Oleh : Purnawan Basundoro
Amrozi: Gambaran Kemiskinan Lamongan
Lamongan —sebuah kabupaten miskin di Jawa Timur — tiba-tiba mendapat perhatian luas tidak hanya publik nasional, namun juga internasional. Karena dari daerah inilah seorang tokoh radikal Islam bernama Amrozi berasal. Ia dan beberapa saudaranya, melakukan aksi terorisme bom Bali yang terdahsyat pengaruhnya dalam sejarah
Melihat Lamongan —yang lama terasuh di bawah Islam tradisional yang sejuk dan pasifis— banyak orang ingin menemukan jawaban mengapa radikalisme tumbuh dan eksis di
Dalam kepustakaan tentang munculnya gerakan Islam radikal di
Bruinessen, selain mempertimbangkan pengaruh migrasi ke kota, atau ke pusat-pusat di mana uang sebagai materi terpenting dalam kehidupan yang semakin komersil sekarang ini berada; ia juga mempreskripsikan bahwa “orang-orang radikal harus dicari bukan di kalangan mereka yang paling miskin dan paling marjinal dalam masyarakat, tetapi di kalangan mereka yang lebih berada, berpendidikan tinggi dan punya ambisi yang lebih besar.” Lamongan, pada waktu setting sejarah masa lampau Amrozi dicoba rekonstruksikan secara singkat oleh banyak media, kita baru menyadari bahwa kehidupan Amrozi, sanak saudara dan handai-taulannya, secara bersama menawarkan gambaran yang sangat menarik tentang sejarah modernisasi Indonesia pada periode akhir Orde Baru.
Kehadiran Amrozi, dalam gambaran sejarah regional dan spesifik ini, memberikan pandangan yang kontras dengan sejarah yang ditulis pada umumnya. Sejarah Lamongan pada periode Amrozi, tidaklah memusat pada perhatian akan peristiwa-peristiwa besar atau tokoh-tokoh formal penting tertentu. Sejarah sosial Lamongan, dengan adanya tokoh yang tidak formal dan tidak penting seperti Amrozi, dalam perspektif Bruinessen, adalah “sejarah dari bawah”; sejarah sebagaimana yang dialami oleh orang-orang yang seringkali berada di pihak yang kalah. Sejarah ekonomi pertanian juga memperlihatkan bahwa Lamongan, yang jika kita lihat dari perspektif “agricultural involution” Clifford Geertz, adalah “inner Indonesia”, daerah terbelakang dalam pembangunan (underdevelopment), minim dengan sumber daya alam yang bisa diolah untuk menopang tingkat konsumsi yang tinggi dari populasi yang terus bertambah pesat.
Dalam sejarah kolonial Belanda, karena peranannya yang economically unessential inilah Lamongan terbebas dari politik Tanam Paksa (cultuurstelsel). Lamongan diuntungkan secara ekologis ditinjau dari perspektif ini; suatu daerah yang bebas dari politik tanam paksa karena kondisi tanahnya yang kurang subur. Namun, untuk tinjauan ekonomi pasca-kemerdekaan, beberapa tanaman yang merupakan tanaman wajib pada masa Sistem Tanam Paksa dicobakan di daerah ini tapi tidak pernah membuahkan hasil ini berdampak kurang beruntung bagi pertumbuhan regional ekonomi di negara yang masih agraris ini. Tanahnya yang tandus, terdiri dari sedimentasi tanah kapur dan batu padas telah menyebabkan sulitnya daerah Lamongan ditanami tanaman yang bisa menghasilkan pada masa kolonial Belanda, menyebabkan kultur dan pandangan hidup penduduknya berubah dari inward-looking ke outward-looking. Migrasi penduduk ke berbagai wilayah perkotaan yang lebih menjanjikan perbaikan kondisi ekonomi inilah yang telah mendorong generasi sebaya Amrozi keluar dari Lamongan.
