I. Pokok-pokok Pikiran
1. Menghadapi perubahan drastis yang terjadi secara mendasar seyogianya penentu kebijakan selain dituntut mempunyai kecerdasan individual, yang lebih penting lagi adalah kecerdasan sosial.
2. Rekayasa kontak-kontak sosial budaya haruslah menggunakan pendekatan budaya.
3. Institusi/pranata lokal yang diseragamkan ke dalam wilayah administratif pemerintahan ternyata menimbulkan kesan bahwa orang lebih mengenal "kebudayaan daerah" yang seakan-akan bertingkat-tingkat menurut pola daerah administrasi (Dati I, Dati II, dan lain-lain) ketimbang "kebudayaan asli dan lama".
4. Buah reformasi berupa suasana: demokratis, bebas dan terbuka telah dimaknai secara berlebihan dalam upaya pemenuhan akan identitas individu ataupun golongan sehingga berpotensi memicu konflik yang berkepanjangan yang tidak mustahil dapat melumpuhkan sendi-sendi kehidupan bangsa.
5. Kearifan lokal terabaikan sehingga cukup banyak terjadi marjinalisasi kelompok masyarakat/ etnik tertentu yang pada akhimya menimbulkan disintegrasi.
II. Pengaruh Budaya Melayu di NTB dan Potensinya Sebagai Perekat Persatuan
Ai ramena benrang ta
Tumung mo kemang kamate
Bukal bakolar kedawa
Bua kurena pang ninta
Ada kemang kurasate
Gugir kupli kenyawa
Dua bait sastra lisan tradisional etnik Sumbawa/Samawa (salah satu dari 3 etnik mayoritas di Nusa Tenggara Barat (NTB)) yang disebut LAWAS masih hidup dan berkembang hingga saat ini. Apa lagi pada event-event tertentu sering diadakan lomba Rabalas Lawas (berbalas pantun) antar muda-mudi.
Begitu pula yang ada pada etnik lainnya, yaitu: etnik Sasak (Lombok) disebut LELAKAQ dan etnik Mbojo (Bima) yang disebut PATU.
Komedi Stambul dikenal di Lombok dengan istilah Komedi Rudat. Kecuali adanya pengaruh Bali/Jawa di beberapa kawasan, rata-rata seni pertunjukan yang ada bernafaskan Islam. Di Lombok ada Zikir, Zaman, Rudat, Cilokaq; di Sumbawa ada Ratib, Rebana, Ode/Rea, Langko/Sakeco; sedangkan di Bima dan Dompu ada Hadrah dan Rawa Mbojo. Pemekaran Kebudayaan Melayu memang telah menjadi salah satu faktor pengikat masyarakat Indonesia yang majemuk.
Tersebar luasnya berbagai hasil kesenian Melayu secara mudah dan praktis tersebut antara lain disebabkan oleh penggunaan bahasa Melayu di wilayahnya yang sangat luas di Nusantara ini. Faktor agama Islam menjadi dasar yang kuat bagi Kebudayaan Melayu untuk dengan mudah mengalir kemana-mana dan diterima masyarakat, bahkan di luar lingkungannya. Demikian pula yang telah terjadi di NTB. Setelah mengetahui kenyataan tersebut masih tersisa sebuah pertanyaan, mampukah budaya Melayu (atau pengaruhnya) di NTB menjadi faktor perekat integrasi bangsa?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dikaji beberapa bentuk kearifan lokal yang masih layak dikaji untuk mendapatkan acuan dalam memahami dampak sekaligus perubahan sosial yang terjadi.
Lawas Sumbawa yang terdiri dari 2 bait sebagai pembuka bagian II tulisan ini mempunyai makna (nilai dasar) sebagai berikut :
Bila kita mencintai sesuatu (sesuatu yang dimaksud disini adalah bunga --bahasa Sumbawa kemang). Jika sesuatu itu rusak, gugur atau mendapat kesulitan. Maka harus kita bela walaupun taruhannya adalah nyawa. Begitu juga dengan Republik ini. Jangan biarkan dia rusak bercerai-berai. Kita harus membelanya mati-matian.
Suku Sasak mengenal sebuah ungkapan tradisional sebagai berikut :
Bareng anyong jar/sejukung, yang artinya : Kalau kita sudah satu perahu biarlah hancur-hancuran dan harus sehidup-semati.
