Pengenalan Kearifan Budaya Lokal Sebagai Salah Satu Langkah Awal Pembentukan Kecerdasan Verbal-Kultural Pada Anak

Oleh : R. Hery Budhiono
(Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Tengah)

1. Pendahuluan
Manusia ditakdirkan Tuhan menjadi mahluk yang tidak bisa hidup sendiri. Sejak dulu kala, manusia memang telah ditahbiskan menjadi mahluk yang saling membutuhkan. Adam, manusia pertama dalam dimensi spritualisme, pasti merasa sangat kesepian ketika diharuskan tinggal di bumi sendirian. Tuhan lalu menciptakan seorang wanita sebagai teman Adam yang nantinya juga menjadi istrinya. Melalui perantaraan merekalah, kita semua ada.

Dari zaman yang paling primitif sekali pun, seorang manusia membutuhkan manusia lain. Bahkan manusia (yang diperkirakan) tertua yang pernah ditemukan, Zinj—dari spesies Australopithecus Boisei yang hidup 1,75 juta tahun yang lalu—memerlukan orang lain. Dia tidak dapat hidup sendiri. Apa yang tidak bisa kita lakukan, bisa dilakukan orang lain. Apa yang tidak kita punyai, dipunyai orang lain. Tuhanlah yang mengatur itu semua agar sebagai manusia, kita saling mengisi dan berbagi.

Wahana manusia untuk berbagi, bersosialisasi, dan berkomunikasi adalah dirinya sendiri. Dia bisa menciptakan komunikasi dengan orang lain lewat ide-ide yang ada pada dirinya. Kita bertukar pikiran, mengobrol, chatting, dan hang-out dengan teman atau kenalan. Setiap pagi hingga petang kita terlibat dalam kegiatan komunikasi. Kebenaran yang mutlak bila ada ungkapan: manusia tidak mungkin tidak berkomunikasi.

Berbicara mengenai komunikasi pasti akan melibatkan bahasa dan budaya. Bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi, sedangkan budaya adalah landasan, sesuatu yang dipengaruhi oleh, dan salah satu hasil dari komunikasi. Kedua hal ini tidak bisa dipisahkan karena merupakan satu kesatuan, satu mendukung dan melingkupi yang lain.

2. Bahasa dan Pemerolehannya
Kata orang bijak, satu-satunya hal yang alami dan konstan adalah perubahan. Kita tentu sangat mengerti hal itu. Begitu juga bahasa dan budaya. Bahasa dan budaya yang ada sekarang adalah hasil pengembangbiakkan selama ratusan, ribuan, bahkan jutaan tahun yang lalu. Bahasa yang kita kenal sekarang, yang kita peroleh dari orang tua dan lingkungan di sekitar kita, juga merupakan hasil sebuah proses yang sangat panjang.

Sebenarnya bagaimana bahasa diperoleh? Seorang anak keturunan Jawa, bila sejak lahir diajari bahasa Inggris, misalnya, tentu dia akan menguasainya. Begitu juga ketika seorang anak keturunan suku Dayak, misalnya, akan menguasai bahasa Cina jika memang diajarkan sejak dini. Ketika seorang anak dihadapkan pada sebuah bahasa sejak masa sangat dini, dia akan menguasainya jika memang diberi stimuli yang berkesinambungan.

Bahasa, sebagai sebuah struktur, mempunyai pakem-pakem tertentu yang teratur dan berlainan satu dengan lainnya. Sebagai sebuah simbol, bahasa juga mempunyai simbol-simbol yang khas yang membedakannya dengan bahasa lain. Kita mengenal huruf-huruf Jawa, Pallawa, India, dan sebagainya yang semuanya memiliki kekhasan tersendiri.

Manusia, apabila sejak dini diperkenalkan pada sebuah bahasa yang bukan bahasa ibunya, maka niscaya ia dapat menguasainya. Mengapa bisa demikian? Pastilah ada sesuatu yang universal pada sebuah bahasa. Ada sesuatu yang merupakan ciri universal bahasa yang bisa dikenali dan bisa diaplikasikan kepada semua bahasa.

Chomsky memberi pengertian mengenai keuniversalan bahasa. Dia membagi keuniversalan bahasa menjadi dua kelompok, yaitu keuniversalan substantif dan keuniversalan formal. Keuniversalan substantif merupakan elemen pembentuk bahasa sedangkan keuniversalan formal merupakan formula untuk meramu elemen bahasa.

Nomina dan verba pada sebuah bahasa adalah contoh keuniversalan substantif. Bagaimana kedua elemen ini dipergunakan adalah urusan keuniversalan formal.

Masih menurut Chomsky, otak manusia memiliki kapling-kapling intelektual. Salah satu kapling itu nantinya diperuntukkan bagi pemakaian dan pemerolehan bahasa. Pada saat lahir, seorang anak memiliki bekal bawaan yang dinamakan Language Acquisition Device. Piranti inilah yang nantinya menerima korpus dari lingkungan dalam bentuk—antara lain—kalimat. Dengan demikian, pemerolehan bahasa bukanlah proses yang dilakukan oleh, melainkan terjadi pada anak.

3. Anak Sebagai Pelaku dan Objek Budaya
Ketika terlahir, anak adalah sebuah lembaran kosong, pita perekam yang juga kosong, yang nantinya adalah tugas sang orang tua untuk menulisinya atau menggunakan pita kosong tersebut. Seorang anak, dengan kemampuan memori yang luar biasa, tanpa kita sadari menangkap semua yang ada di sekelilingnya. Apa yang ia tangkap, lihat, dengar, dan rasa, semua akan terekam dengan baik dalam memorinya. Semua ia rekam dan selanjutnya diproses dan disimpan dalam memorinya. Semua ini akan tercermin dan teraplikasi dalam kehidupan sehari-hari ketika si anak bertambah usia.

Berbicara mengenai bahasa, kita tidak mungkin terlepas dari budaya. Bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Kita juga tidak mungkin bisa terpisah dari hasil-hasil budaya. Televisi, radio, sepakbola, koran, adalah bagian dari budaya. Pengertian budaya secara luas adalah buah atau hasil dari pemikiran manusia yang memanfaatkan akal budinya yang nantinya dipergunakan untuk kehidupannya.

Apakah kebudayaan? Kebudayaan sebagai sebuah pandangan hidup adalah bentuk perilaku, kepercayaan, nilai, dan simbol-simbol—yang mereka terima tanpa sadar—yang semuanya diwariskan melalui proses komunikasi dan peniruan dari satu generasi ke generasi selanjutnya.
Ada sebagian orang yang berpendapat bahwa kebudayaan adalah seni. Kebudayaan lebih dari sekedar seni. Dia adalah sebuah jaringan kerja antarmanusia. Kebudayaan memengaruhi perilaku dan sikap manusia.

Sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia, Kalimantan Tengah juga memiliki kekayaan budaya yang sangat beragam. Mulai dari ritual dan upacara-upacara adat, cerita rakyat, bahasa yang amat beragam, dan kebhinekaan penduduk yang mendiaminya. Ada beberapa karya sastra yang berbentuk cerita rakyat atau legenda, diantaranya Legenda Lanting Mihing, Bawi Kuwu, Putri Mayang, Tetek Tatum, Legenda Tambun Bungai, dan sebagainya. Bahasa-bahasa pribumi yang ada dan hidup di Kalimantan Tengah diantaranya Ngaju, Maanyan, Melayu, Kadorih, Ot-Danum, dan lain-lain.

Pada era sekarang, banyak orang yang sudah melupakan esensi dari cerita-cerita rakyat itu. Anak-anak lebih senang dengan dongeng yang berasal dari luar, misalnya Cinderella, The Wizard of Oz, The Hicth Hiker’s Guide to The Galaxy, Sleeping Beauty, Pinocchio, Jack and The Beanstalk, dan sebagainya. Memang cerita-cerita tersebut pada dasarnya mencerminkan sifat manusia, ada yang baik dan buruk, ada yang suci dan profan, ada yang hitam dan putih, namun identitas budaya daerah memegang peran yang jauh lebih kompleks.

Apabila para orang tua mempunyai tingkat kepedulian dan kecintaan yang tinggi terhadap budayanya, maka nilai-nilai kebaikan dari cerita-cerita tersebut akan dapat diwariskan kepada anak-anaknya. Salah satu caranya adalah dengan menceritakan kembali kepada anak-anak mereka. Dengan menceritakan kembali, anak diharapkan dapat menangkap esensi dan nilai-nilai kebaikan dari cerita-cerita tersebut.

Dalam sebuah cerita rakyat atau legenda, biasanya terdapat karakter yang jahat dan baik. Sebuah cerita biasanya juga melukiskan bagaimana para tokoh protagonis mengarungi gegap gempitanya kehidupan dunia untuk mencapai tujuannya. Kisah yang dialami para tokoh inilah yang seharusnya dijadikan teladan oleh para anak.

Ada cerita rakyat, bahasa, dan legenda sebagai bagian dari sebuah peradaban. Ada juga yang disebut ritual. Rakyat Kalimantan Tengah bayak mengenal ritual-ritual yang kebanyakan berhubungan dengan dunia adikodrati. Esensi kebaikan yang terkandung dalam ritual adat Dayak juga tidak kalah nilainya dibandingkan dengan cerita-cerita rakyatnya.

Ada bermacam-macam ritual khas suku Dayak yang belum dikenal secara luas. Kita tentu asing mendengar kata tiwah, wara, dan jambe. Tiwah, wara, dan jambe adalah upacara pengantaran arwah agar sampai ke surgaloka dengan selamat. Dalam upacara ini, seluruh keluarga dari sang arwah hadir. Ritual ini, yang melibatkan seekor kerbau atau babi yang ditusuk-tusuk beramai-ramai sampai mati, tentu terdengar menakutkan bagi orang yang baru mendengarnya.

Kita tentu tidak melihat hal tersebut sebagai sebuah kekejaman secara harfiah, namun melihatnya dari segi esensinya. Ritual-ritual tersebut bertujuan mengantarkan arwah agar sampai di surgaloka dengan selamat. Di sini patut kita hargai betapa tingginya penghargaan terhadap sang arwah. Perlu diketahui bahwa biaya yang dikeluarkan dalam sekali upacara tersebut mencapai puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Karena biayanya begitu mahal, sedikit demi sedikit ritual ini mulai ditinggalkan, karena hanya orang-orang tertentu saja yang mampu melaksanakannya.

Seorang anak perlu dikenalkan dengan budaya-budaya tersebut sejak dini. Di Brasil, bahkan, seorang anak wajib terjun bebas—dengan hanya memakai alat bantu dari akar pohon—dari ketinggian sekitar 20 meter untuk menunjukkan ia sudah dewasa. Apa yang bisa kita petik dari sini? Hal-hal semacam ini adalah kekayaan, warisan budaya dunia yang harus dijaga kelestariannya. Upacara-upacara tersebut tidak terjadi dan dijadikan begitu saja oleh para nenek moyang, melainkan sudah melalui proses yang sangat panjang dan totalisme berbudaya.

Nilai-nilai kebijaksanaanlah yang harus dikenal dan diselami oleh seorang anak agar ia bisa mendewasakan dirinya untuk menghadapi kehidupan yang lebih kompleks. Anak memang perlu mengenal kebudayaan lain, bahkan sebuah keharusan, namun budaya lain hanya sebagai pembanding dan pemerkaya wawasan sang anak. Anak perlu mengenal Cinderella, Si Bongkok dari Notre Dame, Hitch Hiker, dan banyak lagi. Namun, semua itu hanya sebagai pemberi gambaran, bahwa masih ada dunia lain yang sangat luas di luar dunianya.

Ketika seorang anak beranjak dewasa, nilai-nilai budaya yang dia kenal akan terakumulasi menjadi sebuah bangunan atau pondasi budaya. Anak hanya perlu memupuknya dan memeliharanya. Dialah sendiri yang nanti memutuskan untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari atau tidak.

Kompleksitas budaya adalah sebuah keniscayaan untu dihadapi oleh anak pada suatu masa. Kontak antarbudaya ini akan menimbulkan suatu pembelajaran dan pemahaman timbal balik, saling memengaruhi satu dengan yang lainnya. Di sini, anak sebagai pelaku budaya tengah menjalankan tugasnya. Dia akan menjadi duta budaya bagi dirinya sendiri dan mengusung nilai-nilai budaya yang dipunyainya. Pada saat yang sama, dia juga bertindak sebagai objek budaya karena dia menerima pajanan dari budaya lain.

4. Bahasa dan Budaya: Dua Pondasi Dasar
Bahasa juga memegang peranan penting dalam perkembangan seorang anak. Ketika orang tua menceritakan cerita-cerita rakyat daerahnya, secara tidak langsung dia juga telah mengenalkan dan menanamkan rasa cinta kepada bahasa ibu si anak. Pada saat itu pula, benih-benih kecintaan akan bahasanya mulai tumbuh.

Bagaimana seandainya seorang anak suku Dayak (Ngaju) tidak tahu-menahu tentang bahasa ibunya sendiri? Bagaimana dia bisa mengapresiasi bahasa dan budayanya? Memang di Kalimantan Tengah, kini, bahasa Ngaju sudah diajarkan di sekolah sebagai muatan lokal, namun porsinya masih sangat kurang. Bahasa Ngaju hanya diajarkan selama setahun di tingkat sekolah dasar.

Masyarakat Dayak mengenal seni karungut, semacam tembang, yang syairnya berisi ajaran-ajaran mengenai kebajikan, dan deder, semacam berbalas pantun. Syair-syair karungut dan deder juga bisa menjadi wahana yang sangat efektif untuk menanamkan nilai-nilai keluhuran budaya. Karungut biasanya dinyanyikan dengan iringan katambung (semacam gendang), kangkanong (semacam gambang), dan kacapi (semacam gitar dengan dua senar).

Karungut biasa dinyanyikan dalam sebuah acara adat. Biasanya karungut dibawakan oleh sekelompok orang (biasanya terdiri atas 3—4 orang). Seorang memainkan kacapi, seorang memainkan katambung, dan seorang lagi memainkan kangkanong, sedangkan orang terakhir bertindak sebagai penyanyi.

Dalam sebuah karungut, yang kurang lebih mirip dengan tembang macapat dalam masyarakat Jawa, mengandung pesan-pesan yang luhur. Tema yang diusung biasanya berkisar pada tingkah laku manusia, alam sekitar, dan mite atau legenda.

Anak juga bisa belajar banyak dari syair-syair karungut itu. Dia bisa belajar bahasa sekaligus nilai keluhurannya. Pendekatan dan pengenalan yang komprehensif tentu akan membuat anak merasa nyaman dalam mempelajari dan meresapinya.

Dewasa ini, eksistensi ritual dan budaya semacam karungut, upacara-upacara adat, dan cerita-cerita tradisional mulai terancam. Serbuan budaya global semakin menyempitkan area tempat tinggalnya. Budaya barat dengan prestise yang ditawarkan telah membuat muatan lokal semacam ini kehilangan identitasnya.

Provinsi Kalimantan Tengah, dengan luas lebih dari 153.000 km2, adalah provinsi terluas ketiga di Indonesia setelah Papua dan Kalimantan Timur. Dengan begitu luasnya wilayah, provinsi ini juga memiliki bahasa (dan budaya) yang sangat beragam. Menurut SIL, ada 14 bahasa di Kalimantan Tengah. Namun, pendapat ini ditentang beberapa tokoh pemerhati bahasa di Kalimantan Tengah. Ada lebih dari 25 bahasa di Kalimantan Tengah dengan ratusan dialek.

Bahasa dengan penutur terbesar di Kalimantan Tengah adalah bahasa Ngaju. Kata Ngaju—yang berarti hulu/udik—sering disalahartikan. Bahasa ini pertama kali digunakan oleh penduduk di daerah hulu-hulu sungai yang ada di sana sehingga mereka menyebutnya bahasa Ngaju.

Seiring dengan perkembangan peradaban, bahasa Ngaju sedikit demi sedikit mulai bergeser ke ranah rumah tangga atau ranah-ranah lain yang lebih sempit. Penelitian yang pernah dilakukan oleh penulis menunjukkan bahwa tingkat apresiasi masyarakat penutur jati bahasa Ngaju sudah banyak berkurang. Anak-anak sekolah, para pelaku perekonomian, dan para pejabat lebih memilih memakai bahasa lain, dalam hal ini bahasa Bajnar, sebagai bahasa pergaulan mereka.

Hal ini tentu merupakan pertanda yang tidak baik. Bahasa Ngaju yang seharusnya menjadi bahasa ibu dan bahasa pertama yang dikuasai sudah mulai termarjinalkan. Orang-orang tua akan lebih suka mengajarkan bahasa Banjar atau bahasa lain. Tindakan mereka mungkin bisa dipahami. Faktor sosial ekonomi lebih banyak berbicara di sini.

Ketika seorang anak mulai mengenal budaya dan bahasa ibunya, sejak saat itulah nilai-nilai luhur dari budaya itu tertanam dalam dirinya. Seorang anak adalah mahluk yang sangat reseptif. Dia akan ‘memakan’ apa saja yang dilihat atau didengarnya tanpa tahu apakah itu baik atau tidak.

Pondasi budaya yang baik tercipta manakala orang tua berhasil menanamkan esensi dan nilai-nilai budaya sehingga akan tertanam kokoh di benak seorang anak. Dengan kokohnya pondasi ini sekaligus akan berperan sebagai penyaring dan pemilah dalam menyikapi budaya yang sekiranya bertentangan.

Ketika seorang anak menonton sebuah tayangan televisi atau terlibat dalam sebuah kegiatan komunikasi, pada saat itu pula anak sedang terpajan oleh budaya luar. Budaya luar ini ada yang baik dan sepaham dengan pemahamannya, ada juga yang menyimpang. Dengan pondasi budaya yang telah dipunyai, anak akan mampu menjadi filter bagi dirinya sendiri untuk menyaring mana yang baik dan buruk.

5. Simpulan
Efektivitas komunikasi antarmanusia sangat tergantung pada pemahaman tentang nilai. Nilai adalah sesuatu yang abstrak tentang tujuan budaya yang akan kita bangun bersama melalui bahasa dan simbol, baik verbal maupun nonverbal. Dengan nilai, seseorang menentukan sesuatu itu boleh atau tidak boleh dilakukan.

Kecerdasan verbal dengan pondasi kultural yang mantap akan menjadi bekal yang sangat berguna bagi anak dalam menatap dunianya ke depan. Kecerdasan verbal, sebagai salah satu sekian macam kelebihan multiaspek manusia, di samping kecerdasan emosional, musikal, spiritual, dan sebagainya, akan secara aktif bekerja, baik ketika mendapat rangsangan ataupun tidak. Ketika seorang anak memaknai sebuah pesan yang didapatnya secara langsung maupun tak langsung, memori dalam otaknya akan otomatis bekerja untuk mendefinisikan pesan itu secara proporsional.

Ketika seorang anak berhadapan dengan dunia yang lebih majemuk, dua hal ini akan memainkan perannya secara bersamaan. Pondasi budaya yang kuat dan sarat dengan nilai-nilai luhur akan menyaring informasi-informasi yang masuk secara bijak. Kecerdasan verbal akan membantu dari segi penalaran dan penyampaian. Dua dasar di atas juga membantu anak untuk bersikap rasional, menggunakan kecerdasan untuk melakukan tidakan terbaik dalam suatu keadaan.

Dengan kecerdasan verbalnya, anak bisa mengutarakan jalan pikirannya, melontarkan ide-idenya, mengomunikasikan perasaannya kepada orang lain, dengan cara yang baik, terstruktur, dan easily understandable. Dengan landasan budaya yang kokoh, kegiatan komunikasi yang ia lakukan akan berjalan dengan baik sesuai dengan esensi nilai budaya yang dianutnya. Kegiatan komunikasi akan berjalan dengan baik, santun, dan akrab.

Daftar Pustaka
Calne, Donald B. 2005. Batas Nalar. Jakarta: Gramedia.

Dardjowidjojo, Soenjono. 2000. Kisah Pemerolehan Bahasa Anak Indonesia. Jakarta: Gramedia.

Goodenough, Ward H. 1981. Culture, Language, and Society. Philiphines: Benjamin/Cumming Publishing.

Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Leakey, Richard. 2003. Asal-usul Manusia. Jakarta: Gramedia.

Liliweri, Alo. 2002. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKiS.

Soekanto, Soerjono. 2002. Sosiologi. Jakarta: Rajawali.

Sumber : pusatbahasa.depdiknas.go.id