Mengkaji Warisan Khasanah Al-Banjari

Penulis : Benny Dwi Koestanto

Ritual perang pandan di Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, ujung timur Bali, menjadi atraksi wisata yang ditunggu-tunggu setiap tahunnya. Meski demikian, sebenarnya Tenganan tidak hanya punya tradisi khas perang pandan sebagai bagian dari tradisi desa Baliaga. Ada pula mesabatan biu (perang pisang) yang tak kalah menarik dan tetap sarat makna.

Pagi menjelang siang, awal April lalu, Tenganan Dauh Tukad terasa lengang. Hanya ada sejumlah tetua desa yang duduk di pintu gerbang desa itu. Selidik punya selidik, ternyata para pemuda (teruna) desa tersebut sedang ke kebun, sementara para pemudi (teruni) dan kaum ibu tetap di rumah melakukan pekerjaan rutin mereka. Aktivitas di kebun memang sudah menjadi bagian keseharian masyarakat Tenganan. Namun, hari itu ada sesuatu yang spesial.

Aktivitas berkebun, khususnya memetik kelapa dan pisang, menjadi bagian utuh dari upacara mesabatan biu yang digelar bagi pemuda setempat. Bisa dibilang, hampir seluruh pemuda desa saat itu berpartisipasi dalam acara tersebut. Ketut Tagen, misalnya, sejak pagi pergi ke kebunnya. Ia memetik sepuluh kelapa, serta sejumlah tandan pisang sawo (kapok) yang sudah tua. Terkesan, tidak ada persoalan bagi pemuda berbadan tegap itu untuk naik-turun pohon kelapa, memetik buahnya dan mengambil beberapa helai daun kelapa muda untuk kelengkapan sesaji. Padahal, tidak seperti kebanyakan pohon kelapa di tempat lain, terutama di Jawa, batang pohon kelapa di Tenganan tidak dilubangi sebagai tempat pijakan.

Selanjutnya, Ketut Tagen menata hasil petikannya itu sedemikian rupa di atas sebatang bambu sehingga kelapa dan pisang siap dipikul dan diangkutnya.

Kaki Ketut Tagen pun kemudian dilangkahkan menuju ujung jalan desa yang membentang lurus, sekitar 300 meter dari Pura Bale Agung desa. Sekali lagi, tampak tidak ada masalah berarti untuk memikul buah-buahan yang beratnya mungkin lebih dari 15 kilogram itu.

Para pemuda lainnya juga menuju titik yang sama. Ada 16 orang yang memang sudah dipilih oleh kelian adat setempat. Masing-masing membawa seikat kelapa dan pisang. Begitu sampai di tempat berkumpul, mereka langsung berganti pakaian. Baju harian yang dikenakannya dilepas dan diganti dengan pakaian adat, khususnya kain kamben dan udeng (penutup kepala). Dengan begitu, mereka bertelanjang dada. Hal ini untuk menunjukkan bahwa mereka sudah berada di usia akil balig, bahkan sebagian menuju usia dewasa muda.

Suasana di pelataran Pura Bale Agung tidak kalah semarak. Para tetua laki-laki duduk berderet di atas bale di jero jaba pura. Mereka memainkan aneka musik dengan sejumlah alat pukul khas Bali. Sementara para tetua perempuan mengatur sesaji dan makanan. Makanan dipersiapkan secara khusus untuk megibung (ritual makan bersama) di akhir setiap acara adat. Aneka makanan, yang terdiri dari nasi, sayur, dan lauk (daging babi), diletakkan di piring tradisional yang terbuat dari bambu dengan ukuran dua kali piring biasa.

Pemukulan kentongan
Puncak upacara dilaksanakan ketika kulkul (kentongan khas Bali) dibunyikan beberapa kali. Kalau kulkul sudah dibunyikan, berarti masyarakat Dauh Tukad diminta berjajar di sepanjang jalan dari titik berkumpulnya para pemuda dengan Pura Bale Agung. Maka, bapak, ibu, dan anak-anak mereka pun kemudian tampak berjajar di sepanjang jalan tersebut. Mereka menyaksikan para pemuda kebanggaan desa bersiap menjunjung kelapa dan pisang.

Setelah Kelian adat Dauh Tukad, Putu Ardana, memberi aba-aba, para pemuda tadi segera bergegas berjalan dengan langkah setengah berlari menuju Pura Bale Agung. Tepat setengah perjalanan, perang pisang pun terjadi. Ada dua pemuda yang menjadi sasaran utama perang, masing-masing Ketut Tagen dan Kadek Budi. Tak ayal, wajah mereka memar-memar, plus kulit memerah di sejumlah bagian tubuh. Untung suasana "kacau" hanya terjadi beberapa menit karena kaki harus tetap melangkah menuju pura. Perjalanan menuju pura tidak boleh berhenti. Maka, ini merupakan keberuntungan bagi Ketut dan Kadek karena berarti mereka tidak bakal babak belur.

"Itulah puncak upacara ini. Sama sekali tidak ada dendam," kata Putu Ardana.

Ketut dan Kadek memang jadi sasaran utama karena mereka adalah ketua dan wakil ketua pemuda desa yang baru.

Menurut pengakuan kedua pemuda itu, mereka sempat takut menghadapi perang itu. "Sempat berdebar-debar juga. Maka, tadi kami lari secepat mungkin dan membalas lemparan juga. Tapi, untunglah kami dapat melewati ujian sehingga kami sudah sah jadi ketua dan wakil pemuda desa ini," kata Ketut Tagen.

Semacam tes fisik, mental, serta kedisiplinan. Itulah maksud utama upacara perang pisang di Tenganan Dauh Tukad. Dari upacara itu, ketua dan wakil pemuda desa itu diharapkan dapat menjadi orang-orang yang bertanggung jawab terhadapadat istiadat, sekaligus masyarakatnya. Merekalah nantinya yang menjadi orang paling bertanggung jawab untuk mengurusi kelengkapan bahan-bahan yang dibutuhkan dalam setiap upacara adat, terutama dari sisi perlengkapannya. Dalam kepanitiaan acara di kehidupan modern, misalnya, posisi mereka mirip pembantu umum, yang dituntut selalu siap.

"Megibung" anak
Ardana mengungkapkan, tradisi itu sudah berjalan sejak nenek moyang mereka. Karena itu, ketika ditanya sejak kapan tradisi itu ada, masyarakat setempat pun menjawab tidak tahu. Prosesi itu selalu dirangkaikan dengan upacara piodalan setiap bulan usaba ketiga, bulan yang dalam penanggalan nasional jatuh di akhir Maret dan awal April. Menurut Ardana, yang terpenting bukan mencari tahu kapan upacara itu dimulai. Sebaliknya, sebagai masyarakat Baliaga, mereka berkewajiban menjaga dan melestarikan budaya itu. Termasuk kepada anak-anak mereka kelak.

Anak-anak memang tidak diikutkan secara langsung dalam acara adat perang pisang itu. Namun, mereka diikutkan secara khusus dalam acara megibung. Jika para tetua dan anggota teruna makan bersama di bale khusus, anak-anak pun demikian. Mereka dikumpulkan di satu bale tersisa. Seperti kaum dewasa, anak-anak itu juga duduk melingkar. Di tengah-tengah mereka disuguhkan makanan khas plus satu kendi berisi air putih. Kepada anak-anak itu diajarkan pula cara makan dan minum bersama, tidak saling berebut, bergantian.

"Ini memang menjadi ajang sosialisasi bagi anak-anak. Dengan demikian, mereka tetap cinta pada adat istiadat setempat. Harapannya, adat istiadat itu akan tetap hidup di tangan mereka kelak," kata Ardana.

Seusai makan, masyarakat kembali berkumpul. Kali ini mereka bersama menuju tempat pengumpulan buah-buahan yang dibawa para pemuda tadi. Lalu, diadakan acara semacam lelang untuk seluruh buah yang tersisa. Uang hasil lelang dikumpulkan dan menjadi hak adat. Uang itu akan digunakan untuk membiayai upacara adat selanjutnya. Itulah kekhasan Tenganan, Desa Baliaga yang tetap hidup di tengah perubahan zaman yang begitu cepat saat ini. Mereka tetap menjaga keharmonisan hubungan satu sama lain.

Aktivitas berkebun, khususnya memetik kelapa dan pisang, menjadi bagian utuh dari upacara mesabatan biu yang digelar bagi pemuda setempat.

Sumber : www.kompas.co.id