Medan- Hutan mangrove di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara yang menjadi habitat burung migran saat ini semakin berkurang akibat alih fungsi lahan menjadi tambak, perkebunan dan sawah. Padahal kawasan hutan mangrove di pesisir Pantai Timur Sumatera Utara merupakan salah satu daerah penting bagi persinggahan burung-burung migran.
Luas penyebaran hutan mangrove di Sumut mencapai 83.550 hektar, 60 persen di antaranya mengalami kerusakan. Kerusakan terparah menurut data Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda) Sumut berada pada titik-titik penting di pesisir Pantai Timur membentang dari Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan hingga Labuhan Batu atau kawasan yang selama ini menjadi habitat burung migran.
Di Langkat misalnya, 35.300 hektar hutan mangrove, 25.300 hektar di antaranya rusak. Di Deli Serdang dan Serdang Bedagai, kerusakan mencapai 12.400 hektar dari total luas 20.000 hektar.
Menurut peneliti burung migran dari Yayasan Akasia Indonesia Giyanto, kerusakan hutan mangrove akibat alih fungsi menjadi tambak dan perkebunan menjadi ancaman serius bagi burung migran yang biasa singgah di pesisir Pantai Timur Sumut. “Konversi hutan mangrove sangat berpengaruh terhadap ketersediaan makanan serta perubahan fungsi ekosistem. Hilangnya habitat alami akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman makanan yang menjadi pendukung kehidupan burung migran,” kata Giyanto di Medan, Selasa (3/4).
Giyanto menyatakan, ketidaktahuan pemerintah daerah akan wilayahnya yang menjadi persinggahan burung migran, menjadi salah satu penyebab habitat alami mereka berupa hutan mangrove dibiarkan beralih fungsi dan rusak. Giyanto menuturkan, selain di Pantai Cemara (Jambi) dan Semenanjung Banyuasin (Sumatera Selatan), wilayah persinggahan burung migran di Pulau Sumatera ada pada pesisir Pantai Timur Sumut.
“Birdlife International tahun 2001 menetapkan Pesisir Pantai Timur Sumut sebagai daerah penting bagi burung. Khusus untuk burung migran habitat mereka tercakup dari Karang Gading (Langkat), Bagan Percut, Bagan Serdang (Deli Serdang), Sungai Ular dan Pantai Cermin (Serdang Bedagai),” kata Giyanto.
Dia menuturkan, pengamatan satu hari di bulan September memperlihatkan minimal 8.000 ribu burung migran di titik-titik tersebut. Bulan September menjadi waktu bagi burung migran dari Siberia dan China mencari bekal makanan untuk melanjutkan perjalanan hingga ke Selatan menuju arah Australia. Sebaliknya, pada bulan Maret, wilayah pesisir Pantai Timur Sumut menjadi persinggahan burung migran yang akan kembali ke Siberia dan China untuk berkembang biak. “Burung-burung migran ini biasa mencari bekal makanan di sini, sebelum melanjutkan perjalanan ke Australia maupun kembali ke Siberia dan China,” katanya.
Beberapa jenis burung migran yang sering dijumpai di Pantai Timur Sumut antara lain Cerek-cerekan (Pluvialis spp), Gajahan (Numenius spp), Biru Laut (Limosa spp), Trinil (Tringa spp), Kedidi (Caladris spp), dan Dara Laut (Sterna spp). “Keberadaan burung migran ini belum mendapat perhatian serius dari pemda dan peneliti burung. Padahal jika di luar negeri, wilayah persinggahan burung migran bisa menjadi daerah wisata alam yang banyak dikunjungi turis maupun peneliti. Perhatian pemda akan pentingnya habitat burung migran, diharapkan membuat hutan-hutan mangrove itu dilestarikan,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Akasia Indonesia Rasyid Assaf Dongoran.
Sumber: Kompas
Luas penyebaran hutan mangrove di Sumut mencapai 83.550 hektar, 60 persen di antaranya mengalami kerusakan. Kerusakan terparah menurut data Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup Daerah (Bapedalda) Sumut berada pada titik-titik penting di pesisir Pantai Timur membentang dari Langkat, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Asahan hingga Labuhan Batu atau kawasan yang selama ini menjadi habitat burung migran.
Di Langkat misalnya, 35.300 hektar hutan mangrove, 25.300 hektar di antaranya rusak. Di Deli Serdang dan Serdang Bedagai, kerusakan mencapai 12.400 hektar dari total luas 20.000 hektar.
Menurut peneliti burung migran dari Yayasan Akasia Indonesia Giyanto, kerusakan hutan mangrove akibat alih fungsi menjadi tambak dan perkebunan menjadi ancaman serius bagi burung migran yang biasa singgah di pesisir Pantai Timur Sumut. “Konversi hutan mangrove sangat berpengaruh terhadap ketersediaan makanan serta perubahan fungsi ekosistem. Hilangnya habitat alami akan menyebabkan hilangnya keanekaragaman makanan yang menjadi pendukung kehidupan burung migran,” kata Giyanto di Medan, Selasa (3/4).
Giyanto menyatakan, ketidaktahuan pemerintah daerah akan wilayahnya yang menjadi persinggahan burung migran, menjadi salah satu penyebab habitat alami mereka berupa hutan mangrove dibiarkan beralih fungsi dan rusak. Giyanto menuturkan, selain di Pantai Cemara (Jambi) dan Semenanjung Banyuasin (Sumatera Selatan), wilayah persinggahan burung migran di Pulau Sumatera ada pada pesisir Pantai Timur Sumut.
“Birdlife International tahun 2001 menetapkan Pesisir Pantai Timur Sumut sebagai daerah penting bagi burung. Khusus untuk burung migran habitat mereka tercakup dari Karang Gading (Langkat), Bagan Percut, Bagan Serdang (Deli Serdang), Sungai Ular dan Pantai Cermin (Serdang Bedagai),” kata Giyanto.
Dia menuturkan, pengamatan satu hari di bulan September memperlihatkan minimal 8.000 ribu burung migran di titik-titik tersebut. Bulan September menjadi waktu bagi burung migran dari Siberia dan China mencari bekal makanan untuk melanjutkan perjalanan hingga ke Selatan menuju arah Australia. Sebaliknya, pada bulan Maret, wilayah pesisir Pantai Timur Sumut menjadi persinggahan burung migran yang akan kembali ke Siberia dan China untuk berkembang biak. “Burung-burung migran ini biasa mencari bekal makanan di sini, sebelum melanjutkan perjalanan ke Australia maupun kembali ke Siberia dan China,” katanya.
Beberapa jenis burung migran yang sering dijumpai di Pantai Timur Sumut antara lain Cerek-cerekan (Pluvialis spp), Gajahan (Numenius spp), Biru Laut (Limosa spp), Trinil (Tringa spp), Kedidi (Caladris spp), dan Dara Laut (Sterna spp). “Keberadaan burung migran ini belum mendapat perhatian serius dari pemda dan peneliti burung. Padahal jika di luar negeri, wilayah persinggahan burung migran bisa menjadi daerah wisata alam yang banyak dikunjungi turis maupun peneliti. Perhatian pemda akan pentingnya habitat burung migran, diharapkan membuat hutan-hutan mangrove itu dilestarikan,” kata Direktur Eksekutif Yayasan Akasia Indonesia Rasyid Assaf Dongoran.
Sumber: Kompas