Oleh : Prof. Dr. A. Hasjmi
Agama Islam telah berjasa besar dalam membina bahasa dan kesussastraan Melayu di Asia Tenggara, sebagaimana halnya bahasa dan sastra Melayu yang juga telah berjasa besar dalam mengembangkan dan menyiarkan Islam di gugusan Kepulauan Nusantara, bahkan di
Kebetulan sejak berabad-abad, penduduk Kepulauan
Sebaliknya, bahasa dan kesusastraan Melayu yang dipakai sebagai “media” telah berperan dalam pengembangan dan penyiaran Islam di Kepulauan Nusantara, bahkan di Asia Tenggara, kecuali Birma dan Indocina bagian barat, utara Muangthai, serta Filipina (bagian utara/barat). Dengan mempergunakan bahasa dan kesusastraan Melayu, para juru dakwah dengan mudah mengembangkan Islam di Kepulauan Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam, Muangthai Selatan, dan Filipina Selatan.
Adalah suatu kenyataan yang memerlukan penelitian lebih lanjut bahwa lewat bahasa Burma, Islam sukar dikembangkan di Burma; lewat bahasa Siam, Islam sulit menembus benteng agama Budha di Muangthai (kecuali bagian selatan); lewat bahasa-bahasa Vietnam, Laos, dan Kamboja, Islam sukar sekali mengubah kepercayaan rakyat Indocina yang telah lama menganut agama Budha; dan lewat bahasa Tagalok (yang serumpun dengan bahasa Melayu), Islam sukar dikembangkan di Filipina, kecuali bagian selatan. Apabila kita renungkan, kita tahu betapa besar peran bahasa dan kesusastraan Melayu dalam pengembangan dakwah Islamiyah di Rantau Asia Tenggara ini.
Lahirnya Islam membawa perubahan cepat (revolusi) dalam alam pikiran Arab pada khususnya dan dalam alam pikiran dunia pada umumnya. Timbulnya revolusi dalam dunia pikiran berarti terjadi revolusi di segala bidang kehidupan manusia, yaitu bidang agama, bidang politik, bidang ekonomi, dan bidang sosial budaya, bahkan dalam bidang bahasa dan ilmu pengetahuan (Hasjmi, 1975). Kitab suci Al Quran yang menjadi pedoman dasar revolusi Islam adalah faktor utama yang telah memekarkan kebudayaan dunia dengan ajaran-ajarannya dalam segala bidang; politik, ekonomi, dan sosial budaya.
Seorang pengarang dan pujangga Arab terkenal, Janji Zaidan, menegaskan bahwa Islam datang dengan Al Quran dan Hadis yang langsung mempengaruhi hati orang-orang Arab Jahiliyah, sehingga mengubah alam pikiran mereka, termasuk adat-istiadat, akhlak, dan segala segi kehidupan mereka, bahkan ia berbekas dalam kehidupan ilmu dan peradaban mereka. “Kedatangan Islam adalah satu revolusi besar dalam bidang agama, politik, ekonomi, dan sosial-budaya,” kata Janji Zaidan. Adalah satu kenyataan bahwa setiap revolusi akan meninggalkan jejak dalam kehidupan dan penghidupan umat yang dilanda revolusi. Oleh karena itu, terjadilah perubahan dalam kehidupan seni budaya dan ilmu pengetahuan mereka. Adapun perubahan dan perbaikan yang diadakan Islam dalam kehidupan seni budaya Arab Jahiliyah berupa tiga hal, yaitu Islam menghapus sama sekali kebudayaan mereka; Islam memperbaiki dan menyempurnakan sebagian lainnya; dan Islam menciptakan kebudayaan baru yang belum pernah ada.
Adapun kebudayaan jahiliyah yang dikikis Islam antara lain adalah kahanah (tenung) dengan segala macamnya, patung berhala yang disembah, bermacam-macam upacara ibadah yang salah, dan aneka rupa akidah yang sesat. Kebudayaan yang diperbaiki dan disempurnakan Islam antara lain ilmu bahasa, kesusastraan, retorika, dan lain-lain. Adapun kebudayaan baru yang diciptakan Islam banyak sekali, antara lain arsitektur, sistem musyawarah dalam pemerintahan, ilmu syariat, ilmu berdebat, ilmu kedokteran, ilmu pasti alam, ilmu mistik, dan lain-lain (Zaidan, 1975: 216).
Menghadapi kebudayaan jahiliyah, baik jahiliyah Arab maupun jahiliyah ajam (bukan Arab), sikap Islam tetap membangun, yaitu menghapus jenis-jenis kebudayaan yang bertentangan dengan ajaran dasar Islam yaitu akidah dan ibadah, memperbaiki dan menyempurnakan jenis-jenis kebudayaan yang masih dapat diperbaiki, dan di samping itu membangun kebudayaan yang sama sekali baru. Dengan demikian Islam bertindak maju untuk membangun satu kebudayaan dunia baru atau kebudayaan baru dunia. Al Quran dan hadis adalah pedoman dasar bagi pembangunan kebudayaan baru dunia tersebut.
Bagi Islam, kebudayaan dalam jenis apa pun adalah penjelmaan (manifestasi) iman dan amal saleh manusia dalam pengabdian kepada Allah yang Maha Esa.
“…Aku menciptakan jin dan manusia, semata-mata untuk mengabdi kepada-Ku” (Q.S. Az Zariyat: 56).
Manusia yang diciptakan semata-mata untuk mengabdi kepada Allah diciptakan dalam bentuk amat sempurna. Sempurna wujud jasmaninya, sempurna wujud rohaninya, sempurna akal budinya, dan sempurna alam pikirannya, dengan harapan mereka membangun kebudayaan iman sebagai pancaran dari amal salehnya dalam melakukan hubungan dengan Allah dan hubungan dengan sesama manusia.
“Demi buah tin dan zaitun. Demi Bukit Tursina. Demi negeri yang damai ini. Sungguh, manusia Kami ciptakan dalam wujud amat sempurna. Setelah itu, ia Kami lemparkan kembali ke lembah paling hina, kecuali mereka yang beriman dan beramal saleh, untuk mereka tersedia pahala tidak terkira. Apakah sebabnya gerangan kemudian mereka masih mendustakan agama? Bukankah Allah Hakim Yang Maha Adil?” (Q.S. Al Tin: 1-8).
Berhubung kalangan Arab Jahiliyah khususnya dan kalangan ajam Jahiliyah pada umumnya sangat menggemari seni budaya, terutama kesusastraan, maka perhatian Al Quran terhadap sastrawan sangat besar, sehingga dalam Al Quran tersedia surat Asy Syu‘ara (Sarakata Sastrawan). Dalam Sarakata Sastrawan tersebut, Al Quran menggariskan ciri-ciri sastrawan beriman dan beramal saleh, demikian pula ciri-ciri sastrawan pembangkang ajaran Allah.
“
Menurut ayat dari Sarakata Sastrawan ini, ciri-ciri khas sastrawan jahiliyah adalah : (1) pendiriannya tidak tetap, bertualang dari lembah ke lembah, berpindah-pindah tempat, dan plintat-plintut, (2) pengikut dan para pengagumnya terdiri dari para bandit dan penjahat, (3) pembicaraan mereka tidak sesuai dengan perbuatannya yang munkar, bohong, dan mesum.
Adapun ciri-ciri sastrawan dunia baru yang dibangun Islam antara lain adalah: (1) hati dan jiwanya penuh dengan keimanan, (2) perilaku kerjanya senantiasa beramal saleh, (3) pancaran iman menjelma dalam amal perbuatannya, (4) mereka selalu mengenang Allah, sehingga terwujud dalam karya-karyanya (Hasjmi, 1977).
Dalam menafsirkan ayat Surat Asy Syu‘ara ini, Sayyid Qutb, seorang ahli tafsir besar, seorang sastrawan terkemuka, dan tokoh politik kenamaan dari gerakan Ikhwanul Muslimin, antara lain menulis:
Islam adalah jalan hidup yang sempurna, yang selalu siap melaksanakan kehidupan nyata. Ia suatu “gerakan agung” dalam kandungan alam dan dalam kehidupan nyata. Sesungguhnya, tabiat Islam yang demikian tidak sesuai dengan watak sastrawan jahiliyah, karena sastrawan tersebut menciptakan mimpi dalam perasaannya dan mereka berbahagia dengannya, sedangkan Islam hendak membuktikan hakekat mimpi dan beramal untuk mewujudkannya.
Islam menggairahkan manusia agar berani menghadapi hakekat dari kehidupan nyata. Jangan lari ke dunia khayalan yang kabur. Karena itu, tidak boleh ada lagi kesia-siaan mimpi kabur yang merayap-rayap dalam karya-karya sastra dalam daya manusia, karena Islam telah menghabiskan daya sisa ini untuk membuktikan mimpi yang tinggi sesuai dengan jalannya yang agung. Walau demikian, Islam tidak memerangi dan tidak memusuhi seni sastra atau zatnya, karena yang dimusuhi dan diserang hanya jalan yang dilalui kesusastraan dan kesenian itu, yaitu jalan kabur dan mimpi yang sia-sia.
Adapun apabila jiwa telah mantap atas jalan Islam yang dari dalamnya terpancar semangat dan ajaran Islam dalam bentuk karya sastra menuju cita-cita Islam, berjalan di bawah sorotan cahaya Islam, maka dalam keadaan demikian Islam tidak memerangi dan tidak memusuhi kesusastraan dan kesenian. Dalam keadaan demikian, Islam mengecualikan sastrawan muslim yang beriman dan beramal saleh. Mereka tidak termasuk dalam deretan sastrawan jahiliyah, karena mereka beriman hingga hati mereka penuh dengan akidah tauhid dan kehidupan mereka tegak lurus di atas jalan Allah. Mereka beramal saleh dan dapat diarahkan untuk melakukan amal kebajikan dan tidak terpedaya dengan konsepsi dan mimpi saja.
Banyak corak dan warna kesusastraan dan kesenian Islam. Kesusastraan dan kesenian yang tumbuh dari konsepsi Islam tentang kehidupan dalam segala seginya adalah kesusastraan dan kesenian yang disukai Islam. Tidaklah menjadi keharusan agar kesusastraan dan kesenian itu langsung membela Islam atau memuji-muji Islam di zaman keemasannya. Hal itu bukan persyaratan agar ia dinamakan kesusastraan atau kesenian Islam. Sesungguhnya lukisan kesunyian malam dan keheningan pagi yang terjalin dengan perasaan seorang muslim dan mengingat peristiwa-peristiwa ini dengan Allah dalam perasaannya yang kemudian menjelma dalam bentuk puisi, itulah kesusastraan Islam. Sesungguhnya detik-detik matahari terbit dan kaitannya dengan Allah atau wujud alam yang diciptakan Allah cukup untuk mendorong terciptanya kesusastraan yang diridai Islam.
