Dari “Pariwisata Budaya” ke “Ajeg Bali”

(Beberapa Perspektif Perubahan Wacana Politik Kebudayaan dan Seni di Bali Pasca Rezim Soeharto) [1]

Oleh: I Ngurah Suryawan

“…Kata Geertz benturan-benturan politik yang dibayangkan seolah-olah sebagai pertunjukan sebuah teater. Debat puisi politik dan segala sesuatu intrik-intrik politik berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip harmoni. Atau, semacam harmonisasi politik. Proses politik lebih banyak dilihat sebagai nuansa-nuansa makna simbolik dan puitik. Bukan pisau analisis materialis seperti analisis sosial ekonomi yang menyangkut sumber daya tanah, uang, dan segala bentuk-bentuk manipulasi…” [2]

Diselimuti gelap malam dan dingin menyengat, puluhan orang masih tetap berkumpul setia, berjongkok-jongkok, bergerombol, dan menunggu. Pakaian mereka rapi, menggunakan kamen (kain) dan udeng (ikat kepala). Mereka berkumpul di banjar (balai desa) menjelang tengah malam, jam 22.00 Wita. Bukan untuk menggelar pesangkepan (rapat desa) seperti biasanya, tapi mereka kini bersiaga penuh. Mereka akan melakukan razia, sweeping karena ada situasi gawat yang mengancam dan merusak citra daerah mereka. Para krama (warga) masyarakat adat di Bali itu gerah. Daerah tempat kelahiran mereka sangat identik dengan tempat pelacuran, lokalisasi. Menyebut daerah mereka adalah citra sarangnya pelacuran. Maka kinilah saatnya masyarakat adat seluruhnya tanpa kecuali memberantasnya. Dan ternyata mereka menunggu instruksi dari pimpinan adat untuk melakukan razia.

Saya yang berada dalam rombongan tersebut melihat bagaimana sigap dan ganasnya para pecalangan (satuan pengamanan tradisional Bali) bersama Hansip (Pertahanan Sipil) serta puluhan krama adat lainnya merazia tempat yang mereka curigai melakukan praktek prostitusi. Dan memang benar, dalam semak-semak pohon, Cerita-cerita razia, penggerebekan seperti itu—dan mungkin banyak peristiwa lain lagi di seluruh pelosok Bali—sering kita dengar dan baca di media-media lokal di Bali pasca Bom Bali Oktober 2002 dan Oktober 2005. Selama hampir 3 tahun lebih, aksi yang diistilahkan oleh pemerintah daerah di Bali ini adalah “penertiban penduduk” dirasa penting untuk memulihkan keamanan di Bali. Pasca Bom Bali 2002 dan 2005, masyarakat Bali sungguh gerah dengan begitu banyaknya penduduk pendatang yang mengadu nasib ke Bali. Masyarakat Bali mulai waspada dan siaga dengan pengaruh krama tamiu (saudara tamu). [3] Akses dan perebutan sumber daya ekonomi menjadi pemicunya. Masyarakat Bali merasa terancam dengan kepungan para “pendatang” ini dan merasa perlu untuk membentengi diri dengan sikap waspada dan siaga. Salah satunya adalah melakukan razia dan penggerebekan pada para pendatang yang sering disebut masyarakat Bali sebagai Nak Jawa.(orang jawa untuk menyebut seluruh pendatang dari semua daerah di Indonesia) atau Nyama Dauh Tukad ( Saudara di seberang sungai).

Tapi sebelumnya, politik kewaspadaan dan kesiagaan ini telah lama tumbuh subur di Bali. Pemicunya tidak lebih dari politik curiga dan adu domba antara kelompok dan kepentingan. Masih teringat bagaimana di tahun 1980-an, terjadi pencurian pretima (simbol dewa di pura-pura Bali) yang begitu meresahkan masyarakat Hindu Bali. Pura¬pura tempat mereka bersembahyang berantakan dan emas yang berada didalam pura tersebut hilang dicuri. Masyarakat panik. Selain penyelesaian secara ritual, merekapun waspada dan bersiaga, siapa kira-kira yang melakukannya? Setelah itulah muncul gerakan untuk mengantisipasi dan mewaspadai orang luar, para pendatang yang datang ke Bali. Politik kecurigaan dan kewaspadaan terlihat dengan munculnya papan pengumuman di gang-gang kecil diseluruh pelosok Bali; “Pemulung Dilarang Masuk”, atau spanduk “Masuk Daerah Denpasar, Len gkapi Diri Anda dengan Identitas” Bisa ditangkap, masyarakat mulai saling curiga, saling mewaspadai dan inilah awal dari bagaimana politik kewaspadaan melekat pada diri masyarakat.

Kini, yang lebih menyedihkan, di awal tahun 2005, bukan pencurian pretima dan emas yang terjadi, tapi perusakan terhadap pura, mengacak-ngacak dan merusak patung¬patung di Pura. Beruntun terjadi dalam tiga malam, 5 pura dirusak entah oleh siapa. [4] Yang mengejutkan, kejadian itu menimpa daerah etalase dunia, jantung pariwisata Bali, tempat bom meledak dan mengejutkan dunia: daerah sekitar Kuta dan Legian. Masyarakat Bali panik. Siaga satu pun diberlakukan. Masyarakat Hindu di Kuta diwajibkan untuk mekemit (jaga malam) dan hingga kini masyarakat Bali masih bertanya-tanya siapa yang melakukan perusakan tersebut. Masyarakat Bali sedang siaga, meningkatkan kewaspadaan dan sudah pasti menaruh curiga didalamnya pada orang¬orang tertentu. Entah siapa dia. Politik kecurigaan dan kewaspadaan telah terpelihara dengan kuat dalam ajang-ajang yang berbeda dan dalam konteks politik yang berbeda¬beda pula.

Bali menyisakan lubang menganga bagaimana politik kewaspadaan dan kecurigaan itu tumbuh sumbur di Pulau Seribu Pura Sejuta Ruko ini. Benar ada yang mengatakan bahwa Bali tercipta dari pengingkaran sejarah masa lalu, bagaimana kebudayaan Bali tercipta kini tidak terlepas dari pengaruh, jejak-jejak sejarah sebelumnya. Bali paling cepat untuk bereaksi dan menghakimi orang yang dituduh komunis misalnya di tahun-tahun mencekam 1965-1969. Hingga pembantaian, penyembelihan terhadap nyama (saudara) sendiri terjadi di Bali. Penyembelihan dengan cara sederhana, dengan keringat dan alat seadanya, menewaskan kurang lebih 80.000 orang Bali adalah harga mahal yang harus dibayar atas nama kewaspadaan. [5] Semuanya atas nama kewaspadaan, kecurigaan dan kesiagaan akan bahaya dan hantu-hantu komunisme yang tak pernah terbukti. Berikutnya, reproduksi politik kewaspadaan dan kecurigaan itu terus tumbuh subur saat negara bertambah kuat saat orde baru berkuasa pasca 1965. Stigma sampah masyarakat bagi mantan aktivis komunis terus dipelihara dan politik kewaspadaan muncul dalam jargon Awas Bahaya Laten Komunis dan cap-cap komunis bagi anak muda yang coba kritis terhadap kekuasaan. Semuanya pasti menyisakan jejak ingatan. Dari jejak ingatan kekerasan itulah Bali terus tercipta menjadi sebuah konstruksi pulau sorgawi dengan budaya dan adat-istidatnya yang adiluhung. Dan akhirnya, orang Bali melupakan jejak sejarah yang terpinggirkan itu, jejak ingatan yang berada di tepi kebudayaan Bali yang glamour dan eksotik. Masyarakat Bali kembali menerapkan kewaspadaan baru; Siapa perusak kebudayaan Bali sekarang?

Genealogi Ajeg Bali dan Lahirnya Para Jago-jago
Politik kewaspadaan baru ini terbilang ampuh untuk menyumbat gerakan-gerakan kritis dari kelompok-kelompok subaltern di Bali. Istilah yang kemudian menjadi senjata sakti untuk merangkul masyarakat Bali adalah Mengajegkan Bali. Ajeg dalam konteks ini berarti kuat, kokoh, tak tergoyahkan. Dan orang Bali berkewajiban untuk memperkuat dan memperkokoh budaya Bali. Orang Balilah yang memiliki dan menjaga kebudayaan Bali tersebut. [6] Konsep Ajeg ini menjadi obat dahaga di tengah kehausan masyarakat Bali untuk mencari benteng dan pertahanan baru. Benteng ini semakin hari semakin kuat dengan bertemunya korporasi media massa, negara, politisi, kelompok masyarakat adat, kelompok sipil/milisi/preman di dalamnya. Lebih menukik adalah pendalaman dari Ajeg Bali yang disampaikan haruslah juga Ajeg Hindu. Benteng dan wacana yang bisa lari ke esensialisme dan sudah pasti fundamentalisme agama. Sesuatu yang tidak terhindarkan meskipun dibantah habis-habisan oleh para intelektual think thank Ajeg Bali sendiri. Dengan wacana Inilah kemudian menciptakan politik kewaspadaan baru. Siapa yang tidak Ajeg Bali? Siapa yang tidak menjaga kebudayaan Bali? Sebuah rezim kebenaran dan penciptaan manusia baru telah mulai hadir di Bali. Rezim kebenaran bernama Ajeg Bali dan manusia-manusia Bali baru yang Ajeg Bali.

Di sinilah menjadi penting mencermati peran negara dalam kontestasi budaya dan kuasa yang selama ini terjadi di Bali. Negara, khususnya orde baru—dan ini diterapkan dengan sangat-sangat baik di Bali—adalah menempatkan budaya (Bali) pada soal ketertiban, stabilitas, keamanan dan hak milik. Negara menjadi dominan dan menguasai dalam praktik-praktik kehidupan berbudaya. Dan negara dalam bayangan kita tidak jauh¬jauh, tapi saudara, teman-teman kita yang menjadi agency-agency dari manusia orde baru. Contoh paling nyata adalah bagaimana pemerintah menciptakn jargon-jargon kebudayaan yang sampai kini masih menjadi urat nadi di Bali: Pembangunan Pariwisata Budaya. [7] Negara secara terus-menerus melaksanakan program-program pembangunan pariwisata yang membuat masyarakat Bali tertib, manis dan menjadi pelayan pariwisata yang baik. Maka lahirnya Sapta Pesona, Bali yang BALI (Bersih, Aman, Lestari, Indah) dan lainnya yang melahirkan manusia Bali yang Sapta Pesonik, murah senyum, ramah dan sopan santun. Di lain soal, masyarakat Bali patuh, apolitis dan pragmatis membayangkan gemerincing dollar akan membangunkan mereka dari tidur panjang.

Dan hingga kini, jargon-jargon seperti ini kembali ditiru dengan semangat yang berbeda. Ajeg Bali menjadi contoh nyata bagaimana budaya menjadi bangunan yang sangat kokoh dan anti kritik. Budaya yang sebenarnya fluid atau cair menjadi bangunan kokoh yang anti dialog, statis, linier dan homogenous. Bangunan ini berfungsi sebagai panopticon atau semacam lampu sorot yang ada pada sebuah benteng. Yang mengamati segala gerak-gerik warganya yang mungkin mencoba berpikir diluar frame-frame budaya (Ajeg Bali). [8]

Pada konteks inilah kuasa (negara) menyebar dalam berbagai bentuk dan relasinya dalam masyarakat. Kadang-kadang juga, masyarakat berbicara layaknya sebagai negara. Budaya dan kuasa di Bali menyebar hebat dalam bentuk kehidupan sosial dan budaya dalam keseharian masyarakat Bali. Dari mulai upacara ritual agama, pendidikan dengan disiplinya, pemerintahan, rumah tangga hingga institusi lokal masyarakat desa adat di Bali. Dalam ruang-ruang imaji itulah kuasa dan budaya berkontestasi, saling mengisi dalam jaring-jaring kuasanya.

Ajeg Bali dan politik kewaspadaan serta curiga adalah bentuk disiplin, kuasa yang menyingkap orang Bali untuk patuh dan meyakininya. Ajeg Bali dan Politik kewaspadaan dan siaga budaya menawarkan dengan halus dan heroik sebagai penjaga kebudayaan Bali. Ajeg Bali, kewaspadaan dan kesiagaan budaya adalah bentuk kuasa yang lebih digambarkan dalam bentuk disiplin yang mengatur masyarakat Bali untuk tetap memperkokoh, menjaga dan memperkuat budayanya. Disipilin tidak dapat diidentikan dengan institusi atau aparat. Ia adalah suatu tipe kekuasaan, suatu modalitas untuk menjalankan kekuasaan, yang terdiri dari keseluruhan sarana, teknik, prosedur, tingkat¬tingkat penerapan, sasaran-sasaran. [9]

Ajeg Bali menjadi kata yang akrab terdengar melalui perbincangan di pura-pura, kita baca di media lokal Bali dan menjadi perbincangan pesangkepan (rapat) bale banjar (balai desa) lomba layang-layang, dialog interaktif, obrolan di bale banjar sampai ikrar calon gubernur dan tanda tangan prasasti Ajeg Bali oleh Bupati dan Walikota di Bali. Dua kata yang sekarang di Bali begitu punya pengaruh dan kekuatan yang besar untuk menyatukan kekuatan orang Bali, membakar emosi dan sudah barang tentu; menanamkan sentimen dan mempertahankan budaya Bali yang ajeg (kokoh, kukuh, tetap).

Kata sakti ini kemudian menjadi jargon kebudayaan, yang membuat orang Bali kembali mengais-ngais dan melihat kebudayaannya terdahulu. Kebudayaan yang bagi orang Bali adalah kebudayaan yang terikat kuat dengan agama Hindu—dalam ajaran dan petuah-petuah agama dan kebudayaan yang sering kita dengar dan menjadi mitos. Keterkaitan ini, dalam teori ini, kemudian melahirkan adat, kebudayaan, dan tradisi yang kemudian menyatu kuat dengan agama dan budaya Hindu Bali. Dengan latar seperti di atas, maka dengan relasi kebudayaan, lahirlah beragam jargon-jargon kebudayaan untuk “menjaga” keutuhan dan siaganya budaya Bali. Sebelumnya lahir jargon Mari Bersama Jaga dan Amankan Bali, De Koh Ngomong (Jangan Malu Bicara), untuk memprovokasi orang Bali untuk tidak malu-malu bicara. Dalam diskursus kebudayaan yang melibatkan dan mempermaikan asli dan non-asli Bali, pernah ada jargon, Disini Pemulung Dilarang Masuk atau Masuk Wilayah ini, Anda Harus Dilengkapi Identitas Diri dan Melapor Dalam 1 X 24 Jam.

Pascabom Bali Oktober 2002 dan Oktober 2005, Bali seakan terpuruk. Harapan pada denyut nadi pariwisata hancur lebur. Bali menjadi seperti pulau yang hanya menunggu untuk karam saja tanpa pariwisata. Wisatawan kabur karena takut bom susulan datang, Bandara Ngurah Rai selalu penuh dengan antrean keberangkatan tanpa ada antrean kedatangan. Hotel-hotel kelas melati perlahan-lahan tutup, PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) berlangsung silih berganti, pengangguran semakin membludak dan tentu saja desa-desa adat di Bali “gerah” dengan kondisi seperti ini. Sebagian warganya yang bekerja di hotel-hotel mengeluh penghasilannya menurun drastis. Akhirnya, kondisi ini menjadi semacam senasib sepenanggungan akibat Bom Bali.

Sontak setelah tertangkapnya pelaku bom Oktober 2002 dan 2005, masyarakat Bali menyambutnya dengan gembira. Berbagai usaha mempromosikan pariwisata Bali terus menerus dilakukan. Berbagai program tayangan promosi Bali terus dilakukan. Beragam kegiatan dibuat untuk mengembalikan citra pariwisata Bali yang terpuruk karena Bom Bali dan berturut-turut Perang Amerika—Irak dan wabah SARS. Kondisi inilah kemudian yang menjadi “tersalah” dalam terpuruk dan ambruknya pariwisata Bali. Saat itu—awal Januari 2003—mulai terdengar program-program “Recovery Bali” dan dikuti dengan “Bali For The World”, pentas musik sensasional “Voice Of Star” dan berbagai event hiburan dan pertemuan-pertemuan nasional serta internasional yang dilangsung di Bali. Ada sebuah usaha untuk menjadikan Bali sebagai pusat dari pemulihan pariwisata. Ini karena Bali memiliki citra “Bali” hasil konstruksi eksotika dan ketergantungan negara luar Bali sebagai kunjungan wisata. [10]

Selain mengembalikan pariwisata Bali, lembaga-lembaga tradisi seperti desa adat/pakraman (desa-desa di Bali), pecalangan (satuan pengamanan tradisonal Bali) serta seluruh perangkat desa pakraman di Bali juga semakin memproteksi dirinya. Ternyata dengan adanya Bom Bali 2002 dan 2005, membuat masyarakat Bali semakin waspada dan siaga setiap saat. Ternyata, jujur harus diakui, bahwa cap teroris ternyata menggangu dan menjadi musuh bersama orang Bali. Dalam obrolan di warung-warung desa di Bali, Bom Bali dan teroris adalah kala (mahluk jahat) yang bisa menghancurkan Bali. “Tiang (saya) siap nindihin (membela sampai mati) Bali melawan teroris,“ kata seorang warga masyarakat di warung desa.

Nindihin bagi masyarakat Bali adalah sebuah pembelaan, sebuah sikap wujud kecintaan pada tanah air Bali. Sebelumnya, saat zaman kerajaan dan perang-perang kemerdekaan 1942-1945, Bali terkenal dengan semangat puputan (perjuangan melawan penjajah sampai titik darah penghabisan). Kini, semangat puputan ditunjukkan dengan sikap nindihin Bali bukan melawan kolonial Belanda dan Jepang, tapi melawan teroris dan orang-orang yang merusak kebudayaan Bali. Maka, mulailah dilakukan program-program untuk nindihin Bali tersebut. Salah satu hal yang dilakukan desa adat/pakraman dengan jajarannya adalah sweeping dan pendataan penduduk pendatang. Ini dilakukan dengan serempak mulai awal 2003 hingga kini dan menjadi perdebatan hangat di Bali dan juga mendapat respon nasional pada Maret—Juni 2003 dan mulai meredup dan menjadi keharusan pasca Bom Bali 2005.

Secara tidak sengaja, Drs. Ida Bagus Dharmanuraga, Manggaling Parum (ketua perkumpulan) Desa Pakraman Kota Denpasar pasca Bom Bali 2002 mengatakan bahwa iuran setinggi Rp 250.000 untuk para pendatang adalah semacam shock therapy bagi para pendatang yang dengan gampangnya masuk pelabuhan Gilimanuk. “Jika mulai stabil, pasti akan kami turunkan,” katanya pada suatu kesempatan. Dharamanuraga, sarj ana ekonomi sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya mengatakan, “Banyak pendatang ke Bali tidak jelas mau bekerja apa, orang seperti inilah yang harus kita waspadai,“ ujarnya mantap. [11]

Outsider (orang luar Bali) inipun protes. Mereka menuntut dengan demonstrasi agar iuran diturunkan. Tapi, tetap saja sweeping dilakukan di seluruh pelosok Bali bagi pendatang yang tidak lengkap identitas dan tentu saja “mencurigakan” untuk melakukan tindakan kriminalitas. Haji Mislan, seorang pendatang berujar polos, “Kami datang ke Bali bukan sebagai penjahat,” katanya. Mislan mewakili suara para pendatang yang datang ke Bali untuk mengadu nasib. Mislan berkeluh, “Kami datang dengan maksud baik, kok dianggap penjahat kriminal,“ keluhnya. Tapi tim pendataan penduduk masing¬masing desa di Bali tidak peduli. Didampingi oleh satuan pengaman, pecalangan, dengan keris dan kain polengnya (hitam putih) razia pun dilakukan. Saking seriusnya melakukan razia penduduk pendatang, di setiap desa di Kota Denpasar kini bukan posko partai politik yang ada menjelang Pemilu 2004, melainkan posko pendataan penduduk dan pecalang yang dilengkapi dengan mobil tugas untuk patroli keamanan setiap pagi dan malam.

Pascabom Bali dan ditengah keranjingan menjaga Bali tidak terpukul dua kali, lahir jargon Ajeg Bali. Jargon yang sebenarnya dimulai dari propaganda sebuah media terbesar di Bali yang kemudian diikuti oleh promosi ke berbagai kabupaten di Bali. Belum lama berselang, pertengahan Juli ini, dilakukan roadshow ke seluruh kabupaten di Bali untuk penandatanganan prasasti Ajeg Bali oleh bupati se-Bali. Dimulai dari Walikota Denpasar, kemudian dilanjutkan dengan Bupati Karangasem, Bupati Buleleng, Ketua DPRD Bali, dan Bupati Badung, Cok Ratmadi. Bupati yang disebut terakhir inilah yang kemudian diberi julukan pahlawan Ajeg Bali, karena jiwa besarnya untuk mundur dari pencalonan Gubernur Bali padahal didukung massa PDI Perjuangan di Bali. [12] Namanya bersama Agus Suradnyana ternyata tidak disetujui Megawati Soekarnoputri. Nama yang kemudian muncul dari Megawati dan paket calon Gebernur dan Wakil Gubernur Bali adalah Dewa Made Beratha (Gubernur Bali sekarang) dan Alit Kelakan (kader PDI¬Perjuangan). Terakhir, tiga tokoh elite politik di Bali bergandeng tangan berikrar untuk meng-ajeg-kan Bali. Dua tokoh, AA Pusapayoga dan AA Oka Ratmadi adalah Walikota Denpasar dan Bupati Badung dari puri (pusat pemrintahan kerajaan zaman penjajahan kolonial di Bali) Satria di Denpasar. Satu tokoh lagi adalah Dewa Made Beratha, Gubernur Bali sekarang.

Mulai saat itulah, jargon Ajeg Bali menjadi sebuah kata angker dan ditakuti saat ini di Bali. Keberadaannya kini lebih daripada sekadar pejabat yang membawahi beberapa anak buahnya. Bahkan dalam penyampaian visi dan misi Gubernur Bali, para calon gubernur disumpah apabila menjabat nanti siap dan siaga dalam meng-ajeg-kan Bali. Lalu apa dibenak mereka bentuk dari meng-ajeg-kan Bali ini? Merunut dari paparan singkat di atas, ada beberapa diskursus penting yang sebenarnya ingin diajukan bagi pendukung mahzab ajeg Bali ini. Dan itu semuanya berkaitan dengan situasi terkini Bali yang sedang terpuruk dan kemudian berusaha untuk memperbaiki keadaan.

Yang paling sederhana untuk dilihat adalah sebagai sebuah usaha untuk pemurnian identitas ke-Bali-an. Selama beberapa dekade, identitas ke-Bali-an (garis hubungan darah, geneologis) adalah sebuah ilusi yang terpelihara kuat dalam pikiran orang Bali. Disaat sedang terpuruknya semua kondisi kehidupan, satu cara defensif yang paling mungkin dilakukan adalah memelihara kebersamaan (identitas). Cara ini secara nyata dipraktikkan orang Bali ketika menghadapi desakan dari hotel tutup, pekerjaan tidak ada, dan satu-satunya lowongan yang ada hanyalah menjadi pengangguran ataupun pecalang serta preman. Kondisi ini, semakin diperkuat oleh semakin terdesaknya orang Bali dalam perebutan sumber dan akses-akses untuk politik, hukum, ekonomi, dan tentu saja budaya. Suasana penat dan “kekalahan” dalam pertarungan kehidupan sementara dilupakan oleh orang Bali. Yang kemudian dilakukan adalah menghimpun diri untuk membentuk identitas soroh (hubungan darah), dan kemudian saling unjuk kekuatan. Akhirnya, lahirnya banyak perhimpunan soroh-soroh di Bali. Maha Semaya Warga Pande (untuk soroh pande) atau Mahagotra Sanak Pasek Sapta Rsi (soroh pasek) untuk menyebut beberapa contoh. Ini adalah pertahanan terakhir orang Bali, jika berbicara ajeg Bali.

Dalam perspektif berpikir beberapa orang Bali, Ajeg Bali adalah pemurnian Bali dalam hal pemurnian ras, idenitas, dan soroh. Ini sebenarnya potensi konflik dan kekerasan secara horizontal. Karena, jika merunut sejarah, Bali adalah hasil dari pertarungan, pembantaian dan pembersihan soroh-soroh. Dan sampai saat ini kelompok¬kelompok ini memendam identitas dalam identitas ke-Bali-an, yang juga sebenarnya menyimpan konflik dan kekerasan yang terpendam. Tentu saja pemicunya adalah persaingan antar puri (tempat raja di Bali yang sekarang masih ada) ataupun pendobrakan kelas-kelas sudra (pasek, pande, dll.) terhadap kelas tri wangsa (brahamana, ksatria, dan waisya) dalam teori kelas dan kasta di Bali. Di tengah kebingungan inilah, muncul penyejuk dan pemersatu umat, juga sebagai jago kebudayaan Ajeg Bali. Bali sangat merindukan seorang pendeta sebagai pencerah kehidupan agama Hindu Bali. Maka munculnya Ida Pedanda Made Gunung yang melayani semua pertanyaan, kecemasan, dan pencarian identitas dan esensi ke-Bali-an. Dengan masalah-masalah upakara (sesajen untuk upacara-upacara), pernyataan akan “kebenaran” tingkah laku dan sikap beragama. Yang paling penting tentunya–dari kiprah Ida Pedanda Made Gunung—adalah mengidentitaskan, menanamkan dewa-dewa yang dipuja orang Hindu Bali. Inilah bentuk kerinduan-kerinduan orang Hindu Bali yang kemudian bisa dipenuhi oleh Ida Pedanda Made Gunung. Kerinduan untuk mencari asal-usul, jati diri, hubungan darah, dan keturunan. Dalam istilah Balinya, kedewan-dewan (hidupnya selalu memikirkan dewa, Tuhannya). Dalam titik inilah, orang Bali seakan mendapat pencerahan, dan mulai mendapatkan pembenaran secara alamiah—melalui sastra agama dan tentunya keyakinan yang disampaikan Ida Pedanda Made Gunung. Kiprah pendeta ini dicuatkan oleh media televisi lokal, grup media terbesar di Bali (baca: Bali Post), lewat program Dharma Wacana (pencerahan keagamaan) setiap sore hari.

Yang paling kontemporer tentunya adalah soal Ajeg dalam kartu identitas kependudukan dan polemik penduduk asli dan tidak asli Denpasar ataupun asli dan bukan asli Bali. Dalam terminologi ini, politik KTP (Kartu Tanpa Penduduk) jelas terlihat. Institusi tradisi oligarkhi seperti desa adat/pakraman dengan perangkat pecalang, sekaa teruna (organisasi pemudanya) menjadi semacam pemegang komando dalam penertiban ini. Politik kependudukan yang terlihat diskriminatif. Ini adalah bentuk defensif dan proteksi yang luar bisa dari orang Bali. Sehingga ekspresinya diwujudkan dalam politik KTP pada orang dura negara (orang luar negeri) atau nyama dauh tukad (saudara seberang kali/orang luar Bali) yang datang ke Bali. Tentu ini tidak bermaksud menyederhanakan, tapi jika lebih diskursif melihatnya, tentu masalahnya jauh lebih kompleks. Dimana politik KTP ini juga berelasi dengan kepentingan politik institusi adat untuk menunjukkan eksistensi dan identitas asli Bali. Juga dalam relasi ekonomi dimana desa adat dan juga orang Bali merasa terdesak atas pengaruh dan datangnya orang luar Bali yang merebut lahan-lahan perkerjaan mereka. Sungguh ini begitu sederhana, tapi pencarian eksistensi dan identitas ke-Bali-an jelas menumpang pada wacana politik KTP ini.

Selain itu adalah hubungan masyarakat Bali dengan politik pariwisata kini yang ambruk di Bali. Jika kita bertanya apa harapan masyarakat Bali kini? Jawabannya bisa dipastikan rata-rata akan menjawab, pulihnya kembali pariwisata. Ini memang tidak bisa disalahkan, dimana diskursus pariwisata masuk sangat dalam dan menguasai urat nadi kehidupan dan kebudayaan Bali. Kini politik pariwisata Bali adalah berusaha dengan cara apapun untuk mengembalikan citra Bali dan mendatangkan tamu. “Ini adalah untuk kehidupan mayoritas orang Bali,” kata seorang pekerja pariwisata yang hotelnya telah ditutup di wilayah Tanjung Benoa, Nusa Dua. Bapak satu anak ini harus menerima kenyataan pahit. Baru bekerja sebagai satpam (satuan pengamanan), anak pertamanya lahir dan membutuhkan banyak biaya. Saat itu juga ia harus di-PHK hotel tempatnya bekerja karena bangkrut tidak ada tamu. Ia adalah satu dari ribuan pengangguran yang ada di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung. Bergandengan dengan pariwisata adalah budaya. Sehingga yang paling ampuh untuk dilakukan adalah mendomplengkan pemulihan pariwisata pada kebudayaan Bali. Bahwa saat ini–dalam perjalanan konsep pariwisata budaya dan orde baru sampai kini–memang kebudayaan Bali punya hubungan yang saling menguntungkan dengan pariwisata. Dimana pariwisata memanfaatkan kebudayaan sebagai nilai jualnya dan kebudayaan memakai jalan pariwisata untuk memodernkan dan mendinamiskan dirinya. Dalam sejarah kebudayaan Bali, kebudayaan memang menjadi bagian tidak terpisahkan dari pariwisata, sehingga ada yang menyebut pariwisata adalah bagian dari kebudayaan Bali. Ajeg Bali dalam diskursus ini adalah bagaimana politik pariwisata kini berpihak pada orang Bali, dimana arah dan laju pariwisata ditentukan oleh orang Bali. Sehingga nantinya kolaborasi yang “manis” antara pariwisata dan kebudayaan bisa berlangsung baik-baik saja, seperti ketika rejim orde baru sukses menjadikan Bali sebagai laboratorium dan contoh terbaik dari “konsep pariwisata budaya”. Ajeg Bali memang tendensius dan berpretensi untuk mengembalikan citra “aman dan damai” pariwisata Bali dengan berbagai cara.

Tidak dapat dihindarkan, jargon ajeg Bali telah melahirkan berbagai institusi, lembaga tradisonal dan adat, organisasi pemuda, media massa bahkan organisasi preman sebagai penjaga Ajeg Bali ini. Kehadiran lembaga ini, seakan memfasilitasi dan memberikan rasa aman di satu sisi kepada masyarakat yang diuntungkan dari ajeg Bali dan sebagai teror kekerasan bagi masyarakat yang mencoba kritis dan tidak diuntungkan dari Ajeg Bali ini. Jujur harus diakui bahwa jargon dan propaganda ini memang menjadi teror yang luar biasa bagi para pendatang di Bali.

Konsep “jago-jago” sebenarnya merujuk pada orang super yang kebal hukum dan mempunyai relasi dengan aparat kepolisian juga pada penguasa daerah. Jago memang berasosiasi ayam jantan dimana kejantanan, budaya patriarki, budaya kekerasan, kekuatan yang dimiliki laki-laki. Tapi, tidak hanya itu. “Jago” juga berasosiasi sebagai “orang kuat” lokal (Henk Schulte Nordholt, 2002). [13] Pada konteks ini, kontestasi orang kuat lokal yang menjadi pioner penjaga kebudayaan Bali tumbuh dan berada dalam kehidupan sehari-hari orang Bali. Kini, tidak ada lagi “perlawanan” yang begitu kuat dengan sentral atau pada sebuah musuh bersama yang disebut negara. Kini, orang-orang kuat itu lahir dalam diri individu masyarakat Bali sendiri. Akhirnya, yang terjadi memang menyebarnya “kekuasaan” pada individu orang Bali. Kini kontestasi negara sebagai pemilik sah kekerasan dan kekuasaan, beralih pada masing-masing individu masyarakat Bali yang ber-krama (berwarga) desa adat/pakraman, menjadi pecalang ataupun menjadi preman. Kini satuan pecalang di Kota Denpasar sudah memiliki mobil patroli tersendiri. Mereka menjadi “orang kuat” yang menjadi petugas keamanan toko-toko di pusat kota Denpasar. Setiap malam, satuan pecalang ini melakukan patroli menggunakan mobil dinas desa adat.

Berangkat dari kasus inilah kemudian bermunculan kelompok-kelompok Hindu fundamentalis hasil relasi ajeg Bali dan perpaduan jago-jago kebudayaan. Kelompok ini muncul difasilitasi oleh wacana pariwisata yang memberikan ruang bagi mereka untuk mengatasnakaman “kepentingan pariwisata” dengan meng-ajeg-kan Bali. Hindu fundamentalis tercipta dipelihara oleh pariwisata, dimana jargon-jargon yang dipakai adalah meng-ajeg-kan Bali untuk pariwisata dengan berkolaborasi bersama jago-jago kebudayaan lainnya. Jago-j ago kebudayaan ini mendapatkan tempat dengan ruang yang disediakan, juga keberpihakan media sponsor Ajeg Bali—media cetak dan elektronik terbesar di Bali. Tentu saja jago lainnya adalah desa adat/pakraman dengan barisan pecalang-nya adalah ujung tombak pelaksanaan Ajeg Bali. Memang sungguh kompleks, selain aparat pemerintahan, walikota dan bupati yang sudah sumpah setia meng-ajeg-kan Bali, masyarakat juga menjadi pengikut setianya. Kini dimulai lagi lomba-lomba desa dengan penilaian meng-ajeg-kan Bali dalam tri hita karana (tiga hubungan harmonis manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam). Dalam sebuah pembinaan lomba desa, ketua tim pembinaan dengan lantang berujar, “Siapa yang lagi yang diharapkan untuk meng-ajeg-kan Bali selain krama-krama (warga adat) banjar. Kita adalah ujung tombak meng-ajeg-kan Bali,“ katanya berapi-api disambut tepukan riuh krama banjar.

Memang selain hubungan itu, kelompok-kelompok masyarakat subaltern di Bali, masyarakat kecil, petani atau buruh-buruh bangunan tidak peduli dengan Ajeg Bali ini. Bagi mereka perlawanan terhadap Ajeg Bali dilakukan dengan memparodikannya, mengejeknya, bahkan mengacuhkannya. “Man gkin (sekarang) biarpun ajeg, tiang tetap tidak punya uang. Ajeg Bali bagi tiang hanya cukup makan saja,” ujar wanita setengah baya, petugas kebersihan sebuah kampus negeri di Bali.

Tapi tidak demikian dengan jago-jagonya. Kehadiran mereka sungguh kini sebuah teror dalam masyarakat Bali sendiri. Lihat misalnya aksi FPD (Forum Peduli Denpasar) yang kini menguasai Terminal Ubung atas restu dari Walikota Denpasar. Di pinggir¬pinggir jalan, satgas FPD dari pagi sampai malam bergantian mengatur angkutan antarkota dan propinsi. Jika para sopir bandel, satgas ini tidak segan untuk memukulnya. Sudah beberapa kali terjadi pemukulan oleh satgas FPD ini. Warga sekitar terminal Ubung mengeluhkan arogansi dan sikap sok berkuasa dari satgas ini. Dalam penjagaan penyepian (hari raya Nyepi) di Bali belum lama ini, pecalang desa adat dan banjar harus berbagi wewenang dengan satgas FPD yang juga berjaga di dalam terminal. Tidak itu saja, anggota FPD –yang sebagian adalah sopir-sopir dan ada juga anggota DPRD Kota Denpasar– dalam deklarasinya siap untuk membantu aparat negara (Walikota) dalam mengamankan dan meng-ajeg-kan Kota Denpasar. Bisa ditebak, yang menjadi pelindungnya adalah Walikota Denpasar. Melindungi anggotanya dan aparat negara, ditunjukkan FPD ketika melakukan penjagaan pada sidang PAW (Pergantian Antar Waktu) anggota DPRD Kota Denpasar. Saat itu, orang tua murid protes kepada DPRD Kota Denpasar, karena adanya korupsi dan KKN pada penerimaan siswa SLTP dan SLTA di Kota Denpasar. Seorang anggota dewan –bukan dari PDI Perjuangan– bermaksud untuk memfasilitasi orang tua murid untuk betemu Ketua DPRD Kota Denpasar. Anggota dewan ini memang terkenal vokal dan berani mengkritik langsung tunjuk hidung. Apa yang terjadi? Beberapa orang berbaju hitam bertuliskan FPD langsung menyerbu dan memukul anggota Dewan tersebut. Selanjutnya, aksi mereka adalah melakukan perusakan kantor partai politik asal anggota dewan tersebut. Made Sutama Minggik, Ketua FPD, menjelaskan aksi ini mereka lakukan karena ketersinggungan, anggota dewan tersebut menghina salah satu anggota DPRD Kota Denpasar yang juga anggota FPD. “Kami akan tuntut balik ia (anggota dewan yang dipukul). Hanya ini yang biasa kami lakukan untuk membela anggota kami,” katanya enteng. Sutama Minggik dan FPD adalah potret dini lahirnya jago-jago kebudayaan dalam meng-ajeg-kan Bali. Dalam sebuah wawancara satu halaman di harian terbesar di Bali, Minggik—begitu ia biasa dipanggil—adalah orang yang sudah lama malang melintang dalam perpolitikan dan juga preman di Bali. Sebelumnya ia adalah pegawai negeri, anggota DPRD partai terbesar saat orde baru dan kini dekat dengan Walikota Denpasar yang notabene adalah PDI Perjuangan. Kiprah dan pergaulan, membawanya mendirikan organisasi yang siap membantu Pemerintah Kota Denpasar dalam menangani penduduk pendatang, dan masalah kota yang mendeklarasikan dirinya menjadi Kota Budaya. Minggik dengan keras membantah organisasinya dikatakan Forum Preman Denpasar. “Organisasi ini (FPD) bukan organisasi preman, tapi organisasi sosial kepedulian masyarakat pada pembangunan di Denpasar,” katanya tegas.

Selain FPD, organisasi yang menyerupainya adalah DPM (Dewan Perwakilan Massa) di Kabupaten Karangasem. Selain Kabupaten Buleleng, Karangasem terkenal dengan politik pengerahan massa dan kasus-kasus kekerasan massa adat dan penganiayaan tidak mematuhi awig-awig (aturan secara tertulis) desa adat/pakraman. Belum lama ini, seorang warga sebuah desa terpencil di Karangasem, dihakimi massa adat sampai mati dengan mengenaskan. Penyebabnya sederhana, warga ini “lain” dari kebiasaan krama (warga) adat. Ia tidak mematuhi awig-awig, bertindak semaunya dan disepekang (dikucilkan) warga. Amarah krama adat memuncak. Rumah dibakar dan orangnya dihabisi dengan keji. Melihat kejadian ini, sungguh hancur lebur pulau tropis yang damai serta keramahan orang Bali. Luluh lantak sudah jargon-jargon ajeg Bali dan mengembalikan citra Bali. Disinilah “orang-orang kuat” lokal memainkan peran dengan aturan dan kiprahnya masing-masing. DPM juga melakukan hal yang sama. Dalam deklarasinya di Kota Karangasem, Kari Subali (Ketua DPM), anggota DPRD dari PDI Perjuangan mengerahkan ribuan massa yang memenuhi pusat kota Karangasem, Amlapura. Sedangkan dalam gedung pertemuan, hadir pejabat teras pemerintahan, intelektual, dan tentu saja politisi seluruh Bali. Ada semacam pengakuan akan kekuatan organisasi ini. Berikutnya aksi DPM adalah membawa massa puluhan truk ke Denpasar untuk menyatakan siap membantu pembangunan di Karangasem, menghakimi pejabat yang korup dan KKN. Selain mereka (FPD dan DPM), ada juga Laskar Bali dan satgas (satuan tugas) partai politik seperti PDI Perjuangan, Golkar dengan AMPG (Angkatan Muda Partai Golkar) yang menjadi pemantik konflik dan kekerasan di Bali nanti. Di utara pulau Bali juga ada Garda Buleleng. [14]

Belum sempat untuk menghela nafas dan membangun kembali citra Bali, bom kembali meledak di Kuta dan Jimbaran, Oktober 2005. Kepanikan dan bayangan akan PHK kembali terlihat di depan mata. Sementara kelompok-kelompok subaltern ini terus membayangkan bagaimana nasib mereka esok hari, kelompok elite dan kelas menengah di Bali kembali mengkonsolidasikan dirinya lewat seminar Ajeg Bali yang disponsori Bali Post. Seminar itu merangkum berbagai macam pikiran dan aksi-aksi yang dilakukan pasca Bom Bali 2005, diantaranya usaha pada setiap desa-desa adat untuk memproteksi agama, budaya dan tanah Bali dari rongrongan investor asing. Diantaranya juga memperketat penertiban penduduk pendatang yang masuk ke Bali.

Tak lama berselang muncullah aksi protes dari kelompok-kelompok organisasi pemuda Hindu, diantaranya KMHDI (Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma Indonesia) dan FPMHD (Forum Persaudaraan Mahasiswa Hindu Dharma) dan masyarakat Hindu yang menuntut eksekusi mati Amrozi. Mereka menamakan dirinya GAT (Gerakan Anti Teroris). Juga ada aksi dari kelompok-kelompok masyarakat Jimbaran, Kuta dan sangat jelas banyak dari kelompok- kelompok milisi (FPD, Laskar Bali dan lainnya) yang terlibat dalam aksi di Lembaga Pemasyarakatan Kerobokan. Bahkan aksi tersebut berkahir dengan pengerusakan pagar lembaga pemasyarakatan yang dilakukan oleh massa yang beringas dan marah.

Di lingkungan masyarakat bawah, terdapat berbagai macam bara api konflik yang lambat laun mulai menyala. Salah satunya adalah sentimen etnis terhadap pendatang yang membuka usaha dan menyambung hidup di Bali. Sebenarnya sentimen ini telah terjadi pasca Bom Bali Oktober 2002, tapi kembali terulang pasca Bom Bali Oktober 2005. Razia, sweeping masing terjadi, tapi kini telah menyebar dalam perebutan akses sosial ekonomi politik yang melibatkan pertarungan orang Bali dan luar Bali.

Krama (warga) Bali mulai mengkonsolidasikan dirinya, dan menghimpun diri dalam KKB (Koperasi Krama Bali) yang difasilitasi Group Bali Post. Bahkan hasil-hasil binaan KKB ini, seperti Bakso Krama Bali, Soto Krama Bali dimuat rutin dalam harian Bali Post. Basis ekonomi dalam koperasi inilah yang dianggap sebagai pemersatu kekuatan warga Hindu Bali untuk bisa bersaing dengan para pendatang. Istilah Pedanda Made Gunung dalam dharma wacananya (ceramahnya) di Bali TV, “Orang luar jual sate untuk beli tanah di Bali, sedangkan orang Bali jual tanah untuk beli sate”.

Budaya teroris telah masuk dalam urat nadi kebudayaan Bali. Hal ini didukung dengan semakin menguatnya wacana Ajeg Bali yang dipahami sebagai alat pemersatu untuk kembali menguatkan persatuan masyarakat Hindu Bali yang telah hancur lebur akibat ulah teroris. Masyarakat Bali mulai menguatkan dirinya dalam ekonomi (Lembaga Perkreditan Desa dan kini Koperasi Krama Bali), dan tentu saja proteksi “budaya” mereka dalam adat dan ritual yang terus berjalan. Siasat mereka adalah melakukan penertiban penduduk pendatang yang dijadikan komoditas untuk menambal keperluan materi untuk membiayai segala ritual.

Dalam konteks inilah Ajeg Bali, keotentikan, keaslian, dan identitas tercipta lewat jejaring agency-agency manusia Bali yang memproduksi itu tidak lebih untuk kepentingan ekonomi politik. Lihatlah manusia Bali seperti ABG Satria Naradha, sebuah agen manusia Bali yang menyerukan gerakan Ajeg Bali lewat tangan ekonomi politiknya bernama Bali Post. Ia bisa memainkan dengan cerdik wacana menjaga keotentikan budaya Bali yang adiluhung dan dikemas dalam sebuah jaringan kerajaan media Bali Post.

Belum lagi bagaimana wacana teroris, penduduk asli dan pendatang tidak bisa dilepaskan dari bagaimana ia direbut menjadi sebuah wacana oleh agency-agency rezim kekuasaan, oleh para manusia Bali sendiri. Wacana teroris menyentuh pada lapisan masyarakat kecil di Bali, begitu juga sentimen pada penduduk pendatang. Tapi jangan kira kelompok-kelompok masyarakat subaltern ini menerima begitu saja wacana teroris dan anti penduduk pendatang ini. Mereka punya gugatan sesuai dengan cara mereka. Apa yang didegungkan lewat Ajeg Bali oleh Bali Post dan kelompok kelas menengah tidak akan diterima begitu saja oleh kelompok subaltern. Mereka akan melawannya dengan gaya mereka, memparodikannya, mengacuhkannya atau bahkan menterjemahkannya dalam bentuk-bentuk yang rumit dalam kontestasi kehidupan mereka. Mereka diam tapi sebenarnya ada perlawanan dan gugatan yang mereka lakukan. Suara subaltern inilah yang saya coba untuk telisik lebih jauh. [15]

Kelompok-kelompok subaltern itu adalah masyarakat Bali sendiri yang menjadi korban dari keangkuhan wacana Ajeg Bali. Korban-korban kekerasan adat di Bali, yang harus menerima rumahnya dibakar karena tidak ikut dalam rezim kebenaran bernama “Adat”. Para korban kekerasan politik, mulai dari pembantaian massal 1965-1966 yang banyak merenggut nyawa manusia Bali, sampai dengan kekerasan menjelang Pemilu yang hampir tidak pernah absen terjadi di Bali. Bagaimana mereka melihat kebudayaan Bali yang harus dikokohkan melalui Ajeg Bali? Sementara mereka telah menjadi korban dari kebudayaan Bali itu.

