Danau Limboto


Perairan danau merupakan kekayaan alam yang tidak hanya memiliki peran fungsional bagi kawasan dan penduduk di sekitarnya. Keindahan serta fenomena alam yang ada padanya menjadi aset bagi kawasan itu sendiri. Demikian pula halnya dengan Danau Limboto bagi Kabupaten Gorontalo.

Danau Limboto telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari detak kehidupan penduduk di sekelilingnya. Terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bone Bolango, Danau yang cukup besar di Sulawesi ini terhampar di ketinggian 4,50 meter di atas permukaan laut (dpl). Dengan luas ± 3000 hektar, Danau ini dikelilingi oleh lima kecamatan. Yaitu, Kecamatan Limboto, Telaga, Telaga Biru, Batuda’a, dan Kota Barat yang merupakan wilayah Gorontalo Kota. Selain Sungai Bone Bolango, Danau Limboto ini merupakan muara dari empat sungai besar yang berhulu di Kabupaten Gorontalo. Keempat sungai tersebut adalah: Sungai Alo, Sungai Daenaa, Sungai Bionga, dan Sungai Molalahu. Sementara itu, Danau ini juga merupakan hulu dari Sungai Tapodo yang muaranya menyatu dengan Sungai Bone Bolango dan mengalir terus ke laut.

Jika ditinjau dari letak kawasan Danau yang dikelilingi perbukitan, tak tertutup kemungkinan bahwa Danau ini merupakan sebuah kaldera dari sebuah gunung berapi yang meletus ribuan tahun lalu. Kemungkinan ini sangat besar mengingat Pulau Sulawesi merupakan sebuah pulau di Kepulauan Sunda Besar yang sarat dengan gunung-gunung berapi.

Situs Sejarah Danai Limboto Yang Multi Fungsi.
Sejak lama, Danau Limboto ini telah menjadi sumberdaya perikanan air tawar bagi penduduk di sekitarnya. Memang Danau ini memiliki multi fungsi baik bagi penduduk sekitarnya maupun kawasan Kabupaten Gorontalo umumnya. Ia juga merupakan sumber air tawar sekaligus penyangga kehidupan dan tata air bagi masyarakat di bantaran sungai-sungainya. Dengan demikian Danau ini merupakan pengendali banjir bagi sebagian besar kawasan Kabupaten. Melihat kesemua peran dan fungsinya yang sangat penting itu, dapat dikatakan bahwa Danau Limboto memegang peran esensial bagi keseimbangan alam dan ekosistem kawasan.

Mungkin peran penting dan multi fungsi yang disebutkan di atas turut pula memiliki andil dalam perjalanan sejarah negeri ini. Oleh karena, Bung Karno—yang terkenal pandai mengangkat fenomena alam dan sosial negeri ini ke dalam tindakan-tindakan simbolis—pernah mendarat di perairan Danau Limboto. Hal yang sama juga dilakukannya di Danau Tondano, Provinsi Sulawesi Utara. Kunjungan Presiden Pertama Republik Indonesia sendiri rupanya membekas dalam di benak masyarakat Gorontalo. Dan hal ini, ditandai oleh dibangunnya sebuah situs sejarah berupa musium mungil yang apik di tepian Danau. Sebuah dermaga kayu yang terpeliharan sangat baik dibangun pula di depan musium. Dari dermaga yang menjorok cukup jauh ke tengah Danau, kita dapat menikmati panorama Danau Limboto yang sangat indah.

Pemberi Berkah Yang Sedang Merana
Duduk di anak tangga dermaga kayu, di area situs sejarah penringatan kunjungan Bung Karno. Imajinasipun melayang membayangkan situasi Danau Limboto di tahun 50-an. Sekeping kisah diuraikan oleh Bapak Mister Wunani, Kepala Desa Iluta dari kecamatan Batuda’a, yang menemani penulis menikmati senja di tepian Danau.

