Hilal, Bulan, dan Pesona Alam Semesta


Oleh : Ninok Leksono

"Menatap langit, dari milenia ke milenia, telah memperlihatkan sejumlah kapasitas umat manusia yang paling menentukan dan memuliakan: rasa ingin tahu, kemampuan rasional, dan kemampuan mencipta teknologi".

(Edward Hudgins, Astronom Amatir, Direktur Objectivist Center, Washington)

Tampaknya tak terhindarkan lagi bahwa pada tahun 1428 Hijriah ini masyarakat Indonesia akan merayakan Idul Fitri dengan berbeda tanggal, ada yang Jumat, 12 Oktober, dan ada yang Sabtu, 13 Oktober. Seperti tahun-tahun lalu, manakala terjadi perbedaan, saran yang diberikan adalah agar perbedaan jangan dibesar-besarkan. Yang perlu dikembangkan adalah sikap tasamuh (toleran).

Seperti telah banyak diulas, perbedaan muncul karena metode yang dipergunakan berbeda. Muhammadiyah menggunakan sistem hisab atau perhitungan, sedangkan Nahdlatul Ulama menggunakan sistem rukyat atau pengamatan. Yang ingin diamati adalah piringan tipis Bulan yang disebut hilal.

Terlepas dari soal keyakinan, di negeri dengan rentang geografis seluas Indonesia memang dimungkinkan terjadi dua situasi, yaitu hilal belum terlihat di Merauke, tetapi sudah terlihat di Jakarta atau Banda Aceh. Hal ini disebabkan Bulan "melaju" ke timur lebih cepat daripada rotasi Bumi. Ini juga fenomena yang menjelaskan mengapa Bulan selalu terlambat terbit sekitar 50 menit setiap hari.

Berpusar pada Bulan
Penetapan 1 Syawal tak diragukan lagi telah menimbulkan minat masyarakat terhadap ilmu astronomi. Khususnya menyangkut metode hisab, orang harus memahami salah satu cabang astronomi yang penting, yakni yang terkait dengan pergerakan benda-benda langit, atau mekanika benda langit (celestial mechanics).

Sementara itu, mekanika benda langit berlaku pada tataran yang sublim, tidak kasatmata, pandangan pengamat lebih mudah terpesona oleh sosok Bulan. Namun, mekanika benda langit yang banyak bertumpu pada gaya gravitasi inilah yang ikut membantu penalaran fisikawan Inggris, Isaac Newton, dalam melahirkan Hukum Gravitasi yang termasyhur itu. Newton menyimpulkan bahwa hukum alam yang mengatur jatuhnya sebuah apel ke tanah juga berlaku pada pergerakan Bulan mengelilingi Bumi.

Bulan, yang pada saat terjadi gerhana dan menjelang 1 Syawal banyak diperbincangkan ini, pada masa lalu banyak dikupas dari sisi asal-usulnya. George Darwin—putra teoretikus evolusi Charles Darwin—berteori bahwa Bulan adalah bagian Bumi yang lepas saat berputar cepat.

Ada pula teori penangkapan, yang menyebut Bulan sebenarnya benda independen yang tertangkap oleh Bumi saat melintas dekat Bumi. Pada teori ketiga, Bulan dan Bumi terbentuk seiring dari material awan (nebula) Matahari.

Selain itu, masih ada teori lain yang dikembangkan pada dekade 1980-an. Namun, Bulan kini justru sedang menjadi target eksplorasi angkasa bangsa-bangsa maju. Hari-hari ini, wahana Kaguya—Putri Bulan dalam legenda Jepang—yang diluncurkan pertengahan September lalu kini sudah mengorbit Bulan.

China juga merintis program Chang`e yang akan berpuncak pada pendaratan taikonot China tahun 2022. Rusia melalui Roskosmos juga sudah menyatakan tekad untuk mendaratkan warganya ke Bulan tahun 2025. Adapun AS yang sudah berpengalaman dalam pendaratan Bulan melalui program Apollo juga sudah punya program kembali ke Bulan.

Tampak bahwa sementara kita masih sibuk mencari kepingan Bulan dari jarak jauh untuk menetapkan 1 Syawal, bangsa-bangsa maju sudah berencana menjadikan benda langit yang jadi rujukan kalender Hijriah itu sebagai koloni dan pos depan untuk misi berawak ke planet Mars dan yang lebih jauh.

Pesona astronomi
Generasi muda Indonesia antusias mengikuti Olimpiade Astronomi dan meraih medali emas. Bersama dengan bertambahnya minat menjadi astronom profesional melalui pendidikan tinggi di ITB, dan juga berkembangnya pengunjung Planetarium, semua menjadi tanda-tanda bertumbuhnya minat terhadap ilmu astronomi.

Ini tentu perkembangan yang alamiah. Pada masa lalu ilmu-ilmu kebumian, seperti geologi, vulkanologi, geofisika, dan meteorologi, juga kurang dikenal. Kini ketika gempa dan tsunami sering jadi berita, perhatian orang pun terarah kepada ilmu-ilmu tersebut.

Astronomi yang lebih eksotik mungkin masih perlu waktu lagi untuk memasyarakat. Namun, pada era eksplorasi ruang angkasa, juga di tengah prospek suramnya Bumi sebagai habitat, dan dengan itu manusia perlu ranah hidup (lebensraum) baru, langit lalu mendapat perspektif baru bagi masa depan umat manusia.

Melalui wacana hisab dan rukyat, masyarakat semakin mengenal ilmu ini, yang cakupannya sebenarnya amat luas, mulai studi tentang Bulan, tata surya, galaksi, hingga alam semesta dan asal-usulnya (kosmologi).

Ketika Liga Astronomi—federasi astronom amatir paling besar di dunia—menyatakan tanggal 10 Mei sebagai Hari Astronomi, hari itu ada ribuan orang yang menggunakan teleskop atau mata telanjang mengarahkan pandangan ke langit.

Dengan pendahuluan seperti dikutip di awal tulisan ini, Hudgins menulis bahwa manusia primitif melihat Bumi yang datar diselimuti cungkup (canopy) ajaib yang tak jauh dari atas kepala. Mereka membayangkan pola-pola bintang tetap di langit, seperti Orion Sang Pemburu, Cassiopeia Sang Ratu, dan sosok mitologi lainnya. Cahaya-cahaya yang beredar—disebut planet—adalah dewa-dewa, seperti Jupiter, Mars, dan Venus.

Lalu orang-orang Yunani kuno mulai menerapkan akal tatkala mengamati langit. Mereka lalu mengerti bahwa Bumi bulat karena mereka melihat layar kapal menghilang di cakrawala, dan bayang-bayang Bumi di Bulan ketika terjadi gerhana bulan.

Dipicu oleh Renaisans dan Pencerahan, bertambah luaslah pengetahuan, dan pengetahuan yang diterapkan lalu menghasilkan teknologi, yang pada gilirannya menghasilkan pengetahuan lebih jauh. Ini terjadi ketika pada tahun 1605 Galileo mengarahkan alat baru—teleskop—ke langit. Ia melihat pegunungan di Bulan dan planet-planet yang mengembara merupakan bola seperti Bumi. Ia juga melihat Jupiter punya bulan-bulannya sendiri dan Venus memperlihatkan fase-fase.

Karyanya, bersama karya Copernicus, Kepler, dan Newton, memperlihatkan bahwa Matahari—dan bukan Bumi—lah yang merupakan pusat tata surya.

Dengan terus menatap langit, pada awal abad ke-20 orang pun tahu bahwa Matahari hanyalah satu dari jutaan—bahkan miliaran—bintang di galaksi yang besar. Ini bahkan diperluas oleh astronom Amerika Serikat, Edwin Hubble, yang dengan teleskop di Mt Wilson menemukan banyak galaksi. Ia juga menemukan bahwa semakin jauh galaksi, semakin cepat ia menjauh dari Bumi. Ia menyimpulkan, alam semesta mengembang!

Hubble yang besar jasanya dalam pengamatan antariksa jauh kini telah menjadi nama teleskop angkasa yang memperpanjang lagi jangkauan mata manusia sehingga berhasil dipotretlah benda-benda angkasa nun jauh di tepian alam semesta.

Daya tarik astronomi kini telah terentang melewati kaum profesional, dan ini pun, menurut Hudgins (dalam situs Objectivist Center), memperlihatkan bahwa umat manusia memiliki kapasitas untuk menikmati keelokan memesona langit malam.

Manusia urban bermandi cahaya kota yang gemerlapan, tetapi ia kehilangan cahaya yang membawa pesan-pesan kebesaran penciptaan. Cahaya dari masa lalu, jutaan bahkan miliaran tahun silam, yang telah menempuh jarak bukan saja miliaran, tetapi bahkan triliunan kilometer, sungguh sarat dengan pesan. Memandang alam semesta bak menatap kalam ilahi.

Di hadapan kebesaran tiada tara itu, sensasi yang muncul adalah mysterium tremendum et fascinosum, misteri yang mencekam sekaligus memesona. Naluriah yang lalu muncul adalah perasaan "alangkah kecilnya aku dibandingkan semesta ini". Namun, mengikuti ajaran ahli astrofisika teoretis, Brandon Carter (yang mengemukakan Prinsip Antropik dalam Simposium di Krakow, Polandia, tahun 1973), manusia adalah saksi tak tergantikan atas keagungan itu. Jadi, kata Hudgins, ucapkanlah, "Betapa hebatnya umat manusia yang punya kemampuan dan teknologi untuk memahaminya."

Akhirnya, janganlah berhenti pada mencari hilal.

Sumber : kompas.com

Photo :http://2.bp.blogspot.com