Etnik Mbojo mengingatkan para pemimpin/elit politik lewat sebuah ungkapan tradisional :
Ai na kani ilmu mbia oo, Ma ese d hanta, Ma a wa di tonda.
Artinya : Jangan pakai ilmu belah bambu, yang diatas diangkat, yang dibawah diinjak-injak.
Ungkapan di atas mengandung peringatan/lampu merah bagi segenap pembuat kebijakan. Marjinalisasi rakyat yang sudah memang terpinggirkan akan menimbulkan kesenjangan baru yang menganga lebar menelan semua bentuk keserakahan kekuasaan.
Lalu bagaimana petuah etnik Mbojo agar pemimpin disegani rakyat dan konflik dapat dikelola dengan baik? Mereka mempunyai nasehat yang baku terhadap siapapun yakni Nggahi rawi pahu yang berarti satu kata dengan perbuatan. Sifat yang sangat langka dimiliki seorang pemimpin saat ini.
Aspek-aspek kearifan lokal memang tersebar dalam kehidupan sehari-hari (daur hidup) masyarakatnya seperti upacara-upacara, arsitektur dan ungkapan tradisional ataupun sastra lisan. Termasuk di dalamnya Bagaimana etnik-etnik mayoritas tersebut mengimplementasikan kekuatan-kekuatan yang dikandung oleh kearifan-kearifan lokal tersebut.
Pengaruh pengkotak-kotakan etnik ke dalam wilayah administratif menyebabkan terjadinya perbedaan motto dalam satu etnik karena berlainan wilayah administratif, misalnya kabupaten Bima dan Dompu merupakan satu etnik yaitu Mbojo. Tapi mottonya berbeda. Di Bima Maja Labo Dahu sedangkan di Dompu Nggahi Rawi Pahu
Penerapan motto-rnotto "daerah" tersebut (termasuk kabupaten/kota lain di NTB) masih sekedar wacana. Belum pernah ada penelitian mendalam seberapa jauh pengaruh tulisan-tulisan tersebut kepada perubahan perilaku masyarakat pendukung wilayah administratif tersebut. Baru sebatas kebanggaan para pemimpin daerah karena sudah mempunyai motto setara dengan kabupaten lain di Indonesia. Kalau kita simak sebenarnya motto-motto tersebut tetap akan berkisar kepada petuah-petuah kehidupan yang harus dipatuhi kalau ingin selamat dunia dan akhirat. Sumbawa misalnya dengan Sabalong Samalewa-nya berarti perbaiki dengan konsep keseimbangan (harmoni/balance), Lombok Timur dengan Patuh Karya berarti konsisten dan patuh dalam bekerja (tentang Etos Kerja), Lombok Tengah dengan Tatas Tuhu Trasna berarti cerdas dan sungguh-sungguh cinta (intelektualitas dan kesejahteraan), dan Lombok Barat dengan Patut Patuh Patju berarti terpuji, taat dan sungguh-sungguh dalam bekerja serta lain sebagainya.
Karena itu, untuk dapat memahami seberapa jauh rakyat NTB (kaitannya dengan pengaruh budaya Melayu) yang memiliki petatah-petitih, ungkapan-ungkapan tradisional dan kesenian bernafaskan Islam, yang saat ini mengalami krisis, hal-hal sebagai berikut perlu kita cermati bersama.
Di Sumbawa ada pesan moral lewat seuntai lawas yang mengusung dengan jelas konsep pemeliharaan atau respons terhadap krisis. Pesan tersebut berbunyi:
Lamin tutu sayang kemang
Jolo win lema tungka
Ma lema belo monyumping
Artinya :
Bila kamu betul-betul mencintai sekuntum bunga
Kalau pohonnya condong, harus segera ditopang
Agar kita abadi menyumping.
Jadi kita diingatkan bahwa dalam menyelesaikan masalah haruslah dikurangi kebiasaan kita untuk berdiskusi tentang sesuatu masalah tanpa ada usaha untuk sesegera mungkin menyelesaikannya (ingat drama "ADUH" Karya Putu Wijaya). Hal ini dilakukan agar tidak terjadi krisis kepercayaan di kalangan masyarakat.
Dalam menyelesaikan konflik, etnik Sumbawa sangat kental mengenal konsel saling. Saling Sadu (saling percaya), Saling Satingi (saling menghormati), Saling Satotang (saling mengingatkan), Saling Sakiki (saling pengertian dalam keprihatinan), Saling Beme (saling bombing), dan Saling Pendi (Saling Mengasihani). Apakah karena konsep saling inikah sehingga Sumbawa merupakan wilayah teraman di NTB? Kerusuhan terakhir terjadi pada 25 September 2003 sejak kerusuhan yang terjadi tanggal 17 November 1980. Artinya dalam rentang waktu 23 tahun Sumbawa aman dari konflik-konflik lokal. Dan masih banyak lagi khasanah budaya lokal yang layak direvitalisasi.
Pada saat ini, tidak dapat dipungkiri juga bahwa –sebagaimana dikatakan oleh Umar Kayam--hilangnya kekhasan etnik tersebut juga dikarenakan faktor "pemaksaan" selama bertahun-tahun agar selalu berkiblat kepada “budaya nasional” yang entah ada atau tidak, menyebabkan wajah-wajah tradisi tersebut menjadi musnah. Hal itu merupakan kerugian besar bagi republik ini seperti hilangnya spesies hutan tropis, ketika habitatnya dibabat demi pembangunan.
Bila bagian dari identitas kita hilang satu-persatu, akan tiba saatnya kita kehilangan semua sehingga tidak mengenal lagi diri sendiri. Sebagaimana Orang Sasak mengatakan Maraq Manuk Bekesena (seperti ayam di depan cermin, ia hanya mematuk-matuk bayangan di cermin (disangka musuh) karena tidak mengenal lagi bahwa bayangan tersebut adalah ia sendiri.
III. Kesimpulan/Saran
Pengaruh budaya Melayu sudah sejak lama ada di NTB dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam kurun waktu yang lama serta merupakan perekat keutuhan bangsa.
Semua kearifan lokal dalam segala bentuknya hanya akan merupakan wacana bila masyarakat dan pemerintah tidak punya kemauan politik (political will) yang jelas dalam pengimplementasiannya. Jika perlu harus ada legitimasi dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).
Sosialisasi kearifan lokal tersebut haruslah melibatkan secara optimal media yang ada dengan cara-cara yang komunikatif, sederhana dan tepat sasaran.
*) Makalah ini dibacakan oleh Utusan Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam
“Kongres Kebudayaan”, di Bukittinggi, Sumatra Barat
1. Menghadapi perubahan drastis yang terjadi secara mendasar seyogianya penentu kebijakan selain dituntut mempunyai kecerdasan individual, yang lebih penting lagi adalah kecerdasan sosial.
2. Rekayasa kontak-kontak sosial budaya haruslah menggunakan pendekatan budaya.
3. Institusi/pranata lokal yang diseragamkan ke dalam wilayah administratif pemerintahan ternyata menimbulkan kesan bahwa orang lebih mengenal "kebudayaan daerah" yang seakan-akan bertingkat-tingkat menurut pola daerah administrasi (Dati I, Dati II, dan lain-lain) ketimbang "kebudayaan asli dan lama".
4. Buah reformasi berupa suasana: demokratis, bebas dan terbuka telah dimaknai secara berlebihan dalam upaya pemenuhan akan identitas individu ataupun golongan sehingga berpotensi memicu konflik yang berkepanjangan yang tidak mustahil dapat melumpuhkan sendi-sendi kehidupan bangsa.
5. Kearifan lokal terabaikan sehingga cukup banyak terjadi marjinalisasi kelompok masyarakat/ etnik tertentu yang pada akhimya menimbulkan disintegrasi.
II. Pengaruh Budaya Melayu di NTB dan Potensinya Sebagai Perekat Persatuan
Ai ramena benrang ta
Tumung mo kemang kamate
Bukal bakolar kedawa
Bua kurena pang ninta
Ada kemang kurasate
Gugir kupli kenyawa
Dua bait sastra lisan tradisional etnik Sumbawa/Samawa (salah satu dari 3 etnik mayoritas di Nusa Tenggara Barat (NTB)) yang disebut LAWAS masih hidup dan berkembang hingga saat ini. Apa lagi pada event-event tertentu sering diadakan lomba Rabalas Lawas (berbalas pantun) antar muda-mudi.
Begitu pula yang ada pada etnik lainnya, yaitu: etnik Sasak (Lombok) disebut LELAKAQ dan etnik Mbojo (Bima) yang disebut PATU.
