Puro Mangkunegaran dibangun pada tahun 1757, dua tahun setelah dilaksanakan Perundingan Giyanti yang isinya membagi pemerintahan Jawa menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Kerajaan Surakarta terpisah setelah Raden Mas Said memberontak dan atas dukungan sunan mendirikan kerajaan sendiri. Raden Mas Said memakai gelar Mangkoenagoro I dan membangun wilayah kekuasaannya di sebelah barat tepian sungai pepe di pusat kota yang sekarang bernama Solo.
Puro Mangkunegaran yang sebetulnya awalnya lebih tepat disebut tempat kediaman pangeran daripada istana, dibangun mengikuti model kraton tapi bentuknya lebih kecil. Bangunan ini memiliki ciri arsitekturyang sama dengan kraton, yaitu pada pamedan, pendopo, pringgitan, dalem, dan kaputran, yang seluruhnya dikelilingi oleh tembok yang kokoh.
Begitu pintu gerbang utama dibuka tampaklah pamedan, yaitu lapangan pelatihan prajurit pasukan Mangkunegaran. Bekas pusat pasukan kuda, gedung kavaleri ada di sebelah timur pamedan. Pintu gerbang kedua menuju halaman dalam tempat berdirinya Pendopo Agung yang berukuran 3500 meter persegi. Pendopo yang dapat menampung lima sampai sepuluh ribu orang ini, selama bertahun-tahun dianggap sebagai pendopo terbesar di Indonesia. Tiang-tiang kayu berbentuk persegi yang menyangga atap joglo diambil dari pepohonan yang tumbuh di hutan Mangkunegaran di perbukitan Wonogiri. Seluruh bangunan ini didirikan tanpa menggunakan paku. Di pendopo ini terdapat empat set gamelan, satu digunakan secara rutin dan tiga lainnya digunakan pada waktu acara khusus.
Warna kuning dan hijau yang mendominasi pendopo adalah warna pari anom (padi muda) warna khas keluarga Mangkunegaran. Hiasan langit-langit pendopo yang berwarna terang melambangkan astrologi Hindu-Jawa dan dari langit-langit ini tergantung deretan lampu gantung antik.
Tempat di belakang pendopo terdapat sebuah beranda terbuka, yang bernama pringgitan, yang mempunyai tangga menuju Dalem Ageng, sebuah ruangan seluas 1000 meter persegi, yang secara tradisional merupakan ruang tidur pengantin kerajaan, sekarng berfungsi sebagai museum. Selain memamerkan petanen (tempat bersemayam Dewi Sri) yang berlapiskan tenunan sutera, yang menjadi pusat perhatian pengunjung, museum ini juga memamerkan perhiasan, senjata-senjata, pakaian-pakaian, medali-medali, perlengkapan wayang, uang logam, gambar raja-raja Mangkunegaran dan benda-benda seni.
Di bagian tengah Puro Mangkunegaran di belakang Dalem Ageng, terdapat tempat kediaman keluarga Mangkunegaran. Tempat ini , yang masih memiliki suasana tenang bagaikan di rumah pedesaan milik para bangsawan, sekarang digunakan oleh para keluarga keturunan raja. Menghadap ke taman terbuka adalah Beranda Dalem, yang bersudut delapan , dimana terdapat lilin dan perabotan Eropa yang indah.
Sisa peninggalan yang masih tampak jelas saat ini adalah perpustakaan yang didirikan pad atahun 1867 oleh Mangkoenagoro IV.
Silsilah :
SP. Mangkoenagoro I (24 Feb 1757 – 28 Des 1795)
SP. Mangkoenagoro II (28 Des – 1795 – 26 Jan 1835)
SP. Mangkoenagoro III (26 Jan 1835 – 6 Jan 1853)
SP. Mangkoenagoro IV ( 25 Mar 1853 – 2 Sep 1881)
SP. Mangkoenagoro V (2 Sep1881 – 2 Okt 1896)
SP. Mangkoenagoro VI (2 Okt 1896 – 11 Jan 1916)
SP. Mangkoenagoro VII (11 Jan 1916 – 19 Jul 1944)
SP. Mangkoenagoro VIII (19 Jul 1944 – 3 Sep 1987)
SP. Mangkoenagoro IX (3 Sep 1987 – sekarang)
Sumber : Gapoera Edisi VIII/2006)
Sumber : http://www.karanganyar.com