Mengenal Sejarah Kota Depok Di masa Penjajahan

Oleh : Shendy Patricia

Pendahuluan
Penulisan karya tulis ini dilatarbelakangi oleh lomba yang diadakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Selain dari itu penulisan karya tulis ini juga dilatarbelakangi oleh rasa ingin tahu saya tentang sejarah tentang sejarah tempat di mana saya tinggal dan karena Kota Depok masih menyisakan nuansa peninggalan Belanda.

Permasalahan
Di sini saya membahas Kota Depok pada masa kolonial Belanda tepatnya saat VOC ada di Indonesia dan sedikit tentang kontroversi asal-usul nama Kota Depok.

Tujuan Penulisan
Tujuan dari pembuatan karya tulis sejarah ini adalah yang mengikuti perlombaan, menambah wawasan tentang sejarah di tempat saya tinggal dan sebagai wawasan bagi orang lain agar lebih mengenal kota Depok.

Metode Penulisan
Karya tulis ini mendapatkan data-data dari beberapa sumber, terutama dari internet dan wawancara dengan narasumber mengamati lokasi.

Kegunaan Penulisan.
Kegunaan karya tulis ini adalah:
Sebagai media pengetahuan bagi orang lain,
Memacu media pengetahuan bagi orang lain,
Memacu kreatifitas siswa-siswi SMA pada umumnya,
Memperkenalkan sejarah kota Depok,
Sebagai bahan renungan untukkita semua.

Sistimatika Penulisan.
Bab I : Pendahuluan
BAB II : Pembahasan
BAB III : Kesimpulan
Daftar Pustaka

Sejarah Kota Depok pada Masa Kolonial Belanda
Depok merupakan sebuah kota yang awalnya didiami oleh buruh pertanian Belanda. Tanah Depok sendiri dulu dimiliki seorang pejabat pengadilan VOC yang mengundurkan diri dari VOC karena tindak korupsi yang sangat tidak disukai. Dahulu Depok hanyalah hutan sebelah selatan Batavia dan hanyalah sebagian kecil dari negara Indonesia yang menyimpan sejarah penjajahan Belanda.

Pada tahun 1976, Presidsen Soeharto meresmikan Perumnas di Depok. Pada saat itu penduduknya tidak lebih dari 100 ribu orang. Hubungan ke Jakarta pun masih sangat sulit, karena jalan raya ke Pasar Minggu hanya satu jalur. Pada tahun 1999, Depok menjadi sebuah kotamadya. Saat ini penduduk Depok telah mencapai lebih dari 1.335.734 jiwa atau lebih dari sepuluh kali lipat dari saat presiden Soeharto meresmikan perumnas pada tahun 1976.

Jika dilihat secara seksama, nuansa bekas-bekas kependudukan Belanda sangatlah kental dan saat ini masih terasa. Rumah-rumah bergaya Belanda masih dapat dijumpai di kota Depok, lebih tepatnya di jalan Pemuda, Depok lama.

Pada jaman penjajahan Belanda atau tepatnya pada saat VOC (verenige Oost Indische Compagnie) menguasai Indonesia. Pada saat pemerintahan Deanles, banyak tanah di pulau Jawa dijual kepada swasta, sehingga muncullah tuan-tuan tanah baru di Indonesia. Khususnya di daerah sekitar Depok, seperti tuan tanah Pondok Cina, tuan tanah Mampang, tuan tanah Cinere, tuan tanah Citayem dan tuan tanah Bojonggede. Tidak hanya itu saja pada masa kejayaan VOC, hampir semua orang Belanda di Batavia dan sekitarnya sangat kaya raya tersebut memiliki budak yang sangat banyak. Budak-budak tersebut diangkut dari daerah di luar pulau Jawa.

Salah satu dari tuan tanah yang ada di Depok adalah Cornelis Chastelein. Ia adalah seorang pemuda asal Belanda yanglahir di Amsterdam pada tanggal 10 Agustus 1657. Ia adalah seorang keturunan Perancis-Belanda. Ayahnya bernama Antonie Chastelein adalah seorang Perancis yang menyeberang lautan ke Belanda dan bekerja di VOC. Ibunya adalah Maria Cruidenar, seorang putri dari walikota Dordtrecth.

Dengan usia yang cukup muda, Cornelis Chastelein meninggalkan Belanda untuk pergi ke Indonesia, saat ia baru akan menginjak usai 17 tahun. Pada tanggal 24 Januari 1674 Cornelis meninggalkan Belanda, perjalanan ke Indonesia ia tempuh selama 223 hari atau lebih dari tujuh bulan melewati Tanjung Harapan, ujung selatan Afrika, karena pada saat itu belum ada Terusan Suez. Dan pada tanggal 16 Agustus 1674 ia sampai di Indonesia tepatnya di Batavia.

Sama halnya dengan ayahnya, Cornelis Chastelein juga bekerja di VOC. Dalam beberapa bulan tinggal di Batavia, Cornelis Chastelein menikahi seorang wanita berkebangsaan Belanda bernama Catharina van Vaalberg. Setelah lama menikahi Catharina, Cornelis mendapatkan seorang anak laki-laki ia berinama sama dengan ayahnya, Antonie Chastelein.

Cornelis Chastelein adalah seorang pria yang sangat rajin, ulet, dan hemat. Tak heran jika ia dengan cepat meraih kesuksesan. Serikat dagang milik Belanda ini mengalami pergantian gubernur jenderal dari Jenderal Johanes Champhuys menjadi Jenderal Willem van Outhorn.

Pergantian tersebut memberikan sebah arti, bahwa pergantian pejabat artinya pergantian kebijakan. Cornelis adalah seorang pria yang jujur. Ia tidak menyukai tindakan korupsi karena bertentangan dengan hati nuraninya. Selama kepemimpinan Jenderal Willem van Outhorn tindak korupsi terjadi dengan sangat gila-gilaan. Korupsi terjadi di semua lapisan jabatan dan dari segala bidang jabatan yang terdapat dalam serikat dagang VOC tersebut.

Cornelis Chastelein beralih profesi dari seorang pajabat pengadilan VOC menjadi seorang wiraswastawan. Dengan uang simpanannya, Cornelis Chastelein membeli tiga bidang tanah yang luas di hutan Batavia seharga 700 ringgit pada tanggal 18 Mei 1696. Tanah tersebut dapat dikatakan sangat sulit dijangkau. Pada saat itu tanah yang dibeli Cornelis hanya dapat dijangkau dengan melalui aliran sungai Ciliwung dan jalan setapak. Ketiga bidang tanah tersebut di bilangan Mampang, Karang Anyar, dan Depok.

Cornelis Chastelein pindah dari Batavia ke tanah yang ia beli dengan uang simpanannya. Selama di sana ia menekuni bidang pertanian dan perkebunan, pekerjaan tersebut sangat berbeda dengan pekerjaan yang ia lakukan selama bekerja di VOC.

Tiga bidang tanah tersebut sangatlah luas. Ia membutuhkan budak (pekerja). Cornelis Chastelein mendatangkan pekerjanya dari Indonesia Timur, seperti dari Bali, Makasar, Nusa Tenggara Timur, Tarnate, Kei, Jawa, Batavia, Pulau Rote dan Filipina. Jumlahnya sekitar 150 orang. Chastelein bukan hanya figur majikan yang baiktapi ia jua seorang penginjil, sesuai dengan amanat ayahnya, bahwa ia harus menyeberkan agama Kristen Protestan di Indonesia.

Para pekerjanya harus memeluk agama Kristen Protestan. Kepada mereka Chastelein memberikan fasilitas dan hak lainnya yang sama seperti yang dirasakan oleh warga Belanda. Secara bertahap di sana mulai terdapat padepokan Kristiani yang disebut De Eerste Protestante van Kristenen, disingkat DEPOK. Konon nama padepokanKristiani tersebut menjadi cikal bakal dari nama Depok.

Tanah milik Cornelis memiliki batasan-batasan sebagai berikut:

Sebelah Selatan

:

Kampung Belimbing (berbatasan dengan Kelurahan Ratu Jaya sekarang)

Sebelah Timur

:

Sungai Ciliwung

Sebelah Barat

:

Rel kereta api Jakarta-Bogor.

Sebagai tuan tanah yang partikelir, Cornelis Chastelein berhak mengurus tanahnya sesuai dengan kebijakan yang ia tetapkan sendiri, tanpa campur tangan pihak luar. Dalam pemerintahannya Cornelis Chastelein sangat mempersiapkannya dengan matang. Hal tersebut terbukti dengan adanya gedung pemerintahan yang saat ini menjadi rumah sakit Harapan yang letaknya di Depok lama di Jalan Pemuda. Salah satu kebijakan dalam pemerintahan Cornelis adalah kebijakan terhadap hasil panen padi juga ia berikan yaitu dengan mengenakan cukai sebesar 20 persen dari hasil yang diperoleh.

Selama tinggal di Depok Cornelis Chastelein juga menikahi dua orang wanita pribumi. Dari pernikahannya dengan salah seorang isterinya. Ia dikaruniai seorang anak perempuan yang diakui di hadapan notaris, anaknya bernama Maria Chastelein. Maria adalah nama yang sama dengan ibunya, sedangkan Chastelin adalah marga keluarganya. Berbeda dengan Maria Chastelein, Catharina van Batavia yang juga anak dari wanita pribumi yang lain yang dinikahi Chastelein tidak diakui dihadapan notaris dan tidak bermarga Chastelein seperti yang dimiliki oleh Maria Chastelein.

Untuk memperlancar misi kristen dan menjalankan amanat yan telah diberikan oleh ayahnya, Cornelis Chastelein mendirikan gereja yang terbuat dari kayu pada tahun 1700. Menjelang abad ke-19 gereja tersebut diperbaharui dengan batu. Namun gereja itu hancur karena gempa yang sangat kuat melanda pada tahun 1836. Gereja itu dibangun kembali dan sampai saat ini masih berdiri kokoh di Jalan Pemuda, gereja tersebut diberi nama Gereja Imannuel.

Setelah mengalami renovasi gereja tersebut dapat menampung jemaat yang semakin lama semakin banyak dan terus bertambah. Yang spesifik dari gereja tersebut adalah terteranya 12 nama kepala keluarga bekas buruh Cornelis Chastelein di pintu masuk gereja tersebut. Kedua belas nama tersebut adalah: Soedira, Leander, Laurens, Jonathans, Loen, Tholense, Sammuel, Joseph, Bacas, Jacob, Isakh, Zadokh.

Pada tanggal 13 Maret 1714, beberapa bulan sebelum Cornelis Chastelein wafat, ia menuliskan sebuah surat wasiat. Isi dari surat wasiat tersebut adalah bahwa Cornelis Chastelein mewariskan tiga bidang tanahnya seluas 1224 hektar kepada budaknya, setelah budaknya menukar agamnya menjadi Kristen Protestan.

Keberadaan surat wasiat yang ditulis Chastelein diartikan sebagai kedudukan budak-budaknya pun berubah sebagai manusia yang merdeka. Pada tanggal 28 Juni 1714, Cornelis Chastelein meninggal dunia di atas tanah yang dibeli sendiri dengan uang uang yang ia tabung selama ia tinggal di Batavia atau semasa hidupnya hingga saat ia membeli tanah tersebut.

Tak hanya mewariskan tanah yang sangat luas kepada budaknya tapi ia juga membagi-bagikan sejumlah uang. Setiap keluarga mendapatkan 16 ringgit dimana satu ringgit sama dengan 2,5 gulden. Selain itu, ia juga mewariskan 300 ekor kerbau, 2 perangkat gamelan yang dihiasi dan bertahtakan emas, dan 60 tombak berlapis perak.

Setelah Cornelis Chastelein meninggal dunia, isterinya Catharina van Vaalberg yang ia nikahi di Batavia menuntut hak waris. Namun keberadaan surat wasiat tersebut tuntutan Catharina ditolak. Sepeninggal Chastelein, Catharina menikah kembali dengan seorang pegawai negeri bernama Francois de Witte van Schooten. Harta warisan Chastelein yang berkilau dan berlimpah ruah raib saat terjadi huru hara di masa revolusi dulu. Nama Cornelis Chastelein dikenal dengan LCC (Lembaga Cornelis Chastelein) dan sebuah pekuburan mengabdikan namanya.

Sebagai pengaruh ajaran yang dibawa dan diajarkan oleh Chastelein, pada tahun 1878, di Depok terdapat sekolah seminari petama di Indonesia sebagai tempat menyebarkan agama Kristen. Ketika itu seluruh pendeta disalurkan ke seluruh Indonesia setiap tahun, para penginjil atau penyebar agama Kristen Protestan berkumpul di kota Depok. Karena di daerah-daerah lain di Indonesia sudah banyak didirikan sekolah seminari atau sekolah yang sejenis maka sekolah itupun ditutup. Sekarang gedung bekas sekolah tersebut menjadi panti wreda yang letaknya di dekat stasiun Depok lama.

Keturunan daribudak-budak Chastelein kini dapat kita jumpai di jalan Pemuda di Depok Lama. Acapkali mereka disebut Belanda-Depok dan anak mereka dipanggil sinyo (sebutan untuk orang Belanda). Julukan atau sebutan tersebut mungkin tidak sedap didengar. Belanda-Depok dapat dikonotasikan sebagai antek-antek Belanda. Tapi mereka tidak tersinggung dengan sebutan atau julukan yang mereka dapatkan, karena hal tersebut memang benar adanya. Meskipun mereka adalah budak yang mengurus tanah milik Chastelein bukan mata-mata Belanda untuk menghancurkan Indonesia.

Ada tanggapan yang mengatakan bahwa Depok dikenal setelah Cornelis Chastelein membeli tanah tersebut dan membangun perkebunan. Tanggapan di atas dibantah H. Nawawi Napih, penduduk Depok yang sejak tahun 1991 mengadakan penelitian membantah bahwa Depok dikenal sejak masa Cornelis Chastelein membangun perkebunan di sana. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh H. Baharuddin Ibrahim dkk., dalam bukunya berjudul “Meluruskan Sejarah Depok” karena sebelum Chastelein ada nama Depok sudah ada sebelumnya.

Mengutip dari Abraham van Reibeeck ketika pada tahun 1703, dan tahun 1704, dan tahun 1709 selaku inspektur jenderal VOC mengadakan ekspedisimenelusuri sungai Ciliwung melalui rute: Benteng (Batavia) – Cililitan – Tanjung (Tanjung Barat) – Seringsing (Serengseng) – Pondok Cina – DEPOK – Pondok Pucung (Pondok Terong). Tapi berbeda dengan sejarah Depok yang disusun oleh H. Nawawi Napih dan H. Baharuddin Ibrahim.

H. Nawawi Napih mendapatkan keterangan dari MW Bakas. Ia adalah seorang pria benar-benar keturunan asli Depok mengatakan, waktu perang antara Padjajaran dengan Banten – Cirebon (Islam). Tentara Padjadjaran membangun padepokan untuk melatih para prajuritnya dalam mempertahankan kerajaan Padjadjaran (Bogor) dan Sunda Kelapa (Jakarta). Perkembangan selanjutnya padepokan ini disebut Depok sesuai lidah Melayu.

Pendapat yang dikemukakan oleh H. Nawawi Napih beralasan karena di sekitar Depok terdapat nama-nama kampung yang menggunakan bahasa Sunda, seperti: Parung Belimbing (Depok Lama) di selatan, Parung Malela di sebelah Utara, dan Parung Serab. Semua kampung ini terletak di kali Ciliwung, kemungkinan kampung-kampung itu pada saat perang dijadikan basis pertahanan tentara Padjadjaran terhadap kemungkinan serangan Cirebon dan Banten ke pusat pemerintahan di Bogor melalui kali Ciliwung. Kemungkinanlain adalah sebagai basis pertahanan untuk menyerang Sunda Kelapa.

Depok
Bila ditelusuri secara arti (semantic) dan makna (heurmanetika) kata Depok dalam kamus bahasa sunda dan idiomatic yang hidup di masyarakat sunda, makna arti kata Depok adalah:

Menurut kamus bahasa sunda: Depok > padepokan = pertapaan, perkampungan. Jika demikian awalnya wilayah Depok diperuntukan untuk perkampungan dengankonsentrasi peruntukan sebagai “petapaan” yang kini satu arti dengan “tempat pendidikan dan pesantren”

Adapun dalam istilah “pencak, silat, maen po’: Depok = sikap tubuh yang merendah penuh kewaspadaan, siap untuk mempertahankan diri atau melakukan serangan. Bila Depok diartikan seperti itu, maka maknanya, masyarakat dan wilayah Depok selalu siaga menghadapi segala tantangan kehidupan.

Menurut seorang sesepuh, kata Depok berasal dari Bahasa Belanda de volk yang secara fonetis masyarakat sunda mengucapkan de volk > Depok, (de volk = people, nation, the people of this country). Bila pendapat ini akan dijadikan acuan, maka akan bermakna positif. Berarti sejak lama wilayah Depok menjadi pemukiman yang dapat dibanggakan. Istilah “nation” menunjukkan kualitas peradaban suatu komunitas bangsa.

Terlepas dari semua arti dan makna kata Depok dalam kamus bahasa sunda dan idiomatic kini Depok adalah sebuah kotamadya dengan gedung-gedung yang menjulang tinggi dan fasilitas-fasilitas yang cukup lengkap. H. Nawawi Napih mengatakan Depok berasal dari kata padepokan yang disesuaikan dengan lidah Melayu. Jika memang benar keberadaan nama Depok seperti yang dikatakan oleh H. Nawawi Napih,maka kita tidak dapat mengingkari keberadaan De Eerste Protestante Organisatie van Kristenen yang disingkat DEPOK.

Peninggalan-peninggalan dari jaman penjajahan Belanda masih dapat kita lihat sampai saat ini, khususnya peninggalan Cornelis Chastelein yang ada di jalan Pemuda, Depok Lama. Selain peninggalan Chastelein, di Depok juga masih ada peninggalan kolonial Belanda lainnya, yaitu Kramat Beji.

Keramat Beji terletak diantara Perumnas I dan Depok Utara. Di sekitarnya terdapat tujuh buah sukur berdiameter satu meter, di bawah sebuah pohon beringin yang terletak di antara ketujuh sumur tersebut. Di sana terdapat bangunan berukuran kecil yang selalu terkunci. Bangunan tersebut ternyata menyimpan benda-benda bersejarah dan kuno, seperti keris, golok, dan tombak.Menurut sumber keterangan, Keramat Beji sering dijadikan tempat pertemuan antara Banten dan Cirebon. Senjata-senjata tersebut sebagai tempat pelatihan bela diri dan pendidikan agama yang sering disebut padepokan.

Penutup
Kesimpulan

Dari karya tulis yang telah dibuat ini, saya menyimpulkan bahwa sesungguhnya sejarah itu adalah sebuah pembahasan yang sangat menarik, apalagi sejarah di tempat saya tinggal. Sejarah Depok memiliki keunikan tersendiri bagi saya selaku penulis. Kota Depok adalah kota padat penduduk yang jika ditelusuri akanmenemukan sebuah kontroversi dan satu sosok yang mempengaruhi kota Depok yaitu Cornelis Chastelein.

Daftar Pustaka
Situs resmi Kota Depok
Republika Online
Wawancara dengan beberapa narasumber
Beberapa situs lainnya

Sumber :
Makalah disampaikan pada “Lomba dan Diskusi Penulisan Sejarah Lokal” yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung