Melayu dan Non-Melayu di Riau : Kemajemukan dan Identitas

Oleh : Prof. Dr. Parsudi Suparlan

Tulisan ini menunjukkan bahwa dalam masyarakat Riau terjadi interaksi yang baik antara orang Melayu dengan non-Melayu. Corak hubungan sosial yang baik tersebut terjadi karena 1) dalam sejarah kebudayaan, orang Melayu yang diakui secara adat sebagai penduduk asli Riau sudah terbiasa berhubungan dan tukar-menukar kebudayaan dengan bangsa-bangsa asing; 2) adanya keanekaragaman dalam kehidupan sosial dan budaya di Riau yang juga terwujud dalam identitas sosial dan budaya orang Melayu; dan 3) kebudayaan Melayu mempunyai corak yang terbuka dan akomodatif bagi unsur-unsur kebudayaan dari luar, serta dapat hidup berdampingan dalam keanekaragaman identitas sosial dan budaya.

1. Pendahuluan
Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk. Kemajemukan ini ditandai dengan adanya perbedaan golongan, sukubangsa, dan etnik masyarakatnya. Masing-masing golongan, sukubangsa, dan etnik mempunyai kebudayaan sendiri, tetapi secara bersama-sama hidup dalam satu wadah dan berada di bawah naungan sistem dan kebudayaan nasional Indonesia yang berlandaskan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.

Adanya perbedaan kebudayaan tersebut pada hakekatnya karena adanya perbedaan adaptasi lingkungan hidup dan perbedaan sejarah perkembangan kebudayaan masing-masing. Puncak-puncak kebudayaan tersebut merupakan konfigurasi dari masing-masing kebudayaan yang memperlihatkan adanya prinsip-prinsip kesamaan dan saling menyesuaikan satu dengan lainnya, sehingga menjadi landasan terciptanya kebudayaan nasional Indonesia.

Berbagai hubungan yang berlangsung antara warga masyarakat sukubangsa dan etnik yang berbeda telah menciptakan kebudayaan-kebudayaan umum-lokal di berbagai wilayah di Indonesia, baik skala kecil (pasar atau bagian kota) maupun skala besar (sebuah kota atau sebuah wilayah) (Suparlan, 1979: 53–75). Perspektif perubahan dan pelestarian kebudayaan umum-lokal dapat dilihat sebagai wadah yang mengakomodasi proses asimilasi (pembauran), akulturasi, dan lestarinya perbedaan identitas sukubangsa, etnik, serta identitas sosial budaya masyarakat yang berbeda, yang hidup bersama dalam wilayah kebudayaan umum-lokal tersebut.

2. Masyarakat Majemuk
Dalam perspektif kemajemukan, masyarakat Provinsi Riau dapat digolongkan sebagai sebuah masyarakat majemuk, karena terdiri atas sejumlah sukubangsa dan etnik yang hidup berdampingan. Setiap sukubangsa dan etnik saling berhubungan, berbaur, dan saling mempengaruhi dalam suasana kebudayaan umum-lokal, namun tetap mempertahankan identitas sosial-budayanya. Golongan sukubangsa dan etnik yang terdapat dalam masyarakat Provinsi Riau adalah Melayu, Cina, Arab, Hindustan, Minangkabau, Jawa, Batak, kelompok-kelompok masyarakat suku terasing (Orang Sakai, Orang Hutan, Orang Laut, Orang Talang Mamak, Orang Akit, Orang Bonai), dan pendatang lainnya yang berasal dari berbagai sukubangsa di Indonesia.

Walaupun masyarakat Provinsi Riau bercorak majemuk, tetapi masyarakat tersebut lebih dikenal sebagai masyarakat Melayu yang berkebudayaan Melayu, karena wilayah Provinsi Riau adalah tanah asal orang Melayu. Dari catatan sejarah diketahui bahwa orang Melayu adalah penduduk yang pertama kali menghuni wilayah ini (Suwardi, 1985). Di samping itu, jumlah penduduk terbanyak di Riau adalah orang Melayu. Sejarah penghunian mereka ditandai dari masa kegemilangan kerajaan-kerajaan Melayu yang tersebar di hampir seluruh Provinsi Riau maupun di luarnya (Sumatera Timur/Deli dan Semenanjung Malaya).

