Sejak zaman dulu, bangsa Cina dikenal memiliki kebudayaan yang tinggi. Berbagai peninggalan berupa bangunan maupun karya sastra serta benda-benda seni lain dapat disaksikan keunggulannya hingga kini. Kebudayaan Cina tersebut menyebar ke seluruh dunia dan saling memengaruhi. Salah satunya adalah arsitektur Cina yang berdiaspora dengan arsitektur-asritektur dari kebudayaan lain yang melahirkan kebudayaan baru.
Namun sayang, akibat belum banyaknya penelusuran terhadap temuan kebudayaan baru tersebut, khazanahnya belum banyak diperbincangkan. Sejauh manakah arsitektur Cina ini berpadu dengan arsitektur dari kebudayaan lain untuk kemudian menjadi paradigma baru dalam cara pandang ideologi, sikap politik, ataupun tatanan kehidupan bermasyarakat yang lebih luas?
Menurut Dr. Johannes Widodo, Ph.D. dari Universitas Nasional Singapura, secara ideologis politis, identitas kecinaan saat ini berujung pada idiom Chines More or Less atau "Orang Cina Bukan Cina" (OCBC). Pasalnya, hampir sebagian besar orang Cina yang menyebar di seluruh dunia sudah menjadi orang Cina dalam identitasnya yang baru.
Dalam seminar internasional bertajuk “Chinese Diaspora‘s Culture in Art & Design in Asia Pasific” yang diselenggarakan FSRD Universitas Kristen Maranatha Bandung itu Johannes menyatakan, sebagai bangsa rantau dari negeri yang lebih banyak mengenyam kemiskinan dan pahit getir akibat jomplangnya kehidupan Cina kekaisaran di utara dengan Cina biasa di selatan, terbentuklah karakter Cina baru yang sangat adaptif. Cina yang selalu memosisikan dirinya berada di pihak yang netral. Jika para perantau Cina merapat di satu kepulauan atau negara, mereka akan mengikuti upacara adat tradisi daerah setempat tersebut dahulu sebagai bentuk kulo nuwun terhadap leluhur setempat.
Patung-patung seperti "Datuk Kong" di Kucing, Malaysia, merupakan bentuk dari sikap adaptifnya Cina perantauan. Datuk di kawasan Melayu diyakini sebagai tetua adat. Sedangkan Kong tokoh serupa bagi keyakinan orang Cina. Berkat terjadi penyatuan antara dua kebudayaan Cina dan Melayu, lahirlah patung "Datuk Kong" sebagai hibrid baru kebudayaan.
Uniknya, patung yang lebih identik sebagai totem ini, diterima kedua belak pihak, baik masyarakat Cina pendatang maupun masyarakat Melayu setempat. Ornamennya pun lebih unik, berupa seorang Datuk mengenakan sarung batik, bermata sipit, dengan peci haji, dan menjadi penjaga pintu masuk tempat peribadatan.
Dalam kekayaan arsitektur lainnya, kebudayaan hibrid OCBC menyebar pada berbagai arsitektur dermaga pelabuhan, masjid, perkampungan Cina (China Town), rumah adat setempat seperti Rumah Tulo di Kalimantan Barat, kelenteng, atau yang paling modern pada bentuk arsitektur shop houses di Eropa. Termasuk pada model canton yang masih banyak dipergunakan di sebagian besar negara dengan transformasi air.
Pada arsitektur masjid, simbiosis kedua kebudayaan Cina-Islam itu membaur seakan menjadi satu dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan ketika Portugis menguasai Indonesia pun, pengaruh itu masuk sedemikian rupa menjadikan kebudayaan hibrid baru dari Cina (BudDha, Tao)-Indonesia/Melayu (Islam)-Portugis (Kristen) melahirkan mesjid dengan arsitektur atap berbentuk salib (Portugis), bel (Hindu), dan ornamen Melayu (Islam). Dengan fungsi yang tetap sama sebagai mesjid.