Hingga pada periode Orde Baru —yang sering mengklaim dirinya sebagai Orde Pembangunan— tanaman pertanian milik penduduk di Lamongan sering mengalami kegagalan panen dalam setiap tahunnya. Pada musim penghujan kegagalan disebabkan karena hujan, sedang pada musim kemarau disebabkan karena kekurangan air dan terserang
Latar-belakang ini dicoba jelaskan dengan menggunakan angka-angka tentang pendidikan dan hubungannya dengan agama. Banyaknya imigran Lamongan yang terjun ke dalam sektor informal tentu saja terkait erat dengan tingkat pendidikan yang mereka terima. Dengan tidak mengabaikan kualitas pendidikan pesantren, sebagian besar masyarakat Lamongan hanya mengenyam pendidikan di pesantren, yang dalam hal tertentu lembaga pendidikan tersebut ternyata tidak memberi bekal ketrampilan yang cukup dalam bidang-bidang “keduniaan” karena arah pendidikan mereka memang ditujukan untuk penguasaan ilmu-ilmu agama. Pada tahun 2003 misalnya jumlah masyarakat yang menimba ilmu di pondok pesantren (santri) yang tersebar di Lamongan mencapai angka 59.252 orang. Apabila jumlah tersebut ditambah dengan siswa madrasah (ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah) yang dikelola oleh pondok pesantren maka jumlahnya akan menjadi 122.496 orang. Jumlah tersebut memiliki selisih yang tidak terlalu besar dengan jumlah siswa di sekolah-sekolah umum yang mencapai 139.655 orang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa masyarakat Lamongan hampir separuhnya memilih memasukan anak-anaknya ke lembaga pesantren dari pada menyekolahkan anak-anak mereka ke lembaga pendidikan umum.
Berkah agamalah yang masih tetap memelihara kelangsungan hidup rakyat di Lamongan menghadapi kerasnya kondisi alam. Kondisi seperti itu tetap berlangsung sampai saat ini. Data tahun 2003 menunjukkan dari 84.672 hektar sawah yang ada di Lamongan, 33.941 hektar adalah sawah tadah hujan. Di beberapa desa di Lamongan Selatan sebagian besar penduduknya juga menggantungkan air hujan untuk kebutuhan sehari-harinya seperti untuk mandi dan minum. Kondisi alam yang kurang ramah telah menyeret sebagain besar masyarakat Lamongan berkubang di dalam lumpur kemiskinan.
Perubahan mulai terjadi pada masa reformasi, terutama di bawah kepemimpinan Bupati Masfuk di mana Lamongan telah berkembang menjadi salah satu kabupaten yang terkemuka dalam hal pembangunan sarana dan prasarana fisik di
Untuk melihat transformasi ini terjadi di Lamongan, kita harus menengok ke belakang di mana banyak orang pada awalnya tidak mengenal sama sekali daerah Lamongan, mendengar nama tersebut pun mungkin asing. Lamongan hanyalah sebuah
Lamongan sebelumnya tidak pernah terkenal, karena daerah ini miskin, tidak berprestasi, dan terbelakang. Hutan-hutan pun meranggas akibat desakan pertumbuhan penduduk yang memanfaatkan potensi hutan yang melebihi carrying-capacity. Namun sebenarnya, di balik fenomena Amrozi dan kawan-kawan, Lamongan saat ini adalah daerah yang sedang berubah secara terencana dan tak-terencana. Secara terencana, Lamongan ibarat naga yang sedang terbangun. Lamongan sekarang adalah Lamongan yang sedang membangun diri, Lamongan yang berbeda dengan sepuluh tahun yang lalu.
Tahun 1970-an sampai awal tahun 1990-an masyarakat, umumnya masyarakat Jawa Timur mengenal Lamongan sebagai daerah paling miskin nomor dua di Propinsi Jawa Timur setelah Kabupaten Pacitan. Dua daerah tersebut memiliki karakteristik yang sama, keduanya berada di daerah pesisir yang salah satu sisinya diapit oleh gunung kapur yang tandus, yang sangat sulit untuk ditanami tanaman pertanian. Wilayah Lamongan sendiri sebagian besar terdiri dari daerah dataran rendah dan rawa-rawa, yang secara lebih rinci dapat dibagi dalam tiga karakteristik. Bagian tengah belahan selatan terdiri dari dataran rendah yang relatif bisa ditanami, meliputi wilayah kecamatan Babat, Pucuk, Sukodadi, Lamongan, Kedungpring, Sugio, Kembangbahu, dan Tikung. Bagian tengah belahan utara, terdiri dari daerah bonorowo yang rawan banjir, meliputi beberapa kecamatan: Turi, Sekaran, Karanggeneng, Laren, Kalitengah, Karangbinangun, Glagah, dan Deket. Bagian selatan dan utara terdiri dari pegunungan kapur dan sebagian berupa dataran rendah (plateu), seperti Kecamatan Mantup, Sambeng, Ngimbang, Bluluk, Modo, Sukorame, Brondong, Paciran dan Solokuro.
Kondisi dan karakteristik geografis telah menjadikan daerah Lamongan terperangkap ke dalam kemiskinan yang abadi. Pemerintah daerahnya maupun penduduknya sama-sama mengalami kemiskinan yang akut. Secara transparan kemiskinan daerah dibuktikan dengan kecilnya Produk Domestik Regional Bruto untuk Kabupaten Lamongan. Pada tahun 1983 misalnya, PDRB daerah Lamongan hanya mencapai Rp 225.461.601.100. Angka tersebut sangat tidak ada artinya bila dibandingkan dengan PDRB Kota Surabaya pada tahun yang hampir bersamaan, yaitu tahun 1984 yang mencapai Rp. 1.715.000.000.000 Beberapa data memang menunjukkan bahwa PDRB daerah ini selalu mengalami kenaikan. Pada Tahun 1995 PDRB atas dasar harga berlaku sudah mencapai angka Rp. 1.149.380.170.000, namun angka tersebut masih sangat kecil bila dibandingkan dengan PDRB Kabupaten Sidoarjo pada tahun yang sama yang mencapai angka Rp. 4.895.642.140.000. Perubahan terencana —dalam pengertian pertumbuhan yang tidak natural, berdasarkan tabel di atas hanya mungkin terlihat pada tahun-tahun setelah 1995.
Secara kuantitatif, angka kemiskinan penduduknya ditunjukkan dengan angka-angka pendapatan per kapita daerah Lamongan yang masih rendah, juga menunjukkan bahwa “pembangunan” hanya terjadi secara natural saja, yang tumbuh berdasarkan pola-pola pertumbuhan wajar tanpa adanya political-will yang terprogram dari birokrasi pemerintahan; sebagaimana ditunjukkan dalam tabel 2 di bawah ini, pendapatan per kapita penduduk Lamongan nyaris jatuh pada level subsisten.
Pada tahun 1983 pendapatan per kapita daerah ini hanya Rp. 208.320, tahun 1987 menjadi Rp. 230.120 atas harga konstan atau sebesar Rp. 388.420 atas harga berlaku, dan tahun 1992 naik menjadi Rp. 304.040 atas harga konstan atau sebesar Rp. 681.300 atas dasar harga berlaku.
Jumlah keluarga miskin dapat ditunjukkan pada prosentase keluarga miskin di Kabupaten Lamongan pada tahun 1999 yang mencapai 50,74 % atau sebanyak 159.988 keluarga dari total keluarga sebanyak 315.331. Bahkan dua tahun sebelumnya (tahun 1997) prosentase keluarga miskin mencapai 54,02 %. Separoh lebih keluarga yang tinggal di Kabupaten Lamongan masih berkubang dalam lumpur kemiskinan. Mungkin keluarga Amrozi dan sanak-saudara serta handai-taulannya, termasuk dalam hitungan angka kemiskinan ini. Angka tersebut tergolong cukup besar bila dibandingkan dengan daerah yang memiliki karakteristik geografi yang hampir sama dan kabupaten tetangga terdekat yaitu Gresik, yang pada tahun yang sama angka kemiskinannya hanya 24 %.
