Islam, Bahasa Melayu, Sastra Melayu, dan Pembangunan

Oleh : Prof. Dr. A. Hasjmi

Agama Islam telah berjasa besar dalam mem­bina bahasa dan kesussastraan Melayu di Asia Tenggara, sebagaimana hal­­­nya ba­­hasa dan sastra Melayu yang juga telah berjasa besar dalam mengembangkan dan me­nyiarkan Islam di gugusan Ke­pulauan Nusantara, bahkan di Asia Tenggara. Berdasarkan pe­ngalaman, penelitian, dan pem­bacaan penulis, agama Islam (sesuai dengan wataknya yang dinamis dan membangun) telah berperan besar dalam membina dan mening­katkan mar­tabat bahasa dan ke­su­sastraan Melayu di Asia Tenggara, sehingga se­menjak abad ke-14 sampai sekarang bahasa Melayu telah menjadi bahasa antarbangsa di kepulauan Nusantara /Asia Tenggara, bahkan juga di luarnya, seperti yang ditulis Prof.Sutan Takdir Alisyahbana (1934: 150):

Kebetulan sejak berabad-abad, penduduk Kepulauan Indo­nesia ini telah mempunyai suatu bahasa yang dipakai oleh segala orang yang berlainan bahasanya. Telah berabad-abad dalam pergaulan penduduk kepulauan ini timbul dan tumbuh sendirinya suatu perhubungan. Sekurang-ku­rangnya telah enam abad lamanya ba­hasa yang disebut bahasa Melayu menjadi bahasa perhubungan antara Aceh dengan Batak, Jawa dengan Bugis, Sunda dengan Lampung, dan sebagainya. Ketika Jan Huygen van Linschoten mengun­jungi Indonesia pada pertengahan abad ke-16, bahasa Me­layu seperti diakuinya sendiri, telah masyur dan dianggap orang sebagai bahasa terhormat dan terbaik di antara se­gala ba­hasa Timur.

Sebaliknya, bahasa dan kesusastraan Melayu yang dipakai se­bagai “media” telah berperan dalam pengembangan dan penyiar­an Islam di Kepulauan Nusantara, bahkan di Asia Teng­gara, ke­cuali Birma dan Indocina bagian barat, utara Muangthai, serta Fi­lipina (bagian utara/barat). Dengan mempergunakan bahasa dan kesusastraan Me­la­yu, para juru dakwah dengan mudah me­ngembangkan Islam di Kepulauan Indonesia, Malaysia, Brunei Da­russalam, Muangthai Se­latan, dan Filipina Selatan.

Adalah suatu kenyataan yang memerlukan penelitian lebih lanjut bahwa lewat bahasa Burma, Islam sukar dikembangkan di Burma; lewat bahasa Siam, Islam sulit menembus benteng aga­ma Budha di Muangthai (kecuali bagian selatan); lewat bahasa-bahasa Vietnam, Laos, dan Kamboja, Islam sukar sekali mengubah kepercayaan rakyat Indocina yang telah lama meng­anut agama Budha; dan lewat ba­hasa Tagalok (yang serumpun dengan bahasa Melayu), Islam sukar dikembangkan di Filipina, kecuali bagian sela­tan. Apabila kita renung­kan, kita tahu betapa besar peran bahasa dan kesusastraan Melayu dalam pengembangan dakwah Islamiyah di Rantau Asia Tenggara ini.

Lahirnya Islam membawa perubahan cepat (revolusi) dalam alam pikiran Arab pada khususnya dan dalam alam pikiran dunia pada umum­­nya. Timbulnya revolusi dalam dunia pikiran berarti terjadi re­­vo­lusi di segala bidang kehidupan manusia, yaitu bidang agama, bi­dang politik, bidang ekonomi, dan bidang sosial budaya, bahkan dalam bidang bahasa dan ilmu pengetahuan (Hasjmi, 1975). Kitab suci Al Quran yang menjadi pedoman dasar revolusi Islam adalah fak­tor utama yang telah memekarkan kebudayaan dunia dengan ajaran-ajarannya dalam segala bidang; politik, eko­nomi, dan sosial budaya.

Seorang pengarang dan pujangga Arab terkenal, Janji Zaidan, me­negaskan bahwa Islam datang dengan Al Quran dan Hadis yang langsung mempengaruhi hati orang-orang Arab Jahiliyah, se­hingga me­ng­­ubah alam pikiran mereka, termasuk adat-istiadat, akhlak, dan segala segi kehidup­an mereka, bahkan ia berbekas dalam ke­hidupan ilmu dan peradaban mereka. “Kedatangan Islam adalah satu revolusi besar dalam bidang agama, politik, ekonomi, dan sosial-budaya,” kata Janji Zaidan. Adalah satu kenyataan bahwa setiap revolusi akan meninggalkan jejak dalam kehidupan dan penghidupan umat yang dilanda revolusi. Oleh karena itu, ter­jadilah perubahan dalam kehidupan seni budaya dan ilmu pe­ngetahuan mereka. Adapun per­ubahan dan perbaikan yang di­adakan Islam dalam kehidupan seni budaya Arab Jahiliyah berupa tiga hal, yaitu Islam menghapus sama sekali kebudayaan mereka; Islam memperbaiki dan menyempurnakan sebagian lainnya; dan Islam menciptakan kebudayaan baru yang be­lum pernah ada.

Adapun kebudayaan jahiliyah yang dikikis Islam antara lain ada­lah kahanah (tenung) dengan segala macamnya, patung berhala yang disembah, bermacam-macam upacara ibadah yang salah, dan ane­ka rupa akidah yang sesat. Kebudayaan yang diperbaiki dan disem­pur­nakan Islam antara lain ilmu bahasa, kesusastraan, reto­rika, dan lain-lain. Adapun kebudayaan baru yang diciptakan Islam banyak se­kali, antara lain arsitektur, sistem musyawarah dalam pe­me­rin­tahan, ilmu syariat, ilmu berdebat, ilmu kedokteran, ilmu pasti alam, ilmu mis­tik, dan lain-lain (Zaidan, 1975: 216).

Menghadapi kebudayaan jahiliyah, baik jahiliyah Arab maupun jahiliyah ajam (bukan Arab), sikap Islam tetap membangun, yaitu meng­hapus jenis-jenis kebudayaan yang bertentangan de­ngan ajaran dasar Islam yaitu akidah dan ibadah, memperbaiki dan menyempurnakan jenis-jenis kebudayaan yang masih dapat di­perbaiki, dan di samping itu membangun kebudayaan yang sama sekali baru. Dengan demikian Islam bertindak maju untuk mem­bangun satu kebudayaan dunia baru atau kebudayaan baru dunia. Al Quran dan hadis adalah pedoman dasar bagi pembangunan kebudayaan baru dunia tersebut.

Bagi Islam, kebudayaan dalam jenis apa pun adalah penjelmaan (manifestasi) iman dan amal saleh manusia dalam pengabdian ke­pada Allah yang Maha Esa.

“…Aku menciptakan jin dan manusia, semata-mata untuk meng­­abdi kepada-Ku” (Q.S. Az Zariyat: 56).

Manusia yang diciptakan semata-mata untuk mengabdi kepada Allah diciptakan dalam bentuk amat sempurna. Sempurna wujud jas­maninya, sempurna wujud rohaninya, sempurna akal budinya, dan sem­purna alam pikirannya, dengan harapan mereka mem­bangun ke­budayaan iman sebagai pancaran dari amal salehnya dalam melakukan hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia.

“Demi buah tin dan zaitun. Demi Bukit Tursina. Demi negeri yang damai ini. Sungguh, manusia Kami ciptakan dalam wujud amat sempurna. Setelah itu, ia Kami lemparkan kem­bali ke lembah paling hina, kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh, untuk mereka tersedia pahala tidak ter­kira. Apakah sebabnya gerangan kemudian mereka ma­sih mendustakan agama? Bukankah Allah Hakim Yang Maha Adil?” (Q.S. Al Tin: 1-8).

Berhubung kalangan Arab Jahiliyah khususnya dan kalangan ajam Jahiliyah pada umumnya sangat menggemari seni budaya, ter­utama kesusastraan, maka perhatian Al Quran terha­dap sastrawan sangat besar, sehingga dalam Al Quran tersedia surat Asy Syu‘ara (Sa­ra­­kata Sastrawan). Dalam Sarakata Sastrawan tersebut, Al Qur­an meng­gariskan ciri-ciri sastrawan beriman dan beramal saleh, demikian pula ciri-ciri sastrawan pembangkang ajaran Allah.

Para sastrawan. Pengikut mereka bandit petualang. Ber­diwana dari lembah ke lembah. Bicara tanpa kerja, kecuali sastrawan beriman. Yang beramal bakti, senantiasa ingatkan Ilahi. Mereka mendapat kemenangan, setelah hidup dalam ancaman” (Q.S. Asy Syu‘ara: 224–227).

Menurut ayat dari Sarakata Sastrawan ini, ciri-ciri khas sas­tra­wan jahiliyah adalah : (1) pendiriannya tidak tetap, bertualang dari lem­bah ke lembah, berpindah-pindah tempat, dan plintat-plin­tut, (2) peng­ikut dan para pengagumnya terdiri dari para ban­dit dan pen­ja­hat, (3) pembicaraan mereka tidak sesuai dengan per­buatannya yang munkar, bohong, dan mesum.

Adapun ciri-ciri sastrawan dunia baru yang dibangun Islam anta­ra lain adalah: (1) hati dan jiwanya penuh dengan keimanan, (2) per­ilaku kerjanya senantiasa beramal saleh, (3) pancaran iman men­jelma dalam amal perbuatannya, (4) mereka selalu mengenang Allah, se­hingga terwujud dalam karya-karyanya (Hasjmi, 1977).

Dalam menafsirkan ayat Surat Asy Syu‘ara ini, Sayyid Qutb, se­orang ahli tafsir besar, seorang sastrawan terkemuka, dan tokoh po­litik kenamaan dari gerakan Ikhwanul Muslimin, antara lain me­nulis:

Para sastrawan jahiliyah melukiskan hawa nafsu dengan mem­­­­­permainkan sederetan kata kasar dan mesum. Oleh ka­­rena itu, para bandit dan bajingan mengagumi mereka, bah­kan menjadi pengikutnya, teristimewa karena mereka tiada mem­pu­nyai pendirian, selalu berpindah dari aliran ke aliran lain, dan terombang-ambing dalam khayalan yang kabur. Nyanyian mereka berbeda dengan perbuatannya, ka­rena me­­reka hidup dalam dunia khayalan ciptaan pe­rasaan yang mereka utamakan atas kehidupan nyata. Per­kataan-per­ka­ta­an mereka hidup dalam angan-angan yang kosong.

Islam adalah jalan hidup yang sempurna, yang selalu siap melaksanakan kehidupan nyata. Ia suatu “gerakan agung” dalam kandungan alam dan dalam kehidupan nyata. Se­sung­guhnya, tabiat Islam yang demikian tidak sesuai dengan watak sastrawan jahiliyah, karena sastrawan ter­sebut menciptakan mimpi dalam perasaannya dan me­reka berbahagia dengan­nya, sedangkan Islam hendak mem­­buktikan hakekat mimpi dan beramal untuk mewu­jud­kannya.

Islam menggairahkan manusia agar berani menghadapi ha­ke­kat dari kehidupan nyata. Jangan lari ke dunia kha­yal­an yang kabur. Karena itu, tidak boleh ada lagi kesia-siaan mim­pi kabur yang merayap-rayap dalam karya-karya sastra da­lam daya manusia, karena Islam telah meng­habiskan da­ya sisa ini untuk membuktikan mimpi yang tinggi sesuai dengan jalannya yang agung. Walau demikian, Islam tidak memerangi dan tidak memusuhi seni sastra atau zatnya, ka­rena yang dimusuhi dan di­se­rang hanya jalan yang dilalui ke­susastraan dan kesenian itu, yaitu jalan kabur dan mimpi yang sia-sia.

Adapun apabila jiwa telah mantap atas jalan Islam yang dari dalamnya terpancar semangat dan ajaran Islam dalam ben­tuk karya sastra menuju cita-cita Islam, berjalan di ba­wah sorotan cahaya Islam, maka dalam keadaan demikian Islam tidak memerangi dan tidak memusuhi kesusastraan dan ke­senian. Dalam keadaan demikian, Islam mengecuali­kan sas­trawan muslim yang beriman dan beramal saleh. Mereka tidak termasuk dalam deretan sastrawan jahiliyah, karena me­reka beriman hingga hati mereka penuh dengan akidah tauhid dan kehidupan mereka tegak lurus di atas jalan Allah. Mereka beramal saleh dan dapat diarahkan untuk melakukan amal kebajikan dan tidak terpedaya de­ngan konsepsi dan mimpi saja.

Banyak corak dan warna kesusastraan dan kesenian Islam. Kesusastraan dan kesenian yang tumbuh dari kon­­sepsi Islam tentang kehidupan dalam segala seginya adalah kesu­sastraan dan kesenian yang disukai Islam. Tidaklah menjadi keharusan agar kesusastraan dan ke­senian itu langsung membela Islam atau memuji-muji Islam di zaman keemas­annya. Hal itu bu­kan persyaratan agar ia dinamakan kesu­sastraan atau ke­senian Islam. Se­sungguhnya lukisan kesu­nyian malam dan ke­heningan pagi yang terjalin dengan perasaan seorang muslim dan meng­ingat peristiwa-peris­tiwa ini dengan Allah dalam perasaannya yang kemudian menjelma dalam bentuk puisi, itulah kesusas­traan Islam. Sesungguhnya detik-detik matahari terbit dan kaitannya dengan Allah atau wujud alam yang diciptakan Allah cu­kup untuk mendorong ter­ciptanya kesusastraan yang di­ridai Islam.

Ayat 1–5 surat Al Alaq yang turun pada 17 Ramadhan enam belas abad yang lalu adalah penggerak untuk mengubah dan mem­bangun kembali kebudayaan dunia yang sifatnya tidak mem­bangkang Allah, Sang Maha Pencipta. Ayat-ayat tersebut sebagai pernyataan perang ter­­­hadap buta huruf dan buta ilmu, yang terje­mahannya sebagai be­­rikut.

“Mari membaca dengan nama Tuhan yang telah mencipta. Men­cipta manusia dari segumpal darah beku. Bacalah dan Tuhan anda Maha Pemurah. Yang telah mengajar mem­pergunakan pena. Mengajar manusia ilmu yang belum di­ketahuinya” (Q.S. Al Alaq: 1-5).

Ayat-ayat ini menegaskan bahwa kebudayaan dunia baru harus di­bangun berdasarkan ilmu pengetahuan serta atas nama dan ka­rena Allah, Sang Maha Pencipta.

Besarnya pengaruh Al Quranul Karim dalam berbagai bidang ke­hidupan umat manusia digambarkan oleh Janji Zaidan (1957:12-19) dengan indah dan jelas sekali, yang terjemahan maksudnya ada­lah se­­bagai berikut.

Al Quran yang berisikan ajaran-ajaran mengenai akidah, sya­riah, akhlak, falsafah, dan ilmu pengetahuan telah me­rubah corak kebudayaan dunia. Tamaddun Islam telah meng­ha­silkan lebih dari tiga ratus macam jenis ilmu pe­­ngetahuan dalam segala bidang, meliputi akidah, sya­riah, akhlak, se­jarah, adab, bahasa, dan seni budaya. Se­bagian besar ilmu-ilmu tersebut menjelma dari Al Quran atau diciptakan untuk me­mahami Al Quran, baik langsung mau­pun tak langsung. Pada permulaan Islam, kaum Arab muslim pergi ke berbagai penjuru dunia untuk men­jalankan dakwah Islamiyah. Mereka tidak mem­punyai buku ilmu pe­ngetahuan apa pun, kecuali Al Quran yang mereka hafal dan baca. Mereka mengutip ber­­­bagai pengetahuan dan pe­lajaran dari Al Quran. Mereka ber­­tahkim kepadanya dalam segala hal.

Mereka mengagumi gaya bahasa Al Quran karena mereka belum pernah membaca sesuatu yang sama, apalagi mele­bihi­nya, baik prosa bersajak dari tukang tenung ataupun puisi berirama dari para penyair. Mereka mengetahui dan meyakini bahwa Al Quran bukan prosa dan bukan pula prosa bersajak, sedangkan mereka merasa bahwa di dalam kandungannya terpancar keindahan bahasa yang mahasempurna dan susun­an kalimat yang berhikmah. Di samping pengaruh Al Quran yang sangat besar dalam bidang ilmu pengetahuan, pengaruh yang paling dalam terlihat dalam bidang seni sastra Arab khu­susnya dan seni sastra dunia pada umumnya.

Kehadiran Al Quran dalam dunia sastra telah mengubah dan memperbaharui seni sastra Arab, baik uslub atau ma‘aninya, pemakaian kata-kata dan kalimat, maupun penggunaan istilahnya. Al Quran telah memelihara hidup ba­hasa dan sastra Arab serta menjadikannya sebagai ba­hasa penghubung antara bangsa-bangsa non-Arab yang membaca dan berbicara bahasa Arab, sekalipun mereka berada di Ti­mur Jauh, di Asia Tenggara, di pusat Afrika, maupun di Benua Kulit Putih (Eropa).

Pada saat mengadakan persiapan untuk menyusun makalah ini, seorang sahabat di Amerika yang sedang menyelesaikan studi pro­gram doktoralnya di Temple University dan University Sains Malay­sia, M. Salleh Jaafar, mengirim sebuah buku berjudul Tawhid: Its Im­­pli­cation For Thouqht and Life karangan Prof. Dr. Ismail Raji Al Faruqi, Direktur Pusat Studi Islam pada Temple University. Dalam buku tersebut terdapat satu pasal yang berjudul “Al Quran al Karim: The First Work of Art in Islam” (Al Quranul Karim ada­lah karya seni per­tama dalam Islam). Da­lam pasal ini, Faruqi melukiskan panjang lebar bagaimana indahnya bahasa dan uslub Al Quran. Di dalamnya terkandung bermacam mukjizat dan ilmu pengetahuan. Pengaruh Al Quran sangat besar terhadap sastra Arab pada khususnya dan sastra dunia pada umumnya (termasuk sastra Melayu). Demikian indah seni uslub Al Quran, hingga Faruqi menyimpulkan bahwa jika ada sesuatu yang seluruhnya seni, maka itu sudah tentu Al Quran, “If anything is art, the Quran certainly is”. Selanjutnya Faruqi me­ne­gaskan bahwa jika pernah ada pendapat atau perasaan orang Islam dipengaruhi oleh sesuatu, sudah tentu ia dipengaruhi oleh Al Quran, “If the mind of the Moslem has been affected by anything, it was certainly affected by the Quran” Faruqi, 1982: 251- 258).

Bagian ini akan penulis akhiri dengan tulisan Janji Zaidan yang me­lukiskan bagaimana pandangan Nabi Muhammad saw. ter­hadap ke­­susastraan dan sastrawan. lkhtisar tulisan Janji Zaidan adalah se­bagai berikut.

Peran para sastrawan dalam jihad akbar melaksanakan dak­wah Islamiyah tergambar dari pernyataan Nabi Muhammad saw. dalam se­­buah hadisnya, “Dalam seni bahasa, bersemi senjata kata, ucapan sas­trawan yang pasti kebenarannya, kalimat Ubaid yang berintikan: kecuali Allah, semuanya akan musnah”.

Nabi Muhammad saw. pernah bersabda bahwa orang yang ber­­­perang dengan senjata lidah tidak kurang pentingnya dengan orang yang berperang dengan senjata besi, dengan pernyataan beliau, “Mereka yang membantu Rasul dengan senjata tajamnya sama derajatnya dengan mereka yang membela Nabi Allah dengan ketajaman lidahnya”. Golongan yang dimaksud Nabi Muhammad saw. dengan “mereka yang membelanya dengan ketajaman lidahnya” ada­lah para sastra­wan mukmin yang paling terkenal pada zaman­nya, seperti Hasan bin Sabit, Ka‘ab bin Malik, Abdullah bin Ra­wahah, dan lainnya. Rasul berpendapat bahwa hasil-hasil karya sastra mereka sangat tajam menikam musuh-musuh Islam, seperti pernyataan se­buah hadis, “Ucapan para sastrawan itu lebih dalam tikamannya ke dalam kaum Quraisy daripada mata lembing”.

Kepada penyairnya, sastrawan Hasan bin Sabit, Rasul pernah mem­berikan perintah, “Semburlah kaum Quraisy itu. Demi Allah, sem­bur­an Anda terhadap mereka lebih hebat daripada tikaman pedang di malam gulita. Semburlah mereka! Jibril Ruhul Kudus bersama Anda. Jumpailah Abu Bakar Anda.”Rasul gemar sekali mendengar sajak-sajak Umaiyah bin Sahal, karena kandung­annya mengingatkan orang kepada Allah dan peristiwa Hari Kebangkitan. Para sas­trawan muslim banyak yang menjadi sahabat karib Rasul. Rasul selalu mendorong me­­reka agar menciptakan sajak-sajak jihad yang dapat mem­bang­kit­kan semangat juang (Zaidan, 1957: 219–220).

Pada tahun 173 H (800 M), sebuah angkatan dakwah di bawah pim­pinan Nakhoda Khalifah mendarat di Bandar Perlak (Aceh Timur seka­rang). Dalam rombongan yang berjumlah lebih dari seratus orang itu terdapat ulama-ulama yang alim dalam berbagai bidang ilmu dan bidang kemasyarakatan. Di antara mereka juga terdapat ulama sastrawan. Dengan segera, setelah Meurah Perlak dan rak­­yat­nya memeluk agama Islam, mereka mendirikan tem­pat-tem­pat pen­di­dikan di tiap-tiap kampung yang mereka namakan ma­dra­sah. Pada tingkat yang lebih tinggi, mereka mendirikan pu­sat pendidikan yang dinamakan zawiyah cotkala. Baik dalam ma­­drasah-madrasah maupun dalam zawiyah cotkala diajarkan ber­bagai macam ilmu Islam, termasuk Al Qura­nul Karim dan Al Ulum Al Hadisah (ilmu-ilmu baru). Lulusan dari madrasah-ma­dra­sah dan zawiyah cotkala kemudian bertebaran ke seluruh Nu­santara mengembangkan dakwah Islamiyah (Jamil, 1968: 4–8).

Para ulama lulusan zawiyah cotkala ada yang muncul sebagai ulama sastrawan. Mereka berusaha mencerdaskan rakyat di dae­rah-dae­rah yang telah dimasuki dakwah Islamiyah. Mereka mengajar rakyat membaca dan memahami Al Quran, dengan terlebih dahulu meng­ajari menulis dan membaca huruf Arab yang kemudian ter­kenal dengan nama tulisan Jawi. Ini berarti bahwa Islam datang ke Nusantara adalah untuk mencer­daskan rakyatnya, sebagaimana ter­simpul dalam keputusan Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, yang ber­langsung pada tanggal 17–20 Maret 1963 di Medan. Di antara kesim­pulan seminar tersebut berbunyi, “Bah­wa kedatangan Islam ke Indo­nesia membawa kecerdasan dan per­adaban yang tinggi dalam mem­bentuk kepribadian bangsa In­donesia“ (Risalah Seminar, 1963: 265).

Hal yang disimpulkan seminar tersebut bisa terjadi, karena Islam yang datang ke Nusantara adalah Islam yang pada awal sejarahnya telah sanggup mengubah dunia Arab Jahiliyah menjadi dunia Arab baru yang berkebudayaan iman dan amal saleh. Al Quran yang di­sam­paikan Jibril kepada Nabi Muhammad saw. ada­lah Al Quran yang juga datang ke Indonesia. Dalam Al Quran ter­sebut terdapat ayat (Al Alaq: 1–5) yang berisikan pernyataan perang terhadap buta huruf dan buta ilmu yang juga berlaku di Rantau Asia Tenggara ini.

Seperti sikapnya menghadapi kebu­dayaan Arab Jahiliyah pada awal sejarah dakwah Islamiyah, maka demikian juga sikap Islam meng­­hadapi kebudayaan bangsa-bangsa di Kepulauan Nusantara. Ke­budayaan dan adat-istiadat yang bertentangan dengan akidah dan ibadah dilarang/dihapus seluruhnya. Jenis kebudayaan lain­nya di­sem­­purnakan dengan membuang bagian-bagian yang tidak sesuai dengan dunia Islam atau dunia baru, dan selanjutnya mem­bangun ke­budayaan yang baru sama sekali. Sikap yang bijaksana ini dilakukan berdasarkan atau berpedoman pada Al Quran dan hadis.

Perintah wajib belajar membaca dan menulis sebagai langkah awal untuk mendapat ilmu pengetahuan (surat Al Alaq: 1–5) telah meng­­gerakkan para ulama, baik lulusan zawiyah cotkala maupun lulus­an pusat-pusat pendidikan Islam lainnya di seluruh Nusantara untuk mengajar rakyat dan putra-putri yang mendiami gugusan ke­pu­­lauan ini dengan menulis dan membaca huruf Arab, sehingga me­reka pandai menulis dan membaca Al Quranul Karim. Para ulama kemudian mengarang buku-buku agama/dakwah dalam bahasa Mela­yu dan menulisnya dengan huruf Arab. Sementara itu, para ulama yang sastrawan menciptakan karya sastra Melayu yang ditulis dengan huruf Arab.

Bahasa Melayu yang sebelumnya tidak mempunyai aksara khusus, setelah kedatangan Islam kemudian mempunyai aksara sendiri yang di­sebut tulisan Jawi atau huruf Arab-Melayu. Disebut huruf Jawi ka­­­rena orang Arab menamakan gugusan Kepulauan Nusantara ini dengan Kepulauan Jawa. Akhirnya, huruf Arab yang telah menjadi huruf bangsa-bangsa yang mendiami Ke­pulauan Nusantara/Melayu dinamakan tulisan Jawi atau huruf Arab-Melayu. Bahasa penghubung yang dipakai bangsa-bangsa di Rantau Asia Tenggara/Nusantara ini, yaitu bahasa Melayu disebut bahasa Jawi dan buku-buku yang ditulis dalam bahasa Melayu, disebut Kitab Jawi Kitab Jawou dalam bahasa Melayu Aceh). Karya sastra dalam bahasa Melayu disebut pantun Melayu atau syair Jawi (‘syair‘ berasal dari bahasa Arab). Cerita-cerita roman atau kisah dalam bahasa Melayu ditulis dalam bentuk puisi panjang yang dinamakan syair seperti Syair Sitti Asni, Syair Putri Bungsu, Syair Aulia Tujuh, dan sebagainya.

Besarnya peran Islam dalam membina dan menyempurnakan bahasa dan sastra Melayu lewat karya-karya tulis dalam huruf Arab di­buktikan oleh kenyataan bahwa Melayu identik dengan Islam, bahasa Melayu sama dengan bahasa Islam, dan tulisan Jawi huruf Arab-Melayu sama dengan tulisan/huruf Islam, sehingga jika ada orang Cina atau bangsa lainnya yang masuk Islam dikatakan bahwa si Yab Hok atau Tuan Frederik telah masuk Melayu (sebutan lidah Cina, “telah Gulayu”). Sampai saat ini, di Semenanjung Tanah Melayu Malaysia masih berlaku hal demikian. Kalau ada warga negara Malaysia atau warga lainnya yang masuk agama Islam, sama artinya bahwa mereka telah masuk Melayu atau telah menjadi turunan Melayu.

Dalam uraian sebelumnya telah disebutkan bahwa pada akhir abad ke-2 H atau ke-7 M, angkatan dakwah Islamiyah di bawah pim­pinan Nakhoda Khalifah telah mendarat di Bandar Perlak dan sebelum berangkat ke Nusantara, rombongan tersebut telah mem­pelajari ba­hasa Melayu yang menjadi bahasa penghubung di Kepulauan Me­layu Nusantara. Dengan bahasa Melayu mereka men­dakwahkan Islam ke­pa­da penduduk, sehingga sejak zaman Islam (baik dalam Kerajaan Islam Perlak, Kerajaan Islam Samudra Pasai, maupun dalam Kerajaan Islam Aceh Darussalam) bahasa Melayu telah menjadi bahasa resmi kedua setelah bahasa Aceh, kemudian menyusul bahasa Arab yang men­­jadi bahasa resmi ketiga.

Sebelum ada sebutan bahasa Melayu Malaka dan bahasa Mela­yu Riau, lebih dulu ada bahasa yang disebut bahasa Jawi Pasai dan bahasa Jawi Aceh. Syekh Abdurrauf Syiahkuala menyebutkan bahwa bahasa yang dipakai untuk karya tulisnya yang berjudul Miratuth Thullah adalah bahasa Jawi Pasai. Pengucapan dan pe­nu­lisan kesusastraan Aceh dilakukan dalam dua bahasa, yaitu dalam bahasa Aceh dan da­lam bahasa Melayu, karena dalam Kerajaan Aceh Darussalam ke­dua bahasa tersebut adalah bahasa resmi, di samping bahasa Arab yang juga dipelajari secara umum sebagai bahasa agama, sehingga da­lam berbagai karangan/karya sastra dan karya ilmiah, ketiga bahasa tersebut telah bercampur menjadi satu (Hasjmi, 1977: 75).

Penggunaan bahasa Melayu dalam pengucapan dan penulisan ke­susastraan Aceh telah menjadikan kesusastraan Aceh identik dengan kesusastraan Melayu klasik, seperti yang diungkapkan se­orang sarjana bahasa Indonesia Adnan Hanafiah (1972):

Hasil-hasil sastranya selain ditulis dalam bahasa Aceh, juga di­tulis dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia klasik. Hikayat Raja-raja Pasai ditulis dengan bahasa Melayu. Dr. R. Roolvink dalam Bahasa dan Budaya mengakui bahwa ba­hasa Melayu dalam Hikayat Raja-raja Pasai sangat baik dan terpelihara. Demikian pula bahasa resmi yang di­pergunakan oleh raja-raja dan pegawai-pegawai di Aceh ada­lah bahasa Melayu. Segala per­aturan negara seperti Undang-undang Dasar Negara Aceh yang terkenal dengan Adat Poteu Meuruhoom” ditulis dalam bahasa Melayu.

Penulisan buku-buku ilmiah dan karya sastra di zaman ke­rajaan Islam Samudra Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam pada umum­nya dikerjakan oleh para ulama, termasuk ulama yang sastrawan. Dengan de­mikian, pengaruh dan semangat Islam da­lam karya sastra Melayu sangat besar, dan karena itulah maka ke­susastraan Melayu disebut juga kesusastraan Islam. Tentang hal ini, seorang sarjana Islam, Arabi Ahmad (1972), pernah menulis:

Pada saat itu, pengaruh ulama sangat besar di Aceh, se­hingga dalam hal ini yang banyak mengarang puisi-puisi adalah ulama, yang sedikit banyaknya di samping tun­tun­an agama di bidang ini, juga mengandung unsur-unsur pendidikan dan pengajaran agama Islam.

Para ulama, termasuk ulama yang sastrawan, menulis karya-kar­ya­nya dalam bahasa Melayu, baik karya ilmiah maupun karya sastra, dengan tujuan menjadi alat dalam pengembangan dakwah Islamiyah di Kepulauan Nusantara/Asia Tenggara. Di sini kita temu­kan betapa besar peran agama Islam dalam pembinaan dan pe­ningkatan marta­bat kesusastraan Melayu. Mengenai banyaknya kitab-kitab, baik karya ilmiah maupun karya sastra yang dikarang para ulama/ulama sastra­wan dalam bahasa Melayu telah diuraikan secara lengkap dalam buku Kebudayaan Aceh dalam Sejarah (Hasjmi, 1983: 341–460).