Dari “Moii Bali” ke “Mendobrak Hegemoni”
(Jejak Panjang Politik Seni (Rupa) di Bali)
“Dalam abad ini berkembang dua golongan seni lukis baru di Indonesia. Yang pertama berkembang di Bali sejak tahun-tahun tiga puluhan. Seni lukis ini memperlihatkan beberapa sifat baru yang membedakannya dari seni lukis Bali lama, namun pada umumnya tetap memperlihatkan hubungan yang j elas dengan kesenian dan kebudayaan di Bali. Karena itu ada dasarnya jika orang tetap menamakannya “seni lukis Bali”. [16]

Pernyataan kritikus seni rupa, (alm) Senento Yuliman menyiratkan bahwa seni lukis dan visual di Bali mendapatkan tempat sendiri dalam perjalanan seni visual di Indonesia. Ini disebabkan karena pengaruh kebudayaan dan ritual agama Hindu Bali menjadi cikal bakal terbentuknya apa yang disebut Sanento sebagai seni lukis Bali lama. Seni lukis Bali lama mendasarkan dirinya pada sebuah ritus bernama yadnya, persembahan kepada Ida Sanghyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Masa Esa dalam bentuk perlengkapan upacara seperti kain umbul-umbul yang bergambar tokoh cerita pewayangan Ramayana atau Mahabharata yang disakralkan. Juga lukisan-lukisan pewayangan di atas kanvas. Si seniman sebagai kreatornyapun tidak terlacak secara jelas, karena dalam pengerjaan berlangsung secara kolektif. Maka dari itu, banyak karya-karya seni lukis Bali lama yang anonim.

Jejak-jejak peninggalan seni lukis Bali lama ini kadang terdapat dalam peninggalan-peninggalan ritual agama Hindu Bali. Banyak karya-karya seni lukis berhubungan dengan teologi dan filsafat dari agama Hindu. Hampir semua karya memiliki fungsi religius, dan agama turut menentukan baik tempat, wujud, maupun penggunaan karya yang bersangkutan. [17] Semua karya-karya tersebut dipersembahkan untuk ritual di pura-pura atas permintaan dari kaum bangsawan/raja-raja di Bali. Semua proses pembuatan karya seni itu disertai dengan ritual pasupati, ritual mensakralan karya itu, untuk persembahan kepada para dewa-dewi yang berada di pura-pura. Periode ini berlangsung sejak perkembangan ajaran Hindu-Budha di Bali dan masuknya invasi Majapahit dari Pulau Jawa ke Bali tahun 1343, yang kemudian melahirkan kerajaan¬kerajaan Hindu dengan tatanan agama dan ritual yang kental.

Landasan tatanan ritual, agama, sosial politik yang membentuk dunia seni dan kebudayaan Bali pra kolonial mulai mengalami perubahan mendasar. Masuknya invasi Belanda di Bali utara 1845-1848 dan di Bali selatan 1906-1908 merubah cepat Bali. Perlahan tapi pasti tatanan kehidupan masyarakat Bali berubah seiring kolonisasi yang dilakukan Belanda. Puri dan kerajaan-kerajaan lokal diintegrasikan ke dalam administrasi kolonial. Kehidupan ekonomi masyarakat Bali disatukan dan dibawah kendali pemerintah kolonial Belanda. Begitu juga dengan keseniannya. Mulai ada perubahan tematik dari seni sebagai persembahan ritual menjadi terintegrasi dengan konteks kekuasaan kolonial ketika itu.

Di Bali selatan, Jean Cotteau mencatat dominasi asing dan komodifikasi kesenian berlangsung secara tiba-tiba. Pada waktu puputan, perang sampai titik darah penghabisan, Badung dan Klungkung (1906-1908), kapitalisme sudah menerjang budaya lokal. Kesenian dari negeri jajahan sudah sejak beberapa waktu merupakan komoditas dambaan museum-museum etnografis kolonial dan kaum borjuis Belanda. Oleh karena itu, begitu Bali ditaklukkan, budayanya langsung dikonsumsi. Pertama-tama oleh tuan kolonial, lalu oleh pengusaha pariwisata. Ironisnya pengkonsumsian budaya itu disertai upaya dan ideology konservasi: atas nama Balisering, yaitu pem-Bali-an dari Bali, Belanda berupaya memfungsionalisasikan tradisi Bali dalam kancah politik, ekonomi dan cultural system kapitalisme kolonialnya. Semakin Bali di-Bali-kan, semakin siap dikonsumsi. [18]

Maka dimulailah konstruksi citra Bali, dan kepentingan ekonomi politik kolonial masuk dalam rekayasa membangun image Bali. Salah satunya adalah pesanan dari jaringan rezim kolonial atas karya-karya seni Bali yang dianggap eksotik, asli dari dunia timur yang “asing”, “mistis” dan sorga bagi warga dunia di barat. Pandangan orientalis ini menjadi pondasi berubahnya citra terhadap Bali. Landasan sosial religius seni lukis Bali lama tergerus dengan pesanan karya-karya yang mereproduksi eksotika Bali dalam lukisan pewayangan dan citra akan dunia pewayangan dan “mistik” seperti bayangan para pelancong dan rezim kolonial.

Menginjak tahun 1920-1930 mulailah intervensi seniman barat ke Bali, yang kemudian memepengaruhi perkembangan seni lukis di Bali. Walter Spies, seniman serba bisa, pelukis, koreografer, penari, dan juga fotografer asal Jerman datang ke Bali tahun 1927. Tahun 1929 menyusul datang Rudolf Bonnet, seniman akademik asal Belanda dan Arie Smith 1956. [19] Dua yang disebut pertama berkongsi dengan Raja Ubud Tjokorde Gde Raka Sukawati (almarhum putra Ubud yang dilahirkan di Ubud tahun 1910) bersama dengan I Gusti Nyoman Lempad mendirikan organisasi yang disebut dengan Pita Maha tahun 1936. [20] Perkumpulan seniman ketika itu diadakan di rumah Spies di Tjampuhan, Ubud dan bertemu setiap minggu. Pertemuan Pita Maha langsung dipimpin Tjokorde Gde Raka Sukawati, Walter Spies, dan Rudolf Bonnet. Perkumpulan ini mengadakan pameran-pameran di dalam dan di luar negeri yang memungkinkan seni lukis Bali menjadi dikenal dan diakui dunia internasional. Dari kegiatan pameran keliling dunia inilah yang kemudian merangsang dan memunculkan pengaruh kuat pada seniman muda Bali dan bagi perkembangan seni lukis modern di Bali.

Kongsi dagang untuk promosi seni lukis Bali ini terbentuk beriringan dengan penyeberan promosi pariwisata Bali melalui brosur-brosur turis untuk berwisata ke pulau tropis di Asia bernama Bali. Terbentuknya organisasi dan kongsi ini adalah bukti pengaruh luar (Barat) yang luar biasa pada Bali. Pelukis-pelukis Barat yang datang ke Bali secara tidak sadar memberi pengaruh paling dasar dalam perubahan tematik, cara sampai paradigma seni rupa di Bali. Sebelumnya tema-tema lukisan di Bali tidak jauh dari corak tradisi-religius wayang lukis dari epos-epos Mahabharata dan Ramayana. Pada periode ini, Spies dan Bonnet memberikan ide-ide baru dan contoh-contoh baru dalam tema dan teknik melukis pada pelukis Bali. Maka pelukis Bali pun terpengaruh, terutama dari motif yang diangkat dari kehidupan sehari-hari dan lingkungannya.

Seniman yang bergabung dalam Pita Maha tercatat 125 orang. Diantaranya adalah A.A Gde Sobrat (Desa Padangtegal), I Gusti Ketut Kobot (Desa Pengosekan), I Ketut Roja (Desa Mas), I Gusti Made Debelog (Denpasar), I Riok (Desa Celuk). Pelukis Bali ketika bertemu dengan Spies banyak yang memunculkan karya corak baru. Motif yang diangkat dari lingkungan hidup sehari-hari.

Gaya Ubud adalah kelanjutan dari proses kerja dan pengaruh Pita Maha. Pelukis Bali dengan gaya ubud mampu melukiskan pada taferil yang satu. Misalkan peristiwa seorang petani pergi ke sawah, persitiwa di jalan, mengerjakan sawah atau menuai padi, membawa pulang dan menjemurnya di halaman umumnya. Ini semua dilukiskan dengan bercerita dalam satu bidang kanvas. Dalam gaya lukis tradisional, gaya ubud sekarang merupakan komoditi terbesar dalam seni lukis Bali dan memperlihatkan kecenderungan untuk berkembang dalam karangka tradisional. Gaya lukisan ini juga berhubungan dengan kehidupan sehari-hari orang Bali sebagai ide pengambilan temanya. Tokoh-tokoh kunci dari pengusung gaya ubud ini diantaranya Ida Bagus Made, Anak Agung Gde Sobrat dan I Gusti Ketut Kobot. Mereka inilah pelukis elite dari lukis gaya Ubud. Ini karena pengaruhnya amat besar terhadap karya dan pandangan filosofis generasi yang lebih muda. Pelukis muda yang muncul menggantikan Ida Bagus Made dkk. diantaranya Ketut Nama, Wayan Djuljul, Ketut Sepi, Made Subalon, Ketut Brata dan Made Parsita. [21]

Aliran lukisan Gaya Batuan berasal dari tradisi cerita wayang dan tarian. Tapi aliran ini jelas berbeda dengan gaya Kamasan yang juga memiliki dasar yang sama. Dr. AA Djelantik, penulis seni senior di Bali pernah mengatakan pertumbuhan seni lukis Bali memperhatikan perbedaan-perbedaan gaya Batuan dan Kamasan dalam istilah “lebih berbentuk human” dan dalam objek pemandangan lebih dalam dan perspestif. Djelantik mengatakan pilihan aneka warna yang digunakan lebih gelap dan dengan bayangan yang dalam, merefleksikan lukisan bersuasana malam, mengingatkan tarian atau drama Gambuh yang dipertunjukkan malam hari. [22]

Sesungguhnya Desa Batuan telah lama dikenal sebagai pusat seni tari dan drama. Hingga kini banyak pelukis yang masih aktif di desa tersebut. Selain melukis, mereka juga memainkan musik, menari dan ikut dalam pementasan drama klasik yang disebut gambuh. Tahun 1960-an, lukisan gaya Batuan dapat dibedakandalam tiga genre. Pertama, keturunan keluarga almarhum Ida bagus Togog yang menurut tradisi mewarisi ketrampilan sebagai perajin, melukiskan cerita-cerita Ramayana dan Mahabharata atau subjek mitologi. Genre kedua, adalah peran Made Djata yang suka menciptakan karya berformat besar. Djata ikut menggambarkan mitologi dan cerita wayang ditambah dengan kekayaan imajinasi dan fantasi-fantasinya sendiri. Genre ketiga adalah dari lukisan lukisan berbumbu humor, jenaka yang merupakan reaksi balik tentang kehidupan modern, terutama industri pariwisata yang menggilas Bali dari berbagai aspeknya. [23]

Kelompok lainnya adalah Young Artist. Kelompok dan aliran ini bermula dengan munculnya pelukis Arie Smith. Arie punya pengaruh dan pengikut untuk memunculkan gaya khusus sewaktu mengasuh anak-anak untuk melukis di Desa Panestanan, Ubud. Tahun 1990-an murid yang belajar melukis pada Arie Smith sudah berjumlah ratusan orang yang kemudian menghasilkan gaya Young Artist. Gaya ini umumnya berani menggunakan warna primer seperti kuning, biru, merah, serta campurannya. Serta dengan goresan-goresan garis yang tebal. Motif-motif lukisan gaya ini sama dengan pelukis Ubud dan Batuan. Banyak mengangkat motif kehidupan sehari-hari. Seperti petani mengembala kerbau di sawah, pengembala itik, suasana saat upacara agama, situasi rumah tangga. Dengan tema ini jelas berbeda dengan gaya tradisional Kamasan yang melukis cerita Ramayana dan Mahabharata.

Dengan tumbuhnya anak didik Arie Smith menjadi dewasa, corak lukisan Young Artist mengalami perubahan. Warna primer meredup dan tidak mencolok, goresan menjadi kurang tebal, tapi semua masih menunjukkan spontanitas. Pentolan young artist ini diantaranya Nyoman Cakra, I Ketut Soki, Ketut Punduh, Wayan Pagur, I Nyoman Londo, I Made Norif, I Nyoman Gerebig dan I Wayan Kembang. [24] Kelompok-kelompok pelukis lainnya sebenarnya masih banyak tersebar di Bali. Di antaranya adalah kelompok lukisan Wayang Kerambitan, lukis kaca Nagasepaha di Buleleng, HPS (Himpunan Pelukis Sanur) di Denpasar.

Berikutnya adalah masa gelap seni rupa Bali. Generasi yang “hilang” dan “tahun yang lenyap” dalam jejak panjang wacana seni rupa Bali. Tahun dan generasi itu adalah “generasi seniman politik” tahun 1960-an. Ketagangan politik juga berimbas dalam bidang seni yaitu persaingan antara Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) dan LKN (Lembaga Kebudayaan Nasional). Ketegangan bukan hanya terjadi dalam seni rupa, tapi juga dalam kesenian-kesenian lainnya seperti tari dan gamelan. Yang paling terkenal adalah persaingan dua partai politik besar pada zamannya ini di tarian Janger (tarian kegembiraan anak muda). Dari tarian janger ini biasanya diselipkan kampanye-kampanye politik kedua partai. Dalam seni rupa, barisan seniman Lekra membuat baliho-baliho dukungan politik dan membuat famlet-famlet mendukung gerakan PKI, demikian juga yang dilakukan oleh seniman dari LKN. Begitu juga yang terjadi di bidang sastra, pewayangan dan sudah pasti tari. Semuanya telah menjadi politik. Seni menjadi bagian dari politik sebagai panglima saat itu. [25]

Generasi seniman tahun 1960-an tertumpas habis dalam pembasmian orang yang dituduh anggota dan simpatisan PKI dan ormas-ormasnya yang terjadi di Bali 1965-1966. Termasuk di dalamnya adalah anggota Lekra. Jejak sejarah perkembangan seni di Bali, terputus saat memasuki tahun gelap 1965. Catatan sejarah mentabukan bagaimana kiprah Lekra dan ketegangannya dengan LKN berlangsung. Juga bagaimana cikal bakal dari seni tari, tabuh dan pertunjukan yang menjadi medium penting dalam perjuangan partai politik.

Jean Cotteau hanya menyinggung sedikit, bahwa sumbangan seniman realis yang paling peka terhadap masalah sosial “hilang” setelah Gestapu. Mereka adalah seniman¬seniman dari luar Bali penganut aliran realis (PERSAGI) yang sebagian anggotanya berafiliasi ke Lekra. Mereka mendirikan studio dan sanggar-sanggar di Ubud dan Denpasar dari tahun 1950-1970-an. [26] Meletusnya peristiwa G30S dan pembantaian massal terhadap anggota dan simpatisan PKI dan organiasi pendukungnya membuat banyak seniman Lekra “hilang” di Bali.

Raka Suasta, salah seorang mantan anggota Lekra Bali, mengungkapkan saat berkiprah di Lekra, slogan yang selalu diingatnya adalah seniman harus membela rakyat. Sedang bentuk visual yang digunakannya adalah bahasa realisme sosialis. Ia menyatakan hubungan Lekra dan PKI tidak ada garis organisasi afiliasi. Tetapi banyak anggota Lekra yang ikut partai, dan kebetulan partainya adalah PKI, sehingga kesan Lekra menjadi organisasi afiliasi PKI menjadi kental. Raka Suasta diciduk oleh tentara dan diangkut truk pada malam hari 26 Desember 1965. “Dinaikkan di atas mobil truk dibawa berkeliling untuk mengambil orang lagi di tempat lainnya. Saya sudah pasrah, di manapun akan dibunuh ya sudahlah,” tutur Raka Suasta yang berada di balik jeruji besi hingga 1968. [27]

Semua cerita itu terhapus oleh politik stabilitas orde baru yang menempatkan seni kini menjadi bagian dari industri pariwisata. Politik pembangunan menyusupkan bagaimana kebudayaan Bali dengan identitas khasnya, dengan spirit Bali, menjadi komoditas. Sementara itu, pariwisata dan pembangunan mendukung kesenian yang bersedia menjadi bagian dari politik kebudayaan Bali saat itu, kuasa, modal (pembangunan) dan pariwisata. Akhirnya, selepas ketegangan dan pembasmian gerakan kiri itu, muncullah kelompok seniman muda Bali yang merantau ke Yogyakarta untuk menimba ilmu. Nama kelompok itu adalah SDI (Sanggar Dewata Indonesia) yang kemudian mewarnai perkembangan seni rupa Bali.

SDI, dalam konteks Yogya dan Bali adalah sebuah paguyuban, dalam mereka sekaa bebanjaran (perkumpulan komunitas adat di Bali). Lahir tahun 1970-an, SDI kemudian terkenal dengan deklarasinya menggunakan spirit religiusitas dan mistis Bali melalui symbol-simbol kultural dan agama yang ada. Sebuah paguyuban [28] bersemangat primordialisme, yang dari perantauan (di Yogya) mendapatkan pensahan untuk membentuk sentimen dan pengentalan etnis kedaerahan. Romantisasi karena tinggal jauh dari Bali menempatkan kelompok ini seakan menjadi wakil dan representasi paling sahih dari seni rupa Bali di nasional dan internasional. Dan itu dibuktikan dengan serangkaian pameran-pamerannya yang sukses.

Dimulai dari Nyoman Gunarsa dengan figuratif Legongnya (tari tradisi di Bali), cipratan cat-cat menyala ekspresif dan figur penari Legong Bali. Lalu Wayan Sika dengan abstrak ekspresionis “ke-Bali-an” dengan memajang ikon poleng (kain hitam putih) simbol dualisme, kontradiksi baik buruk dan lainnya dalam lukisannya. Juga Nyoman Erawan yang hampir senada dengan Sika, dengan letupan menggunakan ikon-ikon tradisi Bali dalam setiap karyanya. Karya-karya Erawan sering dianggap sebagai avant garde tradisi karena keberanian mengeksplorasi tradisi Bali dalam lukisan abstrak ekspresionis. Ia juga mengambil seni intalasi dan perfomance art dalam karyanya. Dan sederet seniman yang lahir dari kelompok SDI seperti Made Djirna, Putu Sutawijaya, Made Wiradhana, Made Sumadiyasa, Made Budhiana, Nyoman Nuarta, Nyoman Masriadi dan yang lainnya.

Jean Cotteau banyak mengulas sebagian besar karya-karya dari seniman anggota SDI ini. [29] Tapi saya tidak tertarik untuk membicarakan bagaimana karya mereka—seperti yang dilakukan Jean Cotteau—tapi lebih melihat SDI sebagai sebuah organisasi telah menciptakan sebuah rezim kekuasaan dalam relasi kuasa seni rupa di Bali. Pasca “hilangnya” sejarah seni rupa Bali, seniman-seniman yang tergabung dalam SDI menguasai dua poros Yogyakarta-Bali. Disadari atau tidak, SDI telah membentuk gurita kekuasaan yang menyebar dalam relasinya dengan wacana, lingkaran dan bangunan infrastruktur seni visual, dan nilai yang diwtawarkannnya. Jaring-jaring kuasa yang beroperasi inilah yang menjadi dasar bangunan SDI sebagai lembaga maupun anggotanya sebagai individu, berkembang kuat menjadi kelompok seniman yang mewarnai perkembangan seni visual di Bali.

Dari segi wacana, SDI mampu memenuhi hasrat dari wacana keotentikan, keaslian dan sentuhan “spirit Bali” yang selalu diusung oleh seniman SDI. Wacana ini bertemu dengan semakin terkonsolidasikannya rezim wacana “pariwisata budaya” yang mencoba mengangkat kesenian yang berspirit Bali menjadi salah satu produk dari sebuah relasi besar, yang melibatkan seluruh politik seni dan kebudayaan di Bali: wacana “pariwisata budaya” tahun 1980-1990-an. Seni bertemu dengan sebuah rezim kekuasaan bernama orde baru dan menciptakan sebuah relasi yang apik bagaimana seni dan kebudayaan menjadi sebuah wacana dan produk dibawah ideologi pariwisata.

Relasi seni dan kekuasaan diwujudkan oleh agency-agency para pemilik modal yang mendirikan museum dan gallery atau artshop-artshop di kawasan Kuta, Sanur, Ubud, dan Klungkung. Hadirnya Musuem Puri Lukisan, Neka, Rudana, Gunarsa berbarengan dengan mulai tertatanya secara solid infrasturktur pariwisata di Bali saat rezim orde baru. Maka konsekuensi dari semua itu adalah tarik-menariknya seni dan kebudayaan (kekuasaan) serta industri yang terus-menerus direproduksi oleh negara yang sangat kuat ketika itu. Maka seni dan kebudayaan tanpa sadar menempel menjadi salah satu prasayarat berjalannya “pariwisata yang berbudaya”. Lukisan “moii Bali”, seperti ditawarkan seniman-seniman SDI laku keras sebagai cinderamata untuk melihat keeksotikan Bali dan juga mereproduksi identitas keBalian dalam sebuah spirit yang sering dianggap mempunyai kekuatan inner power yang dalam kepercayaan Hindu Bali disebut taksu.

Maka muncullah sebuah event seni rupa Mendobrak Hegemoni yang dilakukan Kamasra (Keluarga Mahasiswa Seni Rupa) STSI/ISI Denpasar, 23-25 Februari 2001 di Lapangan Puputan Badung, di pusat kota Denpasar. Acaranya sebenarnya biasa, perfomance art, pameran lukisan dan melukis bersama oleh semua mahasiswa seni rupa STSI/ISI Denpasar. Yang tidak biasa adalah tema dan lukisan-lukisan yang dipamerkan. Hampir sebagaian besar karya bertema “menghujat” dan “menyerang” kelompok¬kelompok yang dianggap hegemonik, yang tidak lain adalah sebagaian besar seniman SDI, para pemilik museum dan gallery yang menjadi institusi yang berkuasa untuk menentukan dan menciptakan wacana, didukung oleh para kurator dan penulis seni yang bisa dibeli untuk terus mengokohkan kekuasaan kelompok hegemonic SDI dan relasi¬relasinya. Mereka didukung oleh modal yang kuat dan bisa membeli media massa sebagai sarana promosi mereka. Mendobrak Hegemoni menyerang Nyoman Erawan, Nyoman Gunarsa, Made Wianta, Putu Wirata Dwikora sebagai penulis seni rupa, Bali Post sebagai media yang menjadi corong SDI dan lingkaran museum, gallery, penghargaan, kolektor (kolekdol) yang menciptakan relasi yang hegemonik. [30]

Rekasinya mengejutkan. Pasca gerakan Mendobrak Hegemoni, bukan hanya lembaga yang menekan, lingkungan mahasiswa di STSI juga “memusuhi” anak muda yang dituduh frustrasi ini. Lambat laun ternyata kelompok ini menyebar benihnya. Pertama di kampus tercatat sapihan mereka kembali beraksi dengan pamflet-pamflet dari Maret—Mei 2001. Tercatat pamflet seni aksi, buletin SUAKA (Solidaritas Untuk Aksi Kamasra), Membongkar Sejarah Seni Rupa Bali, Seni Kritik dan Penyadaran, Kiri Sampai Mati, Sikat Gigi Erawan Harus Disikat. Pamflet ini selain disebar dan ditempel di kampus juga disebar saat aksi dipublik. Terutama saat Sikat Gigi Erawan di pentaskan di Puputan Badung. [31]

Saat yang paling menegangkan tentunya saat pameran Pesta Kapitalisme Bali Juni 2001 sebagai kritik dari PKB (Pesta Kesenian Bali) yang membosankan itu. Sebelum pameran, terjadi pemanggilan mahasiswa, teror, perusakan karya-karya oleh lembaga STSI Denpasar melalui Satpam, pengusiran mahasiswa sampai adanya jam malam 20.00 WITA di kampus. Rangkaian teror terbukti dengan main ancamnya staf dosen STSI Denpasar yang mengadukan mahasiswa pada polisi. Akhirnya, 16 Juni 2001 dibuka pameran kontra PKB di halaman depan museum Lattha Mahosadhi disertai penyebaran pamflet “Pemerintah Kolonial Bali”. [32] Saat inilah terjadi pembongkaran paksa pemeran oleh lembaga STSI Denpasar yang langsung dipimpin Ketuanya, Prof. Wayan Dibia beserta Pembantu Ketua STSI menganggap pameran kontra PKB sebagai bentuk pembangkangan mahasiswa terhadap lembaga STSI, juga pameran ini tidak sesuai dengan ijin dan prosedur. Pameran kontra PKI ini dilanjutkan di depan kampus Universitas Udayana Sudirman, depan kampus Fakultas Sastra di Jalan Pulau Nias dan berakhir 24 Juni 2001. [33]

Berikutnya, mulailah tradisi diskusi dan refleksi aksi kesenian dalam lingkungan komunitas seni pasca gerakan Mendobrak Hegemoni. Sedikit demi sedikit jumlah mahasiswa yang terkumpul tambah banyak dan diwadahi dalam diskusi seni rupa setiap senin dan kamis di sebuah rumah kos seorang kawan.

Komunitas Pojok dan Klinik Seni Taxu memulainya di tahun 2001. Gerakan seni alternative sebagai kelanjutan dari gerakan Mendobrak Hegemoni ini sebenarnya berawal dari kegelisahan. Rasanya tidak berlebihan jika menyebut sejarah Mendobrak Hegemoni Kamasra STSI Denpasar sebagai awal dan kelompok-kelompok perupa muda di kampus ini yang belum mendapat ruang seide dengan mereka. Kedua kelompok ini bertemu dan merefleksikan kegiatan mereka selama berkesenian.

Dari diskusi dan kumpul beberapa kali terwujudlah ide untuk melembagakan gerakan kesenian baru ini menjadi komunitas seni, sebuah klinik seni pada September 2001. Namanya pun disepakti Taxu, plesetan dari kata-kata taksu yang jamak digunakan di Bali untuk menjelaskan keangkeran, kemistisan kesenian dan upacara agama di Bali. Kelahirannya pun bertitik tolak untuk melakukan kritik dan desakralisasi dan menghancurkan mitos-mitos kesenian dan kebudayaan Bali. Tidak hanya melakukan diskusi, terbitlah pertama kali buletin seni rupa Kitsch [34] yang mewadahi pemikiran alternatif tentang seni rupa dari anggota Taxu dan juga peminat seni rupa lainnya. Untuk pertama kali edisinya mengangkat “Kebohongan Pengider Bhuana” sebagai kritik pameran bersama Pen gider Bhuana dosen STSI Denpasar di Museum Rudana, Agustus 2002.

Klinik Seni Taxu terus berkembang. Mereka atas biaya urunan dari 12 anggotanya mendirikan Klinik Seni Taxu Art Space sebagai initiative art space dari sebuah kelompok alternative art space di Bali. Perlahan tapi pasti Taxu mulai melakukan pameran ke luar Bali seperti Yogyakarta dan Jakarta sambil secara kontinyu setiap tiga bulan sekali menerbitkan Kitsch, Visual Art Bulletin. Anggota-anggotanya tersebar untuk melakukan pameran-pameran dengan menwarkan ide/gagasan yang baru dengan tampilan visual yang kuat.

Komunitas Pojok berdiri awal tahun 2001, medahului Klinik Seni Taxu. Anggotanya terdiri dari mahasiswa STSI, kini ISI Denpasar. Nama Pojok mereka ambil dari tempat studio mereka di kawasan pojok kampus ISI Denpasar. Disamping karena studio yang letakknya di pojok, posisi mereka dalam pergaulan di kampus ISI juga terpojok Pameran mereka pertama, “Tentang Manusia”, sebagai wujud berdirinya Komunitas Pojok berlangsung di ruang pameran Gedung Kriya Art Centre Denpasar tahun 2001. Komunitas Pojok dengan 6 anggotanya lebih intens menggarap seni-seni sosial di ruang-ruang publik seperti mural dan perfomance art.

Hingga kini, kedua kelompok alternative itulah yang berada di tengah-tengah konsolidasi dan jerat-jerat kekuasaan kelompok hegemonik yang mereka kritik sebelumnya. Usaha membangun sendiri ruang seni dan wacana sempat dilakukan Klinik Seni Taxu dengan membuka art space dan memicu perkembangan kelompok-kelompok alternative dari anak-anak muda Bali. Juga pernah dilakukan Komunitas Pojok dengan menghadirkan serta mendekatkan seni pada masyarakatnya, dengan melakukan proyek mural kota dan serangkaian pameran di ruang-ruang publik, tidak hanya sebatas di museum dan gallery. [35]

Tapi konsolidasi bagian kelompok hegemonik yang mereka kritik sebelumnya ternyata melahirkan sebuah event monumental bernama Bali Bienalle 2005. Lalu dimana posisi kelompok alternative semacam Klinik Seni Taxu dan Komunitas Pojok? Apa mereka telah luluh atau tetap menjaga tensi ketegangan dan perlawanan? Apakah mereka mau terlibat dalam sebuah proyek konstruksi kesenian dan kebudayaan Bali yang tetap saja diproduksi oleh institusi dan jaringan relasi kuasa kelompok-kelompok yang dikritik oleh Mendobrak Hegemoni?

AAGN Ari Dwipayana, dosen Fisipol UGM mengungangkapkan pendapatnya tentang Bali Bienalle 2005 yang disandingkannya dengan gerakan kebudayaan yang sedang hangat-hangatnya di Bali, gerakan Ajeg Bali, usaha mempertahankan, mengokohkan, menguatkan kebudayaan Bali.

“…Kampanye Ajeg Bali dan sikap terbuka Bali Biennale mengandung sejumlah kedekatan; Pertama, keduanya ingin membangun proyek ekonomi-politik baru atas budaya Bali. Jika kita mengikuti logika studi yang dilakukan, baik oleh Adrian Vickers (1998) maupun Picard (1997) yang menggabarkan bagaimana pemerintah kolonial Belanda mendefinisikan kembali citra kebudayaan Bali, maka melalui Ajeg Bali dan ajang Bali Biennale kita bisa menyaksikan keterlibatan aktor-aktor baru, setidaknya terlihat dari peran Satria Naradha dari Bali Post maupun posisi para pemilik Galery besar dalam mendefinisikan perjalanan seni rupa Bali. Titik persamaan yang kedua adalah kedua proyek perumusan identitas budaya Bali itu cenderung mempunyai cara pandang yang romatik dalam melihat budaya Bali. Kalau dikaji lebih dalam, asumsi dasar yang digunakan kedua wacana itu adalah sama yakni: citra Bali yang harmonis, Bali yang damai, Bali yang dialogis, dan Bali yang menghormati perbedaan dan keragaman. Dengan demikian, kedua wacana itu sesungguhnya sama-sama ingin membangun kembali citra populer Bali sebagai pulau surga. Dalam representasi Bali sebagai Pulau Surga; segala sesuatunya berjalan dengan damai seperti kehidupan di “nirwana” dan tidak pernah ada masalah yang serius dalam budaya dan masyarakat Bali, termasuk ketika harus berinteraksi dengan perbedaan dan keragaman. Bahkan, Bali Beinnale mulai dengan keyakinan bahwa kebudayaan Bali adalah produk dialog damai. Tentu, akan muncul serangkaian pertanyaan atas asumsi dasar itu : apakah memang tidak pernah ada masalah dalam budaya Bali dalam menyikapi perbedaan? Apakah memang benar budaya Bali merupakan hasil dari serangkaian dialog damai? Apakah benar perjalanan budaya Bali berjalan begitu linear, tanpa konflik dan kekerasan? Apakah benar kebudayaan Bali dibangun dengan semangat keterbukaan dan menghormati perbedaan? Bagaimana menjelaskan konflik dan kekerasan yang muncul dalam sejarah Bali? Bagaimana menjelaskan pergulatan seniman-seniman politik di era tahun 1960-an? Bagaimana menjelaskan tindak kekerasan yang terjadi di Bali saat ini dalam merespon perbedaan?...” [36]

Jadi jelaslah, kehadiran Bali Bienalle 2005 beriringan berjalan untuk mengkonstruksi kembali politik kebudayaan dan kesenian di Bali. Representasi atas Bali kembali dibangun dalam sebuah project bertemunya jaring-jaring kekuasaan lama yang dikritik dan dibongkar oleh gerakan Mendobrak Hegemoni. Kehadiran Bali Bienalle 2005 juga bertepatan dengan gemuruhnya kampanye bagaimana menjaga identitas dan kebanggaan pada Bali dengan budayanya yang “kuat dan kokoh” menerima pengaruh budaya luar. Kampanye Ajeg Bali menjadi sebuah rezim baru untuk mencipta, menafsir dan merepresentasikan kebudayaan dan khususnya seni visual di Bali. Rezim kekuasaan kadang tidak beroperasi jauh dalam bayangan kita pada kekuasaan otoritas gallery, pemilik museum, politik media massa, dan licik dan rayuan kapital, tapi pada sentimen identitas dan penguatan budaya, sebuah konsep fluid dimana operasi kekuasaan melalui agency-agency para pemain seni visual mementaskan pertarungan mereka.
__________
I Ngurah Suryawan adalah Penulis buku, serperti Bali, Narasi dalam Kuasa (Politik dan Kekerasan di Bali), Ombak, 2005, Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), Elsam dan Buku Baik, 2005 dan Sandyakalaning Tanah Dewata (Suara Perlawanan dan Pelenyapan), Kepel Press, 2005.
Sumber: www.utas.edu.au
Sumber Foto: www.strangerinparadise.com

________________________________________
[1] Catatan awal yang belum lengkap tentang fenomena seni dan politik kebudayaan Bali. Beberapa bagiannya, terutama dalam bagian munculnya gerakan masyarakat Bali pasca Bom Bali II belum secara lengkap dituliskan. Studi ini masih berjalan tentang rekasi masyarakat Bali.

[2] Degung Santikarma, Bali Sebuah Dekonstruksi, Nusa Tengagara, 22 Oktober 1994.

[3] Krama Tamiu adalah istilah dan konsep dalam kebudayaan Bali untuk menjelaskan masyarakat di luar masyarakat asli Bali. Konsep masyarakat asli dan pendatang telah lama ada dalam pikiran masyarakat Bali. Dalam komunitas adat di Bali, pembedaan ini jelas terlihat dari pemisahan krama ( warga) adat dan krama dinas, para pendatang.

[4] Perusakan ini menurut catatan media-media lokal di Bali berlangsung pertengahan Januari 2005. Pertama terjadi di wilayah Kuta, Kedonganan dan Legian. Kejadiannya beruntun tiga malam. Pada Senen (17/1) menimpa Pura Dalem Kahyangan Legian. Keesokan harinya, Selasa (18/1) perusakan terjadi di Pura Dalem Penataran Kedonganan, Pura Kati Gajah dan Pura Pasimpangan Ida Ratu Dalem Ped, keduanya di wilayah Kelan. Pada Rabu (19/1) perusakan terjadi di Pura Pangorengan dan Pura Lobong, Temacun, Kuta. Lebih lengkap lihat liputan media-media lokal di Bali, Bali Post, Nusa, Radar Bali dan Warta Bali dari Selasa, 18 Januari hingga 22 Januari 2005. Review singkat ini dikutip dari Majalah Sarad No. 58 Februari 2005.

[5] Pembantaian massal yang dituduh anggota dan simpatisan PKI 1965—1966 sebenarnya bisa menguraikan bagaimana setting Bali dulu dan kini. Tragedi kekerasan yang masif saat itu sungguh luar biasa terjadi. Selanjutnya entah hilang kemana dengungan bayangan kekerasan itu ditelan glamournya rayuan Golkar dan manisnya kue pembangunan saat orde baru 1966. Sungguh sejarah yang hilang dan terpotong. Khusus untuk Bali, rekaman sejarah itu setidaknya bisa dipakai sebagai titik tolak untuk membongkar setting Bali kini yang dibentuk oleh orde baru dengan stabilitas dan normalisasinya. Lebih lengkap studi tentang pembantaian PKI di Indonesia (Bali) diantaranya lihat Soe Hok Gie, artikel dalam Zaman Peralihan, Bentang 1995. Geoffery Robinson, The Dark Side Of Paradise, Political Violence in Bali Ithaca and London: Cornell University Press 1955, Hermawan Sulistyo, Palu Arit di Ladang Tebu, Gramedia 2000.

[6] Pandangan seperti ini sering mengemuka dalam perbincangan warung kopi di desa-desa di Bali. Budaya bagi masyarakat Bali adalah soal esensial, hak milik yang harus dijaga, dilestarikan dan diperkuat dalam bentuk gerakan-gerakan kembali ke tradisi masa lalu dan mencari zaman-zaman kejayaan. Dalam konteks inilah saya sering menyebutkan bahwa faham esensialisme dan hak milik kebudayaan ini berpotensi besar untuk menciptakan gerakan Fundamentalisme Hindu di Bali. Dan sampai saat ini, tendensi ke arah itu seperti menguat.

[7] Jargon dan proyek paling berhasil dari rezim pembangunan orde baru untuk menciptakan Bali sebagai laboratorium bagaimana pembangunan bisa diselaraskan dengan pariwisata dan budaya. Dan juga negara menjadi pengatur utama gerak langkah pembangunan pariwisata yang berwawasan budaya di Bali.

[8] Diskusi lewat surat elektronik dengan Degung Santikarma, Juli hingga September 2004. Dikutip dari tulisan Budaya, Kuasa dan Pariwisata, makalah tidak dipublikasikan. Sebagian pemahaman dari tulisan kolaborasi bersama saya tentang Politik Ritual dan Budaya Kekerasan di Bali, essay belum dipublikasikan.

[9] Haryatmoko dalam Basis Edisi khusus Foucault dan Marx, No. 01-02, Tahun ke-51, Januari-Februari 2002.

[10] Bagian-bagian essay ini banyak saya ambil dari artikel saya, Ajeg Bali dan Lahirnya Jago-jago Kebudayaan, Kompas 7 Januari 2004.

[11] Pasca Bom Bali Oktober 2002, seluruh bendesa adat (ketua adat) desa-desa pekraman, khususnya di Kota Denpasar dan Kabupaten Badung untuk menyamakan visi melakukan penertiban penduduk pendatang. Mereka kemudian mendirikan parum (perkumpulan) bendesa adat se Kota Denpasar.

[12] Media Bali Post menjuluki Cok Ratmadi sebagai pahlawan Ajeg Bali.

[13] Lebih terinci dalam paper saya, Politik Kekerasan (Para Jagoan) dan Dendam di Bali (Beberapa Catatan Lapangan) dalam Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia, 12-15 Juli 2005.

[14] Lebih lengkap dalam I Ngurah Suryawan, Politik Kekerasan (Para Jagoan) dan Dendam di Bali (Beberapa Catatan Lapangan), paper dalam Simposium Internasional Jurnal Antropologi Indonesia, 12-15 Juli 2005)

[15] Saya mencoba melakukan riset independen dan sekarang dalam tahap awal pengumpulan data tentang, Jerat-jerat Stigma: Dari Komunis ke Teroris (Genealogi Pergulatan Politik “Di-PKI-kan” dan “Teroris Budaya” di Bali).

[16] Sanento Yuliman, Seni Lukis Indonesia Baru (hal. 7 8-104) dalam Dua Seni Rupa, Sepilihan Tulisan Sanento Yuliman, Kalam, 2001.

[17] Jean Cotteau, Wacana Seni Rupa Bali Modern (hal.102-141) dalam Paradigma dan Pasar, Aspek-Aspek Seni Visual Indonesia, Yayasan Seni Cemeti, 2003.

[18] M. Picard, Bali, Cultural Tourism and Touristic Culture, Archipelago Press, 1996 via Jean Cotteau, op.cit.

[19] Bahan publikasi tentang Arie Smith banyak diterbitkan oleh Museum Neka, dimana pemiliknya Pande Wayan Suteja Neka adalah sahabat karib Arie Smith. Diantara publikasinya adalah, Putu Wirata, Arie Smith Memburu Cahaya Bali, Museum Neka, 1996 dan Agus Darmawan T, Puisi Warna Arie Smith, Yayasan Seni Rupa AIA, Jakarta 1993.

[20] Saya telah melakukan studi awal atas kongsi sejarah seni rupa Bali, sejak lahirnya perkumpulan bernama Pita Maha. Diantaranya adalah Jejak Sang Maestro (Sejarah Perjalanan Seni Lukis di Bali) dalam Laporan KKN (Kuliah Kerja Nyata) Opsional di Jurusan Antropologi Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana, 2000. Juga dalam beberapa bagian buku saya, Mensubversi Seni: Jejak Politik Kesenian di Bali dalam Sandyakalning Tanah Dewata (Suara Perlawanan dan Pelenyapan), 2005 dan Mendobrak atau Larut dalam Hegemoni? (Jejak Wacana Seni Rupa dan Seniman Bali) dalam Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), 2005.

[21] Dalam Ipong Purnama Sidhi, Panorama Seni Lukis Bali Masa Kini: Tradisi dan Pertumbuhan dalam pengantar katalog pameran Seni Lukis Tradisional Bali, Gaya Ubud dan Batuan di Bentara Budaya Jakarta 7-17 Juli 1995.

[22] Ipong Purnama Sidhi, op.cit.

[23] Saya membacaa tulisan dari Dr.Djelantik ( 1986) sebagai Ketua Yayasan Walter Spies di Bali dan kini digantikan oleh Agung Rai, pemilik Agung Rai Museum of Art (ARMA). Dalam tulisannya ini, Dr. Djelantik sedikit menjelaskan tentang perjalanan seni tradisi di Bali. Salah satu yang menjadi sorotannya adalah perkembangan gaya lukisan Batuan.

[24] Ipong Purnama Sidhi, op.cit dan Putu Wirata, Arie Smith Memburu Cahaya Bali, Museum Neka, 1996 dan Agus Darmawan T, Puisi Warna Arie Smith, Yayasan Seni Rupa AIA, Jakarta 1993.

[25] Sangat jarang yang coba mengungkap sejarah seni rupa Lekra di Bali. Seolah sejarah mereka (di)hilangkan dalam perjalanan seni rupa Bali. Usulan penelitian dan penulisan Tuhfah ini mencoba untuk membahas dalam satu bagian tentang sejarah dan kiprah seniman Lekra di Bali dalam Mereka yang Dihilangkan (Kesaksian Kiprah Seniman Lekra di Bali) yang didapat dari hasil riset independen sebelumnya dengan melakukan wawancara dengan seniman Lekra yang masih hidup di Bali.

[26] Jean Cotteau, op.cit. hal. 122.

[27] Wawancara dengan Raka Suasta di studionya di Ubud, 26 April 2004. Sebagian ceritanya ditulis Muliana Bayak, Sejarah yang Terputus dari Perjuangan Seniman Lekra Bali, Buletin Kitsch Klinik Seni Taxu, edisi 8 Mei-Agustus 2004. Sangat sulit mencari jejak kiprah seniman Lekra di Bali kini yang masih hidup dan bersentuhan dengan dunia seni rupa. Diantaranya adalah Permadi Liosta dan Ketut Suandi.

[28] Dalam setiap presentasinya atau dalam pameran-pameran SDI, anggotanya selalu mengatakan bahwa organisasi mereka bersemangat paguyuban. Dalam istilah Balinya Bebanjaran (sistem adat/organisasi desa di Bali), dengan semangat etnis, nilai-nilai tradisi lokal dengan musyawarah mufakat dan gotong royongnya (jargon dari pemerintah Orde Baru) untuk mencitrakan organisasi adat dan budaya yang masih bertahan di Indonesia (Bali)

[29] Jean Cotteau, op.cit, hal. 125-141 dalam ulasannya tentang gelombang modernis 1950-1990 dalam seni rupa Bali.

[30] Famflet Isu paling Gress!!! yang sangat sederhana dan menjadi awal dari gerakan Mendobrak Hegemoni Kamasra STSI Denpasar. Berisi pemaparan beberapa infrastruktur seni rupa dengan segala kritiknya. Diantaranya Media Massa: Kritikus seni cenderung sebagai agen promosi dan periklanan, atau Seniman: seniman terikat kontrak dengan galeri yang akhirnya membelenggu kemerdekaan berkreasi. Lainnya, ada pokok kritik untuk galeri, museum, art shop, kompetisi, dan spekulan seni. Karya yang paling mewakili semuanya tentunya adalah Manifesto Kebudayaan yang berisi kecaman pada jurnalis, kritikus juga dosen¬dosen malas di STSI Denpasar dengan gaya kalimat plesetan dan bercanda. Yang lainnya diantaranya lukisan berjudul Potret Nyoman Erawan mirip gorila, Art Ne Pis (plesetan Art and Peace, proyek miliaran Made Wianta), Sangkar Dewata Indonesia (plesetan untuk Sanggar Dewata Indonesia), dll. Lebih lengkap lihat katalog Mendobrak Hegemoni, 2001.

[31] Buletin Suaka edisi Maret 2001 terbit setelah katalog Mendobrak Hegemoni. Isinya tentang Pembelaan dari Kamasra dalam Buku Putih Kamasra-gate, Kritik STSI Denpasar.

[32] Famflet Pesta Kapitalisme Bali, juga sub judul Pemerintah Kolonial Bali yang menyediakan dana kurang lebih 1 milyar rupiah untuk pesta yang membosankan dan layaknya seperti pasar malam ini. Selebaran ini juga tersebar saat berlangsungnya pembukaan PKB di depan Monumen Perjuangan Rakyat Bali 16 Juni 2001.

[33] Kronologis peristiwa perusakan karya saat Pesta Kapitalisme Bali, Seputar Aksi Pameran Kontra PKB, Juni 2001.
[34] Lihat terbitan perdana Buletin Seni Rupa Kitsch Agustus—September 2002

[35] Lihat Mendobrak atau Larut dalam Hegemoni? (Jejak Wacana Seni Rupa dan Seniman Bali) dalam I Ngurah Suryawan, Jejak-jejak Manusia Merah (Siasat Politik Kebudayaan Bali), 2005

[36] AAGN Ari Dwipayana, Bali: Surga Bertepi Kekerasan, hal. 13-24 dalam pengantar buku I Ngurah Suryawan, Sandyakalaning Tanah Dewata (Suara Perlawanan dan Pelenyapan), Kepel Press 2005.