Sunan Kalijaga Dalam Mengawinkan Budaya Jawa Dan Islam

Penciptaan Tembang
Salah satu kreatifitas Sunan Kalijaga dalam syiar Islam adalah dedngan menciptakan tembang-tembang. Salah satu tembang yang sangat terkenal hingga sekarang adalah Ilir-ilir. Tafsir tentang ilir-ilir lebih dari satu, tergantung sudut pandang masing-masing. Ilir-ilir terdiri dari dua bagian, yang pertama bagian penyadaran, sedangkan yang kedua adalah bagian peringatan.

Bagian pertama berbunyi :

Ilir-ilir
Tandure
wis sumilir
Tak ijo royo-royo
Tak senggoh penganten anyar

Bagian pertama ini menyadarkan bahwa setiap orang harus mampu menanam. Apa yang harus ditanam? Kesadaran berketuhanan Yang Maha Esa. Setelah ditanam lalu dipelihara dengan cermat dari waktu ke waktu. Kalau kesadaran ketuhanan Yang Maha Esa sudah tumbuh subur bagaikan tanaman yang ijo royo-royo, maka seseorang dianggap telah

siap memasuki jenjang perkawinan. Ketika itulah is siap menjadi penganten anyar (penganten baru) yang siap pula memasuki dunia kehidupan nyata yang penuh dengan tantangan dan rintangan.

Bagian kedua menggambarkan bahwa manusia pada akhirnya bersiap-siap kalau sewaktu-waktu dating panggilan Tuhan. Bahasa duniawinya maut menjemput kita. Bunyi selengkapnya adalah sebagai berikut.

Bocah angon-bocah angon
Penekna blimbing kuwi
Lunyu-lunyu penekna
Kanggo masuh dodot ira
Dodot ira-dodot ira kumintir bedah pinggire
Domana, jlumatana kanggo sebo mengko sore
Mumpung jembar kalangane
Mumpung gede rembulane
Dho surako surak hore

Persiapan tersebut pasti akan dialami oleh setiap orang. Dalam persiapan dipanggil Tuhan setiap orang wajib menata dirinya lahir dan batin, siap mau penghadap Tuhannya. Dalam mempersiapkan tata lahir, pakaian yang harus dipakai harus pakaian kebesaran, yaitu dodot.

Dodot adalah kain yang dipakai oleh raja atau pembesar dibawahnya. Pucuk kainnya sengaja dibikin keluar dan klangsrah, menandakan kain kebesaran. Apabila ternyata dodotnya masih kotor harus dimintakan tolong kepada bocah angon, seorang penggembala, simbolik dari orang yang telah memiliki kewenangan memimpin dan menuntuni seseorang untuk menjalani hidup berketuhanan.

Yang dipakai untuk membasuh dodot adalah blimbing, simbolik dari ajaran bersegi lima. Secara konvensional, blimbing mempunyai segi (lingir) lima. Tinggal mencari makna ajaran yang ber-lingir lima itu apa saja. Dari sisi Islam, tentu Rukun Islam, sedangkan dari ideologi Indonesia adalah Pancasila. Dari tiga macam makna tersebut, rasanya yang paling dekat adalah Rukun Islam. Dengan kata lain ketika seseorang mau menghadap Tuhan dirinya harus dipersiapkan dedngan “pakaian” yang bersih dan utuh.

Orang yang masih diberi kesempatan Tuhan untuk hidup, bagaikan masih diberikan kesempatan seluas-luasnya untuk beramal shaleh yang diungkapkan dengan kata-kata mumpung jembar kalangane (selagi masih luas tempat kiprahnya) dan mumpung gede rembulane (selagi masih mengalami bulan purnama, saat-saat ketika seseorang masih berkesempatan menyerap keindahan/kesejukan ajaran ketuhanan Yang Maha Esa).

Apalagi sudah menghayati laku hidup seperti ini yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa yang ditunjang dengan laku penghayatan sedulur papat, kalimo baku. Maka seseorang beserta saudara-saudaranya dan kerabatnya yang telah mengerti menyambut panggilan Tuhan sebagai peristiwa yang mulia dan sukses. Semuanya bersorak sorai gembira ria karena yang meninggal telah mengetahui arah dan tujuan panggilan Tuhan. Wallahu alam bishawab.

Contoh-contoh tersebut di atas hendaknya menjadi contoh yang reprentatif tentang betapa Sunan Kalijaga melakukan modus operandi mempertemukan Islam dedngan Jawa, dengan kata lain mengislamkan Jawa, atau menjawakan Islam.

Sumber :
Dr. Budya Pradipta, Ph.D
Mbangun Tuwuh Tahun 19 No. 151

Sumber : http://www.karanganyar.com