Para ulama tasawuf yang kebanyakan sastrawan telah berjasa besar dalam membina dan mengembangkan kesusastraan Melayu, se­­­hingga kesusastraan Melayu mencapai martabat yang tinggi da­lam lingkungan kesusastraan dunia, seperti yang ditegaskan dalam buku Sastra dan Agama bahwa:

dalam kalangan orang-orang tasawuf, sepanjang sejarah ta­sawuf Islam, banyak lahir sastrawan-sastrawan besar ke­namaan. Dari para sastrawan sufi lahirlah sejumlah “sastra sufi” yang amat indah dengan ciri khas yang melam­bangkan kekudusan batin, ke­dalaman arti, keakraban de­ngan Maha Pencipta, tunduk tanpa syarat kepada iradat Ilahi, jauh khayal melayang, membuat lu­kisan dengan rumus-rumus yang pelik dan isyarat-isyarat ber­cabang arti. Kesusastraan sufi adalah kesusastraan derita yang amat pahit, tetapi sastra yang meluap-luap yang tajam di samping adanya ke­indahan yang tiada tara. Sastra sufi adalah gambaran dari kepelikan dan keindahan.

Di antara para sastrawan sufi yang sangat terkenal antara lain ada­lah Umar Ibnu Faridli (572–632 H/1181–1233 M), Jalaluddin Ar Rumi (603–672 H/1217–1273 M), dan Abu Seid bin Abul Khair (258–440 H).

Syekh Hamzah Fansuri yang hidup pada permulaan abad ke-11 H (ke-17 M) terkenal sebagai sastrawan sufi Melayu yang hampir tidak ada tandingannya dengan karyanya yang masyur Ruba‘i Hamzah Fan­suri (Husein, 1984: 52–53). Secara umum, ada empat orang ula­ma sastrawan alam Melayu yang sangat terkenal dan mencapai ke­dudukan internasional, yaitu Syekh Hamzah Fan­suri dengan karya tulis­nya yang berjumlah empat buah, Syekh Syamsuddin as Sumatrai dengan karya tulisnya yang berjumlah enam belas buah, Syekh Nurud­din Arraniri dengan karya tulisnya yang berjumlah dua puluh tujuh buah, dan Syekh Abdurrauf Syiahkuala dengan karya tulisnya yang ber­­jumlah sembilan buah (Hasjmi, 1983: 71–125).

Peran Islam dalam kesusastraan Melayu lewat karya-kar­ya ke­empat ulama ini dan para ulama lainnya cukup besar, se­hingga ba­ha­sa Melayu menjelma menjadi bahasa tulis, karena se­belumnya hanya merupakan bahasa lisan. Sebagai bahasa tulis, bahasa Melayu telah menjelma menjadi bahasa ilmiah yang dapat dipergunakan untuk menulis berbagai karya ilmiah. Hal ini telah penulis uraikan panjang lebar dalam makalah yang disampaikan dalam simposium antar­bangsa “Kesusastraan Melayu Tradisio­nal” yang diadakan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia di Bangi, Selangor beberapa tahun yang lalu. Satu hal lagi yang patut diingat adalah bahwa kebanyakan para ulama/wali adalah seniman dan pengarang lagu. Dengan lagu-lagu yang dikarangnya mereka menyiarkan dan me­ngembangkan Islam dan ajaran-ajarannya. Di sini juga terlihat peran besar agama (Islam) dalam kesusastraan Melayu.

Wali Sembilan adalah seniman-seniman dan pengarang-pe­ngarang lagu kenamaan, sekalipun mereka tidak mengarang lagu dalam bahasa Melayu, hanya lagu-lagu atau tembang Jawa. Seperti yang dinyatakan oleh Umar Hasyim (1983: 65–66), dalam sejarah kesenian tembang Jawa, nama-nama jenis tembang Jawa banyak yang diciptakan oleh Wali Sembilan. Sunan Giri misalnya menciptakan lagu Asmaradana dan Pucung, Sunan Kalijaga men­ciptakan lagu Dandanggula dan Dan­danggula Semarangan, Sunan Bonang men­ciptakan lagu Durma, Sunan Kudus menciptakan lagu Mas­kumambang dan Mijil, Sunan Muria menciptakan lagu Sinom dan Kinanti, serta Sunan Drajat men­ciptakan lagu Pangkur. Seperti halnya para wali di tanah Jawa yang telah menciptakan lagu-lagu dakwah dalam bahasa Jawa, para wali di luar Jawa juga telah men­ciptakan lagu-lagu dakwah dalam bahasa Melayu.

Peran bahasa dan sastra Melayu dalam pengembangan dakwah Islami­yah di Kepulauan Nusantara adalah satu fakta sejarah yang tidak dapat dibantah. “Bukankah para ulama juru dakwah dalam me­lakukan dakwah lisan mempergunakan bahasa Melayu? Bukan­kah ulama sastrawan/pengarang dalam melakukan dakwah tulisan mem­pergunakan bahasa dan sastra Melayu? Bukankah para ulama ahli ta­­­sa­wuf dalam memajukan aliran tasawufnya, menciptakan puisi-puisi rohani dalam bahasa Melayu? Bukankah bahasa dan sastra Me­­­layu sanggup menjadi media untuk semua itu? Apakah tidak di­akui bahwa inilah rahasia yang menyebabkan dakwah Islamiyah cepat sekali berkembang di Kepulauan Nusantara, bahkan di Asia Teng­gara? Tidakkah patut diteliti dan ditanya, me­ngapa bahasa-ba­hasa lain yang ada di Asia ini tidak menjadi media efektif dalam pe­­ngembangan dakwah Islamiyah di rantau ini, sehingga pada awal se­jarahnya, Islam tidak dapat berkem­bang baik di Burma, Muangthai (kecuali bagian selatan), Indo­cina, Filipina (kecuali bagian selatan), Jepang, dan Korea? Bukankah karena ba­hasa-bahasa mereka tidak dapat dipergunakan men­jadi media dakwah, seperti halnya bahasa dan sastra Melayu?”

Dalam hal ini yang paling berjasa adalah karya-karya tulis dalam bahasa Melayu, baik karya ilmiah maupun karya sastra, yang telah ber­abad-abad melaksanakan dakwah secara diam-diam di pusat-pusat pengajian, di meunasahmeunasah, di surau-surau, di dayah-dayah, di pondok-pondok pesantren, dan di rumah-rumah. Kalau karya-karya tulis dalam bahasa Melayu telah berjasa dalam pengembangan dakwah Islamiyah di Kepulauan Nusantara, dan memang demikian, maka juga patut diingat faktor-faktor yang telah mendorong para ulama alam Melayu untuk mengarang ki­tab-kitab yang dapat kita warisi sampai sekarang.

Mempelajari ilmu mengarang menjadi kewajiban lanjutan bagi umat Islam, termasuk umat Islam alam Melayu, setelah me­reka pan­dai menulis dan membaca (karena dorongan wajib surat Al Alaq: 1–5). Turunnya lima ayat pertama surat Al Alaq mengharuskan umat Islam (juga umat Islam di alam Melayu) agar mempelajari ilmu mengarang, artinya harus ada di antara mereka yang menjadi ulama pengarang, ulama wartawan, dan ulama sas­trawan. Surat Al Qalam: 1–4 menjelaskan, “Demi tinta dan pena. Demi naskah yang mereka tulis. Sungguh, dengan karunia Tuhan. Anda bukan orang gila. Sung­guh untuk anda tersedia pahala tidak terkira. Sungguh anda (Muhammad) memiliki budi pekerti yang tinggi .”

Surat ini diturunkan untuk kaum Quraisy yang menuduh Nabi Muhammad saw. sebagai “penyair yang gila”, karena Al Quranul Karim yang menjadi kitab suci risalah Muhammad mem­punyai nilai seni yang tidak sanggup mereka tandingi. Al Qur­an menyatakan bahwa Muhammad bukan penyair gila, tetapi manusia yang memiliki akhlak tinggi. Allah bersumpah de­ngan tiga benda yang erat hubungannya dengan karang-mengarang, yaitu tinta, pena, dan naskah. Dalam me­nafsirkan ayat-ayat ini, Syekh Thanthawi Jauhari mengartikan nun (dalam surat tersebut tertulis “nun wal qalam wa ma yasthurun”) dengan tinta, berda­sarkan sebuah syair Arab yang berbunyi:

“Apabila rinduku, terbang kepada mereka, tinta kutumpah­kan, bersama airmata berlinang.”

Dalam menafsirkan ayat-ayat ini, Syekh Thanthawi Jauhari (1930: 243–244) menulis:

Allah bersumpah dengan tinta, pena, dan kitab naskah, ka­rena mengetahui bahwa agama Islam ini akan kekal, pena-pena akan menggerakkannya dan akan menulis nas­kah-naskah tentang agama ini.

Allah bersumpah dengan tiga benda ini sebagai pernyataan ter­bukanya pintu pengajaran umum dengan mempergunakan pena dan tulisan/naskah. Sesungguhnya agama ini (Islam) tidaklah turun untuk tahun 1343 saja. Tidak, sekali-kali ti­dak. Al Quran tidaklah untuk kurun kita dan kurun-ku­run sebelumnya saja. Se­sungguhnya Allah menjadikan umat kita sekarang dan umat-umat yang akan datang se­telah kita, yang lebih maju dari kita, baik ilmu organisasi maupun teknologi. Mereka itu nanti apabila membaca ayat-ayat ini akan berpikir dan berkata, “Sungguh, Allah tidak bersumpah melainkan dengan sesuatu yang besar”. Karena itu, apabila Allah bersumpah dengan matahari, bulan, bin­tang, dan gunung-gunung adalah karena besar pencipta­an­nya dan indah bentuknya. Adapun tinta, pena, dan kitab naskah bukanlah makhluk yang besar seperti matahari, bulan, bintang, dan gunung-gunung. Sesungguhnya, da­lam hal ini Allah tidak bersumpah dengan benda-benda yang besar itu, tetapi dengan benda-benda yang kecil, yang nilai kekuatannya besar sekali, untuk mengajar kita betapa pen­tingnya tinta, pena, dan naskah untuk umat manusia dalam mencapai kemajuan. Allah telah menciptakan langit dan buminya, maka dengan perantaraan tinta, pena, dan kitab dari kita, langit dan bumi akan dapat di­olah, kota-kota dan masyarakat akan maju.

Ayat-ayat surat Al Qalam ini telah mendorong ulama-ulama alam Melayu untuk menjadi pengarang, penulis, dan sastrawan yang karya-karya tulisnya menjadi media dakwah yang abadi. Ulama-ulama pengarang/sastrawan itu tumbuh di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sula­wesi, Semenanjung Tanah Melayu, Brunei Darussalam, Siam Selatan, dan Filipina Selatan. Kitab-kitab karang­an mereka banyak sekali, ribu­an, dalam berbagai bidang ilmu, ada yang telah dicetak dan ada pula (malahan banyak) yang belum di­cetak dan masih merupakan naskah yang tersimpan di mana-mana. Sebagian besar telah diangkut ke Eropa, terutama ke negeri Belanda. Adapun sisanya yang masih di Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Pattani, Mindanao, dan tem­pat-tempat lainnya bertebaran di mana-mana, tidak terpelihara dengan baik, bahkan banyak pula yang telah menjadi makanan rayap.

Apabila naskah-naskah itu sudah tidak ada lagi, maka bukti yang kuat yang menyaksikan bahwa sungguh besar peran agama Islam dalam kesusastraan Melayu akan hilang. Sementara, peran bahasa dan sastra Melayu dalam pengembangan dakwah Islamiyah di Kepulauan Nusantara/Asia Tenggara sebenarnya juga sungguh besar.

Dari uraian panjang di atas dapat disimpulkan bahwa
Peran agama (Islam) dalam membina dan meningkatkan mar­ta­bat kesusastraan Melayu cukup besar.

Peran bahasa dan sastra Melayu dalam pengembangan dak­wah Islamiyah juga amat besar.

Bahasa-bahasa lain di Asia Tenggara ternyata tidak sanggup me­ngem­bangkan dakwah Islamiyah dalam lingkungan rakyat­nya masing-masing.

Islam datang ke Indonesia/Nusantara untuk mencerdaskan rak­yat dan membawa tamaddun.

Pusat-pusat pendidikan Islam juga berfungsi sebagai pusat pem­binaan dan pengembangan bahasa dan sastra Melayu.

Para ulama lulusan pusat-pusat pendidikan Islam banyak yang ahli pidato/juru dakwah, ulama pengarang, dan ulama sastra­wan, kemudian masing-masing dari me­reka mengarang buku da­­lam berbagai bidang ilmu pengetahuan.

Pusat-pusat pendidikan Islam juga berfungsi sebagai pusat pem­binaan dan pengembangan bahasa dan sastra Melayu.

Ayat 1–5 surat Al Alaq adalah pernyataan perang terhadap buta huruf dan buta ilmu yang telah menyebabkan pusat-pu­sat pen­didikan Islam menjadi pusat pembasmian buta huruf dan buta ilmu.

Ayat 1–4 surat Al Qalam adalah faktor utama yang men­do­rong para ulama lulusan pusat-pusat pendidikan Islam untuk belajar me­nga­rang, sehingga mereka menjadi ulama pe­ngarang dan ulama sastrawan.

Banyak naskah karangan ulama sastrawan yang diangkut ke luar negeri, sementara yang masih ada di Indonesia/Nusantara ber­­tebaran di mana-mana, tidak terpelihara dengan baik, dan banyak di antaranya yang telah menjadi makanan rayap.

Naskah-naskah karangan para ulama tersebut adalah bukti nya­ta bahwa Islam telah berperan dalam membina dan me­ning­kat­­kan martabat bahasa dan sastra Melayu. Sebaliknya, bahasa dan sastra Melayu juga telah berperan dalam pe­ngem­bangan dak­wah Islamiyah di Kepulauan Melayu/ Nusantara.

Sikap Islam menghadapi kebudayaan jahiliyah, baik jahiliyah Arab maupun jahiliyah ajam, adalah membasmi kebudayaan yang bertentangan dengan akidah dan ibadah, memperbaiki je­nis-jenis yang dapat diperbaiki, dan membangun kebudayaan baru.

Daftar Pustaka
Ahmad, A. 1972. Sinar Darussalam No 40/72. Banda Aceh: Yayasan Pembina Darussalam.

Alisyahbana, S. T. 1934. Majalah Pujangga Baru. Jakarta: Pustaka Rakyat.

Faruqi, I. R. Al. 1982. Tawhid: Its Implication for Thought and Life. Pensylvania: Inter­national Institute of Islamic Thought.

Hanafiah, A. 1972. Syiah dan Ahlussunnah Saling Rebut Pengaruh di Kepulau­an Nusantara. Surabaya: Bina Ilmu.

Hasjmi, A. 1975. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

––––––––––––. 1977. Sumbangan Kesusastraan Aceh dalam Pembinaan Kesu­sas­traan Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang.

––––––––––––. 1983. Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Benua.

Hasyim, U. 1983. Sunan Muria, Antara Fakta dan Legenda. Kudus: Tawang Alun.

Husein, I. 1984. Sastra dan Agama. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka.

Jamil, M. Y. 1968. Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh. Banda Aceh: Ajdam I Iskan­­darmuda.

Jauhari, S. T. 1350 H (1930). Maktabah Mustafa al Baby al Halaby, jilid XXII.

Panitia Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia. 1963. Risalah Seminar.

Qotub, S. T.t. Tafsir fi Dhilal al-Qur‘an, Juz XIX. Kairo: Maktabah al Baby al Habiby.

Zaidan, J. 1957. Tarikh Adab al-Lughab al Arabiyah jilid II. Kairo: Daar al Hilal.

––––––––––––. 1975. Tarikh Adab al Lughab al Arabiah jilid I. Kairo: Daar al Hilal.
__________________________

Prof. Dr. Hasjmi, adalah Guru Besar IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Lahir pada tanggal 28 Maret 1914. Pendidikannya dimulai dari Gouvernement Inland­sche School Montasie, Banda Aceh; Thawahib School Tingkat Menengah Padang Panjang; Al Jamiah Al Islamiyah Qism Adaabul Lughah wa Taarikh al Saqafah al Islamiah (Jurusan Sastra dan Sejarah Kebudayaan Islam) di Padang; dan pernah kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara, Medan.

Sejak Indonesia merdeka telah aktif sebagai pegawai negeri, yaitu sejak 1946. Pernah menjabat Rektor IAIN Ar-Raniry (1977–1982), Gubernur Daerah Istimewa Aceh, anggota Badan Pekerja Dewan Perwakilan Rakyak Aceh (1946), Ketua Umum MUI Daerah Isti­mewa Aceh, dan Anggota Dewan Pertimbangan MUI Jakarta.

Beberapa karyanya antara lain Kisah Seorang Pengembara (sajak, 1936); Dewan Sajak (puisi, 1938); Bermandi Cahaya Bulan (roman pergerakan, 1939, 1978); Me­lalui Jalan Raya Dunia (roman masyarakat, 1939, 1978); Suara Azan dan Lonceng Gereja (roman hubungan antaragama, 1940, 1978, 1982); Dewi Fajar (roman politik, 1943); Kerajaan Saudi Arabia (riwayat perjalanan, 1977); Pah­lawan-pahlawan Islam yang Gugur (sa­duran dari bahasa Arab, 1956, 1971); Rindu Bahagia (kumpulan sajak dan cerpen, 1963); Jalan Kembali (sajak ber­­nafaskan Islam, 1963); Semangat Kemerdekaan dalam Sajak Indonesia Baru (analisis sastra, 1963); Di mana Letaknya Negara Islam (1970); Sejarah Kebudayaan dan Tamaddun Islam (1969); Yahudi Bangsa Terkutuk (1970); Sejarah Hukum Islam (1970); Hikayat Perang Sabil Menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda (1971); Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern (terjemahan, 1972); Pemimpin dan Akhlaknya (1973); Rubai‘ Hamzah Fansury (karya sastra sufi abad XVII, 1974); Dustur Dakwah Menurut Alquran (1974); Sejarah Kebudayaan Islam (1978); Cahaya Kebenaran (terjemahan Al Quran Juz Amma, 1979); Sumbangan Ke­susastraan Aceh dalam Pem­binaan Kesusastraan Indonesia (1978); Iskandar Muda Meukuta Alam (Sejarah Hidup Sultan Is­kandar Muda, Sultan Aceh Terbesar) (1977); Tanah Merah (roman perjuangan, 1977); Meuxah Johan (1950); Risalah Aklak (1977); Surat-surat dari Penjara (1978); Peranan Islam dalam Perang Aceh (1978); Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu (1978); Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda (1979); Bunga Rampai Revolusi dari Aceh (1980); Mengapa Umat Islam Memperta­hankan Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional (1979); Nabi Muhammad Sebagai Panglima Perang (1978); Dakwah Islami­yah dan Kaitannya Dengan Pembangunan Manusia (1978); Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam (1981).

Selain itu ia juga aktif mengisi berbagai kegiatan ilmiah berupa seminar, loka­karya, simposium, konferensi, dan muktamar, baik di dalam maupun di luar negeri.
__________________________

Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau.