Hidup Bersama Ala Rumah Adat Karo


Oleh : Ahmad Arif

Rumah adat Karo adalah satu lagi karya tradisi yang mempertegas bahwa rumah tak sekadar menonjolkan efisiensi fungsi ruang, tetapi juga tempat menumbuhkan nilai-nilai. Salah satunya "kebersamaan", yang merupakan nilai yang sangat kuat dipancangkan dari rumah adat Batak Karo di Sumatera Utara (Sumut).

Rumah dengan panjang 11 hingga 13 meter, lebar delapan hingga 10 meter, atau luas rata- rata 110 meter persegi ini, biasa ditempati empat hingga delapan keluarga. Jumlah keluarga dalam satu rumah selalu dalam bilangan genap. Satu rumah ditempati oleh empat, delapan, bahkan 16 keluarga.

Angka genap ini berkaitan dengan tungku memasak dengan kayu bakar di dalam rumah. Tiap tungku digunakan oleh dua keluarga sehingga minimal dua keluarga akan memakan makanan yang sama. Inilah prinsip dasar kebersamaan rumah adat Karo.

Tak hanya nilai kebersamaan dalam fungsi, dalam proses pembangunan, rumah Karo juga menonjolkan kebersamaan. Dimulai dari penentuan tapak, pemilihan kayu di hutan, hari baik untuk pendirian rumah, sampai pada pemasangan atap. Semuanya dilakukan bersama-sama dengan upacara-upacara ritual yang mengorbankan kerbau.

Struktur Bangunan Rumah Karo
Struktur bangunan rumah Karo terbagi atas tiga bagian, yaitu atap sebagai dunia atas (tempat yang disucikan), badan sebagai dunia tengah (tempat keduniawian), dan kaki sebagai dunia bawah (tempat kejahatan sehingga layak untuk tempat binatang piaraan). Dalam bahasa Karo pembagian ini disebut Dibata Atas, Dibata Tengah, dan Dibata Teruh.

Atap rumah biasa dibuat dari ijuk, dan pada kedua ujung atapnya terdapat segitiga, disebut ayo-ayo. Pada puncak ayo-ayo terdapat tanduk atau kepala kerbau, yang dipercaya sebagai penghubung antara dunia atas dan dunia tengah.

Rumah memiliki garis poros di mana pintu depan segaris dengan pintu belakang dengan arah hadap timur-barat. Seperti pada rumah Aceh, tinggi pintu rumah Karo selalu lebih rendah daripada ketinggian orang dewasa. Misalnya, di rumah-rumah adat di Kampung Lingga, ketinggian pintu hanya 150 sentimeter sehingga orang yang hendak masuk ataupun keluar rumah harus menundukkan kepala sebagai rasa hormat.

Salah satu kehebatan konstruksi rumah adat ini adalah tidak digunakannya paku dalam membangun. Pertemuan antarkomponen dilakukan dengan tembusan, kemudian dipantek dengan pasak atau diikat menyilang dengan tali. Dengan sistem konstruksi ini, nyatanya, rumah adat Karo mampu bertahan ratusan tahun. Bahkan, dengan sistem fondasi umpak - yaitu dengan menumpangkan tiang di atas batu- rumah adat ini juga tahan terhadap guncangan gempa.

Tradisi yang Luntur
Namun, karena alasan praktis, banyak warga kini enggan tinggal di rumah adat. Privasi yang terganggu karena tinggal bersama keluarga-keluarga lain adalah alasan utamanya. Di samping itu, biaya perawatan rumah sangat mahal, yang tak mampu dibiayai oleh penghuni yang rata-rata kini hidup dililit kemiskinan.

Kini, rumah adat Karo yang tersisa di Sumatera Utara terhitung belasan. Misalnya di Desa Lingga, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, dari delapan rumah adat yang tersisa tinggal dua rumah yang kini utuh, lainnya tak terawat dan terancam ambruk.

Di Desa Dokan, Kecamatan Merek, Tanah Karo, dari lima rumah adat yang masih tersisa, dua di antaranya dalam kondisi rusak. Salah satu rumah yang rusak itu bahkan sudah tidak bisa dihuni lagi karena dinding dan sebagian lantainya jebol.

Selain di Lingga dan Dokan, rumah adat Karo juga bisa ditemukan di Peceren, Serdang, Barusjahe, Juhar, Guru Singa, dan Cingkes. Namun, hampir semua rumah adat itu tinggal menunggu waktu untuk ambruk, dan kebanyakan tak ditempati lagi.

Pemilik rumah yang terdiri dari delapan keluarga itu memilih membangun rumah modern dari bahan batu bata atau kayu di sekitar rumah adat mereka. Sebagian penghuni bahkan meninggalkan desa dan menetap di luar daerah.

Terhadap perubahan tradisi hidup masyarakat Karo, yang semula ditopang kebersamaan menjadi lebih individual, barangkali memang tak bisa dihindari. Tak mungkin memaksa delapan keluarga untuk bersama-sama menempati rumah adat tersebut.

Namun, mahalnya biaya perawatan rumah seharusnya bisa diatasi. Pemerintah bisa membantu melestarikan wujud rumah adat ini, sebagai warisan arsitektur lokal yang mumpuni. Kompleks rumah adat yang masih tersisa ini mestinya juga bisa dikembangkan sebagai tempat wisata.

Sumber : www.kompas.com

Photo : http://forum.detik.com