Ritual Tolak Bala, Instropeksi dan Berserah Diri

Lingkungan Peresak Timur, Kelurahan Pagutan, Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), sore menjelang azan magrib. Gang-gang kampung penuh sesak oleh anak-anak, orang dewasa, ataupun orang tua.

Mereka berjalan mengitari kampung sambil melafazkan salawat dan zikir. Yang perempuan mengenakan mukena, sedangkan yang lelaki memakai baju koko warna putih. Di tiap persimpangan gang salah seorang dari mereka mengumandangkan azan.

"Parade" jalan-jalan itu berakhir di masjid kampung itu, diikuti zikir dan doa. Selanjutnya, warga disuguhi bubur putih.

Acara keliling kampung tersebut dilakukan tiga hari berturut-turut. Pada hari kedua makanan yang disuguhkan berupa bubur merah, sedangkan hari ketiga berupa bubur putih dan bubur merah.

Luas Peresak Timur lebih kurang 5.000 meter persegi dan kini berpenduduk 700 keluarga. Mereka tersebar dalam sembilan rukun tetangga (RT). Hari itu warga menyelenggarakan acara "tolak bala". Kegiatan seperti ini khususnya dilangsungkan pada bulan Muharam. Acara "tolak bala" kali ini dilaksanakan setelah 57 tahun sejak acara serupa terakhir dilakukan pada tahun 1950.

Menurut Fathurrahman Zakaria, pemuka masyarakat kampung itu, lebih dari setengah abad silam di Mataram terjadi wabah penyakit cacar. Ketika itu pemerintah bahkan memasang bendera kuning sebagai pertanda dahsyatnya musibah tersebut.

Karena rumah sakit setempat tidak mampu menampung warga yang terkena cacar, pemerintah terpaksa mendirikan tenda darurat di lapangan pacuan kuda Karang Jangkong (kini lokasi Mal Mataram) untuk penanganan penderita cacar. "Malah waktu itu orang tidak berani ke Lombok," ucap Fathurrahman.

Meskipun eskalasinya tidak seperti pada 57 tahun lalu, fenomena yang terjadi beberapa tahun belakangan, seperti tanah longsor, banjir, flu burung, perkelahian antarkampung, baik di kampung tersebut maupun di hampir seluruh Nusantara, mendorong warga Peresak Timur dan sejumlah warga kampung lainnya di Lombok menggelar acara "tolak bala".

"Kami mohon kepada Allah agar saudara-saudara kita yang dilanda musibah diberi kekuatan dan ketabahan. Kemudian saudara-saudara kita di daerah lain yang masih aman dari bencana alam senantiasa ingat dan mohon rido Allah supaya dihindari dari cobaan (bencana) itu," kata Fathurrahman tentang tujuan prosesi "tolak bala" tersebut.

Acara sejenis juga dilaksanakan di beberapa tempat di Mataram -di antaranya Lingkungan Karang Genteng- meski pelaksanaannya sedikit berbeda. Di Karang Genteng ritual itu berlangsung tujuh hari. Kegiatan yang terpusat di masjid itu diisi kegiatan seperti berdoa dan menyantap makanan, yang setiap hari berbeda jenisnya.

Lalu Lintas Perilaku
Satu masyarakat adalah lalu lintas perilaku berdimensi nilai. Ada perilaku bernilai luhur meski terkadang juga muncul tabiat bernilai buruk, yang jika tidak disadari akan menimbulkan ketegangan dan bencana sosial. Karena itu, introspeksi seraya berserah diri kepada Tuhan dinilai bisa jadi "penawar" ketegangan dan marabahaya.

Agaknya itulah inti "tolak bala" seperti disimbolkan lewat ucapan zikir, salawat, dan azan yang merupakan pegangan menuju proses penyadaran diri manusia dan tetap berpegangan kepada kekuasaan Allah sehingga orang berani menghadapi baik-buruknya kehidupan.

Keberanian menghadapi tantangan hidup itu mungkin terkesan dari hidangan bubur merah dan bubur putih yang dibuat dari beras, santan kelapa, dan serundeng, yang dicampur dengan irisan telur goreng dan kacang-kacangan. Warna merah bisa diterjemahkan sebagai berani, sedangkan putih simbol kejujuran serta keikhlasan menerima dan melestarikan karunia Ilahi, di antaranya sumber daya alam bagi kehidupan komunal.

"Tolak bala" itu bisa juga diartikan sebagai adanya saling ketergantungan, timbal balik antara manusia dan alam guna menjaga harmoni kehidupan. Apalagi kehidupan komunal dewasa ini sering diganggu oleh berbagai persoalan yang tak jarang meluluhlantakkan sendi-sendi kehidupan sosial.

Sebutlah sikap banyak kalangan, yang suka saling menyalahkan, merasa paling benar, memaksakan kehendak dengan cara melampaui batas kepatutan dan kepantasan, bahkan tidak jarang dengan cara saling meregang nyawa, walau diawali dengan perkara sederhana.

Ketegangan seperti itu bisa dihindari dengan mengedepankan kepedulian sosial, prinsip kekeluargaan, dan kebersamaan sehingga masalah yang muncul bisa diselesaikan lewat dialog.

Acara "tolak bala" bisa membuktikan hal itu, dimulai dari rembuk masyarakat dan para tokoh untuk sepakat melaksanakan prosesi tersebut, selain ketulusan hati warga menyisihkan rezeki buat menyediakan rupa-rupa hidangan alakadarnya bagi para peserta.

Tentukan Pilihan
Azan yang dikumadangkan di tiap simpang jalan dalam prosesi tersebut agaknya berisi pesan. Persimpangan jalan mungkin sebuah tawaran menentukan pilihan: mau ikut arus keramaian hilir mudik manusia dan kendaraan motor, ataukah memilih jalan yang kurang ramai dari lalu lalang orang dan kendaraan bermesin, guna mengurangi risiko hambatan, benturan, atau kecelakaan.

Berhati-hati, mematangkan pikiran sembari mohon rido Allah adalah langkah awal sebelum bertindak dan menentukan baik-buruknya pilihan agar tidak menyesal di kemudian hari.
Pesan-pesan maupun peringatan itu tersirat pula dalam pelaksanaan tolak bala di senja hari tersebut. Setelah shalat asar menjelang magrib -disebut sandekala (bahasa Sasak Lombok). Bagi penduduk etnis Sasak, sandekala diartikan sebagai titik rawan. Saat itu semua orang (anak-anak dan dewasa) harus menghentikan aktivitas sejenak untuk menyongsong waktu shalat magrib dan mengaji. Bahkan, anak bayi tidak boleh dibawa ke luar rumah, dengan kepercayaan bisa kerasukan makhluk gaib.

Namun, kalau mau diterjemahkan, sandekala adalah masa jeda atau transisi, ketika siang baru saja beranjak, sementara hari belum menapaki malam. Dalam suasana itu, pandangan menjadi samar-samar dan berangsur-angsur gelap seiring dengan semburat sinar matahari yang terbenam. Dalam kegelapan dan kesunyian, orang biasanya juga merenung dan memahami diri sendiri.

Sumber : www.kompas.com