Masing-masing sukubangsa dan etnik yang ada di Provinsi Riau menggunakan kebudayaan mereka sebagai pedoman hidup dalam lingkup sukubangsa dan etnik masing-masing. Namun, di luar lingkup sukubangsa atau etnik, mereka menggunakan kebudayaan umum-lokal yang berlaku dalam pergaulan dan hubungan sosial. Adapun dalam suasana nasional seperti di kantor, di sekolah, dan pada upacara nasional, mereka menggunakan kebudayaan nasional sebagai pedoman bertindak.

Kebesaran kerajaan-kerajaan Melayu pada masa lampau telah meninggalkan tradisi dan simbol kebudayaan Melayu. Tradisi dan simbol tersebut menyelimuti berbagai suasana kehidupan masyarakat dan menghasilkan pengakuan dari berbagai sukubangsa dan etnik yang hidup di wilayah Provinsi Riau. Simbol-simbol signifikan yang berasal dari kebudayaan Melayu ini kemudian menjadi identitas masyarakat Provinsi Riau.

Adanya pengakuan mengenai penggunaan seperangkat simbol-simbol signifikan dari kebudayaan Melayu sebagai identitas orang Riau sebenarnya menunjukkan adanya pengakuan keagungan simbol-simbol tersebut. Di samping itu juga sebagai wujud kemajemukan masyarakat Riau yang dinaungi simbol-simbol kebudayaan Melayu Riau pada tingkat hubungan sosial antara sesama warga yang penuh dengan toleransi. Masyarakat menggunakan kearifan dan kebijaksanaan sebagai pedoman hidup dalam menghadapi dan mengatasi perbedaan-perbedaan yang ada dalam kehidupan sosial sehari-hari.

3. Identitas Sosial-Budaya
Dalam masyarakat yang bercorak majemuk seperti di Provinsi Riau, identitas sosial dan budaya masing-masing suku bangsa dan etnik menjadi penting, karena berguna sebagai pedoman dalam interaksi. Dalam interaksi, para pelaku bertindak sesuai dengan harapan mereka untuk dinilai dan diperlakukan, dengan cara mewujudkan simbol yang dapat diraih dan diaktifkan. Simbol yang biasa diwujudkan dalam interaksi merupakan kombinasi dari seperangkat motif dan nilai-nilai abstrak yang pada dasarnya bersumber dari kebudayaan mereka.

Dengan demikian, referensi bagi perwujudan identitas sosial budaya dapat dilihat sebagai simbol yang signifikan bagi masing-masing sukubangsa atau etnik. Pentingnya referensi ini diakui oleh sukubangsa atau etnik lainnya yang hidup bersama dalam masyarakat tersebut. Menurut Barth (1969), gejala seperti ini disebabkan oleh adanya kenyataan bahwa setiap sukubangsa atau etnik mempunyai seperangkat kebudayaan yang melekat pada identitas sukubangsa atau etnik tersebut, yang sewaktu-waktu saat diperlukan dapat diaktifkan sebagai simbol untuk identifikasi dan untuk menunjukkan adanya batas-batas sosial dengan sukubangsa atau etnik lainnya.

Simbol-simbol yang berasal dari kebudayaan Melayu yang berlaku di tempat-tempat umum dan digunakan untuk menjembatani berbagai sukubangsa dan etnik yang berbeda sehingga dapat saling berhubungan adalah bahasa Melayu dan etiket Melayu, terutama keramah-tamahan dan keterbukaan. Penggunaannya di tempat-tempat umum menyebabkan kebudayaan Melayu dari satu segi juga berfungsi sebagai kebudayaan umum-lokal. Hal ini karena kebudayaan Melayu mempunyai ciri-ciri utama yang coraknya terbuka dan fungsional dalam mengakomodasi perbedaan.

Ciri-ciri kebudayaan Melayu yang bersifat terbuka dan mempunyai kemampuan mengakomodasi perbedaan tersebut muncul sebagai hasil dari pengalaman sejarah kebudayaan Melayu yang selama berabad-abad telah berhubungan dengan kebudayaan asing. Oleh karena itu, kebudayaan Melayu mempunyai kemampuan mengambil alih unsur-unsur kebudayaan non-Melayu dan menjadikannya sebagai bagian dari kebudayaan Melayu. Tidak mengherankan bila ada unsur-unsur atau simbol-simbol yang dianggap sebagai simbol Melayu, namun setelah ditelusuri secara mendalam ternyata adalah simbol-simbol yang berasal dari kebudayaan non-Melayu.

Melalui hubungan sosial yang terjadi di tempat-tempat umum, berbagai sukubangsa dan etnik yang terlibat di dalamnya terlibat dalam proses pengambilalihan unsur-unsur kebudayaan Melayu. Pengambilalihan unsur-unsur kebudayaan Melayu tersebut dapat berlangsung terus dan kegunaannya tidak hanya di tempat-tempat umum, tetapi juga dalam ruang lingkup sukubangsa atau etnik masing-masing, dalam hal ini dalam ruang lingkup kehidupan keluarga masing-masing. Gejala seperti ini sebenarnya merupakan pengakuan akan pemantapan simbol-simbol Melayu sebagai simbol berbagai sukubangsa dan etnik di Riau, dalam hal identitas mereka sebagai orang Riau. Simbol-simbol Melayu tersebut, secara sadar ataupun tidak, telah menjadi bagian dari kehidupan mereka yang sewaktu-waktu dapat diaktifkan sebagai identitas mereka sebagai orang Riau.

Sebaliknya, pengaruh kebudayaan-kebudayaan non-Melayu juga terjadi pada kebudayaan Melayu. Berbagai unsur kebudayaan non-Melayu telah menjadi bagian dari kebudayaan tersebut. Pengaruh kebudayaan-kebudayaan non-Melayu beraneka ragam, tergantung pada corak hubungan sosial yang ada dan pada fungsi unsur-unsur kebudayaan non-Melayu tersebut bagi orang Melayu. Oleh karena itu, terdapat variasi dalam hal besarnya pengaruh kebudayaan-kebudayaan non-Melayu terhadap kebudayaan Melayu, sesuai dengan lokalitas masyarakat dan strata sosialnya.

Hal yang menarik untuk diperhatikan adalah tetap adanya batas-batas sukubangsa dan etnik, sehingga identitas sukubangsa dan etnik tetap ada walaupun terjadi penetrasi kebudayaan antara Melayu dengan non-Melayu dan sesama non-Melayu. Barth (1969) juga telah menunjukkan gejala tersebut. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa perbedaan etnik secara kategorial tidak tergantung pada ada tidaknya kontak secara fisik antarkelompok sukubangsa atau etnik. Dia juga menunjukkan bahwa perbedaan kebudayaan tetap ada, walaupun kontak antarsukubangsa atau antaretnik dalam kelompok-kelompok tersebut terjadi.

4. Keanekaragaman Identitas Sosial-Budaya
Masyarakat Riau mengakui variasi-variasi lokal kebudayaan Melayu menurut strata sosial, di samping mengakui simbol-simbol Melayu yang mendasar dan umum. Variasi-variasi kebudayaan ini juga penting bagi orang Me!ayu, karena berfungsi sebagai identitas mereka dalam interaksi.

Kebudayaan Melayu yang diterima oleh semua golongan tumbuh dari sejarah perkembangan kebudayaan Melayu sendiri, yang selalu terkait dengan tumbuh, kembang, dan runtuhnya kerajaan-kerajaan Melayu, Islam, perdagangan internasional, dan penggunaan bahasa Melayu. Oleh karena itu, simbol-simbol kebudayaan Melayu yang diakui sebagai referensi bagi identitas Melayu adalah bahasa Melayu, Islam, keramah-tamahan, dan keterbukaan. Hal ini juga didukung oleh sistem kekerabatan bilateral yang dapat menampung kerabat-kerabat jauh sebagai saudara atau famili, di samping sejumlah ciri-ciri negatif yang sifatnya stereotipik.

Bahasa Melayu adalah bahasa orang Melayu. Tidak ada seorang Melayu pun yang tidak mengakui bahasa Melayu sebagai bahasanya, begitu juga tidak ada seorang non-Melayu pun yang tidak mengakui bahwa bahasa Melayu adalah bahasa orang Melayu. Hal yang sama juga berlaku dalam hal anutan agama orang Melayu, yaitu Islam. Seorang Melayu yang tidak beragama Islam diragukan kemelayuannya. Bahkan orang suku terasing, seperti Orang Sakai, yang meninggalkan agama nenek moyangnya dan masuk Islam disebut masuk Melayu.

Pada dasarnya, Islam yang dianut oleh orang Melayu adalah Islam tarekat, yaitu aliran yang membenarkan tetap berlangsungnya tradisi-tradisi setempat yang bernaung di bawah keagungan Islam. Islam seperti itu biasanya digolongkan sebagai Islam tradisional. Islam modern yang menentang masuknya tradisi dalam kegiatan umat juga dianut oleh sebagian orang Melayu di Riau. Kalau dilihat secara mendalam, ajaran Islam yang dianut oleh orang Melayu bervariasi. Variasi ini mengikuti sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan Melayu yang tradisinya masih tetap berlaku dalam wilayah-wilayah bekas kekuasaan kerajaan-kerajaan yang bersangkutan.

Hal yang sama juga berlaku pada bahasa Melayu. Berbagai dialek bahasa Melayu juga mengikuti perbedaan lokalitas dari kelompok masyarakat Melayu di Riau. Masing-masing orang Melayu di Riau menyadari adanya variasi bahasa ini, bahkan mereka dapat mengetahui asal si pembicara dengan mendengarkan ucapan bahasa Melayunya. Sejalan dengan variasi bahasa Melayu, juga terdapat variasi dalam hal tradisi atau adat-istiadat yang berlaku dalam kebudayaannya. Hal ini mengakibatkan sebuah kelompok masyarakat Melayu biasanya mempunyai suatu tradisi serta bahasa Melayu yang mempunyai ciri khas yang membedakan dengan kelompok masyarakat Melayu lainnya. Variasi kebudayaan Melayu di Riau juga menghasilkan variasi identitas khusus orang Melayu yang penuh dengan keterbukaaan yang dilandasi oleh prinsip hidup bersama dalam perbedaan. Prinsip ini sama dengan prinsip Bhoneka Tunggal Ika.

Variasi kebudayaan dan identitas sosial-budaya orang Melayu yang berperan penting sebagai referensi dalam interaksi adalah variasi berdasarkan lokalitas. Hal ini berkaitan dengan variasi lokal yang terwujud dalam sejarah perkembangan kerajaan-kerajaan di masa lampau, yang sekarang terwujud sebagai kebudayaan-kebudayaan lokal Melayu. Variasi identitas sosial-budaya Melayu di Riau sebenarnya dapat dilihat dalam kelas-kelasnya, tergantung pada tingkat interaksi sosial mereka. Interaksi sosial teratas atau paling umum terjadi antara kebudayaan Melayu Riau Kepulauan dan kebudayaan Melayu Riau Daratan. Pada tingkat berikutnya interaksi sosial terjadi antarkabupaten, antarkecamatan, dan antarkampung.

Variasi identitas sosial-budaya Melayu Riau juga dapat dilihat dalam kaitannya dengan tradisi-tradisi yang berasal dari kerajaan-kerajaan Melayu Riau pada masa lampau, sesuai dengan kepentingan para pelaku interaksi, misalnya Penyengat dibedakan dari Lingga, dan sebagainya. Di samping itu, interaksi sosial mereka masih dapat dibedakan antara orang Melayu kota dengan kebudayaan kotanya dan orang Melayu di pedesaan dengan tradisi-tradisi yang berlaku.

5. Penutup
Hal yang ditunjukkan dalam makalah ini adalah kenyataan adanya kemajemukan dalam identitas sosial-budaya orang Riau dan orang Melayu Riau. Telaah didasarkan pada pengetahuan konseptual, karena data empiris masih jauh dari cukup. Oleh karena itu, penelitian untuk mengungkap data empiris menjadi suatu kegiatan yang penting.

Kemajemukan yang ditunjukkan juga memperlihatkan sifat keterbukaan yang menjadi ciri utama kebudayaan Melayu di Riau. Dengan keterbukaannya, kebudayaan Melayu dapat mengakomodasi perbedaan yang terdapat dalam unsurunsurnya dan secara bersama-sama hidup dalam kehidupan yang penuh dengan keterbukaan. Ciri-ciri ini sebenarnya dapat mengakomodasi perubahan-perubahan menuju perkembangan dan kemajuan kebudayaan Melayu di masa mendatang.

Daftar Pustaka
Akbar, A. 1985. Adat Melayu di Kabupaten Kampar. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

Asmuni, M. R. 1985. Adat Melayu Riau di Kerajaan Gunung Sahilan (Kerajaan Kampar Kiri). Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

Barth, F. 1969. “Introduction” dalam Ethnic Groups and Boundaries. Boston: Little Brown.

Effendy, T. 1985. Lambang-lambang dalam Seni Bangunan Tradisional Sebagai Refleksi Nilai Budaya Melayu. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

Ghalib, W. 1985. Adat dalam Masyarakat Melayu Riau. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

Kadir, M. D. 1985. Pertumbuhan dan Perkembangan Kesenian Melayu Riau. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

Luthfi, A. 1985. Beberapa Catatan Tentang Corak dan Warna Adat Melayu. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

Moerman, M. 1985. Ethnic Identification” dalam A Complex Civilization. American Anthropologist, 67, (5).

Niat, R. A. dkk. 1985. Budaya Melayu Riau dalam Pertumbuhan dan Perkembangannya. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

Nur, A. dkk. 1985. Budaya Melayu yang Tumbuh dan Berkembang di Kabupaten Bengkalis. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari 2 – Februari 1985.

Suparlan, P. 1979. “Ethnic Groups of Indonesia”. Indonesian Quarterly, 7 (2).

Suwardi. 1985. Konsep Melayu Menurut Sumber Sejarah. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

Syamsu S. A, T. 1985. Pertumbuhan dan Perkembangan Kesenian Melayu Riau. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.

Tim Penyusun Indragiri Hilir. 1985. Kebudayaan Melayu Riau Sepintas Kilas. Makalah Pertemuan Budaya Melayu di Pekanbaru, 31 Januari – 2 Februari 1985.
__________

Prof. Dr. Parsudi Suparlan, Guru Besar di jurusan Antropologi FISIP Uni­ver­sitas Indonesia, lahir di Jakarta pada tanggal 3 April 1938. Menempuh pendidikan Sarjana Muda Antropologi di Universitas Indonesia (1958–1961); Sarjana An­tro­­po­logi di Universitas Indo­nesia (1961–1964); M.A. in Anthropology di Uni­versity of Illinois, Urbana Champaign, Illinois, USA (1970–1972); Ph.D. in Anthro­pology di University of Illinois, Urbana Champaign, Ilinois, USA (1972–1976).

Aktif menulis untuk berbagai jurnal dalam dan luar negeri, seperti Intisari, Maja­lah Universitas Tjenderawasih, Majalah Museum Nasional Jakarta, Indo­nesia, Journal of The Steward Anthropological Society, Ma­syarakat Indonesia, Berita An­tro­­pologi, dan Prisma.

Beberapa buku yang telah ditulisnya antara lain, Ilmu Sosial Dasar I dan II (1982), Metode Penelitian Kebudayaan (1983), Kamus Antropologi (1984, ber­sama Prof. Koentjaraningrat), dan lain-lain.
__________

Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau