Raden Dewi Sartika : 4 Desember 1884 – 11 September 1947


Oleh: Sarah Fauzia
SMAN 1 Tasikmalaya

“Mengungkap Perjalanan Menak Sunda Peretas Pencerahan Kaum Wanita di Tatar Pasundan Mengawali Perjalanan dari Kota Kembang Bandung Berakhir di Kota Resik Tasikmalaya“

A. Pendahuluan
1. Latar Belakang Masalah

Dalam tebalnya lembaran halaman sejarah Indonesia, terungkap sejumlah nama-nama yang hidup semasa pemerintah kolonial Belanda berkuasa, telah mencurahkan segenap hasrat dan kemampuan yang dimilikinya semata-mata untuk menjembatani kemajuan rakyat dan bangsa Indonesia yang tidak hanya tertinggal namun telah jauh tertinggal. Nama-nama tersebut, setelah terbentuk negara dan pemerintahan Indonesia yang merdeka, mendapat gelar pahlawan. Pemberian gelar pahlawan tersebut dimulai tahun 1959. Hingga menjelang tahun 1965, tercatat sebanyak 33 orang yang menyandang gelar pahlawan. Untuk mempertegas satus gelar yang diberikan kepada pihak yang menerimanya, pemerintah memilah gelar tersebut ke dalam beberapa kategori yakni: 1. Pahlawan Nasional, 2. Pahlawan Kemerdekaan Nasional (PKN), 3. Pahlawan Revolusi (PR), 4. Pahlawan, 5. Tokoh Nasional. Hingga tahun 2008, tercatat 144 tokoh yang menyandang gelar pahlawan dengan beragam kategori tersebut. (Taufik Abdullah, 1978: 61)

Satu diantara sejumlah nama yang mennyandang gelar pahlawan adalah Raden Dewi Sartika, perempuan keturunan menak Sunda, yang berjuang meretas pencerahan kemajuan kaum perempuan di Tatar Pasundan melalui gerakan pendidikan, yang diwujudkan dengan pendirian Sekolah Keutamaan Istri tahun 1904. Banyak pihak yang memandang bahwa apa yang dilakukan oleh Raden Dewi Sartika jauh lebih realistis dibanding dengan Raden Ajeng Kartini, yang dikenal sebagai pelopor gerakan emansipasi wanita Indonesia.

Hal tersebut telah mendorong penulis untuk membuat karya tulis teramat sederhana dengan judul: RADEN DEWI SARTIKA 4 DESEMBER 1884 – 11 SEPTEMBER 1947. “Mengungkap Jejak Perjalanan Menak Sunda Peretas Pencerahan Kaum Wanita di Tatar Pasundan Mengawali Perjanan Dari Kota Kembang Bandung Berakhir di Kota Resik Tasikmalaya”

2. Rumusan Masalah
Bagaimana upaya yang dirintis Raden Dewi Sartika dalam upaya mencerahkan kaum wanita di Tatar Pasundan?

Mengapa jejak langkah perjalanan Raden Dewi Sartika yang berawal dari kota Kembang
Bandung berakhir di Kota Resik Tasikmalaya?
Siapa yang lebih unggul Raden Dewi Sartika atau R. A. Kartini?
Bagaimana kondisi situs Raden Dewi Sartika di Ciampanan Kec.
Cineam Kabupaten Tasikmalaya?

3. Tujuan Penulisan
Untuk mengetahui upaya yang dilakukan Raden Dewi Sartika dalam melakukan pencerahan kaum wanita di tanah Pasundan.

Untuk Menelaah jejak perjalanan hidup dan kehidupan Raden Dewi Sartika
Untuk mengungkap keunggulan Raden Dewi Sartika di banding RA.
Kartini.
Untuk mengetahui kondisi situs Raden Dewi Sartika di Ciampanan Kec.
Cineam Kabupaten Tasikmalya

Untuk mengikuti Lomba Karya Tulis tingkat SMU/Sedarajat yang diselenggarakan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

4. Kajian Teoritis
Raden Dewi Sartika menak Sunda, yang telah berjuang untuk memajukan kaum wanita di Tatar Pasundan melalui pendirian Sekolah Keutamaan Istri. Perjuangan yang diretasnya, mendapat pengakuan dari pemerintah Republik Indonesia dengan penganugrahan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 252 Tahun 1966.

