Dari Wisata ke Penelitian Ilmiah

Oleh Michael Umbas

Pariwisata dunia terus bergeliat. Pasar pariwisata pun kian atraktif dan variatif. Setiap negara berlomba menyediakan produk-produk pariwisata sehingga menjadi destinasi unggulan. Indonesia pun seolah tak ingin melewatkan momentum persaingan pasar pariwisata dunia. Wajar saja, meski Bali sudah mendunia dan menjadi ikon pariwisata kebanggaan nasional, toh belum mampu mendongkrak angka kunjungan wisatawan mancanegara.

Berdasarkan data WTO, tahun 2003, Indonesia masih belum masuk dalam 20 negara tujuan wisata dunia. Perancis berada di urutan pertama dalam statistik kunjungan, yakni mencapai 75 juta wisatawan, disusul Spanyol 51,8 juta, AS 41,2 juta, Italia 39,6 juta , Cina 32,9 juta, Inggris, 24,7 juta, Austria 19 juta, Meksiko 18,6 juta, Jerman 18,3 juta, Kanada 17,5, juta, Hungaria, 15,7 juta, Hong Kong 15,5, Yunani 13,9 juta, Polandia 13,7 juta, Turki 13,3 juta, dan Malaysia 10,5 juta, Thailand 10 juta, Rusia 8 juta.

Malaysia dan Thailand adalah dua negara Asia Tenggara yang mampu menyedot pengunjung dengan angka fantastis. Malaysia kini, bahkan menargetkan 20 juta wisatawan dengan slogan menarik “The Trully Asia”. Seabrek strategi disiapkan oleh Negeri Jiran untuk menggaet devisa dari sektor empuk ini. Indonesia meluncurkan Visit Indonesian Year 2008, dan berupaya menjual eksotisme baru selain Bali.

Sulawesi Utara adalah satu dari belahan wilayah di Indonesia yang giat memacu potensi wisata untuk mengelevasi angka kedatangan wisata mancanegara. Lalu, apa yang bisa dijual oleh Sulut, provinsi Indonesia bagian timur yang menghadap pasifik ini? Selain potensi bahari, ecotourism dengan segala atributnya sungguh merupakan “jualan” menarik. Kekayaan ekologi di Sulut ternyata mulai menarik perhatian dunia, meski angkanya belum signifikan karena dibutuhkan promosi dan strategi pemasaran yang komprehensif.

Paling tidak, hal ini diakui oleh pakar ekologi dari Sulut, Dr John Tasirin. Menurutnya, kekayaan atribut ekologi sering tidak muncul ke permukaan karena terbatasnya pengetahuan. “Sepotong daging dan kepala ikan raja laut (Latimeria manadoensis) menjadi bahan jualan untuk makanan di Pasar Jengki di Manado pada tahun 1979 ternyata mengejutkan seorang kurator museum sejarah alam dari Amerika,” tukas Tasirin yang juga tim ahli Gubernur Sulut. Ikan yang juga disebut coelacanth ini melekat atribut sebagai fosil hidup. Sebelum kerabat dekatnya ditemukan di perairan Pulau Komoro pada tahun 1930-an, jenis ini dipercaya telah punah sejak 300 juta tahun yang lalu.

Contoh lain adalah burung maleo (Macrocephalon maleo). Di masa maleo masih banyak ditemukan, telur maleo menjadi makanan sampingan yang umum masyarakat Minahasa dan Bolaang Mongondow. Di mata seorang ilmuwan biologi, ketika biologi dan ekologi maleo berhasil dimengerti, penetasan maleo diberi atribut sebagai fenomena adaptasi yang penuh misteri. “Bagaimana nenek moyang maleo kemudian memutuskan untuk mengganti kebiasaan dari mengerami telurnya sendiri kepada kebiasaan baru yang membiarkan telur-telurnya dierami oleh panas bumi atau matahari? Ini fenomena menarik,” tukas Tasirin.

Fenomena lain, menurutnya monyet hitam Sulawesi (Macaca nigra) bagi banyak kalangan adalah sekedar hewan untuk diambil dagingnya atau piaraan. Ahli evolusi primata melihat monyet ini, dan memberi atribut pada satwa yang dipanggil yaki, sebagai ujung moderen evolusi marga monet macaca.”Atribut lain yang bisa disandang yaki adalah bukti bahwa proses kelahiran species baru tunduk pada hukum adaptasi dan the survival of the fittest,” tandasnya.

Tasirin yang kini giat mendatangkan turis asing untuk mengamati fenomena ekologi ini mengaku bahwa keindahan wisata alam sungguh tak tertandingi, dan mestinya mampu dijual. “Seorang dewasa melakukan analisis logika yang rumit dengan egosentris yang tinggi untuk memberi kepuasan pada dirinya sendiri. Kenikmatan bisa larut berjam-jam ketika memandang sebutir pasir dengan ukuran butiran raksasa di gerusan lava Gunung Tangkoko di Batuangus, Bitung,” sambungnya serius.

Keanekaan hayati Sulawesi telah diakui secara global. Bahkan perhatian untuk investasi konservasi menjadi ulasan di berbagai media ilmiah. Salah satu argumen yang cukup monumental diajukan oleh Wilson dan beberapa rekannya dalam edisi Nature Vol 440, 16 Maret 2006. Mereka berhasil melakukan analisis ekonomi tentang kepentingan keanekaragaman hayati dengan berkali-kali mengemukakan bahwa investasi bagi usaha konservasi di Indonesia harus pertama dilakukan agar species Sulawesi terselamatkan dulu baru investasi tersebut dialokasikan ke Borneo, Sumatera, Jawa dan yang terakhir adalah Malaysia.

Indonesia memiliki 165 jenis hewan mamalia yang endemik. Hampir setengah (sekitar 47%) dari jumlah tersebut ditemukan di pulau Sulawesi. Penelitian dari berbagai pusat penelitian nasional dan dunia memprediksi bahwa proporsi mamalia endemik Indonesia dari Sulawesi akan terus bertambah. Contoh lain adalah kekayaan burung. Hanya dari daratan utama pulau kita bisa menemukan sebanyak 233 jenis burung. Sebanyak 84 jenis diantara burung-burung tersebut adalah endemik di Sulawesi. Ini berarti lebih dari sepertiga dari 256 jenis burung yang endemik Indonesia bisa ditemukan di Sulawesi.

Setiap semenanjung yang ada di Sulawesi memiliki harga ekologi yang tinggi. Ekosistem asli di kawasan ini adalah aset lokal yang memiliki nilai global. Semenanjung utara Sulawesi merupakan semenanjung yang istimewa dan, dari sudut pandang kekayaan atribut ekologi, merupakan kawasan terpenting di Sulawesi. Kawasan ini didiami oleh sebanyak 89 jenis burung endemik Sulawesi. Angka ini menunjukkan bahwa sekitar 86% dari 103 jenis burung endemik di Sulawesi ditemukan di Sulawesi Utara dan pulau-pulau sekitarnya.

Contoh lain adalah tikus dan kelelawar termasuk si ”ekor putih” dan “paniki” yang menjadi lauk penting dalam menu khas Minahasa. Pernahkah Anda membayangkan bahwa di seluruh Pulau Sulawesi bisa ditemukan sebanyak 38 jenis tikus yang tidak ditemukan di pulau-pulau lain di Indonesia atau di tempat lain manapun di dunia ini? ”Hampir setengahnya ada di Sulawesi Utara. Tanah Sangihe, Talaud, Minahasa dan Totabuan adalah tuan rumah dari 20 jenis kelelawar buah endemik Sulawesi, padahal jenis kelelawar buah endemik Sulawesi hanya 24 jenis saja. Itu berarti, sebagian besar kelelawar endemik Sulawesi terdapat di Sulut,” tandasnya Tasirin.

Saat ini, perhatian Pemerintah Daerah Sulawesi Utara sangat serius terhadap pengelolaan turisme berbasis lingkungan. Strategi Pariwisata Sulut, berdasarkan pemetaan badan Perencaaan Pembangun Daerah (Bappeda), yakni melakukan Diversifikasi produk pariwisata minat khusus dan ekowisata. Selain itu, pengembangan manajemen destinasi berkelanjutan pada kawasan wisata strategis perairan, pegunungan dan taman nasional. ”Grand design sudah dibuat menyangkut kegiatan wisata bahari yakni snorkeling, diving, coral viewing, fotografi alam bawah laut kegiatan penelitian, observasi dan pelestarian sumber daya kelautan,” tukas Herman Kondoy, ketua tim penyusun Program Percepatan Pengembangan Pariwisata Sulut. So, selamat datang wisata ekologi!

Sumber : : http://www.explore-indo.com