Peleburan berbagai kebudayaan ini menjadi bukti bahwa secara vertikal, masyarakat dari ketiga kebudayaan tersebut tetap meyakini kepercayaannya masing-masing. Sedangkan secara horizontal, mereka tetap hidup berdampingan dengan identitas kebaruannya yang mereka terima.
**
Jika penelusuran ini dipetakan, terdapat lima aspek yang berdiaspora menjadi kebudayaan baru yang hibrid, yakni persoalan tata ruang, pakaian (busana), warna, dan arsitektur. Termasuk juga berbagai jenis kesenian dan sastra.
Warna kuning keemasan di Palembang, contohnya. Warna ini sama halnya dengan warna merah dan kuning keemasan dalam khazanah warna Cina, diyakini sebagai lambang kekayaan dan kejayaan. Lambang kekaisaran yang agung dan terhormat. Begitu juga dengan ornamen dermaga pelabuhan. Setiap pancang dermaga pelabuhan merupakan perpaduan antara arsitektur Cina (pendatang) dan arsitektur setempat (lokal).
Desain kampung juga demikian. Kampung Cina dan Kampung Melayu, umpamanya, menempatkan ruang publik pada bagian tengah desain kampungnya. Bagian tengah ini menjadi wilayah paling terbuka dibandingkan bagian atas yang biasanya menjadi tempat upacara keagamaan seperti konsep Kampung Cina Tangkera di Pantai Melaka.
Menurut Widodo, nama Muhammad Cheng Hoo juga bentuk penghormatan kepada Laksamana Haji Zheng Hee atau dikenal dengan nama Ma Zheng He. “Bagi masyarakat Indonesia terutama masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, nama Laksamana Haji Zheng Hee atau Muhammad Cheng Hoo sudah cukup dikenal, sekalipun lebih dikenal dengan nama Sam Poo Kong. Masyarakat Jawa bahkan mengenalnya dengan sebutan Dampo Awang,‘‘ katanya.
Ekspedisi Laksamana H.M. Cheng Hoo (tahun 1405-1433 M) untuk keliling dunia membuka “Jalur Sutra dan Keramik‘‘, selalu melintasi Indonesia. Daerah-daerah yang pernah dikunjungi Cheng Hoo antara lain, Pulau Jawa, Palembang, Aceh, Lamuri, Batak, Lide, Pulau Aru, Tamiang, Pulau Brass, Pulau Lingga, Kalimantan, Pulau Gelam, Pulau Karimata, dan Beliton.
Di Jawa, panglima perang sekaligus Muslim yang saleh, Cheng Hoo bersama anak buahnya mendirikan sejumlah masjid dan musala. Ekspedisinya melewati Indonesia berlangsung pada masa Kerajaan Majapahit, Kerajaan Samboja di Palembang, dan Kerajaan Samudra Pasai di Aceh masih berjaya.
Sebetulnya, Cheng Hoo sudah pernah membangun masjid di beberapa tempat dalam perjalanan ekspedisi lainnya seperti di Gedung Batu Semarang yang sekarang dikenal menjadi Klenteng Sam Poo Kong dan beberapa musala di Ancol Jakarta, Cirebon Jawa Barat, dan di pantai utara Jatim mulai Tuban, Gresik, Surabaya (Klenteng Makam Mbah Ratu).
**
Dari semua penelusuran Widodo, terdapat satu benang merah. Terjadi suatu proses metafisis kebudayaan yang kemudian berdiaspora melahirkan suatu kebudayaan baru yang hibrid. Sebuah identitas baru yang lebih bhineka dari sebelumnya.
Pada tataran ideologis, kelahiran kebudayaan hibrid menggiring semakin lumpuhnya paham-paham fanatisme ataupun fasisme yang (mungkin) masih dianut sebagian masyarakat. Bukankah dengan semakin banyak kebudayaan hibrid seperti ini, semakin tidak bisa (lagi) seseorang menyatakan dirinya paling pribumi, paling asli. Kecuali jika seseorang itu adalah Hitler yang rezimnya kini sudah hancur. (Eriyanti Nurmala Dewi/"PR")***
Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com
Namun sayang, akibat belum banyaknya penelusuran terhadap temuan kebudayaan baru tersebut, khazanahnya belum banyak diperbincangkan. Sejauh manakah arsitektur Cina ini berpadu dengan arsitektur dari kebudayaan lain untuk kemudian menjadi paradigma baru dalam cara pandang ideologi, sikap politik, ataupun tatanan kehidupan bermasyarakat yang lebih luas?
Menurut Dr. Johannes Widodo, Ph.D. dari Universitas Nasional Singapura, secara ideologis politis, identitas kecinaan saat ini berujung pada idiom Chines More or Less atau "Orang Cina Bukan Cina" (OCBC). Pasalnya, hampir sebagian besar orang Cina yang menyebar di seluruh dunia sudah menjadi orang Cina dalam identitasnya yang baru.
Dalam seminar internasional bertajuk “Chinese Diaspora‘s Culture in Art & Design in Asia Pasific” yang diselenggarakan FSRD Universitas Kristen Maranatha Bandung itu Johannes menyatakan, sebagai bangsa rantau dari negeri yang lebih banyak mengenyam kemiskinan dan pahit getir akibat jomplangnya kehidupan Cina kekaisaran di utara dengan Cina biasa di selatan, terbentuklah karakter Cina baru yang sangat adaptif. Cina yang selalu memosisikan dirinya berada di pihak yang netral. Jika para perantau Cina merapat di satu kepulauan atau negara, mereka akan mengikuti upacara adat tradisi daerah setempat tersebut dahulu sebagai bentuk kulo nuwun terhadap leluhur setempat.
Patung-patung seperti "Datuk Kong" di Kucing, Malaysia, merupakan bentuk dari sikap adaptifnya Cina perantauan. Datuk di kawasan Melayu diyakini sebagai tetua adat. Sedangkan Kong tokoh serupa bagi keyakinan orang Cina. Berkat terjadi penyatuan antara dua kebudayaan Cina dan Melayu, lahirlah patung "Datuk Kong" sebagai hibrid baru kebudayaan.
Uniknya, patung yang lebih identik sebagai totem ini, diterima kedua belak pihak, baik masyarakat Cina pendatang maupun masyarakat Melayu setempat. Ornamennya pun lebih unik, berupa seorang Datuk mengenakan sarung batik, bermata sipit, dengan peci haji, dan menjadi penjaga pintu masuk tempat peribadatan.
Dalam kekayaan arsitektur lainnya, kebudayaan hibrid OCBC menyebar pada berbagai arsitektur dermaga pelabuhan, masjid, perkampungan Cina (China Town), rumah adat setempat seperti Rumah Tulo di Kalimantan Barat, kelenteng, atau yang paling modern pada bentuk arsitektur shop houses di Eropa. Termasuk pada model canton yang masih banyak dipergunakan di sebagian besar negara dengan transformasi air.
Pada arsitektur masjid, simbiosis kedua kebudayaan Cina-Islam itu membaur seakan menjadi satu dan tidak dapat dipisahkan. Bahkan ketika Portugis menguasai Indonesia pun, pengaruh itu masuk sedemikian rupa menjadikan kebudayaan hibrid baru dari Cina (BudDha, Tao)-Indonesia/Melayu (Islam)-Portugis (Kristen) melahirkan mesjid dengan arsitektur atap berbentuk salib (Portugis), bel (Hindu), dan ornamen Melayu (Islam). Dengan fungsi yang tetap sama sebagai mesjid.
Peleburan berbagai kebudayaan ini menjadi bukti bahwa secara vertikal, masyarakat dari ketiga kebudayaan tersebut tetap meyakini kepercayaannya masing-masing. Sedangkan secara horizontal, mereka tetap hidup berdampingan dengan identitas kebaruannya yang mereka terima.