Menak Sunda, dalam tatanan masyarakat kolonial saat itu diposisikan sebagai kaum yang berhak mendapatkan perlakuan dan pengakuan istimewa baik dari pemerintah (kolonial) maupun dari masyarakat. Di kalangan masyarakat luas kata menak, dikirata-bahasakan “sebagai dimemen-memen dienak-enak. Hal ini beramkna sebagai kaum atau golongan yang harus diladeni segala keperluannya (oleh orang lain) hingga hidupnya menjadi enak”. (Atang Ruswita, dalam Nina H. Lubis,1999: vii).

Pencerahan kaum wanita, adalah upaya memposisikan kaum wanita pada posisi yang lebih baik, yang tidak terbelenggu oleh adat yang kolot dan kaku melalui penyelenggaraan pendidikan. Kaum wanita Sunda, yang sarat dengan sejumlah tabu Diantara sejumlah tabu tersebut adalah larangan atau pembatasan kaum wanita memasuki lembaga pendidikan. Dengan segala kelebihan dan keterbatasan yang dimiliki Raden Dewi Sartika besarnya hasrat untuk memajukan kaum wanita, akhirnya dapat diwujudkan. Berdirinya Sekolah untuk kaum wanita di Pasundan. Edukasi (pendidikan) dalam bahasa Latin berasal dari ex ducere yang berarti mengantarkan, mengantar keluar orang lain dari lingkungan kebodohan. Penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan Raden Dewi Sartika, merupakan awal dari upaya untuk meretas pencerahan kaum wanita khususnya di Tatar Pasundan untuk menyongsong masa depan yang jauh lebih baik. Berdirinya Sekolah Keutaman Istri, tahun 1904, adalah wujud nyata atas gagasan ada dalam benaknya. Keberadaan lembaga pendidikan tersebut tidak hanya mendapat pengakuan dari masyarakat Pasundan namun dari pemerintah Belanda.

5. Metode Penulisan.
Metode penulisan ini berdasarkan pada metodologi sejarah dengan melalui tahapan sebagai berikut :

Heruristik, yakni pengumpulan data.
Verifikasi, yakni pengujian sumber dengan melalui tahapan kritik intern dan ekstern.
Interpertasi, yakni langkah penafsiran
Historiografi, penyusunan kisah sejarah.
(Sodiq Mustafa et, al, 2004: 17-21).

6. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan terbagi dalam tiga bab. Bab I Berisi, latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, kajian teroritis, metode penulisan dan sistematika penulisan. Bab II, Pembahasan dan Bab, III. Kesimpulan.

B. Pembahasan
1.
Upaya Raden Dewi Sartika Meretas Mencerahkan Kaum Wanita di Tatar Pasundan
Menjelang abad sembilan belas situasi dan kondisi hidup dan kehidupan masyarakat Indonesia, belum banyak mengalami perubahan yang mendasar. Kebijakan politik baik Konservatif, Liberal maupun Etishe yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda lebih banyak dinikmati oleh kalangan masyarakat Eropa, Timur Asing. Sementara di kalangan masyarakat pribumi, kebijakan tersebut hanya menyentuh lapisan atau kalangan raja dan bangsawan, priyayi atau dalam istilah Sunda adalah para menak dan keturunanya. Pelaksanan Politik Etise dalam bidang pendidikan masih jauh dari harapan yang diinginkan oleh masyarakat pribumi menengah ke bawah. Keadaan ini, telah menjadi pendorong Raden Dewi Sartika, berupaya untuk meretas pencerahan kaum wanita di Tatar Pasundan, melalui penyelenggaraan pendidikan sebagai langkah awal meretas pencerahan masa depan kaum wanita khususnya. Tahun 1904 merupakan titik awal dari upaya Raden Dewi Sartika untuk memposisikan kaum wanita di Tatar Pasundan pada posisi yang jauh lebih baik dari masa sebelumnya.

Dalam tatanan kehidupan masyarakat Pasundan yang saat itu lebih populer dengan sebutan Priangan, satu golongan yang memiliki perbedaan yang mencolok dari masyarakat banyak adalah kaum menak. Menak menempati status sosial yang istimewa untuk ukuran saat itu. Selain dari nama, gaya hidup, yang membedakan dengan masyarakat lain adalah peluang untuk memasuki pendidikan. Raden Dewi Sartika lahir 4 Desember 1884, putri Raden Soemanegara dan Raden Ayu Raja Pernah mantan Patih Bandung termasuk satu diantara sejumlah kaum menak Pasundan. Namun perjalanan hidup dan kehidupan keluarga Raden Dewi Sartika, semasa muda tidak selamanya ada dalam lingkungan keluarga sendiri. Keterlibatan Raden Soemanegera dan sejumlah menak Pasundan dalam upaya menjatuhkan kewibawaan Aria Martanagara, yang mengakibatkan pemerintah kolonial Belanda mengasingkannya ke Ternate berdasarkan surat keputusan Gubernur Jenderal tanggal 30 Januari 1894 no. 27 (Mohammad Iskandar, 1991: 454).

Pengasingan Orang yang dicintainya, telah mengakibatkan Raden Dewi Sartika harus mengalami masa muda yang tidak menyenangkan. Sangat dimungkinkan selama Raden Dewi Sartika terpisah dengan keluarga, kepekaan melihat keberadaan kaum wanita Pasundan yang kurang beruntung, menjadi pendorong untuk membuka sekolah untuk kalangan masyarakat biasa khususnya kaum wanita. Selama Raden Dewi Sartika tinggal bersama Uwanya di Cicalengka, banyak mendapatkan pelajaran yang berharga khususnya dalam masalah pendidikan. Pengetahuan yang dimiliknya Sartika ditularkan kepada anak-anak pelayan di Kepatihan.

2. Upaya Raden Dewi Sartika Untuk Meretas Pencerahaan Kaum Wanita di Tatar Pasundan.
Pendidikan yang dimiliki, serta satus sosial yang cukup tinggi Raden Dewi Sartika, telah memunculkan kesadaran bahwa kaum wanita di Pasundan membutuhkan pendidikan.
Dengan bekal pendidikan masa depan putra-putri mereka akan jauh lebih baik dari orang tuanya. Namun untuk mewujudkan hal tersebut bukanlah perkara mudah. Ada sejumlah hal tabu atau hal yang pantang dilanggar yang melekat dalam diri kaum wanita di Tatar Pasundan, khususnya berkaitan dengan pendidikan. Adapun hal tabu tersebut antara lain:

Pendidikan bagi anak perempuan tidak perlu, atau belum dapat dilihat kegunaannya Bersama-sama dengan anak laki-laki dalam satu sekolah tidak baik Bertentangan dengan adat Anak perempuan yang sekolah sulit mencari jodoh Meskipun sekolah, anak perempuan toh tidak akan bekerja hingga pendidikannya akan sia-sia. (Rochiati Wiriaatmadja, 1986: 34)

Namun hal ini nampaknya tidak berlaku secara umum atau menyeluruh, karena sebagian dari putera dan putri keturunan menak atau priyayi dapat memasuki lembaga pendidikan tertentu yang diselenggarakan pemerintah kolonial Belanda. Mungkin hal yang menjadi pendorong Raden Dewi Sartika untuk memberikan peluang kaum wanita dari kalangan masyarakat biasa untuk memiliki sejumlah pengetahuan dan keterampilan melalui jenjang pendidikann yang akan menjadi pembuka bagi terraihnya kehidupan yang lebih baik. Hal ini terbaca dengan jelas terbukanya peluang yang lebih besar yang dimiliki keturunan menak yng memiliki pengetahuan yang luas sekaligus untuk meningkatkan bahkan merubah status sosial yang lebih tinggi. Setelahnya menyelesaikan pendidikan.

Hasrat yang dimiliki Raden Dewi Sartika, untuk membuka lembaga pendidikan bagi kaum wanita Pasundan di luar keturunan menak sangatlah beralasan, karena pendidikan dipandang sebagai upaya untuk menuju kehidupan yang jauh lebih baik yang akan melepaskan diri dari kebodohan dan keterbelakangan. Tahun 1904 adalah tahun dimana cita-cita Raden Dewi Sartika akhirnya terwujud di alam nyata. Berkat dukungan Bupati Bandung, pada tanggal 16 Januari 1904 Sekolah Gadis pertama didirikan. Upaya yang diretas Raden Dewi Sartika untuk memajukan kaum wanita Pasundan melalui pendidikan, tidak lahir mati tapi lahir hidup. Hal ini terbukti delapan tahun kemudian yakni tahun 1912, telah berdiri 9 (sembilan) sekolah di berbagi kabupaten, untuk ukuran waktu itu setara dengan 50 % dari seluruh jumlah sekolah yang ada di Pasundan. Berkenaan dengan cita-cita memajukan kaum wanita di Tanah Pasundan, untuk lebih mengokohkan satus sekolah tersebut, Raden Dewi Sartika merubah namanya menjadi “Sekolah Keutamaan Istri”. (Mariane Katopo, 2000: 482).

Memasuki tahun 1922, upaya yang dilakukan oleh Raden Dewi Sartika mendapat perhatian dari pemerintah, karena dianggap sinergiskan dengan kebijakan pemerintah Belanda yakni politik Etis. Hal tersebut ditandai dengan digunakan atau dipakainya lulusan Sekolah Van Deventer untuk mengajar di Sekolah Keutamaan Istri. Kemajuan penyelenggaraan pendidikan yang dirintis Raden Dewi Sartika, akhirnya mendapat pengakuan tidak hanya dari masyarakat Tatar Pasundan tapi dari pemerintah Belanda. Hal tersebut ditandai dengan penganugrahan bintang perak dari Gubernur Jenderal, Tahun 1922. Pada tahuan 1929 bertepatan dengan ulang tahun ke 25 Sekolah Keutamaan Istri, pemerintah Belanda menghadiahkan gedung baru untuk Sekolah Keutamaan Istri. Pada tahun itu pula sekolah ini kemudian popular dengan sebutan “Sekolah Raden Dewi Sartika” Bertepatan dengan ulang tahun ke 35 Sekolah Raden Dewi Sartika, Pemerintah Belanda menganugrahkan bintang emas kepada Raden Dewi Sartika atas jasa-jasa yang telah dilakukan kepada masyarakat khusususnya kaum wanita di Tatar Pasundan. (Rochiati Wiriaatmadja, 1986: 94-96)

3. Perjalanan Hidup dan Kehidupan Raden Dewi Sartika.
Raden Dewi Sartika adalah sosok yang pernah menempuh perjalanan hidup dan kehidupan dalam tiga zaman. Pertama jaman kolonial Belanda, kedua masa pendudukan Jepang dan ketiga jaman kemerdekaan. Ketiga zaman tersebut memilik makna tersendiri tidak hanya untuk dirinya tapi juga untuk orang lain khususnya kaum wanita di Tatar Pasundan.

Selama kurun waktu berkuasa pemerintah Kolonial Belanda, telah menempatkan dirinya sebagai salah satu putri menak Pasundan yang melakukan pencerahan kehidupan kaum wanita melalui penyelenggaraan pendidikan. Apa yang diretas oleh Raden Dewi Sartika secara perlahan namun pasti tidak hanya mendapat dukungan dan pengakuan dari masyarakat Pasundan, namun pemerintah kolonial Belanda pun mengakuinya. Hal tersebut ditandai dengan penganugrahan bintang perak dan emas dari pemerintah Belanda. Sangat dimungkinkan, pemberian tanda jasa ini dipandang oleh pemerintah Belanda, bahwa jejak langkah Raden Dewi Sartika selaras dengan kebijakan politik Etis atau kemudian dikenal pula dengan politik balas budi. Peringatan 35 tahun Sekolah Dewi Sartika nampaknya merupakan titik puncak dari karier dan pengabdian Raden Dewi Sartika dalam upaya memajukan pendidikan kaum wanita di Tatar Pasundan.

Setelah ulang tahun itu, secara perlahan tapi pasti perjalanan pendidikan yang direntas mengalami masa surut. Hal ini berkaitan dengan situasi politik internasional dan keadaan di Indonesia sendiri. Berkecamuknya Perang Asia Timur yang berujung pada berakhirnya kekuasaan pemerintah kolonial Belanda 1942, sangat berpengaruh terhadap keberadaan Sekolah Dewi Sartika khususnya dan sekolah lainya yang berdiri masa pemerintah kolonial Belanda. Perubahan masa ini telah pula berpengaruh terhadap kehidupan pribadi Raden Dewi Sartika.

Masa pendudukan Jepang telah merubah drastis kondisi umum bangsa Indonesia begitu pula dengan masalah pendidikan, penutupan sekolah yang berbau Eropa, telah menghambat laju dari perkembangan lembaga pendidikan yang telah diretas Raden Dewi Sartika. Masa pendudukan Jepang benar-benar telah memberikan pengaruh kurang baik bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Masa pendudukan Jepang kendatipun berlangsung dalam waktu singkat, dipandang oleh banyak pihak sebagai masa penuh kegetiran. Taufik Abdullah mengungkapkan masa tersebut: ”Kemelaratan dan kemiskinan merupakan kisah yang selalu teringat manakala masa pendudukan Jepang dibicarakan. Kelaparan, kekurangan makanan, bahan pakaian serta pemaksaan dalam kegiatan perang merupakan kesan yang selalu teringat” (Taufik Abdullah, 1988). Namun kendatipun demikian, masa pendudukan Jepang adalah masa dimana peluang untuk meraih kemerdekaan terbuka.

Deklarasi kemerdekan Indonesia 17 Agustus 1945, tidak secara otomatis membukakan peluang bagi Raden Dewi Sartika untuk kembali membuka lembaga pendidikan yang telah dirintisnya. Selama kurun waktu lima tahun (1945-1949). Pemerintah Indonesia lebih banyak mengkonsentrasikan pada upaya untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan dari pihak Belanda, yang ingin kembali mengokohkan kekuasaan politik kolonial seperti sebelum tahun 1942.

Apa yang dikenal dengan perang kemerdekaan atau revolusi nasional selama lebih kurang lima tahun, telah memupuskan harapan cita-cita Raden Dewi Sarika mewujudkan cerahan hidup dan kehidupan kaum wanita khususnya di Tanah Pasundan. Konflik politik antara pemerintah Indonesia yang bersikukuh mempertahankan kemerdekaan, dengan pihak Belanda yang ingin kembali menegakan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda, telah menciptakan situasi keamanan yang jauh dari harapan. Situasi lima tahun pertama ini, telah berpengaruh terhadap perjalanan kehidupan Raden Dewi Sartika dan keluarga. Situasi dan kondisi keamanan yang tidak kondusif di Kota Kembang Bandung, telah mendorong Raden Dewi Sartika untuk pindah ke Garut. Keadaan kota Garut saat itu, nampaknya tidak cukup memberi rasa aman untuk keluarga Raden Dewi Sartika. Keadaan ini, telah mendorong untuk pindah atau mengungsi ke Kota Resik Tasikmalaya.

Bulan Mei 1947, Raden Dewi Sartika pindah atau lebih tepatnya mengungsi ke Cineam Tasikmalaya, merupakan akhir perjalanan hidup dan kehidupannya. Keberadaaan Menak Sunda yang meretas pencerahan kaum wanita di Tatar Pasundan di Kota Resik Tasikmalaya hanya berlansung selama empat bulan (Mei-September). Hari Kamis tanggal 11 September 1947, Raden Dewi Sartika, berpulang ke Rahmatullah pada usia 63 tahun di Rumah Sakit Cineam, Jenazah Menak Pasundan yang mengawali perjalanan hidupnya dari Kota Kembang Bandung, dimakamkan di Kota Resik Tasikmalaya. Tahun 1951, atas inisitif keluraga besar Raden Dewi Sartika, makamnya di pindahkan dari Cineam ke pemakaman keluarga Bupati Bandung.

4. Siapa yang Lebih Unggul Raden Dewi Sartika Atau R. A. Kartini
Dalam buku sejarah tercatat sejumlah nama-nama perempuan yang menyandang gelar pahlawan, khususnya yang memperjuangkan kemajuan pendidikan. Untuk mematrikan dalam ingatan kolektif masyarakat, pemerintah mengabadikan nama-nama pahlawan tersebut untuk nama gedung atau nama jalan. Namun harus diakui nama R. A. Kartini jauh lebih dikenal oleh masyarakat luas. Popularitas R. A Kartini telah menembus batas geografis Indonesia dibanding nama lainnya termasuk Raden Dewi Sartika. Mengapa R. A. Kartini lebih populer? Hal tersebut disebabkan dia dipandang oleh banyak pihak sebagai sosok pengggagas kemajuan/emansipasi wanita Indonesia melalui surat-surat yang dikirimkannya untuk sahabatnya orang-orang Eropa akan cita-cita memajukan kaum wanita Indonesia. Tulisan-tulisan R. A. Kartini kemudian dibukukan dengan judul yang sangat menggugah yakni: ”Habis Gelap Terbitlah Terang“. Kumpulan tulisan telah menjadi inspirasi akan munculnya gerakan emansipasi. (Sitisoemandari Soeroto, 1983: xi-xvi). Di era reformasi sejumlah tokoh yang menyandang gelar pahlawan tidak luput dari pertanyaan dan gugatan akan obyektifitas perannya. Ada 7 pahlawan yang digugat yakni R. A. Kartini, Sultan Agung, Pangeran Dipenogoro, Ide Anak Agung Gde Agung, Sultan Hasanuddin, Tuanku Iman Bonjol dan Tuanku Tambusai, (Eka Nada Shofa Alkhajar, 2008, 1, 124)

Gugatan terhadap R. A. Kartini telah memunculkan pertanyaan mana yang lebih unggul Raden Dewi Sartika atau R. A Kartini. Sangatlah tidak mudah untuk mengesampingkan atau memuja satu dari kedua nama tersebut. Karena keduanya memiliki keunggulan dari sisi yang berbeda namun muaranya sama yakni memajukan kaum wanita Indonesia. Keunggulan Raden Dewi Sartika yang tidak bisa ditolak karena realitas dari gagasannya. Karena Raden Dewi Sartika berhasil mengimplementasikan cita-cita secara aktif positif dan konstruktif untuk kaum wanita di Tatar Pasundan.

Sementara R.A. Kartini adalah sosok yang mengilhami kemajuan kaum wanita melalui sejumlah surat-surat yang mengungkapan tentang, keadaan, keinginan dari R. A. Kartini akan pentingnya pendidikan bagi kaum wanita yang terbelunggu adat. Namun gagasan tersebut tidak pernah terwujud secara nyata. Apa yang dikenal dengan Sekolah Kartini, bukanlah sekolah yang didirikan atas inisiatif dirinya. Tetapi atas gagasan Abendon yang disetujui oleh pemerintah Belanda. Kartini tidak pernah mewujudkan harapan dan cita-citanya secara nyata semasa dia hidup.

Terlepas dari gugatan kontroversi dan kelemahan sekaligus keunggulan sosok R.A. Kartini. Kita sebagai generasi muda sudah selayaknya bersyukur atas jasa yang telah diretas baik oleh R.A. Kartini maupun Raden Dewi Sartika. Tak dapat dipungkiri kini kaum wanita Indonesia telah mengalami kemajuan lebih dari yang diharapkan R.A. Kartini maupun Raden Dewi Sartika. Seandainya bunga menjadi simbol bagi kaum wanita maka, Melati dari tatar Pasundan adalah julukan bagi Raden Dewi Sartika, dan bunga mawar dari bumi Jepara untuk R.A. Kartini. Kedua bunga tersebut memiliki aroma yang khas, jadi wajar bilamana ada yang menyukai atau mengagumi salah satunya, bahkan tidak menutup kemungkinan ada pula yang tidak menyukai kedua-duanya.

Mariane Katopo, nampaknya memberikan nilai lebih untuk Raden Dewi Sartika dibanding R.A. Kartini dengan mengungkapkan; “Dewi Sartika merupakan satu contoh yang amat baik untuk ungkapan Perancis noblesse oblige, karena keningratan itu membawa kewajiban. Sebagai seorang ningrat, Dewi Sartika tidak menggunakan fasilitas dan attribute yang ada padanya untuk membuat dirinya lebih hebat, tetapi justru untuk mengangkat martabat orang-orang sederhana yang tidak mempunyai fasilitas dan attribute seperti dia” (Mariane Katopo, 2000: 483)

Ungkapan tersebut di atas tetunya berdasarkan pada sejumlah fakta obyektif dari apa yang telah dan pernah dilakukan oleh Raden Dewi Sartika menak Sunda yang berjuang meretas pencerahan kaum wanita di Tatar Pasundan.

5. Kondisi Situs Raden Dewi Sartika di Ciampanan Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya
Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah satu kabupaten di Jawa Barat yang memiliki sejumlah situs baik sejarah maupun budaya. Keberaadan situs baik sejarah maupun budaya, tentunya memberikan kontribusi positif baik edukatif maupun rekratif. Begitu pula dengan keberadaan situs Raden Dewi Sartika yang terletak di Ciampanan Kecamatan Cineam Kabupaten Tasikmalaya. Walaupun keberadaan Raden Dewi Sartika hanya dalam waktu yang singkat yaitu selama kurang lebih empat bulan mulai bulan Mei sampai September 1947. Dilihat dari situasi dan kondisi saat itu, keberadaan beliau dalam waktu yang relative singkat, sangat tidak mungkin untuk mengembangkan pendidikan. Namun kehadirannya telah memberikan nilai tersendiri bagi masyarakat Cineam khususnya, maupun bagi masyarakat kabupaten Tasikmalaya umumnya.(Wawancara dengan Drs. Yus Jayusman M.Pd, 27 Mei 2008 di Cineam).

Begitu pula dengan keberadaan makam Raden Dewi Sartika, karena tahun 1951, makam beliau di pindahkan ke pemakaman keluarga Bupati di Bandung. Nampaknya ukuran waktu tersebut tidak mengurangi rasa hormat dan pengakuan masyarakat dan pemerintah Tasikmalaya. Wujud dari hal tersebut ditandai dengan diabadikannya dua jalan yang menggunakan nama Raden Dewi Sartika. Pertama di pusat pemerintah Kota Tasikmalaya, kedua di Kecamatan. Di Kecamatan Cineam terdapat Sekolah Dasar sedangkan di Ciampanan terdapat Pos Yandu dengan nama Tunas Sartika

Berkenaan dengan banyak sejumlah situs sejarah dan budaya di Kabupaten Tasikmalaya, Drs. Yus Jayusman M.Pd, mengharapkan: ”Pemerintah meningkatkan perhatian dan perawatan terhadap situs yang ada, karena selain memiliki nilai historis yang perlu dilestarikan, situs sejarah merupakan aset ekonomi, yang dapat mendongkrak pendapatan Asli Daerah, bilamana terbangun hubungan yang sinergis dengan pihak terkait. Untuk tetap menghidupkan semangat yang pernah di rintis Raden Dewi Sartika dalam pendidikan, perlu dicanang pendirian SMK-Keputrian di Cienam khususnya” .(Wawancara dengan Drs. Yus Jayusman M.Pd, 28 Mei 2008 di Cineam)

C. Kesimpulan
Keinginan Raden Dewi Sartika akan pentingnya pendidikan untuk kaum wanita khususnya di Tatar Pasundan, muncul dari apa dirasakan dan dilihat bahwa sebagian besar kaum wanita terkungkung oleh adat dan peraturan yang diterapkan oleh pemerintah kolonial Belanda. Pembentukan Sekolah Keutamaan Istri 1904, ternyata telah menggugah kesadaran kaum wanita akan arti penting pendidikan. Perkembangan pendidikan yang dirintris Raden Dewi Sartika nampaknya diakui oleh pemerintah sejalan dengan politik Etische. Pemberian medali perak dan emas adalah wujudkan hal tersebut.

Perjalanan hidup dan kehidupan Raden Dewi Sartika selama tiga zaman, telah memberikan warna bagi Dewi Sartika sekaligus kaum wanita di tatar Pasundan dan pasang surutnya perjuangan untuk memajukan pendidikan kaum wanita. Tahun 1904 hingga tahun 1939, dapat dikatakan masa perintisan hingga menuju puncak prestasi. Tahun 942 sampai tahun 1945, masa tanpa dinamika. Memasuki masa kemerdekaan Raden Dewi Sartika seakan memasuki senja kala hingga beliau akhirnya menutup mata di kota resik Tasikmalaya.

Raden Dewi Sartika memiliki keunggulan yang lebih dibanding R.A. Kartini dalam mengimplentasikan kemajuan kaum wanita. Karena beliau berhasil mewujudkan cita-citanya, sekaligus menjadi bagian integral dari proses pencerahan kaum wanita di Tatar Pasundan.

Diperlukan peningkatan pemeliharaan situs sejarah Dewi Sartika khususnya sebagai upaya untuk menanamkan rasa hayat dan kesadaran sejarah bagi generasi muda. Untuk tetap memelihara semangat memajukan pendidikan kaum wanita yang telah dirintis Raden Dewi Sartika perlu kiranya dicanangkan pendirian SMK khusus wanita di Cineam.

Daftar Pustaka
Ajip Rosidi, 2000, Ensiklopedi Sunda, Putaka Jaya, Jakarta.

Eka Nada Shofa Akhajar, 2008, Pahlawan-Pahlawan yang di Gugat: tafsir kontroversi sang pahlawan, Kata, Solo.

Mariane Katopo, 2000, Mutiara Maluku dan Permata Pasundan, dalam 1000 Tahun nusantara, Buku Kompas, Jakarta.

Mohammad Iskandar, 1991, Pemberontakan Kaum Priyayi Tahun 1893, dalam Seminar Sejarah Nasional IV, Sub Tema Dinamika Perkembangan Politik Bangsa Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan. Jakarta.

Nina H. Lubis,1999, Kehidupan Kaum Menak Sunda, Priangan 1800-1942, Pusat Informasi Kebudayaan Sunda, Bandung.

Sidiq Mustofa et, al, 2004, Kompetensi Dasar Sejarah, Untuk Kelas 1 SMA dan MA, PT. Tiga Serangkai Mandiri.

Sitisoemandari Soeroto, 1983, Kartini Sebuah Biografi, Gunung Agung, Jakarta.

Taufik Abdullah, 1978, Pahlawan dalam Perspektif Sejarah, Prisma, Jakarta.

Taufik Abdulah, 1988, dalam Akira Nagazumi, Pemberontakan Indonesia Pada Masa Pendudukan Jepang, Yayasan Obor, Jakarta.

Wawancara dengan Drs. Yus Jayusman M. Pd, Ketua Program Studi Sejarah Universitas Siliwangi Tasikmalaya

Photo : http://ritajuwita.files.wordpress.com

Sumber :
Makalah disampaikan pada Final Lomba “Penulisan dan Diskusi Kesejarahan” diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung. Bersamaan dengan Pekan Budaya Seni dan Film yang dilaksanakan pada tanggal 20 Juni 2009 di Keraton Kasepuhan Cirebon