Oleh : Helena F Nababan
Melihat kupu-kupu beraneka warna dan bentuk terbang bebas di kaki Gunung Betung, Bandar Lampung sungguh menyegarkan mata.
"Indah, ya? Tetapi, banyak orang justru tak tertarik ketika mendengar penelitian dan konservasi kupu-kupu ini," kata Herawati Soekardi (56), ahli kupu-kupu pertama di Indonesia dari Lampung. Lebih jarang lagi yang meminati kupu-kupu sebagai obyek penelitian seperti yang digeluti Herawati.
Penelitian Herawati berangkat dari diskusinya dengan ahli serangga Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Dr Soelaksono Sastrodihardjo, pada tahun 2000. Saat itu dia tengah berjuang menyelesaikan studi S-3 yang tak kunjung rampung di Departemen Biologi ITB.
Dalam anggapan Herawati, hewan bersayap cantik ini punya andil dalam jejaring makanan herbivora sekaligus bernilai ekonomis sebagai pendukung ekowisata.
Dari pendapat itulah, Herawati menggeluti penelitian kupu-kupu. Doktornya tentang keanekaragaman spesies Papilionidae mengantarnya menjadi doktor pertama kupu-kupu di negeri tropis ini.
Dorongan Suami
Perjalanan Herawati mengenal kupu-kupu yang berkembang menjadi konservasi kupu-kupu Sumatera sebetulnya dimulai jauh sebelum diskusi dengan Prof. Soelaksono. Suami Herawati, Anshori Djausal, yang peneliti dan fotografer, banyak memberi ide tentang kupu-kupu yang akhirnya membuat Hera jatuh cinta pada kupu-kupu.
Ketika Herawati dipercaya menjadi ketua penyelenggara Seminar Nasional Biologi oleh Perhimpunan Biologi Indonesia cabang Lampung pada 1997, untuk memeriahkan seminar, Anshori Djausal berniat menghias gedung serba guna Universitas Lampung (Unila) dengan layang-layang berbentuk kupu-kupu.
Ternyata layang-layang yang dipesan itu berbentuk aneh, setengah capung setengah kupu-kupu. Hal itu menggugah Herawati dan suami mencari tahu bentuk kupu-kupu.
Perjalanan Herawati menggeluti kupu-kupu pun dimulai. Bersama suami, dia menangkap kupu-kupu di taman Kampus Unila tempat ia mengajar di Jurusan Biologi, Fakultas MIPA untuk diamati dan diteliti.
Ternyata, kupu-kupu memiliki aneka ragam bentuk dan warna. "Cantik semua, tetapi kita hanya mengenal beberapa jenis," tutur Herawati.
Dari situ muncul ide mengawetkan kupu-kupu. Sayangnya, tak satu pun ahli serangga di ITB yang dia tanyai dapat menjawab cara mengawetkan kupu-kupu. Referensi pun tidak memberi jawaban memuaskan.
"Saya prihatin sekali. Kok bisa di negeri yang kaya flora fauna ini tidak ada satu ahli pun yang bisa menjelaskan tentang dan berapa jumlah spesies kupu-kupu asli Indonesia," ujar Herawati.
Uji Coba Sendiri.
Akhirnya, uji coba sendirilah yang menjawab cara pengawetan itu. Dia memulai dengan menangkarkan di depan rumah kupu-kupu yang dia tangkap. Penangkaran untuk penelitian tersebut sempat berkembang menjadi industri rumah tangga berupa kupu-kupu awetan.
Kupu-kupu pajangan tersebut seolah melengkapi ikon pariwisata Lampung, yaitu gajah dan badak. Pada 7 Mei 1999, Herawati mendapat penghargaan dari Menteri Pariwisata, Seni,dan Budaya waktu itu, Marzuki Usman, atas jasanya turut mengembangkan kepariwisataan Lampung.
Penganugerahan penghargaan tersebut memicu Herawati mengembangkan pengetahuan tentang kupu-kupu dalam bentuk penelitian dan konservasi.
Setelah berjuang tak kenal lelah, tahun itu juga Herawati mendapat hibah tanah untuk penelitian dan konservasi seluas empat hektar dari Kantor Wilayah Kehutanan Lampung di kaki Gunung Betung, Bandar Lampung.
Kawasan tersebut saat itu rusak akibat alih fungsi lahan menjadi lahan sengon, kopi, dan beberapa pohon kayu keras. Tumbuhan inang sebagai pakan larva kupu-kupu atau tumbuhan berbunga sebagai pakan kupu-kupu sama sekali tidak tumbuh.
Itu sebabnya, ia sama sekali tidak menemukan kupu-kupu di situ. "Padahal, setahu saya Sumatera memiliki beragam kupu-kupu," tutur nenek satu cucu ini.
Dia lalu menanam beragam tumbuhan berbunga dan 25 spesies tumbuhan inang sesuai dengan spesies kupu-kupu.
Setiap dua bulan dia mencatat jenis dan menangkar kupu-kupu. Akhirnya, setelah tiga tahun pertama, dia mendapati 41 spesies kupu-kupu datang dan berbiak di taman terbuka itu.
Perkembangan itu seolah membuktikan hipotesis, apabila suatu areal dilakukan perbaikan mikrohabitat, beragam kupu-kupu akan datang untuk berbiak. "Jadi, konservasi kupu-kupu dapat dilakukan," katanya.
Berkat pengetahuannya itu pula, sejak beberapa tahun terakhir manajemen Inco, perusahaan tambang nikel terbuka di Soroako, Sulawesi Selatan, meminta Herawati mendesain rekayasa habitat guna pengembangan konservasi kupu-kupu asli Sulawesi di lahan eks pertambangan nikel. Dengan bimbingannya pula, Kabupaten Lampung Barat juga akan merealisasikan taman kupu-kupu pada 2008.
Kini kawasan konservasi di kaki Gunung Betung itu telah melahirkan beberapa peneliti muda yang juga anak didiknya di Fakultas Biologi Unila. Sementara sebagai tempat wisata pendidikan, tempat tersebut banyak dikunjungi murid sekolah dari berbagai tempat.
"Yang terpenting, selain bisa mengonservasi kupu-kupu, ilmu pengetahuan juga bisa dikonservasikan lewat anak-anak didik," ujar Herawati.
Sumber : Kompas
Melihat kupu-kupu beraneka warna dan bentuk terbang bebas di kaki Gunung Betung, Bandar Lampung sungguh menyegarkan mata.
"Indah, ya? Tetapi, banyak orang justru tak tertarik ketika mendengar penelitian dan konservasi kupu-kupu ini," kata Herawati Soekardi (56), ahli kupu-kupu pertama di Indonesia dari Lampung. Lebih jarang lagi yang meminati kupu-kupu sebagai obyek penelitian seperti yang digeluti Herawati.
Penelitian Herawati berangkat dari diskusinya dengan ahli serangga Institut Teknologi Bandung (ITB), Prof Dr Soelaksono Sastrodihardjo, pada tahun 2000. Saat itu dia tengah berjuang menyelesaikan studi S-3 yang tak kunjung rampung di Departemen Biologi ITB.
Dalam anggapan Herawati, hewan bersayap cantik ini punya andil dalam jejaring makanan herbivora sekaligus bernilai ekonomis sebagai pendukung ekowisata.
Dari pendapat itulah, Herawati menggeluti penelitian kupu-kupu. Doktornya tentang keanekaragaman spesies Papilionidae mengantarnya menjadi doktor pertama kupu-kupu di negeri tropis ini.
Dorongan Suami
Perjalanan Herawati mengenal kupu-kupu yang berkembang menjadi konservasi kupu-kupu Sumatera sebetulnya dimulai jauh sebelum diskusi dengan Prof. Soelaksono. Suami Herawati, Anshori Djausal, yang peneliti dan fotografer, banyak memberi ide tentang kupu-kupu yang akhirnya membuat Hera jatuh cinta pada kupu-kupu.
Ketika Herawati dipercaya menjadi ketua penyelenggara Seminar Nasional Biologi oleh Perhimpunan Biologi Indonesia cabang Lampung pada 1997, untuk memeriahkan seminar, Anshori Djausal berniat menghias gedung serba guna Universitas Lampung (Unila) dengan layang-layang berbentuk kupu-kupu.
Ternyata layang-layang yang dipesan itu berbentuk aneh, setengah capung setengah kupu-kupu. Hal itu menggugah Herawati dan suami mencari tahu bentuk kupu-kupu.
Perjalanan Herawati menggeluti kupu-kupu pun dimulai. Bersama suami, dia menangkap kupu-kupu di taman Kampus Unila tempat ia mengajar di Jurusan Biologi, Fakultas MIPA untuk diamati dan diteliti.
Ternyata, kupu-kupu memiliki aneka ragam bentuk dan warna. "Cantik semua, tetapi kita hanya mengenal beberapa jenis," tutur Herawati.
Dari situ muncul ide mengawetkan kupu-kupu. Sayangnya, tak satu pun ahli serangga di ITB yang dia tanyai dapat menjawab cara mengawetkan kupu-kupu. Referensi pun tidak memberi jawaban memuaskan.
"Saya prihatin sekali. Kok bisa di negeri yang kaya flora fauna ini tidak ada satu ahli pun yang bisa menjelaskan tentang dan berapa jumlah spesies kupu-kupu asli Indonesia," ujar Herawati.
Uji Coba Sendiri.
Akhirnya, uji coba sendirilah yang menjawab cara pengawetan itu. Dia memulai dengan menangkarkan di depan rumah kupu-kupu yang dia tangkap. Penangkaran untuk penelitian tersebut sempat berkembang menjadi industri rumah tangga berupa kupu-kupu awetan.
Kupu-kupu pajangan tersebut seolah melengkapi ikon pariwisata Lampung, yaitu gajah dan badak. Pada 7 Mei 1999, Herawati mendapat penghargaan dari Menteri Pariwisata, Seni,dan Budaya waktu itu, Marzuki Usman, atas jasanya turut mengembangkan kepariwisataan Lampung.
Penganugerahan penghargaan tersebut memicu Herawati mengembangkan pengetahuan tentang kupu-kupu dalam bentuk penelitian dan konservasi.
Setelah berjuang tak kenal lelah, tahun itu juga Herawati mendapat hibah tanah untuk penelitian dan konservasi seluas empat hektar dari Kantor Wilayah Kehutanan Lampung di kaki Gunung Betung, Bandar Lampung.
Kawasan tersebut saat itu rusak akibat alih fungsi lahan menjadi lahan sengon, kopi, dan beberapa pohon kayu keras. Tumbuhan inang sebagai pakan larva kupu-kupu atau tumbuhan berbunga sebagai pakan kupu-kupu sama sekali tidak tumbuh.
Itu sebabnya, ia sama sekali tidak menemukan kupu-kupu di situ. "Padahal, setahu saya Sumatera memiliki beragam kupu-kupu," tutur nenek satu cucu ini.
Dia lalu menanam beragam tumbuhan berbunga dan 25 spesies tumbuhan inang sesuai dengan spesies kupu-kupu.
Setiap dua bulan dia mencatat jenis dan menangkar kupu-kupu. Akhirnya, setelah tiga tahun pertama, dia mendapati 41 spesies kupu-kupu datang dan berbiak di taman terbuka itu.
Perkembangan itu seolah membuktikan hipotesis, apabila suatu areal dilakukan perbaikan mikrohabitat, beragam kupu-kupu akan datang untuk berbiak. "Jadi, konservasi kupu-kupu dapat dilakukan," katanya.
Berkat pengetahuannya itu pula, sejak beberapa tahun terakhir manajemen Inco, perusahaan tambang nikel terbuka di Soroako, Sulawesi Selatan, meminta Herawati mendesain rekayasa habitat guna pengembangan konservasi kupu-kupu asli Sulawesi di lahan eks pertambangan nikel. Dengan bimbingannya pula, Kabupaten Lampung Barat juga akan merealisasikan taman kupu-kupu pada 2008.
Kini kawasan konservasi di kaki Gunung Betung itu telah melahirkan beberapa peneliti muda yang juga anak didiknya di Fakultas Biologi Unila. Sementara sebagai tempat wisata pendidikan, tempat tersebut banyak dikunjungi murid sekolah dari berbagai tempat.
"Yang terpenting, selain bisa mengonservasi kupu-kupu, ilmu pengetahuan juga bisa dikonservasikan lewat anak-anak didik," ujar Herawati.
Sumber : Kompas