**
Jika penelusuran ini dipetakan, terdapat lima aspek yang berdiaspora menjadi kebudayaan baru yang hibrid, yakni persoalan tata ruang, pakaian (busana), warna, dan arsitektur. Termasuk juga berbagai jenis kesenian dan sastra.
Warna kuning keemasan di Palembang, contohnya. Warna ini sama halnya dengan warna merah dan kuning keemasan dalam khazanah warna Cina, diyakini sebagai lambang kekayaan dan kejayaan. Lambang kekaisaran yang agung dan terhormat. Begitu juga dengan ornamen dermaga pelabuhan. Setiap pancang dermaga pelabuhan merupakan perpaduan antara arsitektur Cina (pendatang) dan arsitektur setempat (lokal).
Desain kampung juga demikian. Kampung Cina dan Kampung Melayu, umpamanya, menempatkan ruang publik pada bagian tengah desain kampungnya. Bagian tengah ini menjadi wilayah paling terbuka dibandingkan bagian atas yang biasanya menjadi tempat upacara keagamaan seperti konsep Kampung Cina Tangkera di Pantai Melaka.
Menurut Widodo, nama Muhammad Cheng Hoo juga bentuk penghormatan kepada Laksamana Haji Zheng Hee atau dikenal dengan nama Ma Zheng He. “Bagi masyarakat Indonesia terutama masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia, nama Laksamana Haji Zheng Hee atau Muhammad Cheng Hoo sudah cukup dikenal, sekalipun lebih dikenal dengan nama Sam Poo Kong. Masyarakat Jawa bahkan mengenalnya dengan sebutan Dampo Awang,‘‘ katanya.
Ekspedisi Laksamana H.M. Cheng Hoo (tahun 1405-1433 M) untuk keliling dunia membuka “Jalur Sutra dan Keramik‘‘, selalu melintasi Indonesia. Daerah-daerah yang pernah dikunjungi Cheng Hoo antara lain, Pulau Jawa, Palembang, Aceh, Lamuri, Batak, Lide, Pulau Aru, Tamiang, Pulau Brass, Pulau Lingga, Kalimantan, Pulau Gelam, Pulau Karimata, dan Beliton.
Di Jawa, panglima perang sekaligus Muslim yang saleh, Cheng Hoo bersama anak buahnya mendirikan sejumlah masjid dan musala. Ekspedisinya melewati Indonesia berlangsung pada masa Kerajaan Majapahit, Kerajaan Samboja di Palembang, dan Kerajaan Samudra Pasai di Aceh masih berjaya.
Sebetulnya, Cheng Hoo sudah pernah membangun masjid di beberapa tempat dalam perjalanan ekspedisi lainnya seperti di Gedung Batu Semarang yang sekarang dikenal menjadi Klenteng Sam Poo Kong dan beberapa musala di Ancol Jakarta, Cirebon Jawa Barat, dan di pantai utara Jatim mulai Tuban, Gresik, Surabaya (Klenteng Makam Mbah Ratu).
**
Dari semua penelusuran Widodo, terdapat satu benang merah. Terjadi suatu proses metafisis kebudayaan yang kemudian berdiaspora melahirkan suatu kebudayaan baru yang hibrid. Sebuah identitas baru yang lebih bhineka dari sebelumnya.
Pada tataran ideologis, kelahiran kebudayaan hibrid menggiring semakin lumpuhnya paham-paham fanatisme ataupun fasisme yang (mungkin) masih dianut sebagian masyarakat. Bukankah dengan semakin banyak kebudayaan hibrid seperti ini, semakin tidak bisa (lagi) seseorang menyatakan dirinya paling pribumi, paling asli. Kecuali jika seseorang itu adalah Hitler yang rezimnya kini sudah hancur. (Eriyanti Nurmala Dewi/"PR")***
Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com