Ayat 1–5
“Mari membaca dengan nama Tuhan yang telah mencipta. Mencipta manusia dari segumpal darah beku. Bacalah dan Tuhan anda Maha Pemurah. Yang telah mengajar mempergunakan pena. Mengajar manusia ilmu yang belum diketahuinya” (Q.S. Al Alaq: 1-5).
Ayat-ayat ini menegaskan bahwa kebudayaan dunia baru harus dibangun berdasarkan ilmu pengetahuan serta atas nama dan karena Allah, Sang Maha Pencipta.
Besarnya pengaruh Al Quranul Karim dalam berbagai bidang kehidupan umat manusia digambarkan oleh Janji Zaidan (1957:12-19) dengan indah dan jelas sekali, yang terjemahan maksudnya adalah sebagai berikut.
Al Quran yang berisikan ajaran-ajaran mengenai akidah, syariah, akhlak, falsafah, dan ilmu pengetahuan telah merubah corak kebudayaan dunia. Tamaddun Islam telah menghasilkan lebih dari tiga ratus macam jenis ilmu pengetahuan dalam segala bidang, meliputi akidah, syariah, akhlak, sejarah, adab, bahasa, dan seni budaya. Sebagian besar ilmu-ilmu tersebut menjelma dari Al Quran atau diciptakan untuk memahami Al Quran, baik langsung maupun tak langsung. Pada permulaan Islam, kaum Arab muslim pergi ke berbagai penjuru dunia untuk menjalankan dakwah Islamiyah. Mereka tidak mempunyai buku ilmu pengetahuan apa pun, kecuali Al Quran yang mereka hafal dan baca. Mereka mengutip berbagai pengetahuan dan pelajaran dari Al Quran. Mereka bertahkim kepadanya dalam segala hal.
Mereka mengagumi
Kehadiran Al Quran dalam dunia sastra telah mengubah dan memperbaharui seni sastra Arab, baik uslub atau ma‘aninya, pemakaian kata-kata dan kalimat, maupun penggunaan istilahnya. Al Quran telah memelihara hidup bahasa dan sastra Arab serta menjadikannya sebagai bahasa penghubung antara bangsa-bangsa non-Arab yang membaca dan berbicara bahasa Arab, sekalipun mereka berada di Timur Jauh, di Asia Tenggara, di pusat Afrika, maupun di Benua Kulit Putih (Eropa).
Pada saat mengadakan persiapan untuk menyusun makalah ini, seorang sahabat di Amerika yang sedang menyelesaikan studi program doktoralnya di Temple University dan University Sains Malaysia, M. Salleh Jaafar, mengirim sebuah buku berjudul Tawhid: Its Implication For Thouqht and Life karangan Prof. Dr. Ismail Raji Al Faruqi, Direktur Pusat Studi Islam pada Temple University. Dalam buku tersebut terdapat satu pasal yang berjudul “Al Quran al Karim: The First Work of Art in Islam” (Al Quranul Karim adalah karya seni pertama dalam Islam). Dalam pasal ini, Faruqi melukiskan panjang lebar bagaimana indahnya bahasa dan uslub Al Quran. Di dalamnya terkandung bermacam mukjizat dan ilmu pengetahuan. Pengaruh Al Quran sangat besar terhadap sastra Arab pada khususnya dan sastra dunia pada umumnya (termasuk sastra Melayu). Demikian indah seni uslub Al Quran, hingga Faruqi menyimpulkan bahwa jika ada sesuatu yang seluruhnya seni, maka itu sudah tentu Al Quran, “If anything is art, the Quran certainly is”. Selanjutnya Faruqi menegaskan bahwa jika pernah ada pendapat atau perasaan orang Islam dipengaruhi oleh sesuatu, sudah tentu ia dipengaruhi oleh Al Quran, “If the mind of the Moslem has been affected by anything, it was certainly affected by the Quran” Faruqi, 1982: 251- 258).
Bagian ini akan penulis akhiri dengan tulisan Janji Zaidan yang melukiskan bagaimana pandangan Nabi Muhammad saw. terhadap kesusastraan dan sastrawan. lkhtisar tulisan Janji Zaidan adalah sebagai berikut.
Peran para sastrawan dalam jihad akbar melaksanakan dakwah Islamiyah tergambar dari pernyataan Nabi Muhammad saw. dalam sebuah hadisnya, “Dalam seni bahasa, bersemi senjata kata, ucapan sastrawan yang pasti kebenarannya, kalimat Ubaid yang berintikan: kecuali Allah, semuanya akan musnah”.
Nabi Muhammad saw. pernah bersabda bahwa orang yang berperang dengan senjata lidah tidak kurang pentingnya dengan orang yang berperang dengan senjata besi, dengan pernyataan beliau, “Mereka yang membantu Rasul dengan senjata tajamnya sama derajatnya dengan mereka yang membela Nabi Allah dengan ketajaman lidahnya”. Golongan yang dimaksud Nabi Muhammad saw. dengan “mereka yang membelanya dengan ketajaman lidahnya” adalah para sastrawan mukmin yang paling terkenal pada zamannya, seperti Hasan bin Sabit, Ka‘ab bin Malik, Abdullah bin Rawahah, dan lainnya. Rasul berpendapat bahwa hasil-hasil karya sastra mereka sangat tajam menikam musuh-musuh Islam, seperti pernyataan sebuah hadis, “Ucapan para sastrawan itu lebih dalam tikamannya ke dalam kaum Quraisy daripada mata lembing”.
Kepada penyairnya, sastrawan Hasan bin Sabit, Rasul pernah memberikan perintah, “Semburlah kaum Quraisy itu. Demi Allah, semburan Anda terhadap mereka lebih hebat daripada tikaman pedang di malam gulita. Semburlah mereka! Jibril Ruhul Kudus bersama Anda. Jumpailah Abu Bakar Anda.”Rasul gemar sekali mendengar sajak-sajak Umaiyah bin Sahal, karena kandungannya mengingatkan orang kepada Allah dan peristiwa Hari Kebangkitan. Para sastrawan muslim banyak yang menjadi sahabat karib Rasul. Rasul selalu mendorong mereka agar menciptakan sajak-sajak jihad yang dapat membangkitkan semangat juang (Zaidan, 1957: 219–220).
Pada tahun 173 H (800 M), sebuah angkatan dakwah di bawah pimpinan Nakhoda Khalifah mendarat di Bandar Perlak (Aceh Timur sekarang). Dalam rombongan yang berjumlah lebih dari seratus orang itu terdapat ulama-ulama yang alim dalam berbagai bidang ilmu dan bidang kemasyarakatan. Di antara mereka juga terdapat ulama sastrawan. Dengan segera, setelah Meurah Perlak dan rakyatnya memeluk agama Islam, mereka mendirikan tempat-tempat pendidikan di tiap-tiap kampung yang mereka namakan madrasah. Pada tingkat yang lebih tinggi, mereka mendirikan pusat pendidikan yang dinamakan zawiyah cotkala. Baik dalam madrasah-madrasah maupun dalam zawiyah cotkala diajarkan berbagai macam ilmu Islam, termasuk Al Quranul Karim dan Al Ulum Al Hadisah (ilmu-ilmu baru). Lulusan dari madrasah-madrasah dan zawiyah cotkala kemudian bertebaran ke seluruh Nusantara mengembangkan dakwah Islamiyah (Jamil, 1968: 4–8).
Para ulama lulusan zawiyah cotkala ada yang muncul sebagai ulama sastrawan. Mereka berusaha mencerdaskan rakyat di daerah-daerah yang telah dimasuki dakwah Islamiyah. Mereka mengajar rakyat membaca dan memahami Al Quran, dengan terlebih dahulu mengajari menulis dan membaca huruf Arab yang kemudian terkenal dengan nama tulisan Jawi. Ini berarti bahwa Islam datang ke Nusantara adalah untuk mencerdaskan rakyatnya, sebagaimana tersimpul dalam keputusan Seminar Sejarah Masuknya Islam ke Indonesia, yang berlangsung pada tanggal 17–20 Maret 1963 di Medan. Di antara kesimpulan seminar tersebut berbunyi, “Bahwa kedatangan Islam ke Indonesia membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia“ (Risalah Seminar, 1963: 265).
Hal yang disimpulkan seminar tersebut bisa terjadi, karena Islam yang datang ke Nusantara adalah Islam yang pada awal sejarahnya telah sanggup mengubah dunia Arab Jahiliyah menjadi dunia Arab baru yang berkebudayaan iman dan amal saleh. Al Quran yang disampaikan Jibril kepada Nabi Muhammad saw. adalah Al Quran yang juga datang ke Indonesia. Dalam Al Quran tersebut terdapat ayat (Al Alaq: 1–5) yang berisikan pernyataan perang terhadap buta huruf dan buta ilmu yang juga berlaku di Rantau Asia Tenggara ini.
Seperti sikapnya menghadapi kebudayaan Arab Jahiliyah pada awal sejarah dakwah Islamiyah, maka demikian juga sikap Islam menghadapi kebudayaan bangsa-bangsa di Kepulauan Nusantara. Kebudayaan dan adat-istiadat yang bertentangan dengan akidah dan ibadah dilarang/dihapus seluruhnya. Jenis kebudayaan lainnya disempurnakan dengan membuang bagian-bagian yang tidak sesuai dengan dunia Islam atau dunia baru, dan selanjutnya membangun kebudayaan yang baru sama sekali. Sikap yang bijaksana ini dilakukan berdasarkan atau berpedoman pada Al Quran dan hadis.
Perintah wajib belajar membaca dan menulis sebagai langkah awal untuk mendapat ilmu pengetahuan (surat Al Alaq: 1–5) telah menggerakkan para ulama, baik lulusan zawiyah cotkala maupun lulusan pusat-pusat pendidikan Islam lainnya di seluruh Nusantara untuk mengajar rakyat dan putra-putri yang mendiami gugusan kepulauan ini dengan menulis dan membaca huruf Arab, sehingga mereka pandai menulis dan membaca Al Quranul Karim. Para ulama kemudian mengarang buku-buku agama/dakwah dalam bahasa Melayu dan menulisnya dengan huruf Arab. Sementara itu, para ulama yang sastrawan menciptakan karya sastra Melayu yang ditulis dengan huruf Arab.
Bahasa Melayu yang sebelumnya tidak mempunyai aksara khusus, setelah kedatangan Islam kemudian mempunyai aksara sendiri yang disebut tulisan Jawi atau huruf Arab-Melayu. Disebut huruf Jawi karena orang Arab menamakan gugusan Kepulauan Nusantara ini dengan Kepulauan Jawa. Akhirnya, huruf Arab yang telah menjadi huruf bangsa-bangsa yang mendiami Kepulauan Nusantara/Melayu dinamakan tulisan Jawi atau huruf Arab-Melayu. Bahasa penghubung yang dipakai bangsa-bangsa di Rantau Asia Tenggara/Nusantara ini, yaitu bahasa Melayu disebut bahasa Jawi dan buku-buku yang ditulis dalam bahasa Melayu, disebut Kitab Jawi Kitab Jawou dalam bahasa Melayu Aceh). Karya sastra dalam bahasa Melayu disebut pantun Melayu atau syair Jawi (‘syair‘ berasal dari bahasa Arab). Cerita-cerita roman atau kisah dalam bahasa Melayu ditulis dalam bentuk puisi panjang yang dinamakan syair seperti Syair Sitti Asni, Syair Putri Bungsu, Syair Aulia Tujuh, dan sebagainya.
Besarnya peran Islam dalam membina dan menyempurnakan bahasa dan sastra Melayu lewat karya-karya tulis dalam huruf Arab dibuktikan oleh kenyataan bahwa Melayu identik dengan Islam, bahasa Melayu sama dengan bahasa Islam, dan tulisan Jawi huruf Arab-Melayu sama dengan tulisan/huruf Islam, sehingga jika ada orang Cina atau bangsa lainnya yang masuk Islam dikatakan bahwa si Yab Hok atau Tuan Frederik telah masuk Melayu (sebutan lidah Cina, “telah Gulayu”). Sampai saat ini, di Semenanjung Tanah Melayu Malaysia masih berlaku hal demikian. Kalau ada warga negara Malaysia atau warga lainnya yang masuk agama Islam, sama artinya bahwa mereka telah masuk Melayu atau telah menjadi turunan Melayu.
Dalam uraian sebelumnya telah disebutkan bahwa pada akhir abad ke-2 H atau ke-7 M, angkatan dakwah Islamiyah di bawah pimpinan Nakhoda Khalifah telah mendarat di Bandar Perlak dan sebelum berangkat ke Nusantara, rombongan tersebut telah mempelajari bahasa Melayu yang menjadi bahasa penghubung di Kepulauan Melayu Nusantara. Dengan bahasa Melayu mereka mendakwahkan Islam kepada penduduk, sehingga sejak zaman Islam (baik dalam Kerajaan Islam Perlak, Kerajaan Islam Samudra Pasai, maupun dalam Kerajaan Islam Aceh Darussalam) bahasa Melayu telah menjadi bahasa resmi kedua setelah bahasa Aceh, kemudian menyusul bahasa Arab yang menjadi bahasa resmi ketiga.
Sebelum ada sebutan bahasa Melayu Malaka dan bahasa Melayu Riau, lebih dulu ada bahasa yang disebut bahasa Jawi Pasai dan bahasa Jawi Aceh. Syekh Abdurrauf Syiahkuala menyebutkan bahwa bahasa yang dipakai untuk karya tulisnya yang berjudul Miratuth Thullah adalah bahasa Jawi Pasai. Pengucapan dan penulisan kesusastraan Aceh dilakukan dalam dua bahasa, yaitu dalam bahasa Aceh dan dalam bahasa Melayu, karena dalam Kerajaan Aceh Darussalam kedua bahasa tersebut adalah bahasa resmi, di samping bahasa Arab yang juga dipelajari secara umum sebagai bahasa agama, sehingga dalam berbagai karangan/karya sastra dan karya ilmiah, ketiga bahasa tersebut telah bercampur menjadi satu (Hasjmi, 1977: 75).
Penggunaan bahasa Melayu dalam pengucapan dan penulisan kesusastraan Aceh telah menjadikan kesusastraan Aceh identik dengan kesusastraan Melayu klasik, seperti yang diungkapkan seorang sarjana bahasa Indonesia Adnan Hanafiah (1972):
Hasil-hasil sastranya selain ditulis dalam bahasa Aceh, juga ditulis dalam bahasa Melayu atau bahasa Indonesia klasik. Hikayat Raja-raja Pasai ditulis dengan bahasa Melayu. Dr. R. Roolvink dalam Bahasa dan Budaya mengakui bahwa bahasa Melayu dalam Hikayat Raja-raja Pasai sangat baik dan terpelihara. Demikian pula bahasa resmi yang dipergunakan oleh raja-raja dan pegawai-pegawai di Aceh adalah bahasa Melayu. Segala peraturan negara seperti Undang-undang Dasar Negara Aceh yang terkenal dengan Adat Poteu Meuruhoom” ditulis dalam bahasa Melayu.
Penulisan buku-buku ilmiah dan karya sastra di zaman kerajaan Islam Samudra Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam pada umumnya dikerjakan oleh para ulama, termasuk ulama yang sastrawan. Dengan demikian, pengaruh dan semangat Islam dalam karya sastra Melayu sangat besar, dan karena itulah maka kesusastraan Melayu disebut juga kesusastraan Islam. Tentang hal ini, seorang sarjana Islam, Arabi Ahmad (1972), pernah menulis:
Pada saat itu, pengaruh ulama sangat besar di Aceh, sehingga dalam hal ini yang banyak mengarang puisi-puisi adalah ulama, yang sedikit banyaknya di samping tuntunan agama di bidang ini, juga mengandung unsur-unsur pendidikan dan pengajaran agama Islam.
Para ulama, termasuk ulama yang sastrawan, menulis karya-karyanya dalam bahasa Melayu, baik karya ilmiah maupun karya sastra, dengan tujuan menjadi alat dalam pengembangan dakwah Islamiyah di Kepulauan Nusantara/
Para ulama tasawuf yang kebanyakan sastrawan telah berjasa besar dalam membina dan mengembangkan kesusastraan Melayu, sehingga kesusastraan Melayu mencapai martabat yang tinggi dalam lingkungan kesusastraan dunia, seperti yang ditegaskan dalam buku Sastra dan Agama bahwa:
dalam kalangan orang-orang tasawuf, sepanjang sejarah tasawuf Islam, banyak lahir sastrawan-sastrawan besar kenamaan. Dari para sastrawan sufi lahirlah sejumlah “sastra sufi” yang amat indah dengan ciri khas yang melambangkan kekudusan batin, kedalaman arti, keakraban dengan Maha Pencipta, tunduk tanpa syarat kepada iradat Ilahi, jauh khayal melayang, membuat lukisan dengan rumus-rumus yang pelik dan isyarat-isyarat bercabang arti. Kesusastraan sufi adalah kesusastraan derita yang amat pahit, tetapi sastra yang meluap-luap yang tajam di samping adanya keindahan yang tiada tara. Sastra sufi adalah gambaran dari kepelikan dan keindahan.
Di antara para sastrawan sufi yang sangat terkenal antara lain adalah Umar Ibnu Faridli (572–632 H/1181–1233 M), Jalaluddin Ar Rumi (603–672 H/1217–1273 M), dan Abu Seid bin Abul Khair (258–440 H).
Syekh Hamzah Fansuri yang hidup pada permulaan abad ke-11 H (ke-17 M) terkenal sebagai sastrawan sufi Melayu yang hampir tidak ada tandingannya dengan karyanya yang masyur Ruba‘i Hamzah Fansuri (Husein, 1984: 52–53). Secara umum, ada empat orang ulama sastrawan alam Melayu yang sangat terkenal dan mencapai kedudukan internasional, yaitu Syekh Hamzah Fansuri dengan karya tulisnya yang berjumlah empat buah, Syekh Syamsuddin as Sumatrai dengan karya tulisnya yang berjumlah enam belas buah, Syekh Nuruddin Arraniri dengan karya tulisnya yang berjumlah dua puluh tujuh buah, dan Syekh Abdurrauf Syiahkuala dengan karya tulisnya yang berjumlah sembilan buah (Hasjmi, 1983: 71–125).
Peran Islam dalam kesusastraan Melayu lewat karya-karya keempat ulama ini dan para ulama lainnya cukup besar, sehingga bahasa Melayu menjelma menjadi bahasa tulis, karena sebelumnya hanya merupakan bahasa lisan. Sebagai bahasa tulis, bahasa Melayu telah menjelma menjadi bahasa ilmiah yang dapat dipergunakan untuk menulis berbagai karya ilmiah. Hal ini telah penulis uraikan panjang lebar dalam makalah yang disampaikan dalam simposium antarbangsa “Kesusastraan Melayu Tradisional” yang diadakan oleh Universiti Kebangsaan Malaysia di Bangi, Selangor beberapa tahun yang lalu. Satu hal lagi yang patut diingat adalah bahwa kebanyakan para ulama/wali adalah seniman dan pengarang lagu. Dengan lagu-lagu yang dikarangnya mereka menyiarkan dan mengembangkan Islam dan ajaran-ajarannya. Di sini juga terlihat peran besar agama (Islam) dalam kesusastraan Melayu.
Wali Sembilan adalah seniman-seniman dan pengarang-pengarang lagu kenamaan, sekalipun mereka tidak mengarang lagu dalam bahasa Melayu, hanya lagu-lagu atau tembang Jawa. Seperti yang dinyatakan oleh Umar Hasyim (1983: 65–66), dalam sejarah kesenian tembang Jawa, nama-nama jenis tembang Jawa banyak yang diciptakan oleh Wali Sembilan. Sunan Giri misalnya menciptakan lagu Asmaradana dan Pucung, Sunan Kalijaga menciptakan lagu Dandanggula dan Dandanggula Semarangan, Sunan Bonang menciptakan lagu Durma, Sunan Kudus menciptakan lagu Maskumambang dan Mijil, Sunan Muria menciptakan lagu Sinom dan Kinanti, serta Sunan Drajat menciptakan lagu Pangkur. Seperti halnya para wali di tanah Jawa yang telah menciptakan lagu-lagu dakwah dalam bahasa Jawa, para wali di luar Jawa juga telah menciptakan lagu-lagu dakwah dalam bahasa Melayu.
Peran bahasa dan sastra Melayu dalam pengembangan dakwah Islamiyah di Kepulauan Nusantara adalah satu fakta sejarah yang tidak dapat dibantah. “Bukankah para ulama juru dakwah dalam melakukan dakwah lisan mempergunakan bahasa Melayu? Bukankah ulama sastrawan/pengarang dalam melakukan dakwah tulisan mempergunakan bahasa dan sastra Melayu? Bukankah para ulama ahli tasawuf dalam memajukan aliran tasawufnya, menciptakan puisi-puisi rohani dalam bahasa Melayu? Bukankah bahasa dan sastra Melayu sanggup menjadi media untuk semua itu? Apakah tidak diakui bahwa inilah rahasia yang menyebabkan dakwah Islamiyah cepat sekali berkembang di Kepulauan Nusantara, bahkan di Asia Tenggara? Tidakkah patut diteliti dan ditanya, mengapa bahasa-bahasa lain yang ada di Asia ini tidak menjadi media efektif dalam pengembangan dakwah Islamiyah di rantau ini, sehingga pada awal sejarahnya, Islam tidak dapat berkembang baik di Burma, Muangthai (kecuali bagian selatan), Indocina, Filipina (kecuali bagian selatan), Jepang, dan Korea? Bukankah karena bahasa-bahasa mereka tidak dapat dipergunakan menjadi media dakwah, seperti halnya bahasa dan sastra Melayu?”
Dalam hal ini yang paling berjasa adalah karya-karya tulis dalam bahasa Melayu, baik karya ilmiah maupun karya sastra, yang telah berabad-abad melaksanakan dakwah secara diam-diam di pusat-pusat pengajian, di meunasahmeunasah, di surau-surau, di dayah-dayah, di pondok-pondok pesantren, dan di rumah-rumah. Kalau karya-karya tulis dalam bahasa Melayu telah berjasa dalam pengembangan dakwah Islamiyah di Kepulauan Nusantara, dan memang demikian, maka juga patut diingat faktor-faktor yang telah mendorong para ulama alam Melayu untuk mengarang kitab-kitab yang dapat kita warisi sampai sekarang.
Mempelajari ilmu mengarang menjadi kewajiban lanjutan bagi umat Islam, termasuk umat Islam alam Melayu, setelah mereka pandai menulis dan membaca (karena dorongan wajib surat Al Alaq: 1–5). Turunnya lima ayat pertama surat Al Alaq mengharuskan umat Islam (juga umat Islam di alam Melayu) agar mempelajari ilmu mengarang, artinya harus ada di antara mereka yang menjadi ulama pengarang, ulama wartawan, dan ulama sastrawan. Surat Al Qalam: 1–4 menjelaskan, “Demi tinta dan pena. Demi naskah yang mereka tulis. Sungguh, dengan karunia Tuhan. Anda bukan orang gila. Sungguh untuk anda tersedia pahala tidak terkira. Sungguh anda (Muhammad) memiliki budi pekerti yang tinggi .”
Surat ini diturunkan untuk kaum Quraisy yang menuduh Nabi Muhammad saw. sebagai “penyair yang gila”, karena Al Quranul Karim yang menjadi kitab suci risalah Muhammad mempunyai nilai seni yang tidak sanggup mereka tandingi. Al Quran menyatakan bahwa Muhammad bukan penyair gila, tetapi manusia yang memiliki akhlak tinggi. Allah bersumpah dengan tiga benda yang erat hubungannya dengan karang-mengarang, yaitu tinta, pena, dan naskah. Dalam menafsirkan ayat-ayat ini, Syekh Thanthawi Jauhari mengartikan nun (dalam
“Apabila rinduku, terbang kepada mereka, tinta kutumpahkan, bersama airmata berlinang.”
Dalam menafsirkan ayat-ayat ini, Syekh Thanthawi Jauhari (1930: 243–244) menulis:
Allah bersumpah dengan tinta, pena, dan kitab naskah, karena mengetahui bahwa agama Islam ini akan kekal, pena-pena akan menggerakkannya dan akan menulis naskah-naskah tentang agama ini.
Allah bersumpah dengan tiga benda ini sebagai pernyataan terbukanya pintu pengajaran umum dengan mempergunakan pena dan tulisan/naskah. Sesungguhnya agama ini (Islam) tidaklah turun untuk tahun 1343 saja. Tidak, sekali-kali tidak. Al Quran tidaklah untuk kurun kita dan kurun-kurun sebelumnya saja. Sesungguhnya Allah menjadikan umat kita sekarang dan umat-umat yang akan datang setelah kita, yang lebih maju dari kita, baik ilmu organisasi maupun teknologi. Mereka itu nanti apabila membaca ayat-ayat ini akan berpikir dan berkata, “Sungguh, Allah tidak bersumpah melainkan dengan sesuatu yang besar”. Karena itu, apabila Allah bersumpah dengan matahari, bulan, bintang, dan gunung-gunung adalah karena besar penciptaannya dan indah bentuknya. Adapun tinta, pena, dan kitab naskah bukanlah makhluk yang besar seperti matahari, bulan, bintang, dan gunung-gunung. Sesungguhnya, dalam hal ini Allah tidak bersumpah dengan benda-benda yang besar itu, tetapi dengan benda-benda yang kecil, yang nilai kekuatannya besar sekali, untuk mengajar kita betapa pentingnya tinta, pena, dan naskah untuk umat manusia dalam mencapai kemajuan. Allah telah menciptakan langit dan buminya, maka dengan perantaraan tinta, pena, dan kitab dari kita, langit dan bumi akan dapat diolah, kota-kota dan masyarakat akan maju.
Ayat-ayat
Apabila naskah-naskah itu sudah tidak ada lagi, maka bukti yang kuat yang menyaksikan bahwa sungguh besar peran agama Islam dalam kesusastraan Melayu akan hilang. Sementara, peran bahasa dan sastra Melayu dalam pengembangan dakwah Islamiyah di Kepulauan Nusantara/Asia Tenggara sebenarnya juga sungguh besar.
Dari uraian panjang di atas dapat disimpulkan bahwa
Peran agama (Islam) dalam membina dan meningkatkan martabat kesusastraan Melayu cukup besar.
Peran bahasa dan sastra Melayu dalam pengembangan dakwah Islamiyah juga amat besar.
Bahasa-bahasa lain di Asia Tenggara ternyata tidak sanggup mengembangkan dakwah Islamiyah dalam lingkungan rakyatnya masing-masing.
Islam datang ke Indonesia/Nusantara untuk mencerdaskan rakyat dan membawa tamaddun.
Pusat-pusat pendidikan Islam juga berfungsi sebagai pusat pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Melayu.
Pusat-pusat pendidikan Islam juga berfungsi sebagai pusat pembinaan dan pengembangan bahasa dan sastra Melayu.
Ayat 1–5
Ayat 1–4
Banyak naskah karangan ulama sastrawan yang diangkut ke luar negeri, sementara yang masih ada di Indonesia/Nusantara bertebaran di mana-mana, tidak terpelihara dengan baik, dan banyak di antaranya yang telah menjadi makanan rayap.
Naskah-naskah karangan para ulama tersebut adalah bukti nyata bahwa Islam telah berperan dalam membina dan meningkatkan martabat bahasa dan sastra Melayu. Sebaliknya, bahasa dan sastra Melayu juga telah berperan dalam pengembangan dakwah Islamiyah di Kepulauan Melayu/ Nusantara.
Sikap Islam menghadapi kebudayaan jahiliyah, baik jahiliyah Arab maupun jahiliyah ajam, adalah membasmi kebudayaan yang bertentangan dengan akidah dan ibadah, memperbaiki jenis-jenis yang dapat diperbaiki, dan membangun kebudayaan baru.
Daftar Pustaka
Ahmad, A. 1972. Sinar Darussalam No 40/72. Banda Aceh: Yayasan Pembina Darussalam.
Alisyahbana, S. T. 1934. Majalah Pujangga Baru.
Faruqi,
Hanafiah, A. 1972. Syiah dan Ahlussunnah Saling Rebut Pengaruh di Kepulauan Nusantara.
Hasjmi, A. 1975. Sejarah Kebudayaan Islam.
––––––––––––. 1977. Sumbangan Kesusastraan Aceh dalam Pembinaan Kesusastraan
––––––––––––. 1983. Kebudayaan Aceh dalam Sejarah. Benua.
Hasyim, U. 1983. Sunan Muria, Antara Fakta dan Legenda. Kudus: Tawang Alun.
Husein,
Jamil, M. Y. 1968. Tawarikh Raja-raja Kerajaan Aceh. Banda Aceh: Ajdam I Iskandarmuda.
Jauhari, S. T. 1350 H (1930). Maktabah Mustafa al Baby al Halaby, jilid XXII.
Panitia Seminar Sejarah Masuknya Islam ke
Qotub, S. T.t. Tafsir fi Dhilal al-Qur‘an, Juz XIX. Kairo: Maktabah al Baby al Habiby.
Zaidan, J. 1957. Tarikh Adab al-Lughab al Arabiyah jilid II. Kairo: Daar al Hilal.
––––––––––––. 1975. Tarikh Adab al Lughab al Arabiah jilid I. Kairo: Daar al Hilal.
__________________________
Prof. Dr. Hasjmi, adalah Guru Besar IAIN Ar-Raniry, Banda Aceh. Lahir pada tanggal 28 Maret 1914. Pendidikannya dimulai dari Gouvernement Inlandsche School Montasie, Banda Aceh; Thawahib School Tingkat Menengah Padang Panjang; Al Jamiah Al Islamiyah Qism Adaabul Lughah wa Taarikh al Saqafah al Islamiah (Jurusan Sastra dan Sejarah Kebudayaan Islam) di Padang; dan pernah kuliah di Fakultas Hukum, Universitas Islam Sumatera Utara, Medan.
Sejak
Beberapa karyanya antara lain Kisah Seorang Pengembara (sajak, 1936); Dewan Sajak (puisi, 1938); Bermandi Cahaya Bulan (roman pergerakan, 1939, 1978); Melalui Jalan Raya Dunia (roman masyarakat, 1939, 1978); Suara Azan dan Lonceng Gereja (roman hubungan antaragama, 1940, 1978, 1982); Dewi Fajar (roman politik, 1943); Kerajaan Saudi Arabia (riwayat perjalanan, 1977); Pahlawan-pahlawan Islam yang Gugur (saduran dari bahasa Arab, 1956, 1971); Rindu Bahagia (kumpulan sajak dan cerpen, 1963); Jalan Kembali (sajak bernafaskan Islam, 1963); Semangat Kemerdekaan dalam Sajak Indonesia Baru (analisis sastra, 1963); Di mana Letaknya Negara Islam (1970); Sejarah Kebudayaan dan Tamaddun Islam (1969); Yahudi Bangsa Terkutuk (1970); Sejarah Hukum Islam (1970); Hikayat Perang Sabil Menjiwai Perang Aceh Lawan Belanda (1971); Islam dan Ilmu Pengetahuan Modern (terjemahan, 1972); Pemimpin dan Akhlaknya (1973); Rubai‘ Hamzah Fansury (karya sastra sufi abad XVII, 1974); Dustur Dakwah Menurut Alquran (1974); Sejarah Kebudayaan Islam (1978); Cahaya Kebenaran (terjemahan Al Quran Juz Amma, 1979); Sumbangan Kesusastraan Aceh dalam Pembinaan Kesusastraan Indonesia (1978); Iskandar Muda Meukuta Alam (Sejarah Hidup Sultan Iskandar Muda, Sultan Aceh Terbesar) (1977); Tanah Merah (roman perjuangan, 1977); Meuxah Johan (1950); Risalah Aklak (1977); Surat-surat dari Penjara (1978); Peranan Islam dalam Perang Aceh (1978); Tahun Aceh Merdeka di Bawah Pemerintahan Ratu (1978); Apa Sebab Rakyat Aceh Sanggup Berperang Puluhan Tahun Melawan Agresi Belanda (1979); Bunga Rampai Revolusi dari Aceh (1980); Mengapa Umat Islam Mempertahankan Pendidikan Agama dalam Sistem Pendidikan Nasional (1979); Nabi Muhammad Sebagai Panglima Perang (1978); Dakwah Islamiyah dan Kaitannya Dengan Pembangunan Manusia (1978); Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam (1981).
Selain itu ia juga aktif mengisi berbagai kegiatan ilmiah berupa seminar, lokakarya, simposium, konferensi, dan muktamar, baik di dalam maupun di luar negeri.
__________________________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau.