Pewaris Kebudayaan Yang Miskin

Oleh : Rida K Liamsi (Budayawan)

Pantun Melayu, bukan hanya sarat dengan metafor yang berlatarkan sejarah dan keluasan informasi, tetapi juga dengan filosofi dan ajaran hidup. Karena pantun Melayu adalah karya yang lahir dari budaya masyarakat Melayu yang santun, yang tumbuh dan berkembang dalam tradisi Islam.

Pantun Melayu ini mempunyai peluang besar menjadi kontribusi unggulan, setelah bahasa bagi perkembangan kehidupan kebudayaan. Tapi kini, tradisi berpantun itu sudah semakin hilang, dan sekali sekala muncul dalam bagian-bagian akhir sambutan para penguasa negeri.

Tapi tak ada lagi ekspresi, termasuk cinta remaja, yang disampaikan dengan pantun-pantun. Makanya, dengan realitas kebekuan seperti ini, tidak heranlah kalau nama besar Raja Ali Haji, pujangga dan filosof besar Melayu itu, hanya berhenti pada gelar pahlawan dan sebuah monumen, atau menjadi nama jalan (itupun jalan yang tak sepadan dengan nama besarnya), atau nama sebuah yayasan yang nampaknya terlalu berat memikul namanya, daripada out put yang dihasilkannya.

Dengan beberapa contoh realitas seperti itu, apa yang dapat diharapkan untuk dilakukan para penguasa negeri dan pengelola lembaga-lembaga swadaya masyarakatnya untuk lebih memartabatkan tamadun Melayu itu?

Pilihannya, memang adalah bagaimana mencairkan kebekuan warisan tamadun itu. Bagaimana jejak kecermerlangan dan keunggulkan budaya Melayu itu, dapat memberi inspirasi, memberi semangat, mendorong masyarakat Melayu untuk membangun kebersamaan dan solidaritas kaum yang lebih kuat dan kukuh.

Maju ke depan lebih hebat, dan mewariskan tamadun yang lebih unggul dari masa lalu. Bagaimana misalnya, dengan meminjam semangat Raja Ali Haji, dibangun Raja Ali Haji Centre, sebagai salah satu pusat keunggulan budaya Melayu.

Institusi itu dapat dijadikan pusat studi dan kajian bahasa dan budaya terkemuka, di mana pihak-pihak yang memerlukan datang ke sana dan mengambil manfaat dari keberadaan institusi itu.

Di sana warisan pikiran, semangat, karya, dan mimpi Raja Ali Haji dikembangkan, dan dijadikan inspirasi untuk menghasilkan pemikiran dan karya budaya baru yang dapat disumbangkan bagi kebesaran budaya dan tamadun Melayu. Tetapi, apakah bisa?

Pewaris Kebudayaan
Sebenarnya bisa saja. Banyak contoh dari tamadun lain yang justru bagai lokomotif terus bergerak ke depan. Tamadun Islam tentu saja, Cina, Kristen, Yahudi, dan lainnya. Dan sebahagian besar kemajuan itu wujud dan berkembang karena ada kemauan politik dari penguasa negeri, dan kemampuan lembaga-lembaga masyarakatnya.

Banyak yayasan kebudayaan dunia yang kuat dan berperan besar dalam melestrarikan dan memberi kekuatan baru bagi kebudayaan mereka. Tetapi di negeri-negeri dengan budaya Melayu sebagai bahagian kesadaran hidup, yang makin compang-camping ini, rasanya perlulah kerja keras dan kesungguhan jika ingin membangun keunggulan dan ingin tamadun Melayu itu tetap dianggap sebagai salah satu tamadun yang unggul di dunia ini, paling tidak di rantau ASEAN.

Di Malaysia misalnya, jika kita berjalan di bawah bayang-bayang gedung Dewan Bahasa dan Pustakanya, tersirat rasa bangga, jangan-jangan di sinilah masyarakat Melayu Malaysia mendisain ulang tradisi Melayu maju mereka.

Mungkin di Putra Jaya, atau di sisa-sisa sejarah di Malaka. Dalam dekade terakhir ini harus diakui, Malaysia lebih banyak mengambil peran dan inisiatif dalam menggerakkan kembali semangat ke-Melayu-an, hampir di semua bidang.

Mereka menyelenggarakan seminar-seminar, dialog-dialog, pertemuan-pertemuan besar serantau, seperti pertemuan Dunia Melau-Dunia Islam, Dialog Selatan, Dialog Utara, dan bahkan pertemuan para saudagar Melayu dan perhimpunan berteraskan Melayu lainnya.

Ada keinginan kuat mereka untuk menjadikan Malaysia sebagai pusat kemajuan dan perkembangan kebudayaan Melayu serantau. Untuk menyelamatkan warisan budaya yang dihasilkan dari kerja seorang budayawan seperti Pak Tenas Effendy misalnya, mereka melakukan langkah-langkah strategis, menghimpun semua karya-karya tersebut, dan termasuk membuatkan website khusus untuknya, sehingga siapapun kelak yang mau melakukan studi tentang kebudayaan Melayu dari pandangan Pak Tenas bisa melakukan akses ke sana.

Berbagai aktivitas lain semacam itu juga mereka lakukan, dan semangat itu muncul hampir di semua Negara Bagian mereka.

Di Indonesia pun, semangat seperti itu ada. Di Riau misalnya, salah satu jantung kebudayaan Melayu di Indonesia, pemerintah daerahnya mendedahkan sebuah mimpi besar, yaitu ingin menjadi salah satu pusat perkembangan kebudayaan Melayu.

Ini merupakan bahagian dari Visi Riau 2020. Tetapi visi besar itu tentulah tidak mudah akan diwujudkan di tengah prulalitas budaya masyarakatnya.

Perlu kemauan politik dan pemimpin yang berhati besi, agar Melayu yang menjadi ruh dan jati negeri itu, tidak hanyut oleh berbagai tekanan kepentingan kaum. Karena, sebagai pewaris kebudayaan Melayu di Riau ini, baik pemerintah maupun masyarakatnya, bukanlah kekuatan yang unggul.

Sebahagian masarakat Melayu hidup dalam kemiskinan dan hampir-hampir kehilangan akses ke sektor-sektor ekonomi di negerinya. Kekuatan pertumbuhan ekonomi Riau ada di sektor pertanian dan pertambangan.

Tapi berapa banyak masyarakat Melayu yang eksis di sana sebagai perencana, pelaksana,dan penikmat hasilnya? Di kebun kelapa sawit yang hampir 3,5 juta hektare, orang Melayu paling banyak menguasai hanya 5 persen asetnya. Tidak terbayangkan akan ada kekuatan dari tiap tetes CPO yang dihasilkan dari sana dapat dipakai untuk membangun dan membangkitkan kebesaran tamadun Melayu.

Di bidang pemerintahan sebenarnya, kalau tamadun Melayu ingin dikukuhkan dan dimartabatkan lagi, rasanya bukanlah sulit. Hampir semua pemimpin Riau sekarang ini, mulai dari bupati sampai gubernur, semuanya putera daerah dan orang Melayu. Juga jajaran pemimpin di lapisan lain seperti sebahagian Ketua Dewan Perwakilan Rakyat.

Tapi apakah terdapat cukup kuat kemauan politik untuk menjadikan tamadun Melayu sebagai teras tamadun daerah ini? Apakah menyebut nama Melayu sekarang ini, masih saja seperti seperti dahulu, penuh rasa takut dan gamang. Apakah orang Melayu Riau, tetap seperti dulu dianggap sebagai “ red indian“, untuk meminjam istilah Yang Terhormat Tan Sri Prof Ismael Hussen?

Masyarakat Melayu Riau, sekali lagi, masih sangat lemah, khususnya dalam bidang ekonomi. Sehingga kalaupun ada LSM bidang kebudayaan yang tumbuh dan berkembang, namun kemampuannya sangat terbatas dan sulit bertahan. Berapa banyak yayasan kebudayaan yang kini ada dan hidup di Riau dan kawasan lain yang berbudaya Melayu di Indonesia, seperti Sumatera Utara, Jambi, Palembang, dan lainnya?*

Sumber : Riau Pos