“Pada tahun 50-an, yaitu ketika Bung Karno berkunjung kemari, kedalaman Danau ini mencapai 27 meter. Itu saya tahu betul, karena, sebelum pesawat Beliau mendarat, kedalaman Danau ini sempat diukur. Waktu itu saya masih kelas 3 (tiga) SD.” Demikian ujar pria berusia 59 tahun itu. Ia sempat terdiam sesaat dengan pandangan menerawang jauh ke tengah Danau. Lalu Ia pun kembali melanjutkan kisahnya.

“...pada waktu itupun Danau ini masih sangat bersih. Tidak ada patok-patok bambu yang kita lihat sekarang ini. Pesawat amphibi yang dikendarai Beliau diikat kurang lebih satu kilometer dari tepi Danau. Dan, Bung Karno mencapai mencapai tepian Danau dengan menggunakan rakit yang diikatkan di atas empat perahu. Air di tepian Danau pada saat itupun cukup dalam. Tidak seperti sekarang yang sudah tertimbun lumpur seperti ini.”

Memang keadaan Danau Limboto saat ini sangat jauh berbeda. Lumpur tebal yang mulai mengeras dipenuhi ribuan enceng gondok yang berbunga ungu. Di beberapa tempat yang masih digenangi air, rumpun-rumpun teratai menyembul dengan daun-daun yang sangat subur. Bunga-bunga teratai berwarna merah muda tampak lebih besar untuk ukuran spesies teratai liar seperti ini. Demikian hebat pendangkalan yang terjadi sehingga hanya menyisakan area perairan nun jauh di tengah sana.

Dalam tulisan ilmiah Achmad S. Sarnita, “Pengelolaan Perikanan Danau Limboto, Sulawesi Utara”, dikatakan bahwa luas Danau Limboto pada tahun 1933 mencapai 7000 hektar. Sementara kedalaman maksimumnya mencapai 30 meter. Sementara menurut catatan Dinas Perikanan Kabupaten Gorontalo tahun 2003, kedalaman Danau hanya mencapai 2 meter saja. Prof. Jassin Tutoli, Ketua Tim Perencanaan Pelestarian Danau Limboto, dalam survai terakhir mencatat bahwa kedalaman Danau Limboto saat ini hanya 1-1,5 meter saja. Sebuah degradasi ekosistem yang sangat memprihatinkan.

Meski kondisinya sudah sedemikian memprihatinkan, Danau Limboto masih tetap memberi manfaat bagi masyarakat di sekitarnya. Belasan gubuk terapung yang dikelilingi oleh bagan-bagan jaring apung tampak di kawasan tengah Danau. Tonggak-tonggak bambu yang mencuat dari permukaan Danau memberi panorama tersendiri. Ikan mas, Gurame, dan Nila Putih adalah jenis ikan yang umumnya dibudidayakan di jaring-jaring terapung tersebut.

Mengelilingi kawasan perkampungan nelayan di seputar Danau, memberikan gambaran yang lebih nyata. Kemarau panjang membuat perbukitan yang mengelilingi Danau tampak meranggas. Kegiatan pendudukpun memperlihatkan fenomena yang justru kontra produktif dengan upaya pelestarian Danau itu sendiri. Di beberapa tempat, di kawasan Batuda’a, penduduk melakukan penambangan batu kapur. Lubang-lubang menganga mirip pintu gua menjadi pemandangan yang tampaknya sudah biasa. Penggalian tanah dengan mengikis bukit menyisakan lahan terbuka yang sangat ringkih di beberapa bahu jalan. Kengerian sesaat membersit membayangkan bahaya longsor yang sangat mungkin terjadi ketika hujan mengguyur.

Memasuki perkampungan nelayan di kawasan tepian Danau menghadirkan suasana yang khas. Kepala-kepala menyembul dari balik jendela. Sementara, penduduk yang sedang santai di warung-warung sederhana tampak tak segan menyapa. Dari dermaga kayu yang sederhana, tampak belasan sampan terikat. Hari masih terlalu siang, tetapi terlalu banyak sampan nelayan yang diam tertambat.

