Pemberhentian Pimpinan KPK Jika Ada Putusan Berkekuatan Hukum Tetap

JAKARTA--Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan ketentuan pemberhentian tetap jika pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti termuat dalam Pasal 32 ayat (1) huruf c UU KPK bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally unconstitutional), kecuali dimaknai pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan secara tetap setelah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

"Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua Mahkamah Konstutisi (MK), Mohammad Mahfud MD, di Jakarta, Rabu (25/11). Mahkamah menimbang, diberlakukannya secara bersyarat ketentuan tersebut agar tidak ada kekosongan hukum.

Hakim Konstitusi, Akil Mochtar, mengatakan, dikabulkannya permohonan tersebut, di antaranya karena pasal tersebut dapat dijadikan alat rekayasa beralasan menurut hukum. Disebutkan, setelah mendengar rekaman hasil penyadapan dalam persidangan, telah terdapat fakta petunjuk terjadinya rekayasa agar Bibit dan Chandra dijadikan tersangka dan terdakwa dalam kasus pidana tertentu.

"Atau, sekurang-kurangnya pembicaraan antara oknum penyidik atau oknum aparat penegak hukum dengan Anggodo Widjojo, menurut Mahkamah berpotensi sebagai rekayasa agar para pemohon dijadikan tersangka atau terdakwa," terang Akil.

Mahkamah juga menyatakan, rekaman tersebut adalah asli dan benar karena diserahkan sendiri dalam keadaan tersegel oleh pihak terkait, yaitu KPK. Selain itu, Akil menuturkan, seperti halnya rekaman KPK lain yang dihadirkan di persidangan selalu diterima sebagai bukti data yang benar. "Karena penyadapannya dilakukan secara resmi dan dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum," kata dia.

Dalam pertimbangan lain, Mahkamah tidak sependapat dengan pendapat Pemerintah yang menyatakan korupsi adalah extra ordinary crime dan KPK memiliki kewenangan yang luar biasa sehingga wajar jika pimpinannya diberikan hukuman (punishment) yang luar biasa juga.

Mahkamah menilai hukuman yang bersifat luar biasa tersebut sangat tepat jika diberlakukan untuk tindak pidana korupsi yang secara khusus telah diatur dalam Pasal 67 UU KPK. "Pimpinan KPK yang melakukan tindak pidana korupsi, pidananya diperberat dengan menambah sepertiga dari ancaman pokok," terang Akil.

Pada pertimbangan lain, Mahkamah mempertimbangkan keadilan, di antaranya prinsip kesamaan di hadapan hukum, dan azas praduga tidak bersalah. nap/ahi

Sumber : http://www.republika.co.id, Rabu, 25 November 2009 pukul 16:29:00