Oleh : drh H Chaidir MM
Provinsi Riau genap berusia 50 tahun pada 9 Agustus hari ini. Ditinjau dari usia sebuah bangsa, 50 tahun bukanlah usia yang tergolong tua dibandingkan misalnya dengan Amerika serikat yang sudah berusia lebih dari 231 tahun, atau Thailand yang tak pernah dijajah. Tapi usia 50 tahun bukanlah waktu yang pendek untuk sebuah pertanggungjawaban. Usia Riau sama dengan Malaysia, bahkan lebih tua dari Singapura. Dua negara ini rasanya tidak akan bersusah payah mempertanggungjawabkan usianya.
Setiap kali, ketika merayakan hari jadi, pertanyaannya memang selalu klasik bahkan kuno, quo vadis Tuan? Setiap tahun kita melakukan kontemplasi dan setiap tahun situasinya beda. Lingkungan memang berubah dengan cepat. Ada sebuah kecenderungan menarik yang terjadi di lingkungan global yang sebenarnya sudah kita antisipasi: Gelombang kebudayaan.
Gerakan menjadikan kebudayaan sebagai ruh pembangunan di Riau sesungguhnya sudah kita mulai semenjak ditetapkannya Visi Riau 2020 dalam Pola Dasar Pembangunan Jangka Panjang Riau pada tahun 2001. Kecenderungan dunia dewasa ini ternyata memberi sinyal, lintasan itu sudah benar. Pembangunan beralas kebudayaan (dan juga spiritualisme) kini menjadi kecenderungan di seluruh dunia. Ada ilustrasi menarik yang ditulis Samuel P Huntington, Maha Guru Harvard University. Korea Selatan dan Ghana adalah dua negara yang berangkat dari anatomi perekonomian yang hampir sama, Produk Domestik Bruto per kapita ketika itu setara. Langkah-langkah awal industri kedua negara hampir sama. Tapi 20 tahun kemudian Korea Selatan melejit menjadi raksasa industri dengan income per kapita yang tinggi. Dan tragisnya, income per kapita penduduk Ghana hanya seperlima belas dari Korea Selatan.
Kenapa? Banyak faktor yang berpengaruh, kata Huntington, tetapi yang paling besar adalah pengaruh budaya. Orang Korea Selatan menghargai hidup hemat, menghargai investasi, kerja keras, mengedepankan pendidikan, disiplin, dan memiliki budaya organisasi. Orang Ghana jati dirinya beda. Para akademisi kelas dunia kemudian tiba pada kesimpulan yang sama. Maka sebuah kecenderungan baru pun bermula, ilmuwan sosial banyak tertarik pada ilmu budaya.
Entah karena memang berangkat dari culture conciousness, sebuah kesadaran budaya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun kini mendorong tumbuhnya produk wisata berbasis kebudayaan. Dan gerakan itu diformat dalam sebuah acara seremonial di Jakarta belum lama ini.
Di Riau, kita memiliki Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Lancang Kuning, jurusannya antara lain Sastra Melayu dan Perpustakaan. Yang amat memprihatinkan, sudah dua tahun akademik, tidak ada satu calon mahasiswa pun yang mendaftar di Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Sastra Melayu. Entah karena sang calon mahasiswa tidak tahu atau karena memang tidak ada yang berminat. Dalam sebuah diskusi di Unilak beberapa hari lalu, diduga, penyebabnya kemungkinan besar karena tidak ada yang berminat. Ukurannya adalah, tidak ada lowongan pekerjaan untuk sarjana Sastra Melayu. Bila melihatnya dari sudut pandang sempit, barangkali argumentasi itu ada benarnya. Tetapi kalau kita melihat kecenderungan bisnis “3 T” (Telecomunication, Transportation dan Tourism) yang melanda dunia dalam satu dekade ini, maka sebenarnya lulusan sarjana Sastra Melayu yang memiliki kompetensi, masa depannya cerah.
Kebudayaan Melayu memang tidak bisa hanya dipandang sebagai sebuah cabang ilmu, lebih dari itu, ia adalah sebuah tatanan nilai yang memiliki spektrum luas dan juga universal. Dalam perspektif ini kebudayaan Melayu sarat dengan kearifan yang apabila dicermati dengan secara mendalam dapat menjadi solusi terhadap berbagai masalah kebangsaan yang berpuncak dari eksploitasi berlebihan terhadap semangat kebendaan dan heterogenitas masyarakat. Masalah yang kita hadapi sekarang adalah longgarnya silaturrahim antar sesama karena pola hubungan banyak diukur dari sisi materialisme. Rasa persaudaraan dan rasa senasib sepenanggungan digerus oleh kepentingan kelompok, pribadi dan berbagai kepentingan kebendaan lainnya. Demi kepentingan, kebendaan dan kekuasaan kita rela bertelagah antar sesama dengan mengabaikan silaturrahim. Kita seakan berada dalam satu perahu besar tetapi tidak sependayungan, sedang kita berlayar menuju pulau yang sama.
Kearifan budaya tersebut selayaknyalah dijunjung tinggi oleh seluruh stakeholder dalam perahu besar ini, semuanya, baik tokoh masyarakat, aktivis, pemerintah, para pengusaha, maupun para politisi dan para pengambil keputusan. Kita menjunjung tinggi penegakan supremasi hukum, namun tetap berada dalam perspektif nilai-nilai kearifan sebuah jati diri yang menyelimuti. Goresan seorang penyair Persia, Omar Khayyam yang hidup pada abad XII, amat menyentuh, “Siapakah yang tak pernah melanggar hukum-Mu? Bagaimanakah rasanya hidup tanpa dosa? Jika kau hukum dengan keburukan perbuatan burukku, Kau dan aku apakah bedanya?” Pertanyaan Omar sebenarnya transendental, tetapi juga bisa dibawa ke bumi.
Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), yang telah berkunjung ke Riau meresmikan jembatan Tengku Agong Sultanah Latifah di Siak dan proyek-proyek beralaskan kebudayaan lainnya di Riau, pada tanggal 11 Agustus 2007 yang lalu, pada dasarnya adalah seorang figur yang memiliki apresiasi yang baik terhadap kebudayaan Melayu. Menurut catatan saya, ini adalah kunjungan yang ketiga Presiden SBY ke Riau. Pada kunjungan kedua untuk acara puncak Hari Pers Nasional, 9 Februari 2005 lalu, di Gedung Lancang Kuning DPRD Riau, Presiden sempat mendeklamasikan empat bait pantun yang disusunnya sendiri dan diberi judul “Majulah Riau Majulah Negeriku”. Saya terus terang mengharapkan di tengah kesibukannya yang luar biasa, semogalah Presiden SBY sempat menyusun beberapa bait pantun dan kembali mendeklamasikannya.
Tahun ini kita dihadapkan pada berbagai front yang kalau kita lihat dari anatominya, semua berangkat dari masalah, nilai-nilai kebudayaan tidak lagi dijunjung sebagai payung. Semua justru sarat dengan pesan-pesan kebendaan dan kekuasaan. Tapi front itu harus dihadapi sekaligus dan kita tidak boleh menyerah melakukan penyadaran dan penguatan-penguatan.
Tidak lama lagi kita akan memiliki salah satu instrumen kebudayaan berupa berdirinya gedung perpustakaan Soeman HS yang megah di jantung Kota Pekanbaru dan teater tertutup yang tidak kalah hebatnya. Kendati ada kritik, pembangunan gedung-gedung itu perlu mendapat apresiasi. Bahwa kita berusaha keras mengentas kemiskinan melalui program K2i (angka BPS terakhir, kemiskinan di Riau turun dari 12,54 persen menjadi 11,20 persen) betul, tidak salah. Tetapi kita sedang membangun sebuah peradaban. Gedung perpustakaan tersebut menjadi simbol bahwa negeri Melayu ini sejak dulu memiliki catatan gemilang tentang agenda-agenda intelektual. Penerbitan, penulisan buku sastra, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Riau sejak dulu. Hal ini dapat kita lihat betapa Kesultanan Riau Lingga dan Kesultanan Siak Sri Indrapura, banyak menerbitkan buku-buku sastra dan ilmu pengetahuan bermutu. Oleh karena itulah bahasa Melayu menjadi lingua franca dan akhirnya menjadi induk bahasa persatuan Bahasa Indonesia. Perpustakaan kita yang megah itu dan juga teater tertutup tak terlepas dari pengukuhan eksistensi, di sini, di bumi Melayu ini bahasa Indonesia itu beribu. Ceritakanlah itu kepada anak cucu.
Provinsi Riau dengan dengan alas kebudayaan Melayunya dan segala sesuatu yang ada di dalamnya, dengan kekuatan dan kelemahannya, dengan kelebihan dan kekurangannya, dengan suka dan dukanya, pada hari jadi emas ini menjemput kita semua untuk berbuat, agar kelak pada hari-hari mendatang Riau terus berkembang sebagai sebuah negeri yang jaya, sebuah negeri yang dapat disebut dengan manis oleh generasi berikutnya, sebuah negeri yang cemerlang, gemilang dan terbilang dengan jati diri yang kukuh. Selamat Hari Jadi, Syabas Riau!
drh H Chaidir MM, adalah Ketua DPRD Riau.
Sumber : Riau Pos
Provinsi Riau genap berusia 50 tahun pada 9 Agustus hari ini. Ditinjau dari usia sebuah bangsa, 50 tahun bukanlah usia yang tergolong tua dibandingkan misalnya dengan Amerika serikat yang sudah berusia lebih dari 231 tahun, atau Thailand yang tak pernah dijajah. Tapi usia 50 tahun bukanlah waktu yang pendek untuk sebuah pertanggungjawaban. Usia Riau sama dengan Malaysia, bahkan lebih tua dari Singapura. Dua negara ini rasanya tidak akan bersusah payah mempertanggungjawabkan usianya.
Setiap kali, ketika merayakan hari jadi, pertanyaannya memang selalu klasik bahkan kuno, quo vadis Tuan? Setiap tahun kita melakukan kontemplasi dan setiap tahun situasinya beda. Lingkungan memang berubah dengan cepat. Ada sebuah kecenderungan menarik yang terjadi di lingkungan global yang sebenarnya sudah kita antisipasi: Gelombang kebudayaan.
Gerakan menjadikan kebudayaan sebagai ruh pembangunan di Riau sesungguhnya sudah kita mulai semenjak ditetapkannya Visi Riau 2020 dalam Pola Dasar Pembangunan Jangka Panjang Riau pada tahun 2001. Kecenderungan dunia dewasa ini ternyata memberi sinyal, lintasan itu sudah benar. Pembangunan beralas kebudayaan (dan juga spiritualisme) kini menjadi kecenderungan di seluruh dunia. Ada ilustrasi menarik yang ditulis Samuel P Huntington, Maha Guru Harvard University. Korea Selatan dan Ghana adalah dua negara yang berangkat dari anatomi perekonomian yang hampir sama, Produk Domestik Bruto per kapita ketika itu setara. Langkah-langkah awal industri kedua negara hampir sama. Tapi 20 tahun kemudian Korea Selatan melejit menjadi raksasa industri dengan income per kapita yang tinggi. Dan tragisnya, income per kapita penduduk Ghana hanya seperlima belas dari Korea Selatan.
Kenapa? Banyak faktor yang berpengaruh, kata Huntington, tetapi yang paling besar adalah pengaruh budaya. Orang Korea Selatan menghargai hidup hemat, menghargai investasi, kerja keras, mengedepankan pendidikan, disiplin, dan memiliki budaya organisasi. Orang Ghana jati dirinya beda. Para akademisi kelas dunia kemudian tiba pada kesimpulan yang sama. Maka sebuah kecenderungan baru pun bermula, ilmuwan sosial banyak tertarik pada ilmu budaya.
Entah karena memang berangkat dari culture conciousness, sebuah kesadaran budaya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun kini mendorong tumbuhnya produk wisata berbasis kebudayaan. Dan gerakan itu diformat dalam sebuah acara seremonial di Jakarta belum lama ini.
Di Riau, kita memiliki Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Lancang Kuning, jurusannya antara lain Sastra Melayu dan Perpustakaan. Yang amat memprihatinkan, sudah dua tahun akademik, tidak ada satu calon mahasiswa pun yang mendaftar di Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Sastra Melayu. Entah karena sang calon mahasiswa tidak tahu atau karena memang tidak ada yang berminat. Dalam sebuah diskusi di Unilak beberapa hari lalu, diduga, penyebabnya kemungkinan besar karena tidak ada yang berminat. Ukurannya adalah, tidak ada lowongan pekerjaan untuk sarjana Sastra Melayu. Bila melihatnya dari sudut pandang sempit, barangkali argumentasi itu ada benarnya. Tetapi kalau kita melihat kecenderungan bisnis “3 T” (Telecomunication, Transportation dan Tourism) yang melanda dunia dalam satu dekade ini, maka sebenarnya lulusan sarjana Sastra Melayu yang memiliki kompetensi, masa depannya cerah.
Kebudayaan Melayu memang tidak bisa hanya dipandang sebagai sebuah cabang ilmu, lebih dari itu, ia adalah sebuah tatanan nilai yang memiliki spektrum luas dan juga universal. Dalam perspektif ini kebudayaan Melayu sarat dengan kearifan yang apabila dicermati dengan secara mendalam dapat menjadi solusi terhadap berbagai masalah kebangsaan yang berpuncak dari eksploitasi berlebihan terhadap semangat kebendaan dan heterogenitas masyarakat. Masalah yang kita hadapi sekarang adalah longgarnya silaturrahim antar sesama karena pola hubungan banyak diukur dari sisi materialisme. Rasa persaudaraan dan rasa senasib sepenanggungan digerus oleh kepentingan kelompok, pribadi dan berbagai kepentingan kebendaan lainnya. Demi kepentingan, kebendaan dan kekuasaan kita rela bertelagah antar sesama dengan mengabaikan silaturrahim. Kita seakan berada dalam satu perahu besar tetapi tidak sependayungan, sedang kita berlayar menuju pulau yang sama.
Kearifan budaya tersebut selayaknyalah dijunjung tinggi oleh seluruh stakeholder dalam perahu besar ini, semuanya, baik tokoh masyarakat, aktivis, pemerintah, para pengusaha, maupun para politisi dan para pengambil keputusan. Kita menjunjung tinggi penegakan supremasi hukum, namun tetap berada dalam perspektif nilai-nilai kearifan sebuah jati diri yang menyelimuti. Goresan seorang penyair Persia, Omar Khayyam yang hidup pada abad XII, amat menyentuh, “Siapakah yang tak pernah melanggar hukum-Mu? Bagaimanakah rasanya hidup tanpa dosa? Jika kau hukum dengan keburukan perbuatan burukku, Kau dan aku apakah bedanya?” Pertanyaan Omar sebenarnya transendental, tetapi juga bisa dibawa ke bumi.
Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY), yang telah berkunjung ke Riau meresmikan jembatan Tengku Agong Sultanah Latifah di Siak dan proyek-proyek beralaskan kebudayaan lainnya di Riau, pada tanggal 11 Agustus 2007 yang lalu, pada dasarnya adalah seorang figur yang memiliki apresiasi yang baik terhadap kebudayaan Melayu. Menurut catatan saya, ini adalah kunjungan yang ketiga Presiden SBY ke Riau. Pada kunjungan kedua untuk acara puncak Hari Pers Nasional, 9 Februari 2005 lalu, di Gedung Lancang Kuning DPRD Riau, Presiden sempat mendeklamasikan empat bait pantun yang disusunnya sendiri dan diberi judul “Majulah Riau Majulah Negeriku”. Saya terus terang mengharapkan di tengah kesibukannya yang luar biasa, semogalah Presiden SBY sempat menyusun beberapa bait pantun dan kembali mendeklamasikannya.
Tahun ini kita dihadapkan pada berbagai front yang kalau kita lihat dari anatominya, semua berangkat dari masalah, nilai-nilai kebudayaan tidak lagi dijunjung sebagai payung. Semua justru sarat dengan pesan-pesan kebendaan dan kekuasaan. Tapi front itu harus dihadapi sekaligus dan kita tidak boleh menyerah melakukan penyadaran dan penguatan-penguatan.
Tidak lama lagi kita akan memiliki salah satu instrumen kebudayaan berupa berdirinya gedung perpustakaan Soeman HS yang megah di jantung Kota Pekanbaru dan teater tertutup yang tidak kalah hebatnya. Kendati ada kritik, pembangunan gedung-gedung itu perlu mendapat apresiasi. Bahwa kita berusaha keras mengentas kemiskinan melalui program K2i (angka BPS terakhir, kemiskinan di Riau turun dari 12,54 persen menjadi 11,20 persen) betul, tidak salah. Tetapi kita sedang membangun sebuah peradaban. Gedung perpustakaan tersebut menjadi simbol bahwa negeri Melayu ini sejak dulu memiliki catatan gemilang tentang agenda-agenda intelektual. Penerbitan, penulisan buku sastra, merupakan bagian yang tak terpisahkan dari masyarakat Riau sejak dulu. Hal ini dapat kita lihat betapa Kesultanan Riau Lingga dan Kesultanan Siak Sri Indrapura, banyak menerbitkan buku-buku sastra dan ilmu pengetahuan bermutu. Oleh karena itulah bahasa Melayu menjadi lingua franca dan akhirnya menjadi induk bahasa persatuan Bahasa Indonesia. Perpustakaan kita yang megah itu dan juga teater tertutup tak terlepas dari pengukuhan eksistensi, di sini, di bumi Melayu ini bahasa Indonesia itu beribu. Ceritakanlah itu kepada anak cucu.
Provinsi Riau dengan dengan alas kebudayaan Melayunya dan segala sesuatu yang ada di dalamnya, dengan kekuatan dan kelemahannya, dengan kelebihan dan kekurangannya, dengan suka dan dukanya, pada hari jadi emas ini menjemput kita semua untuk berbuat, agar kelak pada hari-hari mendatang Riau terus berkembang sebagai sebuah negeri yang jaya, sebuah negeri yang dapat disebut dengan manis oleh generasi berikutnya, sebuah negeri yang cemerlang, gemilang dan terbilang dengan jati diri yang kukuh. Selamat Hari Jadi, Syabas Riau!
drh H Chaidir MM, adalah Ketua DPRD Riau.
Sumber : Riau Pos