Memang tak banyak nelayan yang turun ke Danau. Hanya beberapa sampan meluncur di permukaan air yang samasekali tak berombak. Burung-burung air sesekali melyang di angkasa, menukik ke permukaan Danau tanpa hasil. Mungkin inilah kenyataan riil dari catatan Sarnita mengenai habitat ikan di Danau Limboto. “...keragaman jenis ikan di Danau Limboto juga mengalami penurunan. Dua jenis ikan tebaran—yaitu ikan tawes dan lele—sudah sukar didapat. Demikian pula dengan ikan sidat, yang merupakan varietas asli Danau. Sedangkan ikan tebaran, nilem, yang memiliki nilai ekonomis tinggi telah hampir pula punah dari Danau ini.” Demikian catatan memilukan dari hasil penelitian Achmad S. Sarnita di tahun 1999.

Urgensi Konservasi Danau Limboto Yang Tidak Bisa Di Tawar Lagi.
Peran dan multi fungsi Danau Limboto tak pernah surut baik bagi penduduk di sekitarnya maupun kawasan Gorontalo. Namun kondisinya dari tahun ke tahun semakin memperihatinkan. Hal ini memaksa kita melakukan sesuatu, meski hanya dalam pemikiran. Apapun upaya yang bertujuan untuk mengkonservasi dan mengembalikan kondisi Danau yang menjadi aset Kabupaten Gorontalo ini patut diperjuangkan. Pemikiran inipun tak pelak memaksa kita memutar rasio dan mempertanyakan apakah yang menyebabkan pendangkalan Danau ini?

Beberapa pemberitaan lokal dan juga literatur ilmiah menunjukkan betapa kompleksnya permasalahan yang menyebabkan pendangkalan Danau Limboto ini. Selain keempat sungai besar yang telah disebutkan sebelumnya, Danau ini juga menjadi muara dari 23 buah anak sungai lainnya. Dapat dibayangkan betapa berat beban yang ditanggung Danau ini jika harus menampung jutaan ton lumpur dari sungai-sungai itu. Mengenai hal ini Mister Wunani mengatakan:

“Pendangkalan ini berasal dari tangan-tangan masyarakat yang tidak mengerti. Sehingga, terjadi erosi. Terlebih lagi, Danau ini kan tempat bermuaranya sungai-sungai besar. Jadi lumpurpun bertumpuk di Danau ini.

Kami membahas masalah pendangkalan Danau ini dalam rapat di tingkat Provinsi. Dari sana diperoleh kesimpulan bahwa perlu dibuatkan check-dam terutama di muara-muara sungainya. Check-dam ini penting untuk menjaga jangan sampai lumpur masuk dan menambah pendangkalan Danau. Kami juga minta agar Danau ini dikeruk, karena kalau tidak Danau Limboto akan mati.”

Kekhawatiran Mister Wunani merefleksikan kekhawatiran umum dari masyarakat di lima Kecamatan seputar Danau Limboto. Oleh karena mayoritas penduduk di kawasan itu adalah nelayan jaring dan petani nelayan jaring terapung. Menurut Wunani selanjutnya:

“...jika tidak ada lagi usaha itu (perikanan danau), mereka tidak punya usaha lain. Mereka mungkin akan pergi meninggalkan Iluta.”

Upaya pembangunan check-dam maupun pengerukan Danau yang diharapkan masyarakat tak kunjung menjadi kenyataan. Meski demikian, masyarakat nelayan di pesisir Danau Limboto tak berputus asa. Upaya alternatif yang disarankan Sarnita untuk mengendalikan tumbuhan air di Danau itu mulai tampak. Tumpukan enceng gondok membentuk tegalan-tegalan panjang membuat permukaan Danau yang tersisa cukup bersih dan luas bagi area budidaya ikan. Namun, cukupkah upaya tersebut untuk menanggulangi proses pendangkalan yang seperti berpacu dengan waktu? Sebuah pertanyaan yang rasanya tak menyisakan waktu untuk berpikir. Tindakan cepat yang tepat adalah satu-satunya jawaban yang dibutuhkan.

Sumber : http://henry.gultom.or.id
Photo :http://upload.wikimedia.org