Riau dan Dunia Naskah Melayu Lama

Oleh : Hasan Yunus

Dalam makalah ini penulis ingin mengungkapkan bahwa tulisan tangan (manuskrip) Melayu lama di Riau telah dicetak pada percetakan di Penyengat dan Siak Sri Indrapura. Berkat adanya naskah cetakan itu, dunia kesusastraan Riau dan sekaligus daerah Riau dipandang telah memberikan andil dalam perluasan serta pengembangan kebudayaan Indonesia. Senarai karya Melayu di Penyengat terdiri dari 32 naskah dan jumlah ini telah bertambah menjadi 75 buah naskah.

1. Pendahuluan
“Alkisah, tersebutlah perkataan sebuah negeri di tanah Andalas, Palembang namanya. Nama rajanya Demang Lebar Daun, asalnya dari anak cucu Raja Sulan juga. Negeri itulah yang saat ini dikenal dengan Palembang. Muara Tatang nama sungainya, di bagian hulu ada sebuah sungai bernama Melayu. Dalam sungai itu ada satu bukit bernama Bukit Si Guntang. Di hulu bukit, ada Gunung Mahameru dan di daratnya ada satu padang bernama Padang Penjaringan”.

Paparan dalam Sulalatussalatin di atas menunjuk pada tempat asal negeri orang Melayu. Negeri orang Melayu juga berarti tempat dipakainya bahasa Melayu pilihan (par excellence). Sosok tertua bahasa Melayu terdapat pada piagampiagam seperti yang terdapat di Talang Tuo, Kedukan Bukit, Karang Berahi, dan sebagainya.

Bahwa kemudian negeri orang Melayu itu berpindah dari satu tempat ke tempat lain, antara lain menyeberang ke Pulau Bintan, ke Tumasik, ke Malaka, ke Johor, lalu ke Riau telah terpola oleh perjalanan sejarah. Dilihat dari pemakaian bahasa, daerah kebudayaan Melayu menjadi luas mengembang lebih dari sekadar pusat-pusat pemerintahan para Raja Melayu saja. Dari pemakaian bahasa Melayu par excellence dihasilkan kesusastraan, sedangkan kesusastraan Melayu klasik ialah turunan pertama kesusastraan yang kemudian berkembang menjadi kesusastraan Indonesia.

Bahasa yang dibina dari puncak-puncak Gunung Sriwijaya itu kemudian mengikuti aliran sungai sampai ke perairan di kedua sisi Selat Malaka, lalu menyebar ke sebelah Nusantara. Bahasa Melayu yang manis lembut, yang oleh Dr. Alessandro Bausani disebut bahasa Itali Dunia Timur itu menghasilkan puncak-puncak karya seperti Sulalatussalatin oleh Tuan Sen Lanang, Akhbar al-Akhira oleh Nuruddin Arraniri, Ini’rat al-Mu’min oleh Syamsuddin Pasai, Syarah al-Asyikin dan Asrar al-Arifin oleh Hamzah Fansuri, Bustan al Katibin dan Tuhfat al-Nafis oleh Raja Ali Haji, dan lain-lain.

Semua karya itu pada mulanya disajikan dalam bentuk tulisan tangan (manuskrip) yang dikenal luas di seluruh dunia berkat pekerjaan para ahli bangsa Eropa. Menurut Dr. Sri Wulan Rujiati Mulyadi, karangan tulisan tangan Melayu lama itu tersebar di 28 negara, dengan perkiraan terakhir sebanyak lebih kurang 10.000 naskah (Rujiati-Mulyadi, 1985). Seandainya kapal yang mengangkut naskah-naskah Melayu lama pada masa Raffles tidak mengalami kecelakaan sebagaimana dikabarkan oleh Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi dalam catatan peristiwanya, tentulah jumlah itu lebih banyak. Jumlah tersebut memang lebih dari yang tercatat, karena tentu masih cukup banyak naskah-naskah lama Melayu yang berada dalam simpanan perorangan, terutama di negeri kita.

Pemakaian aksara dan bahasa Arab dalam penulisan karya berbahasa Melayu perlu diberikan aksentuasi karena cirinya yang khas. Hingga awal abad ke-20, bahasa Arab menduduki tempat penting di negeri-negeri Melayu dan lebih terpakai daripada bahasa-bahasa Eropa, terutama karena agama Islam merupakan agama orang Melayu. Makna “Melayu” tidak hanya terkait dengan etnik, tetapi berkait juga dengan aspek kultural, misalnya dengan bahasa. Daerah-daerah berbahasa Melayu di Indonesia meliputi Temiang di selatan Aceh, bekas daerah Kerajaan Melayu di Sumatera Timur, Riau, Jambi, bagian selatan Sumatera, Kalimantan Barat, Jakarta, Sulawesi Utara, Maliku, dan sebagian Nusa Tenggara.

Dari pemakaian berbagai macam aksara untuk menuliskan bahasa Melayu, terlihat sifat liuk-lentur (luwes, fleksibel) dari kebudayaan Melayu yang terbuka dan menapis pengaruh-pengaruh dari semua penjuru dunia tanpa menyampaikan kegunaan praktis. Sejalan dengan perjalanan waktu, aksara yang berasal dari India diganti dengan huruf Arab dan pada gilirannya ditinggalkan untuk diganti dengan huruf Latin. Ketika kebesaran Malaka memperlihatkan garis deklivitasi, pada masa itulah agaknya orang Melayu mencipta sampiran sebuah pantun terkenal yang berbunyi “Kalau roboh kota Malaka, papan di Jawa penulis tegakkan” yang dengan tepat merupakan ramalan masa depan bagi bahasa dan kebudayaan Melayu.

Perjanjian Den Haag (1795) antara Inggris dan Belanda menyebabkan Inggris mudah mendapatkan Malaka dari tangan saingannya. Kekebalan kota itu buyar ketika Willian Farquhar meruntuhkan tembok-tembok perkasa kota itu dengan senjata. Abdullah bin Abdul Kadir Munsyi mengisahkan bahwa batu-batu yang dirobohkan itu ada yang dibawa ke Betawi dan Riau.

2. Pencetakan Karya Tulisan Tangan
Gambaran profetik yang menyerupai sebuah cerita tamsil ini menyatakan bahwa Riau tidak dibina dengan bahan papan, tetapi ditegakkan di atas pondasi tegap dan kokoh batu-batu kota Malaka. Begitu kendali sebuah negeri diatur, begitu pula bahasa dan sastranya dibina untuk melanjutkan prestasi yang sudah ada sebelumnya. Pada bahasa, martabat suatu bangsa dipertahankan. Tentang tenaga yang terkandung dalam bahasa dan sastra itulah pengarang Raja Ali Haji menyatakan dalam mukaddimah bukunya, Bustan al Katibin:

Segala pekerjaan pedang itu boleh dibuat dengan kalam adapun pekerjaan kalam itu tiada boleh dibuat dengan pedang dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus dengan segores kalam jadi tersarung.

Masih dalam membahas bahasa dan sastra yang terdapat dalam mukadimah itu, sang pengarang menyitir syair Persia yang berbunyi:

Qalam kuyat Lamar, syahi jahanam Qalam kasyarbad walad marsanam Kata pena akulah raja ini dunia Siapa saja yang mengambil aku dengan tangannya akan kusampaikan kerjanya Tiponomi Riau, entah itu berasal dari penuturan rakyat setempat yang diangkat dari kata “riuh” ‘bising’, dari penamaan orang Portugis “rio” yang berarti ‘sungai’, atau yang dinyatakan oleh Oemar Amin Hoesin (alm.) berasal dari Sindbad al-Bahar, tokoh dalam Alfu Laila Wa Laila yang menyebutnya “riahi”, semula diartikan ‘sebuah tempat di Pulau Bintan’ ketika tempat itu menjadi pusat Kerajaan Riau-Lingga yang pada periode akhir lebih kurang meliputi Kabupaten Kepulauan Riau. Penataan administrasi pemerintah Hindia Belanda memakai nama Riau untuk daerah yang lebih luas, demikian juga pada masa pendudukan Jepang. Akhirnya, nama Riau dipakai sebagai sebuah provinsi seperti yang dikenal sekarang.

Dua dekade sebelum memasuki abad ke-20, di Riau sudah terdapat sarana percetakan yang dulunya berbentuk karangan tulisan tangan. Percetakan-percetakan itu, sebagaimana dapat disaksikan dari koleksi di Yayasan Indera Sakti Pulau Penyengat, ialah Ofis Cap Kerajaan di Lingga, Mathba’at al Ahmadiah dan Mathba’at al Riauwiyah di Penyengat, dan Percetakan Kerajaan di Siak Sri Indrapura. Dengan demikian, zaman karangan dengan tulisan tangan pun berakhir. Keakraban membaca manuskrip telah menjadi lampau dan hanya dilakukan oleh sekelompok kecil orang-orang terdidik dan penggemar. Sementara itu, manuskrip kian langka dan pendekatan terhadapnya menjadi mahal.

Akan tetapi, zaman tersebut –yang oleh para ahli dan para penggemar mungkin disebut masa lampau yang bagus untuk menyalin ungkapan “guten alten Zeit”–, tidaklah berakhir secara mendadak. Percetakan-percetakan awal di beberapa Kerajaan Melayu pada tingkat pertama memang mencetak karangan-karangan lama yang dibuat dengan tulisan tangan, lalu meneruskannya dengan mencetak karya semasa yang juga masih dalam tulisan tangan. Mesin tulis baru mengambil tempatnya pada paruh terakhir abad ini. Oleh karena itulah, manuskrip masih terus dapat dijumpai ketika percetakan awal itu berjalan.

Para pengarang lama yang menulis dengan tulisan tangan tentulah tidak mendapat pembaca yang luas. Mereka pun barangkali tidak pernah membayangkan karya mereka dibaca oleh orang banyak dan “orang kebanyakan”. Kalangan pembaca karya mereka telah ditapis oleh ketentuan dan keharusan zaman itu, sehingga terpilih dan akrab sifatnya. Manuskrip senantiasa memiliki sisi-sisi yang tidak terdapat dalam karya tercetak yang bersifat massal itu. Seperti karya seni lukis, sebuah manuskrip unik dan mencerminkan bayangan jiwa karangan oleh si pengarang atau gambaran jiwa si penyalin.

Sebagai salah satu wilayah kebudayaan Melayu, Riau telah ikut menyumbangkan khazanah budayanya kepada dunia kesusastraan. Sekarang pun daerah ini –yang dipandang dari keluasan sejarah kebudayaan Indonesia menjadi sebuah pilar penunjang– tampak hendak terus membuahkan karya. Salah satu tuntutan peradaban ialah karya hari ini hendaklah lebih banyak daripada apa yang telah dihasilkan kemarin. Kalau tidak, kita yang berada di sini dan kini dapat dikatakan mengalami kemunduran.

Senarai karya-karya lama Riau, baik yang masih berupa manuskrip maupun yang sudah tercetak, telah dibuat oleh beberapa ahli/peminat. Jamilah Haji Ahmad dalam Dewan Sastera (Desember 1983) telah membuat senarai karya dari Penyengat berdasarkan makalah Virginia Matheson, “The Syair As An Ending Genre”. Jamilah Haji Ahmad mencatat 32 karangan. Jumlah ini berkembang dari hasil ketekunan Abu Hassan Sham dari Universitas Malaya, dari lembaga, dan dari perorangan lainnya.

3. Sumbangan Riau Dalam Naskah Lama Melayu
“Berapa banyakkah sumbangan Riau di antara lebih kurang 10.000 naskah lama Melayu yang bertebaran di 28 buah negara itu?” Untuk dapat menentukan jumlah yang pasti masih memerlukan waktu, ketekunan, dan kesempatan untuk mendapatkannya. Dalam hal ini, seorang penyalin juga harus dimasukkan ke dalam perhitungan, karena pekerjaan menyalin/menulis merupakan sumbangan yang tak kalah besarnya dengan sang pengarang. Dalam pengantar buku Hikayat Dewa Mandu Epopee Malaise, Dr. Henri Chambert-Loir (1980: 26–300) menyatakan bahwa terdapat empat manuskrip tentang hikayat tersebut yang berasal dari Semenanjung Melayu atau Riau. Beliau memperkenalkan seorang penyalin paling piawai dari Riau yang pernah menyalin hikayat itu atas permintaan H. van de Wall, yaitu Husain bin Ismail. Bahkan ia juga menyatakan ciri-ciri tulisan tangan penyalin ini secara terperinci.

Menurut catatan, Husain bin Ismail bekerja sebagai penyalin di Penyengat dari tahun 1837 hingga 1865. Hasil salinannya, Syair Hans Fadhilah dan Hikayat Syahi Mardan, kini tersimpan di perpustakaan School of Oriental and African Studies di London, sedangkan Hikayat Muhammad Hanafiah tersimpan di Library of Congress di Washington. Dalam “Les Manuscripts Malais de Bale, Lund, Singapour et Paris” (Archipel No. 20/1980), Dr. Henri Chambert-Loir menyatakan bahwa hasil salinan Husien bin Ismail sejauh ini tercatat 75 buah, termasuk yang sekarang tersimpan di perpustakaan Universitas Lund di Swedia. Beberapa karya lama dari Riau juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, bahasa Belanda, dan bahasa Jerman. Dari hasil yang disusun oleh Dr. Henri Chambert-Loir, Bibliographie de la Litterature Malaise Entraduction, dapat diketahui bahwa karangan Raja Haji Ahmad, Riau Syair Raksi; karangan Raja Ali Haji, Peringatan Sejarah Negeri Johor, Silsilah Melayu dan Bugis, Tuhfat al-Nafis, Gurimdam Dua Belas, Bustan al-Katibin, Syair Abdul Muluk; dan karangan Marhum Kantor, Syair Nasihat, adalah karya-karya Riau yang sudah diterjemahkan (Chambert-Loir, 1975).

4. Penutup
Akhirnya, berikut ini dilampirkan transliterasi sebuah manuskrip Melayu berjudul Ikatan Setia, dengan maksud mengajak para pembaca menyimaknya. Sayangnya, ini hanya sebuah transliterasi. Banyak faset dan sisi sebuah manuskrip tentu luput dari pengamatan kita seperti gaya tulisan (khat), tanda air dan usia naskah, dan lainnya. Naskah Ikatan Setia ini bahkan tidak diketahui tahun penulisannya karena kerusakan kertas. Tentu bukan hanya naskah ini saja yang dijumpai di Riau tahun-tahun terakhir ini.

Daftar Pustaka
Ahmad, S. 1979. Sulalatus Salatin. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.
Chambert-Loir, H. 1975. “Bibliographe de la Litterature Malaise Entraduction”. Bulletin de l’Ecole Francaise d’ Extreme-Orient, Tome LXII, Paris (Extrait).
––––––––––––. 1980. Hikayat Dewa Mandu Propee Malaise, L’ Ecole Francaise d’ Extreme-Orient, Paris.
––––––––––––. 1980. “Les Manuskript Malais de Bale, Lenid, Singapour et Paris”. Archipel No. 20.
Damono, S. D. 1983. Sejarah Kesusasteraan Indonesia Modern. Jakarta: Gramedia.
Rujiati-Mulyadi, S. W. 1985. Dunia Naskah Melayu Kuno. Makalah Pertemuan Budaya Melayu Pekanbaru.
oooOooo
__________
Hasan Yunus, adalah budayawan yang dilahirkan di Penyengat/Tanjungpinang, pada 12 Januari 1941. Pernah belajar di jurusan Sejarah dan jurusan Antro¬pologi Fakultas Sastra, Universitas Padjadjaran, Bandung. Banyak menulis karya ilmiah di berbagai media seperti Horison, Indonesia Raya, Cerpen, Metro, Sarinah, Berita Minggu, Suara Karya Minggu, dan Haluan.
__________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau.