Cagar Budaya Masyarakat Alor

Dalam sejarah negeri ini, barangkali kita belum pernah mendengar, jika benda peninggalan atau benda-benda prasejarah mendapat tempat yang terhormat dari kelompok masyarakat disuatu daerah. Kalaupun mendengar, tidak lain berasal dari himpunan masyarakat Alor, suatu masyarakat yang terbentuk dalam klen/marga yang mengikuti garis keturunan ayah.

Alor adalah sebuah kabupaten di Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), terletak paling timur dalam gugusan kepulauan di sebelah utara wilayah NTT. Kabupaten ini terdiri dari tiga pulau besar, yakni pulau Alor, pulau Pantar, dan pulau Pura, dan sejumlah pulau kecil tidak berpenghuni ini, memiliki keunikan tersendiri sebagai satu kesatuan dari sebuah daerah Administratif. Keunikan inilah yang kemudian sempat juga membuat Magelhaens menyinggahinya, saat berlayar kembali dari Maluku menuju Eropa pada tanggal 12 januari 1522.

Ada ciri khas yang menarik, yang dimiliki oleh masyarakat di daerah tersebut, yakni mas kawin. Mas kawin yang dimiliki tidak seperti mas kawin yang umumnya digunakan di daerah lain di NTT. Di NTT, umumnya menggunakan hewan piaraan sebagai mas kawin. Namun tidak demikian dengan masyarakat Alor. masyarakat alor menggunakan benda peninggalan nenek moyang sebagai mas kawin. Benda yang digunakan sebagai mas kawin itu disebut masyarakat setempat dengan nama moko[2].

Penggunaan moko sebagai mas kawin telah berlangsung selama ratusan tahun. Menurut para arkeolog, moko mulai digunakan oleh masyarakat setempat, sejak abad 14 masehi. Nenek moyang mereka mengawali penggunaan moko sebagai alat tukar, maupun sebagai alat kesenian dalam upacara adat. Dan, baru pada abad 17 masehi, moko kemudian digunakan oleh nenek moyang mereka, sebagai mas kawin.

Penggunaan moko sebagai mas kawin dalam lingkungan masyarakat adat Alor, berlangsung terus hingga sekarang. Posisi moko sebagai mas kawin, sulit tergantikan dengan benda apapun yang lain. Moko dipercaya sebagai alat yang dapat mengikat tali perkawinan mereka sampai kapanpun. Meskipun jumlah moko dari waktu ke waktu semakin berkurang, akibat banyaknya pemburu barang antik, yang siap menadah untuk dibawah ke Bali dan seterusya ke luar negeri.

Sejalan dengan pemikiran Herskovits, maka moko dan ataupun fungsinya adalah hasil dari kebudayaan. Begitulah kira-kira. Karena menurutnya benda atau apapun dan termasuk didalamnya perilaku manusia yang telah berlangsung turun temurun oleh sekelompok masyarakat, disebut dengan kebudayaan.

Kendatipun moko dianggap sebagai benda yang sakral dan bermakna bagi masyarakat setempat, moko bukanlah karya terampil nenek moyang mereka. Moko berasal dari daerah Dongson , Vietnam Utara. Moko mulai banyak diproduksi pada kisaran abad 12 masehi. Dan, barangkali sampai di Alor akibat persinggungan kebudayaan india yang begitu kuat, seiring dengan masuknya kerajaan Hindu-Budha ke Indonesia .

Bagi masyarakat Alor sendiri, sepertinya tidak terpengaruh dengan telaah-telaah ilmiah tentang asal-usul moko. Bagi mereka, moko berasal dari tanah atau terjadi dengan sendirinya. Memang terkesan mistik, apalagi anggapan tersebut semakin kuat ketika pada tanggal 20 agustus 1972, moko dengan ukuran besar ditemukan didalam tanah oleh bapak Simon J Balol di desa Kokar, sesuai petunjuk mimpinya. Begitulah kira-kira. Anggapan tersebut terlalu kuat melekat, hingga kini anggapan tersebut tidak hanya dianut oleh masyarakat adat, tetapi juga kaum intelektual.