Kondisi yang demikian menimbulkan dilema bagi penduduknya. Apabila ia bertahan di daerahnya ia tetap berkubang dengan kemiskinan, nasi jagung, atau nasi tiwul. Pada tahun 1970-an sampai pertengahan tahun 1990-an paceklik masih sering melanda daerah ini. Kondisi tanah yang sangat tandus masih diperparah dengan curah hujan yang relatif rendah di Lamongan. Jumlah hari hujan pada tahun 2000 untuk Lamongan hanya 96 hari, jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan Pacitan yang mencapai 149 hari atau Sumenep yang mencapai 162 hari. Bagi Lamongan yang sangat minim dengan sumber air, jumlah hujan yang sangat sedikit merupakan beban tersendiri bagi wilayah ini. Padahal dengan minimnya sumber air, sebagian besar penduduk sangat menggantungkan hidupnya pada air hujan. Tetapi dengan curah hujan yang rendah maka kebutuhan penduduk akan air pun menjadi semakin sulit.
Salah satu ikhtiar yang dilakukan oleh sebagian besar penduduk Lamongan agar bisa keluar dari lilitan kemiskinan dan keterbelakangan adalah keluar dari daerahnya, merantau ke kota-kota besar di
Kondisi geografis yang sulit untuk kehidupan mereka, serta bekal keterampilan yang pas-pasan yang mereka peroleh di lembaga pendidikan, menjadikan mereka lebih banyak mencari penghidupan di luar daerah, dalam bidang-bidang tertentu yang cenderung apa adanya. Rata-rata menjadi penjual kaki
Jihad, yang oleh kelompok tertentu diartikan sebagai “perang suci” mengandung arti suatu tindakan perlawanan atas pandangan hidup yang berbeda dengan orang lain. Di kalangan Syi’ah bahkan ada yang menganggap jihad itu rukun Islam yang ke enam. Dalam batas tertentu, banyak kalangan fundamentalisme radikal menggunakan jihad untuk memaksakan pandangan mereka atas nama ideologi yang ekstrim dan abstrak. Dengan demikian, negara Islam harus dipersiapkan untuk perang dan orang yang tidak percaya pada Islam harus dipaksa masuk Islam atau dibunuh. Hipotesis ini mungkin perlu dibuktikan, namun apapun itu, ideologi ini tidak tumbuh begitu saja, melainkan tertanam jauh di dasar kesadaran orang-orang yang telah mengalami sejarah panjang kegetiran, kezaliman dan ketidak-pedulian dari aktor-aktor pembangunan yang seharusnya bisa mencegah kemungkinan-kemungkinan negatif muncul.
Amrozi dalam perjalanan mempelajari agama Islam selama di
Berkaitan dengan Amrozi, nampaknya faktor material pula yang mendorong mengapa ia beserta rekan-rekannya melakukan tindakan yang dalam batas-batas tertentu di luar kewajaran. Jika dilihat dari latar belakang ekonominya, Amrozi dan saudara-saudaranya pelaku bom
Di luar konteks kejahatan terorisme yang telah dilakukan Amrozi, dimensi kejahatan biasa yang sering menempel dalam kondisi kemiskinan di Lamongan ini dapat kita lihat dengan jelas. Kondisi tersebut diperkuat dengan banyaknya perkara pidana yang masuk ke pengadilan negeri Lamongan. Tabel 3 di bawah ini, meskipun menunjukkan kecenderungan umum yang menurun, kejahatan di Lamongan tergolong cukup besar untuk ukuran sebuah kabupaten. Pada tahun 1997 misalnya terdapat 19.133 jenis perkara pidana yang masuk ke pengadilan, tahun 1998 terdapat 14.361 perkara, dan tahun 1999 terdapat 12.931 perkara. Dari tahun 1997 hingga menjelang tahun 2000, sebagaimana kita lihat pada tabel-tabel sebelumnya, menunjukkan korelasi positif dengan membaiknya situasi ekonomi.
Nampaknya ada korelasi yang cukup kuat antara kemiskinan material dengan munculnya radikalisme yang berlindung di balik ideologi agama tertentu. Tindak kekerasan dalam sisi tertentu dapat dikategorikan sebagai tindakan yang mengarah kepada reaksi terhadap ketidak-adilan. Sebuah penelitian yang pernah dilakukan oleh Satha-Anand tentang tindak kekerasan yang terjadi di beberpa propinsi di
Pemikiran tersebut sejalan dengan tulisan Benazir Bhutto dalam The Jakarta Post, 13 Agustus 2004. Menurutnya, saat ini dunia sedang digiring untuk melawan teroris. Paling tidak ada tiga hal kondisi dunia pasca runtuhnya WTC. Pertama, perang melawan akar-akar kaum militan. Kedua, Naiknya perhatian politik terhadap batas-batas keagamaan, dan ketiga tumbuhnya gap antara yang kaya dengan yang miskin. Sementara perhatian global terfokus pada terorisme, krisis kemiskinan tidak diperhatikan. Ia mencontohkan kondisi negaranya,
Dalam konteks inilah Islam dipakai alat untuk membenarkan tindak kekerasan. Dalam kaitan ini pula, Islam itu sendiri bukan penyebab timbulnya kekerasan. Pertanyaan utama adalah mengapa Islam dapat digunakan untuk membenarkan kekerasan? Karena pada dasarnya Islam memiliki orientasi bertindak, dalam arti mendorong pengikutnya agar bertindak melawan ketidakadilan. Kunci utamanya adalah ketidakadilan. Kondisi inilah yang juga muncul di Lamongan. Kondisi geografis telah memunculkan ketidakadilan di daerah ini.
Masfuk: Langkah Awal Memberdayakan Lamongan
Lamongan mulai menunjukan perubahan yang signifikan sejak Masfuk terpilih menjadi bupati di daerah ini. Untuk membangun Lamongan Masfuk, memulainya dengan semboyan "bekerja secara profesional" yang dicanangkan pada peringatan Hari Ulang Tahun Kabupaten Lamongan ke-432 pada tahun 2001. Harapan ini menyiratkan maksud, bahwa tidak seluruh pembangunan berarti menghasilkan uang, sehingga pemberdayaan masyarakat menjadi sasaran utama, caranya menciptakan sumber daya manusia (SDM) yang berdaya saing. Poin meningkatkan kualitas SDM inilah yang sebenarnya tujuan otonomi daerah dalam undang-undang. Dengan memiliki SDM yang berkualitas, pembangunan daerah akan berjalan secara otomatis menuju peningkatan pendapatan asli daerah. Apalagi pembangunannya diarahkan pada kepentingan bisnis. Di sini, Masfuk mengartikan otonomi daerah menjadi menjadi manajemen otonomi. Cara berpikir bisnis dipadukan dalam kepemimpinannya sebagai Bupati Lamongan.
Langkah Masfuk tentu saja terkait erat dengan latar belakang yang bersangkutan yang merupakan pelaku bisnis, dan berasal dari keluarga miskin. Ia mulai menapaki dunia usaha dengan berjualan perhiasan perak sekelas pedagang kaki
Langkah Masfuk ini sangat sesuai dengan ide yang ditelorkan oleh David Obsorne dan Ted Gaebler dalam bukunya Reinventing Government. Selain memasukan konsep kewirausahaan dalam birokrasi, ide Obsorne juga terfokus pada penataan kembali peran birokrasi agar dapat merangsang pertumbuhan sektor swasta dan masyarakat luas. Sebaliknya pemerintah sebaiknya lebih berfungsi sebagai pengendali (steering) daripada sebagai penyedia layanan (rowing) kepada masyarakat.
