Teknologi Bahari Melayu Riau

Oleh : Prof. Dr. Muchtar Ahmad, M.Sc

Sejak zaman bahari masyarakat Melayu Riau sudah memiliki bermacam cara untuk memenuhi keperluan hidup. Artinya, sejak masa lampau masyarakat Melayu Riau telah menguasai teknologi yang disebut oleh penulis sebagai teknologi bahari. Teknologi ini diklasifikasi menjadi teknologi pertanian, pernikahan, peternakan, pertukangan, perkapalan, pertambangan, dan pengolahan bahan makanan. Sistem teknologi yang dikuasai orang Melayu menunjukkan bahwa orang Melayu kreatif dan peka dalam memfungsikan lingkungan dan sumber daya alam di sekitarnya. Orang Melayu juga tidak tertutup terhadap perubahan teknologi, terutama teknologi yang menguntungkan dan menyelamatkan mereka.

1. Pendahuluan
Teknologi pada hakekatnya adalah cara mengerjakan suatu hal (Masher, 1970: 127), yaitu cara yang dipakai manusia untuk beberapa kegiatan dalam kehidupannya. Teknologi terutama terlihat dalam pendayagunaan potensi sumber daya yang ada di sekitar manusia. Oleh karena itu, teknologi merupakan satu di antara sekian banyak hasil budaya manusia dan merupakan cermin daya kreatif dalam memanfaatkan lingkungannya untuk mencapai kesejahteraan hidup. Pengertian tersebut berdasarkan pada pemahaman bahwa teknologi terlihat sebagai penerapan gagasan atau pengetahuan, pengertian, dan keyakinan seseorang ke dalam pendayagunaan sumber daya alam yang dikenalnya, yang umumnya berada di sekitarnya dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan hidup atau memecahkan masalah. Jadi, teknologi sebagai buah dari budi dan daya seseorang mau¬pun masyarakat merupakan bayangan kebudayaan suatu masyarakat yang menghasilkannya. Teknologi dapat dijadikan ukuran atau cermin tingkat kebudayaan dan kreativitas suatu masyarakat.

Bertitik tolak dari dasar pemikiran tersebut, serta untuk memudahkan pembahasan tentang teknologi bahari masyarakat Melayu Riau, maka teknologi dalam suatu masyarakat dapat diamati dari keadaan sumber daya alam dan pemanfaatannya, bahan baku yang tersedia, peralatan yang dipakai dalam mendayagunakan sumber daya alam yang ada, kemungkinan sarana untuk menghasilkan peralatan ter¬sebut, serta matapencaharian masyarakat tersebut. Teknologi bahari masyarakat Melayu lebih mudah ditelusuri dari sejarah peralatan dan matapencaharian mereka dalam memanfaatkan sumber daya alam di lingkungan mereka (Hamidi, 1984: 115).

Kata bahari mempunyai dua pengertian. Pertama, bahari yang berarti zaman kuno (ancient), yang semasa dengan masa adanya catatan sejarah sampai pada masa kemaharajaan Roma 467 A. P. (Wojowasita dan Poerwadarminta, 1974) atau sesuatu yang terkenal dan/atau sudah tidak penting lagi pada akhir-akhir ini, tetapi ada sejak masa lalu (Websters, 1966). Kedua, bahari ditafsirkan dari akar kata bahasa Arab yang banyak mempengaruhi bahasa Melayu, yaitu bahari yang berarti laut atau sungai besar. Dalam tulisan ini pengertian yang dipakai ditekankan pada yang pertama, walaupun dalam pembahasannya pengertian yang kedua akan tercakup. Teknologi bahari yang dimaksud di sini adalah teknologi yang dipakai oleh masyarakat Melayu Riau dalam mendayagunakan sumber daya alam yang ada di sekitarnya untuk mencapai keperluan hidupnya sejak zaman kuno. Di antara teknologi tersebut ada yang masih digunakan hingga hari ini.

2. Teknologi Masyarakat Melayu
Kajian tentang teknologi masyarakat Melayu memang masih amat langka, termasuk teknologi baharinya. Meskipun demikian, beberapa upaya inventarisasi dan penelitian yang sedikit banyak menyinggung teknologi masyarakat Melayu Riau dapat ditemukan. Misalnya, tentang teknologi perikanan dan perkapalan yang telah diamati oleh Ahmad (1975), Ahmad dkk. (1983), serta beberapa dosen dan mahasiswa Fakultas Perikanan, Universitas Riau. Penelitian me¬ngenai pertanian pernah dilakukan oleh Ahmad (1982), Hamidy (1983/1984), serta Hamidy dan Ahmad (1984). Uraian mengenai teknologi pengolahan makanan terdapat dalam beberapa laporan penelitian mahasiswa dan dosen Fakultas Perikanan, Universitas Riau. Kajian tersebut umumnya bukan berupa pendalaman khusus mengenai teknologi masyarakat Melayu, tetapi lebih banyak mengenai kondisi sosial budaya atau ekonomi masyarakat Melayu, karena kurangnya tenaga ahli peneliti maupun kurangnya perhatian terhadap teknologi bahari, terutama teradap teknologi luar yang semakin mendesak teknologi tempatan (Ahmad, 1979), yang bahkan dapat mematikan teknologi masyarakat Melayu yang ada, maupun mematikan hasrat untuk menelitinya.

Dari kajian-kajian itu terlihat bahwa bagaimanapun seder¬hana¬nya suatu masyarakat Melayu, mereka pasti memiliki teknologi. Teknologi ini mungkin sederhana, sesederhana matapencaharian masyarakat Melayu sendiri. Meskipun demikian, hal itu tidak berarti bahwa tidak ada teknologi yang canggih atau setidak-tidaknya dapat dicanggihkan.

Gambaran kesederhanaan kehidupan masyarakat Melayu bahari dapat digambarkan dari uraian Clarke dan Pigott (1967: 114-153) dalam Prehistoric Societies yang intinya adalah bahwa kehidupan mereka (Melayu) terutama adalah memakan umbi-umbian yang dikumpulkan oleh perempuan dalam keluarga, yang didukung oleh hasil pemburuan binatang dan ikan. Perburuan binatang dilakukan dengan menggunakan panah beracun, tombak, dan tongkat, sedangkan dalam menangkap ikan, lelaki dan perempuan bersama-sama menggunakan perangkap dan tombak.

Dari uraian singkat di atas diketahui bahwa pada dasarnya keluarga masyarakat Melayu sejak zaman bahari telah melakukan beragam cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masyarakat Melayu juga memiliki dan menguasai bermacam-macam teknologi, mulai dari teknologi yang menghasilkan makanan dan tumbuh-tum¬buhan (yang kemudian menjadi pertanian), berburu (yang berkembang menjadi usaha peternakan), menangkap ikan (yang ber¬kembang menjadi usaha perikanan dengan berbagai teknologi penangkapan yang dipakai), sampai cara membuat teratak (yang umumnya berlantai atas), serta cara mengangkut hasil-hasil usaha yang disebutkan di atas. Teknologi yang dikuasai masyarakat Melayu antara lain membuat rumah dan atapnya yang terbuat dari daun-daunan, maupun membuat sejenis keranjang untuk mengangkut hasil pertanian yang bentuk dan jenisnya beragam. Masyarakat Melayu juga menguasai cara membuat perkakas yang dipakai sehari-hari. Cara ini masih ada dan berlanjut sampai sekarang.

Terdapat anggapan bahwa beberapa peralatan dan matapencaharian khas yang masih ditemukan dalam masyarakat Melayu Riau sekarang ini berasal dari masyarakat Melayu bahari. Bukti lain menunjukkan bahwa ditinjau dari segi matapencahariannya, suatu keluarga Melayu bahari jarang sekali bergantung pada satu macam matapencaharian, sehingga mereka tidak bergantung pada satu jenis teknologi. Dengan cara hidup yang demikian mereka tidak terikat pada satu sumber ekonomi, sehingga selalu ada teknologi cadangan atau matapencaharian lain yang berperan sebagai cadangan (Mubyarto, 1979: 243). Namun hal itu mengakibatkan tidak berkembangnya spesialisasi pekerjaan, sehingga teknologi yang ada tidak meningkat pesat.

Keragaman matapencaharian masyarakat Melayu di bagian daratan Sumatera (Riau Daratan) dapat dijadikan dasar untuk menelusuri keragaman teknologi yang ada dalam masyarakat. Hamidy (1983) memperkenalkan istilah tapak lapan yang berarti delapan matapencaharian masyarakat Melayu di Rantau Kuantan. Adapun kedelapan matapencaharian itu adalah 1) beladang ‘berladang‘, menanam padi di ladang dan sawah; 2) bakobun ‘berkebun‘ getah, tanaman muda, dan palawija; 3) bataronak ‘beternak‘, memelihara binatang ternak; 4) mengusahakan niro ‘mengambil air nira‘ dari batang enau; 5) batukang ‘bertukang‘; 6) baniago ‘berniaga‘; 7) bapakarangan, mempunyai peralatan menangkap ikan, menjadi nelayan; dan 8) mendulang emas (Hamidy, 1982: 18-25).

Setiap jenis matapencaharian biasanya mempunyai beberapa cara dan alat. Alat dan cara penggunaannya akan menampakkan teknologinya. Peralatan dan cara penggunaannya dipengaruhi oleh lingkungan dan sumber daya yang akan diolah, sehingga lahir berbagai teknologi. Walaupun teknologi itu menghasilkan hal yang sama atau mempunyai fungsi yang sama, tetapi teknologi tersebut tetap berbeda. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa masyarakat Melayu mampu secara aktif menghasilkan berbagai teknologi dan sekaligus mengembangkannya sesuai dengan fungsi dan pengaruh lingkungan tempat digunakannya teknologi tersebut. Masyarakat Melayu tidak canggung dengan perubahan teknologi, asal teknologi tersebut lebih menguntungkan dan mudah diterapkan, seperti teknologi dalam pertanian.

Teknologi untuk menghasilkan padi misalnya, bermula dari ladang berpindah di pinggir sungai (jauh dari desa), yang berkembang menjadi ladang baruh (ladang dekat desa). Kemudian karena alasan pertambahan penduduk, pembangunan pemukiman, dan untuk menghindari banjir, mereka melakukan ladang kasang (ladang tegalan), dan bila pengairan memungkinkan, akhirnya berkembang menjadi sawah. Untuk menghasilkan padi, mereka tentu harus mengupayakan alat dan cara mengolah lingkungan tersebut, dan pada akhirnya menghasilkan teknologi sendiri. Alat yang diperlukan dalam ladang berpindah hanya lading (parang), beliung, api, talak, tuai, ketiding, dan kopuk untuk mengangkat dan menyimpan padi, sedangkan pada ladang baruh diperlukan sabit, cabak, garo, tembilang, ajak, tuai, kembut, dan rangkiang.

Dengan diperkenalkannya tanaman baru seperti karet, jagung, ubi kayu, ubi jalar, cengkih, dan sebagainya, teknologi yang dimiliki orang Melayu kemudian semakin berkembang dan beraneka ragam. Hanya saja penelitian tentang proses dan mekanis¬me perkembangan, serta sejauh mana proses perubahan tersebut dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Melayu sejak zaman bahari masih sangat langka.

Secara sederhana, teknologi bahari yang dimiliki masyarakat Melayu Riau dapat dikelompokkan dalam bidang teknologi pertanian, perikanan, peternakan, pertukangan, perkapalan, pertambangan, dan pengolahan makanan. Dalam pertanian dikenal teknologi berladang dan cara pengolahan tanah tebas, tebang, bakar (porun). Teknologi ini merupakan teknologi bahari yang paling menonjol. Ternyata cara pengolahan tersebut tetap dipakai dalam usaha perkebunan kelapa sawit dan perkebunan lainnya yang sedang digalakkan di Riau saat ini. Dalam bidang peternakan, Riau memiliki teknologi beternak ayam, kambing, lembu, dan kerbau yang masing-masing mempunyai teknik pemeliharaan kandang dan peralatannya yang berbeda satu sama lain.

Sesuai dengan lingkungan Riau yang kaya dengan air dan dataran rendah, kreativitas masyarakat Melayu Riau dalam meng¬hasilkan teknologi penangkapan hasil perairan sangat menonjol, mulai dari teknik mengumpulkan kerang, menangkap ikan dengan berbagai jenis pancing dan rawai, perangkap dan bubu, sampai jaring dan tuba. Ciri khas dari semua alat penangkap dan pengumpul hasil perairan tersebut adalah terbuat dari bahan statis, mudah digunakan, lebih selektif dalam hasil, serta lebih menjamin keseimbangan perairan.

Teknologi penangkapan yang ada di Riau sangat efektif dan efisien untuk menangkap ikan-ikan tertentu. Misalnya, guguh untuk menangkap udang, tempiral untuk menangkap ikan-ikan yang berada di pinggir, tenggalak untuk menangkap ikan yang suka menelusuri batang dan dasar perairan, dan sondang untuk menangkap ikan-ikan yang sering muncul ke permukaan seperti tambakan dan pengenih (Alawi, 1980:1982). Untuk ikan dan udang yang hidup di air pasang dan dekat pantai, dipakai jermal, bubo, gombang, dan lain-lain. Alat penangkap ikan ini tidak kurang dari 25 jenis, yang merupakan hasil kreativitas masyarakat Melayu Riau zaman bahari. Walaupun demikian, alat penang¬kap atau teknologi penangkapan yang ada tampaknya hanya cocok untuk lingkungan perairan dangkal dan pantai. Alat tersebut tidak berkembang dan kurang mampu untuk menggarap sumber daya di lingkungan lepas pantai dan laut terbuka. Tidak berkembangnya alat tersebut disebabkan masih kayanya sumber perairan dangkal dan pantai sehingga kebutuhan untuk masa itu sudah terpenuhi. Oleh karena itu, tidak ada alasan kuat untuk menciptakan peralatan yang lebih efektif dan efisien yang cocok bagi lingkungan laut dalam di lepas pantai (offshore) maupun laut luas (oceanic).

Dalam bidang pertukangan, teknologi yang menonjol adalah teknologi pembuatan rumah dan perahu. Beberapa teknologi yang dipakai sangat istimewa, tepat, serta fungsional. Sebagai contoh, pembuatan rumah di lingkungan darat, di perairan, serta di pantai memakai teknologi yang berbeda. Untuk itu dikenal istilah dangau, teratak, pondok, pelantar, rumah, dan lain-lain. Bagian-bagiannya mempunyai istilah yang kaya dan unik. Demikian pula peralatan yang dipakai untuk membuatnya.

Teknologi yang dipakai di lingkungan perairan cukup beragam, misalnya teknologi untuk menangkap ikan maupun teknologi untuk mengangkut hasil-hasilnya. Alat angkut yang digunakan mulai dari tongkah yang biasa digunakan di lingkungan berlumpur, sampan yang mirip kano (dari sebatang kayu), rakit dan perahu untuk di tepi pantai, sampan/perahu layar, sampai kapal (Ahmad, 1978). Bentuk dan fungsi sampan dan perahu beragam, namun yang menarik perhatian adalah tongkah atau sampan tongkah, karena jenis ini semakin langka.

Ahmad (1982) mengatakan bahwa tongkah merupakan alat khas asli yang berfungsi sebagai alat angkutan di lingkungan antara darat dan perairan. Menurut Cho Tachun, tongkah (mud ski) telah dipakai dalam kebudayaan masyarakat perikanan di Asia Tenggara bersamaan dengan dipakainya alat itu di Asia Timur (Cina dan Jepang). Nishimura, seorang antropolog maritim Jepang mengamati tongkah di Cina, Jepang, Malaysia, dan Jawa, kemudian membagi tongkah atas bentuk Shanghai, Kwantung, dan bentuk Asia Tenggara.

Berdasarkan penelitian Ahmad et. al. (1983), sampan tongkah masih dipakai di kawasan Bagan Siapi-api dan Condong Luar, Riau. Jenis tongkah tersebut dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu tipe sehelai papan yang terdapat di Anak Setatah, Teluk Rukam, dan Condong Luar serta tipe kotak yang ditemukan di Teluk Rukam dan Bagan Siapi-api (Ahmad et. al., 1983). Tipe sehelai papan mempunyai persamaan dengan tongkah Orang Koala di Malaysia, Teluk Aniake (Jepang), serta di Cholburi dan Petchburi (Thailand) (Shibato et. al., 1980). Tipe kotak mempunyai persamaan dengan tongkah di Danau Suwa Jepang maupun di Jerman (Kabayoshi, 1980). Namun belum jelas hubungan kemiripan bentuk-bentuk tersebut, dalam arti mana yang mempengaruhi atau merupakan asal-usul sampan tongkah. Diduga, persamaan itu hanya suatu kebetulan.

Teknologi navigasi yang dipakai orang Melayu Riau juga me¬narik untuk diamati. Mereka memakai bintang atau benda langit lainnya dan keadaan laut (arus, pasang, dan gelombang) untuk menentukan alur dan arah pelayaran. Peralatan yang digunakan hanya berupa organ-organ tubuh, seperti mata dan intuisi yang tumbuh dan berkembang dari pengalaman bertahun-tahun. Teknologi pelayaran Melayu Riau ini belum diteliti, walaupun sudah di¬singgung pada beberapa laporan perjalanan.

Daerah Riau mengandung berbagai jenis barang tambang, se¬hing¬ga Riau juga terkenal dalam teknologi mendulang (mengiral) emas, terutama di daerah Logas dan Pasir Pengarayan. Usaha emas tersebut telah ada sejak zaman bahari hingga sekarang. Teknologi ini pun be¬lum diteliti. Pembahasan mengenai teknologi pengolahan hasil per¬ta¬nian dan perikanan juga masih sedikit. Hamidy (1983) secara men¬dalam mengamati teknik menyadap enau, teknik pem¬buatan gula enau, dan teknik pengumpulan manisan lebah.

Dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan, bioteknologi dianggap sangat berperan di masa mendatang. Ternyata masyarakat Melayu Riau sejak bahari sudah menggunakan bioteknologi tersebut, walaupun masih dalam skala kecil untuk industri rumah tangga. Mikroba sudah berabad-abad digunakan di Indonesia un¬tuk mengolah makanan dan minuman tradisional melalui fermentasi, seperti tempe, oncom, tape, terasi, kecap, brem, dan tuak. Sayangnya belum ada industri berskala besar yang telah menggunakan proses bioteknologi tersebut (Rifai dan Sastropraja, 1985). Riau telah menggunakan proses bio¬teknologi ini dalam pembuatan tempoyak (asam durian), tape, terasi, jeruk maman, pekasam, dan cencaluk.

Teknologi pengolahan makanan yang menggunakan proses bioteknologi tersebut belum diteliti secara ilmiah, walaupun sudah ada sejak zaman bahari. Padahal bioteknologi tersebut dapat berperan dalam perkembangan ilmu, teknologi, maupun dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya pengembangan tek¬nologi bahari di Melayu Riau saat ini juga masih terbatas.

3. Penutup
Dari uraian di atas diketahui bahwa sejak dulu masyarakat Melayu Riau sudah mempunyai teknologi. Walaupun sederhana dan bersifat bahari, namun jenisnya beragam dan di antaranya masih bertahan sampai sekarang. Teknologi yang menonjol dan kurang dikembangkan adalah teknologi perairan/kelautan, seperti teknologi pertukangan rumah di kawasan pantai, pembuatan perahu, pelayaran, tekno¬logi penangkapan ikan, teknologi pencarian ikan yang meng¬gunakan cahaya dan suara; teknologi pengolahan makanan; maupun tek¬nologi pengolahan lahan. Walaupun semua teknologi tersebut sudah ada dan dikuasai oleh masyarakat Melayu Riau sejak masa ba¬hari, namun upaya pengkajian dan pengembang¬annya masih amat langka.

Ciri khas teknologi bahari masyarakat Melayu Riau adalah diusahakan dalam skala kecil, mudah penggunaannya, dan selektif dalam hasil, sehingga dapat menjamin keseimbangan sumber daya alam. Teknologi bahari tersebut mempunyai potensi besar bagi pe¬ngembangan ilmu teknologi, seperti penggunaan proses bio¬¬teknologi dalam pengolahan makanan. Keragaman teknologi bahari masyarakat Melayu Riau seba¬gai bagian dari kebudayaan¬nya merupakan pertanda bahwa sejak zaman bahari orang Melayu telah kreatif dan peka dalam memfungsikan lingkungan dan sumber daya alam di sekitarnya, serta dapat menunjukkan bahwa mereka tidak tertutup pada perubahan teknologi yang lebih me¬nguntungkan dan menyelamatkan.

Daftar Pustaka
Ahmad, M. dkk. 1982. Terubuk VIII.
–––––––––. 1983. “Kapal Perikanan I, Sampan Tongkah di Riau”. Terubuk IX (27).
–––––––––. 1978. Pengantar Kapal Perikanan. Diktat Lem¬baga Penelitian Per¬ikan¬an, Fakultas Perikanan, Universitas Riau, Pekanbaru.
–––––––––. 1979. “Menjarah Teknologi Sesuai”. Terubuk V.
–––––––––. 1981. Teknologi Budidaya Terpadu Bagi Petani Kecil.
–––––––––. 1982a. Simposium Teknologi Pedesaan di Universitas Islam Riau, 19 Desember 1982.
–––––––––. 1982b. Laporan Penelitian pada IFS dan LPPM-UNRI, Pekanbaru.
Alawi, H. dkk. 1980. “Pengerih”. Terubuk VI.
Clark, G. dan S. Piggott. 1967. Prehistoric Societies. New York: Alfred A. Knopf.
Dictionary of the American Language. 1966. College Edition. New York.
Hamidy, U. U. 1983 Kasin Niro Penyadab Enau Rantau Kuantan. Pekanbaru: Puslit Universitas Riau.
–––––––––. 1984. Rimba Kepungan Sialang. Laporan Penelitian BAPPEDA Pro¬vin¬si Dati I Riau.
Hamidy, U. U. dan M. Ahmad. 1984. Masalah Sosial Budaya dan Teknologi Trans¬mi¬grasi Lokal di Daerah Riau. Riau: BAPPEDA Dati I Riau.
Kobayasi, S. 1980. Native Boat in Lake Suwa, Fisheries in Lake Sowa. Inoue Insatsu, Shi¬mosowa.
Mosher, A. T. 1970. Getting Agriculture Moving. New York: Pyramid Books.
Mubyarto. 1979. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta: LP3ES.
Rifai dan D. S. Sastrapradja. 1985. “Biotechnology Research in Indonesia” dalam Biotechnology in International Agriculture Research. Manila: IRRI.
Shibata K. et. al. 1980. Preliminary Comparative Studies on Mud Skies in the Gulf of Thailand and Aniake Sound of Japan. Technical Paper SEAFDEC. Bang¬kok: Webster‘s New World.
Wojowasito, S. dan W. J. S. Poerwadarminta. 1974. Kamus Lengkap Inggris-lndonesia, Indonesia-Inggris. Jakarta: Hasta.
__________
Prof. Dr. Muchtar Ahmad, M.Sc., lahir di Muara Rumbai, Riau pada tanggal 9 September 1945. Menyelesaikan S1 dari Universitas Perikanan Tokyo tahun 1972, S2 dari Universitas Nagasaki tahun 1974 dan sarjana S3 Universitas Tokyo tahun 1981. Juga mengikuti pendidikan di Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi UNRI tahun 1978 dan Manajemen Fakultas Ekonomi UNRI pada tahun 1997 untuk mengembangkan wawasan keilmuannya.

Sejak tahun 1974 menjabat sebagai dosen Universitas Riau, Universitas Islam Riau, Universitas Bung Hatta Padang, Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Qassim (UIN–SUSQA), APDN Pekanbaru dan Universitas Dharma Wangsa Medan sejak tahun 1997 sampai sekarang. Menjabat sebagai Rektor Universitas Riau dan Dosen S2 Pasca Sarjana UIN–SUSQA di Pekanbaru. Pernah menjabat sebagai Konsultan Bank Dunia (2000), Dosen Program Magister Manajemen Universitas Muhammadiyah Jakarta (MM–UMJ) dan Program Magister Teknik Institut Teknologi Bandung (2000), Pembantu Rektor I Universitas Islam Riau (1975–1988), dan menjadi Rektor UNRI.
__________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau