Oleh : Emha Ainun Nadjib
Tiga pekan lagi, 14 Desember, saya akan sediakan panggung-panggung untuk beberapa penyair PENA Malaysia di Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. Besoknya saya ajak ke acara Komisi Yudisial, ada Rendra, Taufiq Ismail, M Sobary, Kiai Kanjeng, dll di sana.
Besoknya lagi saya coba koordinasikan dengan Taman Budaya Yogya. Besoknya sesudah itu di padang bulanan Yogya ”Mocopat Syafaat” Yogya. Kemudian sudah saya pesan kerja sama dengan Fakultas Sastra Universitas Airlangga dan Bengkel Muda Surabaya. Justru karena Indonesia dan Malaysia sedang tak enak hati. Orang Indonesia uring-uringan soal ”Rasa Sayange”, ”Reog”, ”Batik”, dll.
Malaysia dianggap ‘ngelunjak‘, angkuh, merendahkan, bahkan semua warga kita yang di Malaysia kebal dengan sebutan ”Indon”. Malaysia sendiri juga punya perasaan yang sama. Heran kenapa Indonesia marah-marah. Pejabat-pejabat di sana mengeluh bahwa pers Indonesia terlalu membesar-besarkan masalah.
Seorang anak muda, dalam acara ”Kongres Budaya Serumpun” mengatakan kepada saya: ”Bangsa Indonesia bersikap seperti itu karena pendidikannya lebih rendah dari bangsa Malaysia”. Sebenarnya agak malas, tetapi saya langsung jawab ketika itu: ”Please don‘t ever ever ever say such a word again...”.
Apalagi kalau pas di Indonesia, kalimat itu jangan pernah diucapkan. Saya tidak tergerak untuk membantahnya, meskipun budayawan senior Baharudin Zainal kemudian setengah mati mengatakan: ”Saya dibesarkan secara intelektual di Indonesia. Harsya Bachtiar, Umar Kayam, Goenawan Muhamad,Taufiq Abdullah,dll bukan hanya sahabat-sahabat saya, tapi juga inspirator dan guru-guru saya.
Dalam konteks pencapaian intelektual,kebudayaan dan karya seni, Indonesia sama sekali bukan tandingan kita. Secara keseluruhan, bahkan Indonesia adalah gurunya Malaysia....” Saya sendiri tidak akan membela diri seperti itu. Andaikan dikejar kenapa saya bilang ”Do not ever say that again”, saya akan jawab: ke mana pun pergi, saya selalu belajar dan berguru. Apalagi ke Malaysia.
Kalau guru saya merendahkan saya, maka saya batalkan pembelajaran saya, sebab ekspresi superioritas orang lain sudah lebih dari cukup bagi saya untuk merogoh, menyerap, mencuri dan menelanjanginya sampai ia kopong kosong hampa. Ada sangat banyak dan cukup panjang soal Indonesia-Malaysia ini kalau dituliskan. Banyak segi,dimensi, dan nuansa.
Berulang kali saya ke Malaysia, beberapa kali dengan Kiai Kanjeng, tanpa pernah mengalami sikap angkuh atau meremehkan dari mereka. Ada sejumlah fakta dan data bisa dipakai kalau mau pertandingan keunggulan, bangsa Indonesia sesungguhnya tak terlawan oleh siapa pun di muka bumi ini, kecuali (kita juga memiliki) sejumlah kecenderungan seperti ‘selengean‘, ‘cengengesan‘, ‘iseng‘, tidak percaya satu sama lain, terlalu permisif, dan suka menggampangkan sesuatu.
Kita bisa diskusi tentang Indonesia-Malaysia sekian bab. Misalnya kontinuasi perang dingin dan dendam Melaka-Majapahit. Bab lain tentang Hang Tuah dan Hang Jebat. Bab lain tentang Kementerian Pariwisata dan Eny Beatric. Bab lain tentang TKI-TKW sebagai representasi bangsa Indonesia, sehingga generasi terbaru Malaysia membayangkan Indonesia itu hutan rimba, suku terasing, kampung-kampung, dusun-dusun, uneducated dan uncivilized nation.
Bab lain tentang paradoks antara fanatisme Melayu, tetapi orientasi kebaratan yang makin meninggi. Bab lain tentang perlunya bangsa Malaysia dikasih data tentang jumlah orang Jawa di tengah bangsa-bangsa dan suku-suku di wilayah Nusantara. Cukup statistik saja dulu, tak perlu hal Ronggowarsito, Gajahmada, filsafat adiluhung, Tari Bedoyo Ketawang, apalagi sampai Tan Malaka, Pramoedya Ananta Toer atau BJ Habibie. Juga tak perlu hitung dulu berapa jumlah mal di Kelapa Gading saja, tak perlu seluruh Jakarta, dibanding Kuala Lumpur.
Bab lain tentang hal-hal internal di kandungan kehidupan bangsa Malaysia.Tentang posisi persaingan Melayu melawan etnik China dan India. Tentang konstelasi nilai pencapaian akademis mahasiswa-mahasiswa Indonesia di Malaysia. Tentang bandingan omzet Digi, Maxis, dan Celcom yang mencerminkan prestasi manajemen pada perusahaan-perusahaan ‘etnik‘ di belakangnya.
Tentang dangdut dan campur sari, serta sejarah etos ekonomi di Chowkit. Tentang tukang batu, tukang kayu Jawa, bagaimana gerangan prestasi ekonomi mereka. Tentang peran masa depan TKW bagi anak-anak Malaysia. Tentang bangsa yang menghindari ”3D”: dirty, difficult, dangerous....
Tetapi semuanya itu sebenarnya tak perlu diungkap. Kalau SBY punya kalimat yang memenuhi kepiawaian diplomatik sekaligus keindahan budaya dan kearifan rohani, segera semua bisa dieliminasi. Kecuali memilih seperti Bung Karno: ”Ganyang Malaysia!”, meskipun terpaksa kita tambahi ”Tapi selamatkan Siti Nurhaliza”. Atau mungkin bisa duta SBY dan perutusan Pak Lah duduk bersama, kemudian bikin pernyataan bersama.
Bangsa Malaysia adalah bangsa yang sebaiknya dipangku disayang oleh bangsa Indonesia. Soal ribut-ribut hak cipta itu silakan pilih beberapa jalan berpikir, misalnya: ”O, itu orang Jawa Sunda Bugis Ambon sendiri yang berbaju Malaysia yang menggoda Indonesia melalui Rasa Sayange dll supaya bangsa Indonesia bangun dari tidurnya, marah, dan bertindak sungguh-sungguh untuk membangun kembali dan membela martabatnya.
Klaim dan godaan itu dilakukan bersumber dari kandungan rahasia rasa nasionalisme anak turun kita sendiri di Malaysia....” Menantu Rasulullah Muhammad SAW, Ali ibn Abi Thalib, menang duel, musuh tergeletak dengan ujung pedang Ali di lehernya. Si musuh meludahi wajah Ali, sehingga Ali menarik pedangnya, ngeloyor pergi meninggalkan musuh yang sebenarnya dengan satu gerakan kecil bisa ditumpasnya.
Ketika ditanya, Ali menjawab: ”Karena diludahi, aku meninggalkannya. Karena aku takut gerak ujung pedangku digerakkan oleh amarah, bukan bergerak karena Allah”. Kita tak perlu pergi seperti Ali, sebab kita sangat besar: kita pangku saja Malaysia.
Sumber : www.seputar-indonesia.com