuh besarnya (Bahtik), bersamaan dengan itu juga diikuti kelahiran tokoh-tokoh pendamping dan lawan yang lain, sesudah itu baru cerita kelahiran tokoh utama (Amir Hamzah) yang bersamaan dengan lahirnya sahabat karibnya (Umar Umayah) sampai kepada kematiannya dan peristiwa yang terjadi sesudahnya.
Teks Amir Hamzah Melayu berbeda dengan teks Amir Hamzah Parsi. Perbedaan itu antara lain dapat diketahui dari jumlah episode (teks Amir Hamzah Melayu 91 episode, teks Amir Hamzah Parsi 71-73 episode). Teks Amir Hamzah Melayu terdapat beberapa interpolasi (cerita tambahan) sehingga berbeda dengan teks Amir Hamzah Parsi yang dipakai oleh Ronkel (1895) dalam penelitiannya. Interpolasi-interpolasi itu adalah cerita pengembaraan Badiuzaman, cerita Raja Lahad, dan cerita wafatnya Umar ibn Umayah (Ronkel, 1895: 167- 180; Winstedt, 1969: 96). Cerita pengembaraan Badiuzaman dalam naskah HAH Melayu itu ditemukan banyak kata-kata, ungkapan, dan sajak Parsi. Oleh karena itu, cerita pengembaraan Badiuzaman diperkirakan merupakan saduran dari Parsi. Cerita Raja Lahad dalam naskah HAH Melayu diperkirakan tambahan dari penyalin Melayu. Kata lahad yang berasal dari bahasa Arab lahdun (yang berarti ‘kuburan‘) itu dalam cerita menjadi nama raja, yakni Raja Lahad. Cerita wafatnya Umar ibn Umayah yang terdapat pada akhir dari cerita ke-91 dari naskah HAH Melayu ini mungkin dibuat oleh penyalin Melayu untuk memberikan penghormatan terakhir kepada sahabat Amir Hamzah yang bernama Umar ibn Umayah. Selain itu, penyusun HAH diperkirakan pernah mengetahui cerita Syahi Mardan sebab di dalam teks HAH dinyatakan bahwa sebagian sifat kepahlawanan Amir Hamzah disebut-sebut seperti Syahi Mardan (HAH cerita ke-13). Dalam kesusastraan Melayu terdapat cerita Syahi Mardan, yakni salah satu karya sastra yang tergolong di dalam kesusasteraan zaman peralihan dari Hindu ke Islam (Hikayat Syahi Mardan) (Yock Fang, 1982; Winstedt, 1969; Iskandar, 1995).
Pemakaian bahasa yang bertalian dengan konvensi sastra dan budaya Melayu yang banyak mempergunakan unsur stereotip dan bentuk-bentuk perulangan semuanya menjadi faktor yang ikut memperbesar volume teks yang memang sudah besar dari segi isi. Diketahui bahwa teks HAH Melayu ini ditulis dalam banyak naskah. Di antara naskah-naskah itu, ada naskah yang rusak, ada naskah yang baik, ada naskah yang tipis, ada naskah yang tebal, dan ada naskah yang berupa fragmen. Naskah yang lengkap memuat 91 episode (ada yang berjumlah 1225 halaman dan ada berjumlah 1843 halaman, yakni naskah Cod. 1697 dan Cod. 1698 yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden). Teks Amir Hamzah yang terdapat di dalam naskah Cod. 1697 terdiri atas 1225 halaman dan setiap halaman terdiri atas 13 baris dengan kira-kira 15 kata setiap barisnya. Teks yang besar itu, sesuai dengan konvensi dalam naskah, disajikan dalam dua jilid. Dari segi struktur teks, pembelahan teks menjadi dua bagian tampaknya mengandung fungsi tersendiri.
Di kalangan masyarakat Melayu, HAH biasa dibaca oleh mereka yang hendak berperang agar dapat memperoleh contoh-contoh kepahlawanan yang dapat membangkitkan keberanian. Gema kebesaran dan keberanian Amir Hamzah dapat memberikan semangat tentara Malaka dalam menghadapi musuh sebagaimana tersurat dalam Sejarah Melayu, cerita ke-34 (Hooykaas, 1947:151; Shellabear, 1961:273-274). Pada suatu malam (tahun 1511), sejumlah tentara Malaka berjaga-jaga di balairung istana kerajaan untuk menghadapi tentara Portugis. Ketika itu, Sultan Ahmad menyuruh membaca hikayat perang yakni Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Hanafiyyah supaya mereka mendapat faedah daripadanya, yakni mendapatkan keberanian seperti Amir Hamzah atau Muhammad Hanafiyyah.
HAH adalah salah satu karya sastra Melayu yang sudah diciptakan pada abad ke 15. Bersama-sama dengan teks Hikayat Iskandar Zulkarnain dan Hikayat Sri Rama, HAH merupakan tiga teks Melayu yang tertua (Brakel via Chamamah-Soeratno, 1991: 2). Dalam kesusasteraan Melayu HAH disambut ke dalam teks lain sesuai dengan minat dan tuntutan masyarakat sastra yang berkembang sepanjang waktu.
HAH Melayu menjadi inspirasi penulis Hikayat Nadirsyah. Hikayat Nadirsyah ini mempunyai kesamaan kerangka cerita dengan HAH. Sultan Nadirsyah menyerang raja Keling, mengalahkannya, dan kembali ke negaranya. Episode pertempuran dan peperangan hampir sama antara HAH dengan Hikayat Nadirsyah. Seakan-akan penulis Hikayat Nadirsyah mencipta sebuah hikayat dengan meniru HAH (Iskandar, 1995:137).
Episode Raja Lahad, yang hanya terdapat dalam HAH versi Melayu, menjadi inspirasi bagi pengarang Melayu lain untuk mencipta Hikayat Raja Lahad (Ronkel, 1895:178-180).
Dalam sastra Jawa, cerita Amir Hamzah dikenal dengan nama Serat Menak yang kemungkinan besar disadur dari HAH Melayu. Teks Amir Hamzah dalam Serat Menak jauh lebih luas daripada dalam HAH sebab orang Jawa suka menambah dan memperluas semua cerita yang dibacanya (Poerbatjaraka, 1954:109; Yock Fang, 1982:151). Teks Amir Hamzah Melayu disadur ke dalam kesusastraan Jawa diperkirakan pada zaman Mataram, yakni abad ke-16-17 dan banyak dikenal orang di daerah-daerah Pesisir Utara, Jawa Timur, Bali, dan Lombok. Versi Jawa ini dipengaruhi oleh cerita Panji yang pada saat itu berkembang di Jawa (Poerbatjaraka, 1940:3). Serat Menak sebagaimana HAH merupakan cerita yang panjang dan luas. Beberapa redaksi Serat Menak ditulis di istana-istana Jawa Tengah; dan yang pertama-tama di istana Kartasura pada tahun 1639 atas kehendak Kanjeng Ratu Mas Balitar, permaisuri Sri Paduka Paku Buwana I (Pangeran Puger). Adapun yang mendapat perintah bernama carik Narawita. Serat Menak Kartasura ini terdiri atas 145 pupuh (Poerbatjaraka, 1940: 2, 9- 30). Pada awal abad ke-18, Pujangga Keraton Surakarta Yasadipura menulis kembali cerita-cerita menak ini. Teks Serat Menak yang disusun oleh Yasadipura I ini dikenal dengan versi Yasadipura atau versi Surakarta, yang merupakan terjemahan langsung dari versi Kartasura (Poerbatjaraka, 1954: 148). Hingga awal abad ke-20, Serat Menak paling sedikit sudah empat kali diterbitkan, yaitu oleh C.F Winter pada tahun 1854 di Batavia; yang kedua ditulis oleh R. Ngabehi Jayasubrata dan diterbitkan oleh Penerbit Van Dorp, Semarang dalam 11 jilid, tanpa tahun terbit; kemudian tahun 1933 diterbitkan oleh Balai Pustaka dalam 46 jilid, dan kemudian diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1982 dalam bahasa Indonesia. Beberapa judul di antaranya adalah (1) Menak Sarehas, (2) Menak Lare (4 jilid), (3) Menak Serandil, (4) Menak Sulub (2 jilid), (5) Menak Ngajrak, (6) Menak Demis, (7) Menak Kaos, (8) Menak Kuristam, (9) Menak Biraji, (10) Menak Kanin, (11) Menak Gandrung, (12) Menak Kanjun, (13) Menak Kandabumi, (14) Menak Kuwari, (15) Menak Cina (5 jilid), (16) Menak Malebari (5 jilid), (17) Menak Purwakanda (3 jilid), (18) Menak Kustup (2 jilid), (19) Menak Kalakodrat (2 jilid), (20) Menak Sorangan (2 jilid), (21) Menak Jamintoran (2 jilid), (22) Menak Jaminambar (3 jilid), (23) Menak Talsamat, dan (24) Menak Lakat (3 jilid). Serat Menak didukung oleh banyak naskah, tersimpan di berbagai tempat, di dalam dan di luar negeri (Pigeaud, 1967; Poerbatjaraka, 1 40; Vreede, 1892). Dalam sastra Jawa kata menak berarti wong sing kepenak, ‘orang yang selalu enak hidupnya, luhur, misalnya Amir Hamzah‘ (Effendi, 1977:22-23). Versi Jawa ini menjadi sumber saduran versi Bali (Yock Fang, 1982: 151).
Di kalangan masyarakat Jawa cerita menak dituangkan pula dalam bentuk wayang golek menak dan selanjutnya digubah dalam bentuk fragmen tarian lepas, yang disebut tari golek menak. Tarian ini diciptakan oleh Sultan Hamengkubuwono IX, dan dicoba disempurnakan oleh Tim Penyempurnaan Tari Golek Menak di bawah pimpinan Prof.Dr.R.M. Soedarsono pada tahun 1988 (Pigeaud, 1967: 212-217; Hooykaas, 1947: 155; Soedarsono, 1989: 37-69).
Wayang adalah alat dakwah Islam yang sangat hebat. Alat ini telah diwariskan oleh para wali (Wali Songo). Perkembangan sejarah pewayangan tidak dapat terlepas dari perkembangan kebudayaan, keagamaan, dan politik di Indonesia, khususnya di Jawa. Islam mulai berkembang di Jawa diawali dengan berdirinya kerajaan Demak dan runtuhnya kerajaan Majapahit. Pada saat itulah, wayang mulai berkembang dan disempurnakan oleh para wali. Jadi, wayang sangat besar peranannya dalam penyebaran agama Islam. Ada beberapa macam wayang dan cerita yang digambarkan di antaranya adalah wayang purwa (cerita Mahabarata), wayang gedog (cerita Panji) dan wayang golek menak (cerita menak) (Effendi, 1977: 13-26). Dalam wayang golek menak diceritakan riwayat Amir Hamzah dan hubungannya dengan negeri Arab dan Parsi pada zaman permulaan Islam. Tari menak di Jawa yang terkenal di antaranya adalah Tari “Umar Maya-Umar Madi” (nama tokoh panakawan Amir Hamzah), tari “Menak Kelaswara” (nama salah satu istri Amir Hamzah yang berasal dari Cina).
Dalam sastra Sunda, teks Amir Hamzah mendapat sambutan secara konkret. Bentuk transformasinya yang terdapat di dalam sastra Sunda berjudul Amir Hamjah (Behrend, 1998: 569). Cerita itu amat dikenal dikalangan masyarakat Sunda. Grashuis (via Ronkel, 1895: 207-211) telah meneliti cerita Amir Hamzah Sunda dengan menggunakan naskah yang b rukuran folio, tebal 370 halaman, huruf Pegon (huruf Arab, bahasa Jawa). Naskah itu selesai disalin pada 13 Syakban 1271 H/ 1854 M. Teks Amir Hamzah Sunda ada persamaan dengan HAH dan tidak ada hubungan genetis dengan Serat Menak. Namun demikian, cerita Amir Hamzah Sunda dan Serat Menak bersumber pada HAH.
Di dalam masyarakat Sunda istilah menak digunakan untuk menunjukkan suatu golongan dalam lapisan masyarakat yang berdasarkan hukum memiliki hak-hak yang istimewa. Mereka itu adalah kelompok aristokrasi lokal yang terdiri atas para bupati, bawahan bupati, dan sanak kerabat mereka. Menak dianggap sebagai keratabasa dari rangkaian kata nu dimemen-memen di enak-enak, artinya ‘kaum menak adalahmereka yang harus dilayani segala keperluannya (oleh orang lain) sehingga hidupnya menjadi enak‘. Kiranya keratabasa ini sesuai dengan kenyataan dalam kehidupan kaum menak di Sunda (Nina, 1998:vii,12,21).
Dalam sastra Bugis, cerita Amir Hamzah dikenal dengan nama Hikayat Amir Hamzah yang merupakan saduran dari HAH. Isi cerita Amir Hamzah Bugis lebih luas daripada HAH karena mengandung 92 cerita (Matthes via Ronkel, 1895: 248).
5. Penutup
Teks Amir Hamzah adalah suatu cerita yang diangkat dari sejarah Islam yang dijalin dalam bentuk narasi. Teks Amir Hamzah dalam sastra Melayu yang berjudul Hikayat Amir Hamzah merupakan saduran dari teks Amir Hamzah Parsi.
Dalam penyebaran agama Islam, HAH telah diresepsi oleh masyarakat Nusantara (Jawa, Sunda, Bali, dan Bugis). Sambutan terhadap teks HAH, secara luas terdapat pada berbagai sastra daerah di Nusantara, menunjukkan bahwa teks Amir Hamzah fungsional untuk mengungkapkan berbagai ajaran (seperti ajakan beragama Islam, ajakan hidup berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara), dan untuk menunjukkan kepahlawanan dan keberanian Amir Hamzah.
Luasnya Islamisasi di Nusantara, di antaranya, tercermin dari luasnya persebaran teks Amir Hamzah pada berbagai tradisi. Hal itu dapat diketahui oleh luas dan berkembangnya cerita Amir Hamzah yang kemudian diresepsi masyarakat di berbagai daerah di Nusantara. Di setiap sastra daerah yang tersebut di atas, terdapat banyak salinan naskah cerita Amir Hamzah dan, bahkan, di dalam masyarakat Jawa cerita Amir Hamzah juga dituangkan di dalam seni drama (wayang golek menak) dan seni tari (tari menak).
Daftar Pustaka
Baroroh-Baried, Siti.1996. “Hikayat Amir Hamzah dalam Fungsinya sebagai Pembina Umat” dalam Simposium Sastra Islam di Brunei Darussalam.
Behrend, T.E. 1998. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara (Jilid 4) Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Brakel, L.F. 1975. The Hikayat Muhammad Hanafiyyah: Bibliotheca Indonesica, 13. The Hague: Martinus Nijhoff.
Chamamah-Soeratno, Siti. 1991. Hikayat Iskandar Zulkarnain: Analisis Resepsi. Jakarta: Balai Pustaka.
Chambert-Loir, Henri dan Oman Fathurahman. 1999. Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia. Jakarta: Obor.
Dewan Bahasa dan Pustaka. 1994. Hikayat Syahi Mardan. Kuala Lumpur.
Dipodjojo, Asdi. 1981. Kesusasteraan Indonesia Lama pada Zaman Pengaruh Islam. Yogyakarta: Lukman.
Effendy, Zarkasi. 1977. Unsur Islam dalam Pewayangan. Bandung: Alma‘arif.
Galba, Sindu dan Mustari. 1995. Hikayat Raja Handaq. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Graaf, H.J. de. 1949. Geschiedenis van Indonesie. Bandung: ‘s Gravenhage.
Hamid, Ismail. 1982. Arabic and Islamic Literature Tradition. Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distribution Sdn. Bhd.
Haikal, Muhammad Husain. 1996. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera Antar Nusa.
Hooykaas, C. 1947. Over Maleische Literatuur. Leiden: E.J. Brill.
Hurgronje, C. Snouck. 1894. De Atjehrs. Leiden: Brill/Batavia.
Iskandar, T. 1995. Kesusasteraan Melayu Klasik Sepanjang Abad. Brunei: Jabatan Kesusasteraan Melayu University Brunei.
Mangunwijaya, J.B. 1981. Sastra dan Religiositas. Jakarta: Djaja Pirusa.
Morrison, S.E. 1955. “Persian Influence in Malay Life”. JMBRAS. 28.1:52-69.
Nina-H.Lubis. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.
Panuti-Sudjiman.1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
Pigeaud, Th.G.Th.1967. Literature of Java (vol. I): Synopsis of Javanese Literature 900-1900. Leiden.
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1940. Beschrijving der Handschriften - Menak. Bandoeng: A.C. Nix & Co.
—. 1954. “Bijdragen tot de Kennis der Pandji-Verhalen”. BKI. 110.
—. 1957. Kepustakaan Djawa. Djakarta: Djambatan.
—. P. Voorhoeve, C. Hooykaas. 1950. Indonesische Handschriften. Bandung: A.C. Nix & Co.
Ronkel, Ph. S. van. 1895. De Roman van Amir Hamza. Leiden: E.J Brill.
Shellabear, W.G. 1961. Sejarah Melayu (The Malay Annuals). Singapura: Malaya Publishing House Limited.
Soedarsono. 1989. Sultan Hamengkubuwono IX: Pengembang dan Pembaharu Tari Jawa Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Vreede, A.C. 1892. Catalogus van de Javaansche en Madoereesche Handschriften der Leidsche Universiteits-Biblioetheek. Leiden: E.J Brill.
Winstedt, R.O. 1940. A History of Malay Literature. KITLV.
—. 1969. A History of Classical Malay Literature. Kuala Lumpur, Singapore, New York, London: Oxford.
Yock Fang, Liaw. 1982. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik. Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd.
Kun Zachrun Istanti Dra, SU., adalah staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sumber : Humaniora Volume XIII, No. 1/2001
1. Pengantar
Dalam karya sastra masa lampau bangsa Indonesia, di antaranya karya sastra Melayu klasik, tergambar identitas bangsa pada masanya. Karya sastra lama itu menginformasikan kepada pembaca tentang pikiran, adat-istiadat, kepercayaan, keadaan sosial masyarakat, kepribadian individu, hubungan antarindividu, dan sistem nilai yang berlaku di dalam masyarakat pendukungnya pada masanya (Panuti-Sudjiman, 1984:14). Berita tentang hasil budaya bangsa Indonesia pada masa lampau yang terungkap dalam sastra lama dapat dibaca pada peninggalan yang berupa tulisan yaitu naskah (Panuti-Sudjiman, 1984: 46).
Hasil kesusasteraan Melayu klasik sebelum agama Islam masuk ke kawasan Nusantara sebagian besar berasal dari India (cerita Hindu). Dua cerita besar yakni Mahabarata dan Ramayana yang memuat ajaran dan kepercayaan dari India serta cerita-cerita rakyat India banyak memberikan inspirasi pada karya sastra Melayu. Hikayat Sri Rama dan Hikayat Sang Boma adalah dua di antara karya sastra Melayu yang bersumber pada kedua karya India itu (Yock Fang, 1982; Winstedt, 1969).
Agama Islam masuk ke kawasan Melayu pada khususnya dan Nusantara pada umumnya melalui Gujarat, India (Graaf, 1949: 73). Bersamaan dengan masuknya agama Islam di Melayu, masuk pula kebudayaan, kesusastraan, dan bahasa Arab dan Persi. Masuknya bahasa Arab ke Melayu diikuti pula dengan masuknya tulisan dan kosakata Arab. Masuknya kata-kata Arab dalam bahasa Melayu sebagian besar melalui proses asimilasi dan adaptasi fonemis dan morfemis. Pengaruh Persi dalam bahasa Melayu melalui bahasa Hindustan (Morrison, 1955: 52).
Dalam bidang sastra, penyerapan unsur Arab dapat dilihat dalam bentuk struktur genre-nya, seperti hikayat, syair, silsilah, dan kisah. Di samping itu, materi teks yang terambil dari ajaran agama Islam meluas pada karya-karya sastra Melayu, baik dalam bentuk terselubung, misalnya riwayat nabi-nabi, sahabat nabi, dan peristiwa-peristiwa penting dalam tarikh Islam maupun dalam bentuk eksplisit ajaran, seperti karyasastra kitab fikih dan tasawuf.
Apabila karya tulis sebelum kedatangan Islam berpusat di istana, sejak kedatangan Islam pusat tradisi tulis karya-karya sastra tersebar di berbagai daerah, baik di pantai (pesisir) maupun di pedalaman. Dalam ajaran Islam, untuk menuntut ilmu bagi semua orang dan anjuran kepada pemeluknya agar mampu membaca kitab suci Alquran diperlukan adanya pusat-pusat pembelajaran, dalam hal ini pusat pendidikan. Dari pusat-pusat pembelajaran/pusat -pusat pendidikan ini lahir tradisi tulis. Tradisi ini kemudian difungsikan sebagai wahana Islamisasi.
Kedatangan Islam di Melayu khususnya dan di Nusantara pada umumnya dipandang memberikan sumbangan besar dalam perkembangan kebudayaan di kawasan ini. Hampir semua aspek budaya Nusantara dimasuki unsur Islam dengan nuansa yang berbeda-beda. Penulis-penulis sastra Melayu pada masa itu memerlukan cerita-cerita Islam sebagai pengganti cerita yang bernuansa Hindu dan menggubah sastra Melayu yang sudah ada menjadi sastra bernuansa Islam (Baroroh-Baried, 1996:222). Pada awal kedatangan Islam ke kawasan Nusantara, para mubalig dalam melaksanakan tugasnya menggunakan jenis cerita sebagai alat daya tarik. Di antara jenis cerita yang sering dimanfaatkan sebagai sarana berdakwah adalah cerita pahlawan(epos) dan mitologi (Mangunwijoyo, 1981: 35). Cerita-cerita pahlawan ini banyak dibaca dalam kesempatan merayakan hari-hari besar Islam, seperti Hikayat Muhammad Hanafiyyah dibaca dalam merayakan hari 10 Muharam untuk memperingati kesyahid an Hasan Husain (Brakel, 1975: 67). Kebiasaan seperti ini sudah ada dalam kehidupan umat Islam sejak abad ke-8 di negara-negara Islam (Hamid, 1982: 116; Baroroh-Baried, 1996: 222).
Dalam kesusastraan Melayu klasik, terdapat sejumlah cerita yang dapat dikategorikan sebagai cerita pahlawan Islam, misalnya Hikayat Iskandar Zulkarnain, Hikayat Amir Hamzah (selanjutnya disingkat HAH) dan Hikayat Muhammad Hanafiyyah (Winstedt, 1940: 63-68, Iskandar, 1995:127-148). Ketiga hikayat itu mempunyai struktur asasi sebuah hikayat Melayu sebagai berikut (Brakel, 1975: 76-77): tergolong sebagai karya sastra yang ditulis dalam huruf Jawi (huruf Arab, bahasa Melayu); pengarang tidak diketahui (anonim); menceritakan kisah-kisah yang menakjubkan; disalin dari satu naskah ke naskah lain; sewaktu menyalin si penyalin bebas mengubah, menambah, dan mengurangi hal-hal yang dianggapnya perlu. Ketiga hikayat itu dikategorikan sebagai hikayat pahlawan Islam karena berisi perjuangan tokoh utama yang mencurahkan hidupnya untuk menegakkan Islam (artinya ia turut serta dalam menyebarkan, menjaga, mempertahankan, dan membela agama Islam) (Dipodjojo, 1981: 122).
Tulisan ini mengemukakan jejak dan pengaruh HAH, salah satu cerita pahlawanIslam dalam kesusasteraan Melayu klasik, dalam dunia sastra Nusantara.
2. Dasar Sejarah Cerita Amir Hamzah
Hikayat Amir Hamzah adalah suatu karya sastra yang menceritakan peristiwa dan kejadian yang berlaku pada abad ke-7 di Timur Tengah. Tokoh yang memegang peranan penting adalah Amir Hamzah bin Abdul Mutalib (paman Nabi Muhammad saw.).
Dalam sejarah Islam, Amir Hamzah adalah seorang panglima perang Islam yang disejajarkan dengan Umar bin Khattab (sahabat dan panglima perang Nabi Muhammad saw.) mengenai kepahlawanan dan keberaniannya (Haikal, 1996: 112,122,226). Amir Hamzah sebaya dengan Muhammad saw. dan menjadi saudara sesusuannya (Haikal, 1996: 50,103). Dia masuk Islam demi membela Muhammad saw. dari gangguan orang-orang kafir Quraisy. Sejak itu, ia selalu mendampingi, melindungi, dan membela Muhammad saw. dalam usaha menyiarkan agama Islam. Ia pernah dikirim oleh Muhammad saw. dengan tentara sebanyak 30 orang ke daerah Ish di tepi Laut Merah untuk berperang melawan Abu Jahal (paman Nabi Muhammad saw. dan juga pemimpin kaum kafir Quraisy) yang membawatentara sebanyak 300 orang.
Peperangan itu batal karena ada pihaklain yang melerainya. Peperangan yang benar-benar menunjukkan kegagahberanian Amir Hamzah adalah perang di daerah Badar pada tahun 624 Masehi (2 Hijriah) yang dikenal dengan Perang Badar dan perang di Uhud (daerah pegunungan disebelah utara Medinah) pada tahun 625 (3 Hijriah) yang dikenal dengan Perang Uhud (Haikal, 1996:226,227,284). Pada awal Perang Uhud kaum muslimin menang. Dengan kemenangan itu, tentara Muhammad saw. sibuk mengurusi harta rampasan sehingga mereka lengah terhadap musuh yang datang secara mendadak. Pada Perang Uhud itulah, Amir Hamzah memperlihatkan kegagahberaniannya sehingga banyak musuh yang tewas oleh pedangnya (Haikal, 1996: 320-322).
Dalam dunia sastra, keberanian dan kepahlawanan Amir Hamzah ini mengilhami seorang penulis epos bangsa Parsi. Oleh karena itu, ia menggubah sebuah epos kepahlawanan Amir Hamzah ke dalam bahasa Parsi yang diberi judul Qissa‘i Emir Hamza (Ronkel, 1895: 98). Teks Amir Hamzah versi Parsi terdiri atas 71 sampai 73 cerita (Ronkel, 1895: 175-180). Dalam roman Parsi ini Amir Hamzah ditampilkan sebagai tokoh legendaris, sebagai panglima perang yang memerangi banyak negara yang rajanya menolak memeluk agama Nabi Ibrahim. Tokoh Amir Hamzah ini selalu didampingi oleh Umar ibn Umayah al Damri. Amir Hamzah tetap diceritakan sebagai paman Nabi Muhammad saw. atau saudara laki-laki Abdullah (ayah Muhammad saw.). Diceritakan bahwa Amir Hamzah itu seorang pahlawan Islam yang hidup berpindah-pindah sambil berjuang. Amir Hamzah hidup seabad sebelum Muhammad saw. Lahir sampai ia diyakinkan keislamannya oleh Nabi Muhammad saw. Sifat kepahlawanan Amir Hamzah versi Parsi ini juga diperhebat dengan sifat-sifat Rustam (pahlawan bangsa Parsi) yang diambil dari cerita Syah Namah (“Kitab Raja-Raja”) (Ronkel, 1895: 240).
Teks Amir Hamzah Parsi ini kemudian disadur ke dalam bahasa Arab. Teks Amir Hamzah versi Arab berjudul Sirat Hamzah, disadur oleh Ahmad bin Muhammad bin Abu al Ma‘ali al Kufi yang juga penulis Sirat Sayf bin Dhi Yazan (Hamid, 1982: 106; Ronkel, 1895: 90; Winstedt, 1940: 67). Tema pokok Sirat Hamzah tetap sama, yakni mengisahkan perjuangan Amir Hamzah sebagai pahlawan Islam. Oleh karena sifat legendarisnya cerita Amir Hamzah versi Persi itu, Ahmad bin Muhammad bin Abu‘l Ma‘ali menghapuskan hubungan kekeluargaan Amir Hamzah dengan Nabi Muhammad saw. Amir Hamzah ditampilkan sebagai keturunan Kinana (nenek moyang Suku Quraiys)(Hamid, 1982: 132). Sahabat karib Amir Hamzah yang bernama Umar Umayah diceritakan sebagai anak budak Kinana. Cerita ini berbeda dengan versi Parsi. Menurut van Ronkel, cerita Amir Hamzah versi Arab merupakan campuran dari beberapa unsur atau yang disebut sebagai roman hybridisch (Ronkel, 1895:82-90; Winstedt, 1940:65; Yock Fang, 1982:150). Saduran dalam bahasa Arab ini semakin jauh dari cerita Amir Hamzah versi Parsi karena Amir Hamzah tidak lagi sebagai paman Nabi Muhammad saw. Selanjutnya dikemukakan bahwa versi Arab ini tidak mempengaruhi HAH Melayu (Ronkel,1895: 82-84). Dalam naskah Melayu jelas dinyatakan bahwa Amir Hamzah adalah paman Nabi Muhammad SAW.
3. Perkembangan Cerita Amir Hamzah
Cerita Amir Hamzah tersebar ke dalam berbagai bahasa di seluruh dunia (Ronkel, 1895:242-248) seperti dalam bahasa Turki (dengan judul Hamsaname), bahasa Hindustan (dengan judul Quissa-i Amir Hamza), bahasa di Benggali (dengan judul d‘ Amir Hamza), dan bahasa-bahasa di Nusantara. Di Nusantara, cerita Amir Hamzah dikenal dalam bahasa Melayu dengan judul Hikayat Amir Hamzah, dalam bahasa Jawa dengan judul Serat Menak, dalam bahasa Sunda dengan judul Amir Hamjah, dalam bahasa Bugis dengan judul Hikayat Amir Hamzah, dan dalam bahasa Bali dengan judul Amir (Ronkel, 1895:245-251; Yock Fang, 1982:151).
4. Cerita Amir Hamzah dalam Kesusastraan Nusantara
Dalam dunia sastra Melayu teks Amir Hamzah yang berjudul Hikayat Amir Hamzah ditulis dalam bentuk prosa dan disalin dalam banyak naskah. Berdasarkan inventarisasi naskah HAH yang terdapat di Leiden, London, dan Jakarta tercatat sebanyak 15 naskah. Naskah HAH ini sebagian besar ditulis dengan tangan dan sebagian kecil ditulis dengan cetak batu (litografi).
HAH adalah salah satu “dunia dalam kata” yang berbentuk “hikayat” tentang Amir Hamzah. Secara struktural judul teks itu mengarahkan dan sekaligus membimbing pembaca untuk memfokuskan harapannya kepada tokoh Amir Hamzah sebagai unsur sentral yang membangun keutuhan struktur HAH. Dalam dunia sastra Melayu teks yang tertulis sebagai karya “hikayat” memperlihatkan dalam bentuk prosa yang berbeda dengan hikayat yang dipakai di Aceh, ialah untuk jenis puisi (Chambert Loir, 1999; Hurgronje, 1894,II).
Dalam menyajikan kisah Amirul Mukminin Hamzah teks HAH telah memanfaatkan biografi sebagai unsur yang penting. Dalam biografi literernya, tokoh Amir Hamzah diungkapkan secara luas. Teksnya bermula dari peristiwa tokoh-tokoh yang akan menjadi pendamping dan lawan yang akan memperkuat kebesarannya, yakni dengan lahirnya hakim agung (Khoja Buzurjamir Hakim), mertua yang juga musuhnya (Raja Nusirwan), dan musuh besarnya (Bahtik), bersamaan dengan itu juga diikuti kelahiran tokoh-tokoh pendamping dan lawan yang lain, sesudah itu baru cerita kelahiran tokoh utama (Amir Hamzah) yang bersamaan dengan lahirnya sahabat karibnya (Umar Umayah) sampai kepada kematiannya dan peristiwa yang terjadi sesudahnya.
Teks Amir Hamzah Melayu berbeda dengan teks Amir Hamzah Parsi. Perbedaan itu antara lain dapat diketahui dari jumlah episode (teks Amir Hamzah Melayu 91 episode, teks Amir Hamzah Parsi 71-73 episode). Teks Amir Hamzah Melayu terdapat beberapa interpolasi (cerita tambahan) sehingga berbeda dengan teks Amir Hamzah Parsi yang dipakai oleh Ronkel (1895) dalam penelitiannya. Interpolasi-interpolasi itu adalah cerita pengembaraan Badiuzaman, cerita Raja Lahad, dan cerita wafatnya Umar ibn Umayah (Ronkel, 1895: 167- 180; Winstedt, 1969: 96). Cerita pengembaraan Badiuzaman dalam naskah HAH Melayu itu ditemukan banyak kata-kata, ungkapan, dan sajak Parsi. Oleh karena itu, cerita pengembaraan Badiuzaman diperkirakan merupakan saduran dari Parsi. Cerita Raja Lahad dalam naskah HAH Melayu diperkirakan tambahan dari penyalin Melayu. Kata lahad yang berasal dari bahasa Arab lahdun (yang berarti ‘kuburan‘) itu dalam cerita menjadi nama raja, yakni Raja Lahad. Cerita wafatnya Umar ibn Umayah yang terdapat pada akhir dari cerita ke-91 dari naskah HAH Melayu ini mungkin dibuat oleh penyalin Melayu untuk memberikan penghormatan terakhir kepada sahabat Amir Hamzah yang bernama Umar ibn Umayah. Selain itu, penyusun HAH diperkirakan pernah mengetahui cerita Syahi Mardan sebab di dalam teks HAH dinyatakan bahwa sebagian sifat kepahlawanan Amir Hamzah disebut-sebut seperti Syahi Mardan (HAH cerita ke-13). Dalam kesusastraan Melayu terdapat cerita Syahi Mardan, yakni salah satu karya sastra yang tergolong di dalam kesusasteraan zaman peralihan dari Hindu ke Islam (Hikayat Syahi Mardan) (Yock Fang, 1982; Winstedt, 1969; Iskandar, 1995).
Pemakaian bahasa yang bertalian dengan konvensi sastra dan budaya Melayu yang banyak mempergunakan unsur stereotip dan bentuk-bentuk perulangan semuanya menjadi faktor yang ikut memperbesar volume teks yang memang sudah besar dari segi isi. Diketahui bahwa teks HAH Melayu ini ditulis dalam banyak naskah. Di antara naskah-naskah itu, ada naskah yang rusak, ada naskah yang baik, ada naskah yang tipis, ada naskah yang tebal, dan ada naskah yang berupa fragmen. Naskah yang lengkap memuat 91 episode (ada yang berjumlah 1225 halaman dan ada berjumlah 1843 halaman, yakni naskah Cod. 1697 dan Cod. 1698 yang tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden). Teks Amir Hamzah yang terdapat di dalam naskah Cod. 1697 terdiri atas 1225 halaman dan setiap halaman terdiri atas 13 baris dengan kira-kira 15 kata setiap barisnya. Teks yang besar itu, sesuai dengan konvensi dalam naskah, disajikan dalam dua jilid. Dari segi struktur teks, pembelahan teks menjadi dua bagian tampaknya mengandung fungsi tersendiri.
Di kalangan masyarakat Melayu, HAH biasa dibaca oleh mereka yang hendak berperang agar dapat memperoleh contoh-contoh kepahlawanan yang dapat membangkitkan keberanian. Gema kebesaran dan keberanian Amir Hamzah dapat memberikan semangat tentara Malaka dalam menghadapi musuh sebagaimana tersurat dalam Sejarah Melayu, cerita ke-34 (Hooykaas, 1947:151; Shellabear, 1961:273-274). Pada suatu malam (tahun 1511), sejumlah tentara Malaka berjaga-jaga di balairung istana kerajaan untuk menghadapi tentara Portugis. Ketika itu, Sultan Ahmad menyuruh membaca hikayat perang yakni Hikayat Amir Hamzah dan Hikayat Muhammad Hanafiyyah supaya mereka mendapat faedah daripadanya, yakni mendapatkan keberanian seperti Amir Hamzah atau Muhammad Hanafiyyah.
HAH adalah salah satu karya sastra Melayu yang sudah diciptakan pada abad ke 15. Bersama-sama dengan teks Hikayat Iskandar Zulkarnain dan Hikayat Sri Rama, HAH merupakan tiga teks Melayu yang tertua (Brakel via Chamamah-Soeratno, 1991: 2). Dalam kesusasteraan Melayu HAH disambut ke dalam teks lain sesuai dengan minat dan tuntutan masyarakat sastra yang berkembang sepanjang waktu.
HAH Melayu menjadi inspirasi penulis Hikayat Nadirsyah. Hikayat Nadirsyah ini mempunyai kesamaan kerangka cerita dengan HAH. Sultan Nadirsyah menyerang raja Keling, mengalahkannya, dan kembali ke negaranya. Episode pertempuran dan peperangan hampir sama antara HAH dengan Hikayat Nadirsyah. Seakan-akan penulis Hikayat Nadirsyah mencipta sebuah hikayat dengan meniru HAH (Iskandar, 1995:137).
Episode Raja Lahad, yang hanya terdapat dalam HAH versi Melayu, menjadi inspirasi bagi pengarang Melayu lain untuk mencipta Hikayat Raja Lahad (Ronkel, 1895:178-180).
Dalam sastra Jawa, cerita Amir Hamzah dikenal dengan nama Serat Menak yang kemungkinan besar disadur dari HAH Melayu. Teks Amir Hamzah dalam Serat Menak jauh lebih luas daripada dalam HAH sebab orang Jawa suka menambah dan memperluas semua cerita yang dibacanya (Poerbatjaraka, 1954:109; Yock Fang, 1982:151). Teks Amir Hamzah Melayu disadur ke dalam kesusastraan Jawa diperkirakan pada zaman Mataram, yakni abad ke-16-17 dan banyak dikenal orang di daerah-daerah Pesisir Utara, Jawa Timur, Bali, dan Lombok. Versi Jawa ini dipengaruhi oleh cerita Panji yang pada saat itu berkembang di Jawa (Poerbatjaraka, 1940:3). Serat Menak sebagaimana HAH merupakan cerita yang panjang dan luas. Beberapa redaksi Serat Menak ditulis di istana-istana Jawa Tengah; dan yang pertama-tama di istana Kartasura pada tahun 1639 atas kehendak Kanjeng Ratu Mas Balitar, permaisuri Sri Paduka Paku Buwana I (Pangeran Puger). Adapun yang mendapat perintah bernama carik Narawita. Serat Menak Kartasura ini terdiri atas 145 pupuh (Poerbatjaraka, 1940: 2, 9- 30). Pada awal abad ke-18, Pujangga Keraton Surakarta Yasadipura menulis kembali cerita-cerita menak ini. Teks Serat Menak yang disusun oleh Yasadipura I ini dikenal dengan versi Yasadipura atau versi Surakarta, yang merupakan terjemahan langsung dari versi Kartasura (Poerbatjaraka, 1954: 148). Hingga awal abad ke-20, Serat Menak paling sedikit sudah empat kali diterbitkan, yaitu oleh C.F Winter pada tahun 1854 di Batavia; yang kedua ditulis oleh R. Ngabehi Jayasubrata dan diterbitkan oleh Penerbit Van Dorp, Semarang dalam 11 jilid, tanpa tahun terbit; kemudian tahun 1933 diterbitkan oleh Balai Pustaka dalam 46 jilid, dan kemudian diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1982 dalam bahasa Indonesia. Beberapa judul di antaranya adalah (1) Menak Sarehas, (2) Menak Lare (4 jilid), (3) Menak Serandil, (4) Menak Sulub (2 jilid), (5) Menak Ngajrak, (6) Menak Demis, (7) Menak Kaos, (8) Menak Kuristam, (9) Menak Biraji, (10) Menak Kanin, (11) Menak Gandrung, (12) Menak Kanjun, (13) Menak Kandabumi, (14) Menak Kuwari, (15) Menak Cina (5 jilid), (16) Menak Malebari (5 jilid), (17) Menak Purwakanda (3 jilid), (18) Menak Kustup (2 jilid), (19) Menak Kalakodrat (2 jilid), (20) Menak Sorangan (2 jilid), (21) Menak Jamintoran (2 jilid), (22) Menak Jaminambar (3 jilid), (23) Menak Talsamat, dan (24) Menak Lakat (3 jilid). Serat Menak didukung oleh banyak naskah, tersimpan di berbagai tempat, di dalam dan di luar negeri (Pigeaud, 1967; Poerbatjaraka, 1 40; Vreede, 1892). Dalam sastra Jawa kata menak berarti wong sing kepenak, ‘orang yang selalu enak hidupnya, luhur, misalnya Amir Hamzah‘ (Effendi, 1977:22-23). Versi Jawa ini menjadi sumber saduran versi Bali (Yock Fang, 1982: 151).
Di kalangan masyarakat Jawa cerita menak dituangkan pula dalam bentuk wayang golek menak dan selanjutnya digubah dalam bentuk fragmen tarian lepas, yang disebut tari golek menak. Tarian ini diciptakan oleh Sultan Hamengkubuwono IX, dan dicoba disempurnakan oleh Tim Penyempurnaan Tari Golek Menak di bawah pimpinan Prof.Dr.R.M. Soedarsono pada tahun 1988 (Pigeaud, 1967: 212-217; Hooykaas, 1947: 155; Soedarsono, 1989: 37-69).
Wayang adalah alat dakwah Islam yang sangat hebat. Alat ini telah diwariskan oleh para wali (Wali Songo). Perkembangan sejarah pewayangan tidak dapat terlepas dari perkembangan kebudayaan, keagamaan, dan politik di Indonesia, khususnya di Jawa. Islam mulai berkembang di Jawa diawali dengan berdirinya kerajaan Demak dan runtuhnya kerajaan Majapahit. Pada saat itulah, wayang mulai berkembang dan disempurnakan oleh para wali. Jadi, wayang sangat besar peranannya dalam penyebaran agama Islam. Ada beberapa macam wayang dan cerita yang digambarkan di antaranya adalah wayang purwa (cerita Mahabarata), wayang gedog (cerita Panji) dan wayang golek menak (cerita menak) (Effendi, 1977: 13-26). Dalam wayang golek menak diceritakan riwayat Amir Hamzah dan hubungannya dengan negeri Arab dan Parsi pada zaman permulaan Islam. Tari menak di Jawa yang terkenal di antaranya adalah Tari “Umar Maya-Umar Madi” (nama tokoh panakawan Amir Hamzah), tari “Menak Kelaswara” (nama salah satu istri Amir Hamzah yang berasal dari Cina).
Dalam sastra Sunda, teks Amir Hamzah mendapat sambutan secara konkret. Bentuk transformasinya yang terdapat di dalam sastra Sunda berjudul Amir Hamjah (Behrend, 1998: 569). Cerita itu amat dikenal dikalangan masyarakat Sunda. Grashuis (via Ronkel, 1895: 207-211) telah meneliti cerita Amir Hamzah Sunda dengan menggunakan naskah yang b rukuran folio, tebal 370 halaman, huruf Pegon (huruf Arab, bahasa Jawa). Naskah itu selesai disalin pada 13 Syakban 1271 H/ 1854 M. Teks Amir Hamzah Sunda ada persamaan dengan HAH dan tidak ada hubungan genetis dengan Serat Menak. Namun demikian, cerita Amir Hamzah Sunda dan Serat Menak bersumber pada HAH.
Di dalam masyarakat Sunda istilah menak digunakan untuk menunjukkan suatu golongan dalam lapisan masyarakat yang berdasarkan hukum memiliki hak-hak yang istimewa. Mereka itu adalah kelompok aristokrasi lokal yang terdiri atas para bupati, bawahan bupati, dan sanak kerabat mereka. Menak dianggap sebagai keratabasa dari rangkaian kata nu dimemen-memen di enak-enak, artinya ‘kaum menak adalahmereka yang harus dilayani segala keperluannya (oleh orang lain) sehingga hidupnya menjadi enak‘. Kiranya keratabasa ini sesuai dengan kenyataan dalam kehidupan kaum menak di Sunda (Nina, 1998:vii,12,21).
Dalam sastra Bugis, cerita Amir Hamzah dikenal dengan nama Hikayat Amir Hamzah yang merupakan saduran dari HAH. Isi cerita Amir Hamzah Bugis lebih luas daripada HAH karena mengandung 92 cerita (Matthes via Ronkel, 1895: 248).
5. Penutup
Teks Amir Hamzah adalah suatu cerita yang diangkat dari sejarah Islam yang dijalin dalam bentuk narasi. Teks Amir Hamzah dalam sastra Melayu yang berjudul Hikayat Amir Hamzah merupakan saduran dari teks Amir Hamzah Parsi.
Dalam penyebaran agama Islam, HAH telah diresepsi oleh masyarakat Nusantara (Jawa, Sunda, Bali, dan Bugis). Sambutan terhadap teks HAH, secara luas terdapat pada berbagai sastra daerah di Nusantara, menunjukkan bahwa teks Amir Hamzah fungsional untuk mengungkapkan berbagai ajaran (seperti ajakan beragama Islam, ajakan hidup berkeluarga, bermasyarakat, dan bernegara), dan untuk menunjukkan kepahlawanan dan keberanian Amir Hamzah.
Luasnya Islamisasi di Nusantara, di antaranya, tercermin dari luasnya persebaran teks Amir Hamzah pada berbagai tradisi. Hal itu dapat diketahui oleh luas dan berkembangnya cerita Amir Hamzah yang kemudian diresepsi masyarakat di berbagai daerah di Nusantara. Di setiap sastra daerah yang tersebut di atas, terdapat banyak salinan naskah cerita Amir Hamzah dan, bahkan, di dalam masyarakat Jawa cerita Amir Hamzah juga dituangkan di dalam seni drama (wayang golek menak) dan seni tari (tari menak).
Daftar Pustaka
Baroroh-Baried, Siti.1996. “Hikayat Amir Hamzah dalam Fungsinya sebagai Pembina Umat” dalam Simposium Sastra Islam di Brunei Darussalam.
Behrend, T.E. 1998. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara (Jilid 4) Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Brakel, L.F. 1975. The Hikayat Muhammad Hanafiyyah: Bibliotheca Indonesica, 13. The Hague: Martinus Nijhoff.
Chamamah-Soeratno, Siti. 1991. Hikayat Iskandar Zulkarnain: Analisis Resepsi. Jakarta: Balai Pustaka.
Chambert-Loir, Henri dan Oman Fathurahman. 1999. Panduan Koleksi Naskah-Naskah Indonesia Sedunia. Jakarta: Obor.
Dewan Bahasa dan Pustaka. 1994. Hikayat Syahi Mardan. Kuala Lumpur.
Dipodjojo, Asdi. 1981. Kesusasteraan Indonesia Lama pada Zaman Pengaruh Islam. Yogyakarta: Lukman.
Effendy, Zarkasi. 1977. Unsur Islam dalam Pewayangan. Bandung: Alma‘arif.
Galba, Sindu dan Mustari. 1995. Hikayat Raja Handaq. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Graaf, H.J. de. 1949. Geschiedenis van Indonesie. Bandung: ‘s Gravenhage.
Hamid, Ismail. 1982. Arabic and Islamic Literature Tradition. Kuala Lumpur: Utusan Publications & Distribution Sdn. Bhd.
Haikal, Muhammad Husain. 1996. Sejarah Hidup Muhammad. Jakarta: Litera Antar Nusa.
Hooykaas, C. 1947. Over Maleische Literatuur. Leiden: E.J. Brill.
Hurgronje, C. Snouck. 1894. De Atjehrs. Leiden: Brill/Batavia.
Iskandar, T. 1995. Kesusasteraan Melayu Klasik Sepanjang Abad. Brunei: Jabatan Kesusasteraan Melayu University Brunei.
Mangunwijaya, J.B. 1981. Sastra dan Religiositas. Jakarta: Djaja Pirusa.
Morrison, S.E. 1955. “Persian Influence in Malay Life”. JMBRAS. 28.1:52-69.
Nina-H.Lubis. 1998. Kehidupan Kaum Menak Priangan 1800-1942. Bandung: Pusat Informasi Kebudayaan Sunda.
Panuti-Sudjiman.1984. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Gramedia.
Pigeaud, Th.G.Th.1967. Literature of Java (vol. I): Synopsis of Javanese Literature 900-1900. Leiden.
Poerbatjaraka, R.M.Ng. 1940. Beschrijving der Handschriften - Menak. Bandoeng: A.C. Nix & Co.
—. 1954. “Bijdragen tot de Kennis der Pandji-Verhalen”. BKI. 110.
—. 1957. Kepustakaan Djawa. Djakarta: Djambatan.
—. P. Voorhoeve, C. Hooykaas. 1950. Indonesische Handschriften. Bandung: A.C. Nix & Co.
Ronkel, Ph. S. van. 1895. De Roman van Amir Hamza. Leiden: E.J Brill.
Shellabear, W.G. 1961. Sejarah Melayu (The Malay Annuals). Singapura: Malaya Publishing House Limited.
Soedarsono. 1989. Sultan Hamengkubuwono IX: Pengembang dan Pembaharu Tari Jawa Gaya Yogyakarta. Yogyakarta: Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta.
Vreede, A.C. 1892. Catalogus van de Javaansche en Madoereesche Handschriften der Leidsche Universiteits-Biblioetheek. Leiden: E.J Brill.
Winstedt, R.O. 1940. A History of Malay Literature. KITLV.
—. 1969. A History of Classical Malay Literature. Kuala Lumpur, Singapore, New York, London: Oxford.
Yock Fang, Liaw. 1982. Sejarah Kesusasteraan Melayu Klasik. Singapura: Pustaka Nasional Pte. Ltd.
Kun Zachrun Istanti Dra, SU., adalah staf pengajar Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Sumber : Humaniora Volume XIII, No. 1/2001