Komedi Stambul dikenal di Lombok dengan istilah Komedi Rudat. Kecuali adanya pengaruh Bali/Jawa di beberapa kawasan, rata-rata seni pertunjukan yang ada bernafaskan Islam. Di Lombok ada Zikir, Zaman, Rudat, Cilokaq; di Sumbawa ada Ratib, Rebana, Ode/Rea, Langko/Sakeco; sedangkan di Bima dan Dompu ada Hadrah dan Rawa Mbojo. Pemekaran Kebudayaan Melayu memang telah menjadi salah satu faktor pengikat masyarakat Indonesia yang majemuk.
Tersebar luasnya berbagai hasil kesenian Melayu secara mudah dan praktis tersebut antara lain disebabkan oleh penggunaan bahasa Melayu di wilayahnya yang sangat luas di Nusantara ini. Faktor agama Islam menjadi dasar yang kuat bagi Kebudayaan Melayu untuk dengan mudah mengalir kemana-mana dan diterima masyarakat, bahkan di luar lingkungannya. Demikian pula yang telah terjadi di NTB. Setelah mengetahui kenyataan tersebut masih tersisa sebuah pertanyaan, mampukah budaya Melayu (atau pengaruhnya) di NTB menjadi faktor perekat integrasi bangsa?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut perlu dikaji beberapa bentuk kearifan lokal yang masih layak dikaji untuk mendapatkan acuan dalam memahami dampak sekaligus perubahan sosial yang terjadi.
Lawas Sumbawa yang terdiri dari 2 bait sebagai pembuka bagian II tulisan ini mempunyai makna (nilai dasar) sebagai berikut :
Bila kita mencintai sesuatu (sesuatu yang dimaksud disini adalah bunga --bahasa Sumbawa kemang). Jika sesuatu itu rusak, gugur atau mendapat kesulitan. Maka harus kita bela walaupun taruhannya adalah nyawa. Begitu juga dengan Republik ini. Jangan biarkan dia rusak bercerai-berai. Kita harus membelanya mati-matian.
Suku Sasak mengenal sebuah ungkapan tradisional sebagai berikut :
Bareng anyong jar/sejukung, yang artinya : Kalau kita sudah satu perahu biarlah hancur-hancuran dan harus sehidup-semati.
Etnik Mbojo mengingatkan para pemimpin/elit politik lewat sebuah ungkapan tradisional :
Ai na kani ilmu mbia oo, Ma ese d hanta, Ma a wa di tonda.
Artinya : Jangan pakai ilmu belah bambu, yang diatas diangkat, yang dibawah diinjak-injak.
Ungkapan di atas mengandung peringatan/lampu merah bagi segenap pembuat kebijakan. Marjinalisasi rakyat yang sudah memang terpinggirkan akan menimbulkan kesenjangan baru yang menganga lebar menelan semua bentuk keserakahan kekuasaan.
Lalu bagaimana petuah etnik Mbojo agar pemimpin disegani rakyat dan konflik dapat dikelola dengan baik? Mereka mempunyai nasehat yang baku terhadap siapapun yakni Nggahi rawi pahu yang berarti satu kata dengan perbuatan. Sifat yang sangat langka dimiliki seorang pemimpin saat ini.
Aspek-aspek kearifan lokal memang tersebar dalam kehidupan sehari-hari (daur hidup) masyarakatnya seperti upacara-upacara, arsitektur dan ungkapan tradisional ataupun sastra lisan. Termasuk di dalamnya Bagaimana etnik-etnik mayoritas tersebut mengimplementasikan kekuatan-kekuatan yang dikandung oleh kearifan-kearifan lokal tersebut.
Pengaruh pengkotak-kotakan etnik ke dalam wilayah administratif menyebabkan terjadinya perbedaan motto dalam satu etnik karena berlainan wilayah administratif, misalnya kabupaten Bima dan Dompu merupakan satu etnik yaitu Mbojo. Tapi mottonya berbeda. Di Bima Maja Labo Dahu sedangkan di Dompu Nggahi Rawi Pahu
Penerapan motto-rnotto "daerah" tersebut (termasuk kabupaten/kota lain di NTB) masih sekedar wacana. Belum pernah ada penelitian mendalam seberapa jauh pengaruh tulisan-tulisan tersebut kepada perubahan perilaku masyarakat pendukung wilayah administratif tersebut. Baru sebatas kebanggaan para pemimpin daerah karena sudah mempunyai motto setara dengan kabupaten lain di Indonesia. Kalau kita simak sebenarnya motto-motto tersebut tetap akan berkisar kepada petuah-petuah kehidupan yang harus dipatuhi kalau ingin selamat dunia dan akhirat. Sumbawa misalnya dengan Sabalong Samalewa-nya berarti perbaiki dengan konsep keseimbangan (harmoni/balance), Lombok Timur dengan Patuh Karya berarti konsisten dan patuh dalam bekerja (tentang Etos Kerja), Lombok Tengah dengan Tatas Tuhu Trasna berarti cerdas dan sungguh-sungguh cinta (intelektualitas dan kesejahteraan), dan Lombok Barat dengan Patut Patuh Patju berarti terpuji, taat dan sungguh-sungguh dalam bekerja serta lain sebagainya.
Karena itu, untuk dapat memahami seberapa jauh rakyat NTB (kaitannya dengan pengaruh budaya Melayu) yang memiliki petatah-petitih, ungkapan-ungkapan tradisional dan kesenian bernafaskan Islam, yang saat ini mengalami krisis, hal-hal sebagai berikut perlu kita cermati bersama.
Di Sumbawa ada pesan moral lewat seuntai lawas yang mengusung dengan jelas konsep pemeliharaan atau respons terhadap krisis. Pesan tersebut berbunyi:
Lamin tutu sayang kemang
Jolo win lema tungka
Ma lema belo monyumping
Artinya :
Bila kamu betul-betul mencintai sekuntum bunga
Kalau pohonnya condong, harus segera ditopang
Agar kita abadi menyumping.
Jadi kita diingatkan bahwa dalam menyelesaikan masalah haruslah dikurangi kebiasaan kita untuk berdiskusi tentang sesuatu masalah tanpa ada usaha untuk sesegera mungkin menyelesaikannya (ingat drama "ADUH" Karya Putu Wijaya). Hal ini dilakukan agar tidak terjadi krisis kepercayaan di kalangan masyarakat.
Dalam menyelesaikan konflik, etnik Sumbawa sangat kental mengenal konsel saling. Saling Sadu (saling percaya), Saling Satingi (saling menghormati), Saling Satotang (saling mengingatkan), Saling Sakiki (saling pengertian dalam keprihatinan), Saling Beme (saling bombing), dan Saling Pendi (Saling Mengasihani). Apakah karena konsep saling inikah sehingga Sumbawa merupakan wilayah teraman di NTB? Kerusuhan terakhir terjadi pada 25 September 2003 sejak kerusuhan yang terjadi tanggal 17 November 1980. Artinya dalam rentang waktu 23 tahun Sumbawa aman dari konflik-konflik lokal. Dan masih banyak lagi khasanah budaya lokal yang layak direvitalisasi.
Pada saat ini, tidak dapat dipungkiri juga bahwa –sebagaimana dikatakan oleh Umar Kayam--hilangnya kekhasan etnik tersebut juga dikarenakan faktor "pemaksaan" selama bertahun-tahun agar selalu berkiblat kepada “budaya nasional” yang entah ada atau tidak, menyebabkan wajah-wajah tradisi tersebut menjadi musnah. Hal itu merupakan kerugian besar bagi republik ini seperti hilangnya spesies hutan tropis, ketika habitatnya dibabat demi pembangunan.
Bila bagian dari identitas kita hilang satu-persatu, akan tiba saatnya kita kehilangan semua sehingga tidak mengenal lagi diri sendiri. Sebagaimana Orang Sasak mengatakan Maraq Manuk Bekesena (seperti ayam di depan cermin, ia hanya mematuk-matuk bayangan di cermin (disangka musuh) karena tidak mengenal lagi bahwa bayangan tersebut adalah ia sendiri.
III. Kesimpulan/Saran
Pengaruh budaya Melayu sudah sejak lama ada di NTB dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat dalam kurun waktu yang lama serta merupakan perekat keutuhan bangsa.
Semua kearifan lokal dalam segala bentuknya hanya akan merupakan wacana bila masyarakat dan pemerintah tidak punya kemauan politik (political will) yang jelas dalam pengimplementasiannya. Jika perlu harus ada legitimasi dalam bentuk Peraturan Daerah (Perda).
Sosialisasi kearifan lokal tersebut haruslah melibatkan secara optimal media yang ada dengan cara-cara yang komunikatif, sederhana dan tepat sasaran.
*) Makalah ini dibacakan oleh Utusan Provinsi Nusa Tenggara Barat dalam
“Kongres Kebudayaan”, di Bukittinggi, Sumatra Barat