Bentuk moko bervariasi, besar dan kecil. Moko terbuat dari perunggu, berbentuk drum dengan diameter 40 cm-60 cm dan tinggi 80 cm-100 cm. Di sekujur tubuhnya terdapat hiasan tradisional yang bervariasi, mencerminkan tahun pembuatannya dan juga mencerminkan kebudayaan asalnya. Ada banyak jenis moko. Jenis-jenis moko yang terdapat di daerah ini yakni, moko Jawa Telinga Utuh cap Bintang dan cap Satu Bunga, ada moko Belektaha cap Bengkarung, ada moko Malayfana Palili dari Alor Timur, moko Makassar Bunga Kemiri Tangan Panjang, moko Aimala Kumis Besar. Sisanya, antara lain, moko cap Naga, Bulan, Paria, dan cap rupa-rupa simbol lainnya. Benda bersejarah ini menyebar di sejumlah kecamatan. Misalnya, moko Pung di kecamatan Pantar, moko Aimala, moko Makasar, dan moko Jawa di Kecamatan Alor Timur dan Alor selatan, serta moko Habartur Piku di Kecamatan Alor Barat Laut.

Harus diakui, salah satu tantangan kita dewasa ini adalah bagaimana kita menjaga kebudayaan daerah kita. Kita memiliki begitu banyak karakteristik kebudayan dengan nilai dan makna yang dalam. Sangat disayangkan jika kita sia-siakan begitu saja sedangkan diluar sana (orang asing), tengah gencar mengejar apa yang kita miliki untuk sekedar dikoleksi, kemudian jika telah cukup waktu, akan dipertunjukkan kepada kyalayak ramai.

Salah satu produk dari manusia yang berkiblat kebudayaan daerah adalah mereka yang masih memegang teguh karakteristik nilai-nilai kedaerahan. Sisi gelap dari hal ini adalah mereka yang begitu mudahnya mengadopsi budaya global, tanpa mempertimbangkan efek negatifnya. Sisi gelap itu kemudian menghasilkan perasaan sinis atau kurang percaya diri terhadap keunggulan dan karakteristik kebudayaan daerah. Kemudian kita menjadi kehilangan identitas, seperti apa yang dikatakan oleh Kenneth J. Gregen[3], bahwa kita memperoleh pandangan dan nilai-nilai dari seluruh sudut dunia. Kita juga mengambil banyak isyarat dari media. Sehingga identitas kita kini tengah terus berubah dan kembali diarahkan, sebagaimana kita bergerak mengarungi lautan hubungan, atau relasi yang terus berubah.

Kebudayaan global yang kita serap bukanlah dijadikan sebagai senjata untuk melemahkan kebudayaan daerah kita. Namun itu dapat dijadikan sebagai pupuk untuk mengembangkan kebudayaan daerah kita. Sehingga kebudaayaan daerah kita dapat beradaptasi dengan kebudayaan global. Menurut Tilaar[4], kebudayaan global sesungguhnya merupakan kebudayan daerah yang berhasil keluar sebagai pemenang.

Masyarakat Alor memiliki sebuah karakteristik yang tidak dimiliki daerah manapun bukan saja di NTT, tetapi di Indonesia atau di dunia barangkali, dengan menjadikan moko sebagai satu-satunya identitas, harga diri dan sebagai symbol asmara mereka, walaupun benturan-benturan kebudayaan selalu datang. Namun mereka tetap menjaga karakteristik tersebut sebagai suatu symbol kebanggaan. Masih banyak diantara kita yang mempunyai kepedulian yagn tinggi terhadap budaya lokal kita. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan pemikiran Sapardi Djoko Damono[5] bahwah kebudayaan kita, layaknya kebudayaan manapaun senantiasa mengalami benturan, pergeseran dan perubahan. Namun selama pendukungnya masih ada kita tidak perlu kuatir akan lenyapnya kebudayaan daerah. Kita semua telah membuktikannya bahwa manusia memiliki kemampuan untuk bisa menjadi pendukung lebih dari satu kebudayaan; manusia bisa bergerak dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain dengan bebas. Dalam satu kesempatan kita bisa menjadi manusia dengan dua kepribadian atau lebih. Kemampuan semacam itu tampaknya semakin diperlukan dan ternyata banyak diantara kita yang sanggup melaksanakannya.

Dengan mengecualikan budaya masyarakat Alor. Hal yang kontras dengan pemikiran Sapardi Djoko Damono adalah banyak didapati, kita atau generasi kita yang tidak mampu untuk memilih mana yang tepat untuk diadopsi dari kebudayaan global. Kita tidak lagi lihai sesuai dengan apa yag dikatakannya. Dalam konteks ini kita menginjak-injak amanah nenek moyang yang sesunggunya memiliki nilai yang sangat dalam. Rasa patuh dan hormat terhadap amanah yang diwariskan mulai berangsur hilang karena rasa minder terhadap kepunyaan kita.

Dalam konteks ini, barangkali kita mengatakan bahwa kita identik dengan masyarakat yang terbuka karena dari dulu kita telah bersinggungan dengan kebudayaan asing, baik yang datang kepada kita, maupun yang kita datangi. Sebagai contoh, benda-benda budaya yang kita miliki, sebagiannya merupakan benda-benda budaya yang datang dari luar (moko, kapak lonjong, dll). Namun hal itu tidak bisa dijadikan suatu alasan untuk menerima secara mentah apa yang sementara kita hadapi. Benda-benda budaya tersebut diterima oleh nenek moyang kita, hanya sebagai suatu benda, kemudian sepenuhnya digunakan tanpa terpengaruh oleh nilai dan makna awal benda-benda budaya tersebut. Benda-benda budaya tersebut, baru kemudian dimaknai lagi oleh nenek moyang kita sesuai dengan kondisi dan perkembangan saat itu.

Kita tidak hanya harus bersolek dan berdandan untuk menunjukan kemodern kita, tetapi juga harus pandai menampilkan (tanpa malu) kedaerahan kita untuk mencegah atau menahan budaya modern, dengan menekuni serta memperluas wawasan tentang budaya lokal kita, agar dengan sendirinya timbul rasa kecintaan terhadap budaya daerah yang kita miliki.

Symbol Daerah
Jumlah moko di Alor dari waktu ke waktu terus mengalami penurunan. Berkurangnya jumlah moko tersebut diakibatkan oleh banyaknya pemburu barang antik yang dengan gencar mencari moko untuk dibawah ke Bali untuk diteruskan ke luar negeri. Gelombang penadah barang antik tersebut dari waktu ke waktu semakin bertambah, seiring dengan semakin tingginya tuntutan kebutuhan ekonomi. Daya tahan masyarakat semakin melemah, karena faktor ekonomi menjadi indikator. Separoh atau bahkan hampir sebagian besar masyarakat, bermata pencaharian petani ladang, sehingga hal ini juga turut mempengaruhi jumlah moko tersebut.

Tidak heran ada begitu banyak pendapat yang menyatakan bahwa posisi moko sebagai mas kawin digantikan dengan yang lain dalam hal ini adalah uang. Pendapat-pendapat tersebut datang dari pejabat-pejabat teras di lingkup pemerintah setempat. Kedengarannya semakin menggelitik, ketika hendak dimasukan dalam sebuah program pemerintah. Namun tuaian protes datang dari berbagai kalangan, lebih-lebih masyarakat adat.

Ini adalah saat yang tepat dimana kita menginterpreasi nilai-nilai yang diwariskan nenek moyang kita dalam prakteknya dalam masyarakat. Tanggungjawab sebagai anak cucu yang merupakan bagian yang harus dijaga. Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan Sapardi Damono bahwa kita tidak kuat menjaga budaya kita.

Banyak budaya yang kita miliki telah luntur. Dimanakah budaya gotong royong yang kita miliki. Atau budaya etika ke-timur-an yang katanya merupakan symbol bangsa ini. Semuanya telah hilang akibat kita malu menerapkannya. Apakah kita, atau sepertinya tidak memliki budaya yang pasti. Banyak kasus-kasus yang mencerminkan bahwa kita telah rapuh dan tidak memiliki budaya.

Tanggal 4 Agustus 2004, I Gede Ardika, yang saat itu sebagai Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata meresmikan sebuah museum di Alor, yang diberi nama museum Seribu Moko. Museum ini terletak dijantung kota kalabahi. Meskipun jumlah moko belum sampai pada jumlah seribu (baru 30-an), namun sepertinya kebijakan itu sangat tepat. Pemerintah kayaknya sedang menerapkan pemikiran dari Kuntowijoyo[6], yaitu usaha untuk mengoleksi barang-banrang antik. Namun salah satu alasan yang mendasar adalah bahwa moko tidak hanya memiliki nilai historis, tetapi lebih dari itu moko merupakan pelindung, sekaligus sebagai symbol kebudayaan Alor.


Charlemen Djahadael, Lahir di Alor, NTT, 15 Oktober 1982. Debut kepenulisannya sudah dimulai sejak masih menduduki bangku SMA, akan tetapi baru dapat meletuskan ide-ide geniunnya secara lebih dalam sejak mulai bergabung dengan komunitas Penulis Muda Rumah Poetica Nusa Karang NTT. Penulis, sekarang sedang menyelesaikan studi Strata Satu-nya di Universitas Muhhammadiyah Kupang. Ditengah kesibukan kuliahnya, ia juga menjadi Editor In Chief dipenerbit Postmopustaka Kupang, NTT.

Sumber : http://nusasastra.wordpress.com