Dengan model seperti ini maka Masfuk mendekati berbagai problem di daerahnya serta dalam merancang program-program pengembangan daerah Lamongan, dengan
Dengan semboyan “bertindak segera” itu pula ia buka pintu Lamongan lebar-lebar bagi investor yang akan berinvestasi di daerah ini, bahkan ia mencoba menjemput bola. Ia tawarkan potensi daerah Lamongan yang bisa digarap oleh para investor, baik lokal, nasional, bahkan kepada para investor asing. Agar investor tertarik masuk ke Lamongan, tidak segan-segan Masfuk, memoles daerahnya agar investor tertarik menanamkan modalnya. Pada tahap awal tidak kurang dari sepuluh pengusaha/perusahaan besar masuk ke daerah pesisir pantai utara Jawa Timur ini. Bahkan Sorbis dari Singapura tertarik menanamkan modalnya di Lamongan. Pada bulan Agustus 2004, Kabupaten Lamongan akan merealisasikan megaproyek sebesar Rp. 313 milyar yaitu pembangunan galangan kapal dan rumah sakit daerah.
Sukses Masfuk membangun Lamongan tidak bisa dipisahkan dengan naluri yang bersangkutan sebagai mantan pebisnis, serta keterlibatan langsung masyarakat setempat dalam proses pembangunan. Dalam beberapa kasus, pemerintah kabupaten hanya bertindak sebagai pendorong dari proses pembangunan yang tengah berlangsung, sementara pelaksana utamanya adalah masyarakat. Upaya tersebut misalnya diwujudkan dalam membangun pasar-pasar desa di berbagai pelosok Lamongan. Dalam kegiatan ini pemerintah kabupaten hanya memberi pinjaman tanpa bunga kepada desa yang akan membangun atau memperbaiki pasar sebesar Rp. 200 juta. Dana tersebut selanjutnya akan digulirkan kepada desa lain yang membutuhkan. Pasar perlu dibangun karena pasar merupakan pusat kegiatan ekonomi terpenting untuk daerah-daerah terpencil. Bahkan di berbagai sudut
Keterlibat masyarakat yang sangat dominan dalam pembangunan membuktikan bahwa gagasan reinventing government sebagaimana dicetuskan oleh Obsorne dan Gaebler telah dijalankan oleh Masfuk. Dua dari sepuluh prinsip reinventing government menyebutkan, pertama catalytic government: steering rather than rowing. Pemerintah sebaiknya lebih banyak berperan sebagai pengendali daripada sebagai produsen pemberi jasa layanan kepada masyarakat. Dengan kata lain, pemerintah harus melepaskan pekerjaan yang sekiranya dapat dikerjakan oleh masyarakat dan pemerintah hanya perlu melakukan pengaturan dan pengendalian. Bukti lain dari implementasi gagasan ini yang dilaksanakan oleh Masfuk adalah apa yang dilihat oleh tim di Kecamatan Sarirejo. Beberapa bulan yang lalu ketika tim mendatangi daerah tersebut, masyarakat setempat bercerita bahwa mereka akan mengeruk dam atas usaha mereka sendiri, sementara pemerintah kabupaten hanya akan menyediakan alat pengeruk. Ternyata program tersebut saat ini sudah terwujud, dan pelaksananya murni swadaya masyarakat yang diberi stimulus oleh pemerintah.
Contoh di atas terkait erat dengan prinsip kedua, yaitu community owned government: empowering rather than rowing. Pemerintah sebaiknya memberdayakan masyarakat, sehingga partisipasi aktif dan kreatifitas masyarakat berkembang dengan baik dan mengurangi sebanyak mungkin ketergantungan masyarakat kepada pemerintah. Pengalaman Bupati Lamongan mungkin bisa menjadi contoh yang baik sebagaimana ia ceritakan: “Beberapa waktu yang lalu ketika saya pulang dari kantor, saya hanya ditemani oleh seorang ajudan. Ketika saya melewati sebuah pasar sepeda motor bekas milik PPSM saya turun dari mobil. Orang-orang di situ kaget melihat saya. Mereka menyambut saya dengan antusias. Saya kemudian bertanya kepada mereka: “Apa kira-kira yang bisa saya bantu untuk bapak-bapak di sini.” mereka menjawab bahwa apabila hujan turun tempat itu akan tergenang air, mereka minta agar tempat tersebut di paving block. Dan yang mengejutkan mereka sanggup memasang paving tersebut asal ada bantuan dari pemerintah.”
Di sinilah letak kepiawaian Masfuk dalam merayu masyarakat agar berpartisipasi langsung dalam mengembangkan daerahnya. Ia tidak memanjakannya dengan berbagai pemberian, tetapi ia mencoba mengetuk kesadaran masyarakat agar terjun langsung membangun lingkungannya. Seandainya dibolehkan untuk memberikan satu tesis dalam exploratory ini, mungkin jika Amrozi terlahir dari generasi baru setelah tahun 2000, ia akan urung melakukan aksi radikalnya. Pembangunan hadir di mana-mana, di berbagai sektor, dan hampir tidak ada ruang untuk resistensi bagi siapa pun.
Yang paling kasat mata dari hasil pembangunan saat ini adalah pembangunan sektor perhubungan. Jalan-jalan diperbaiki, diaspal halus. Pada tahun anggaran 2001 pada saat awal Bupati Masfuk menjabat, ia menganggarkan Rp 10,9 miliar untuk membangun dan memperbaiki jalan raya. “Itulah yang diharapkan oleh masyarakat desa. Banyak petani bersepeda kayuh menjual barang dagangan ke
Pada tahun 1998 misalnya, panjang jalan dalam kondisi baik 102.808 Km, kondisi sedang 134.204 Km, kondisi rusak 86.396 Km, dan panjang jalan kondisi rusak berat 23.324 Km. Pada tahun 1999 kondisinya menjadi terbalik. Panjang jalan rusak berat menjadi 59.537 Km, kondisi rusak menjadi 97.479 Km, kondisi sedang 102.748 Km, dan jalan dalam kondisi baik tinggal 86.971 Km. Wajah infrastruktur perhubungan yang tidak begitu baik itulah yang mengawali Masfuk bertugas sebagai Bupati Lamongan. Namun berkat usaha kerasnya, kondisi jalan di Lamongan saat ini mengalami perubahan yang cukup signifikan. Panjang jalan dalam kondisi baik bertambah dua kali lipat dibandingkan tahun 1999, menjadi 164.075 Km, kondisi sedang menjadi 157.474 Km, kondisi rusak tinggal 21.082 Km, dan jalan dalam kondisi rusak berat tinggal 4.100 Km.
Pembangunan fisik dan non fisik yang berlangsung sekarang ini, serta berbagai prestasi yang diraih oleh Lamongan mengindikasikan bahwa jargon Orde Baru sebagai pembangun infra struktur paripurna tidak benar. Lamongan membuktikan hal tersebut. Apalagi partisipasi masyarakat dalam membangun Lamongan sangat tinggi. Salah satu bukti nyata tentang hal itu adalah pembangunan waduk rakyat di desa Gempoltukmloko. Sekitar tiga bulan yang lalu ketika tim peneliti mengunjungi desa tersebut upaya untuk mengeruk waduk rakyat masih berupa gagasan. Namun ketika pada awal Agustus tim peneliti mengunjungi desa tersebut, ternyata waduk sudah dikeruk, dan tanah kerukannya diurukkan di lokasi pembangunan pasar. Dalam kasus ini pemerintah kabupaten hanya menyumbang alat pengeruk, sementara tenaganya murni dari warga desa.
Penutup
Kabupaten Lamongan adalah sebuah eksperimen pembangunan yang multi-dimensi dalam masa reformasi. Di mana kemiskinan, pandangan keagamaan dan pemimpin yang mempunyai semangat interpreuner diuji.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik dan Bappeda Kabupaten Lamongan, Kabupaten Lamongan dalam Angka 2003, Lamongan: BPS dan BAPPEDA Kab. Lamongan, 2004.
Badan Pusat Statistik Kab. Lamongan, Lamongan dalam Angka 1999, Lamongan: BPS Kab. Lamongan, 2000.
Badan Pusat Statistik Kab. Sidoarjo, Kabupaten Sidoarjo dalam Angka 1999, Sidoarjo: BPS Kab. Sidoarjo, 2000.
Badan Pusat Statistik Kabupaten Lamongan, Lamongan dalam Angka, Lamongan: BPS Lamongan, 1999.
Badan Pusat Statistik Propinsi Jawa Timur, Jawa Timur dalam Angka 2000,
Bappeda dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Gresik, Gresik dalam Angka 2002, Gresik: BPS Kab. Gresik, 2003.
Chaiwat Satha-Anand (Qader Muheideen), “The Nonviolent Crescent: Eight Theses on Muslim Nonviolent Actions,” makalah disajikan pada Seminar Internasional “Islam and Nonviolence,” diselenggarakan oleh Universitas Perserikatan Bangsa-Bangsa, di Bali 14-19 Februari 1986.
Chaiwat Satha-Anand (Qader Muheideen), Islam and Violence: A Case Study Violent Events in the Four Southern Provinces,
David Obsorne dan Peter Plastrik, Banishing Bureaucracy: The Five Strategies for Reinventing Government, Massachusets-
David Obsorne dan Ted Gaebler, Reinventing Government, Massachusets-
Didik J. Rachbini dan Abdul Hamid, Ekonomi Informal Perkotaan,
Hamid Enayat, Modern Islamic Political Thought,
Howard Dick dkk. (ed.), Pembangunan yang Berimbang, Jawa Timur dalam Era Orde Baru,
Ihsan Ali-Fauzi, “Ambivalensi sebagai Peluang: Agama, Kekerasan, dan Upaya Perdamaian,” dalam Yayah Khisbiyah dkk, Melawan Kekerasan tanpa Kekerasan,
John Ferguson, War and Peace in the World’s Religions,
Masfuk, Orang Jawa Miskin Orang Jawa Kaya: Cara Menjadi Milyuner,
Memorie van Overgave Residen Grisee (W.C. Hornenge), 2 November 1930.
Pemerintah Kabupaten Tk II Lamongan, Lamongan, Memayu Raharjaning Praja, Lamongan: Pemda Tk II Lamongan, 1995.
Pemerintah Kabupaten Tk II Lamongan, Lamongan, Memayu Raharjaning Praja, Lamongan: Pemda Tk II Lamongan, 1995.
Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur, Pola Dasar Pembangunan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Timur Tahun 1989/1990-1993/1994,
Riwanto Tirtosudarmo dan Paul Meyer, “Migrasi,” dalam Howard Dick dkk (ed.), Pembangunan yang Berimbang, Jawa Timur dalam Era Orde Baru, Jakarta: Gramedia, 1993.
Trevor Ling, Buddhism, Imperialism and War,
Benazir Bhutto, “Poverty alleviation necessary part of war on terror,” The Jakarta Post, 13 Agustus 2004.
Majalah SWA 08/XX/15-28 April 2004.
Surya, 17 Juli 2004.
www.swaNET.com, 5 Agustus 2004.
www.tempointeraktif.com, 17 April 2004.
www.tempointeraktif.com, 17 April 2004.
Artikel, 14 Februari 200
Sumber : http://sejarah.fib.ugm.ac.id