Islamidar dan Seni Sampelong


Oleh : Mahdi Muhammad

"Mungkin ada yang masih bisa memainkan alat musik ini. Tetapi, mereka entah di mana sekarang. Anak-anak muda sekarang sudah jarang yang bisa memainkan kesenian ini. Ini yang menjadi kekhawatiran kami," ungkap Islamidar (66), pertengahan Mei 2007.

Dewan Kesenian Sumatera Barat, awal Maret 2007 lalu menyematkan gelar Maestro kepada Islamidar. Bersama sejumlah seniman asal Sumbar lainnya, seperti Sutan Sawir Mudo, Arby Samah, Wakidi (almarhum), Yusaf Rahman (almarhum), dan Rusli Marzuki Saria, Islamidar ditahbiskan sebagai maestro karena ketekunannya memainkan dan memelihara kesenian tradisional Sumatera Barat, sampelong.

Kesenian tradisional sampelong sendiri tak jauh berbeda dengan kesenian tradisional asal Sumbar lainnya, saluang. Keduanya merupakan bentuk kesenian tradisional berupa pengucapan syair atau pantun khas daerah Minangkabau, yang umumnya berupa rato` (ratapan) hingga pantun yang isinya percakapan sehari-hari.

Perbedaannya terletak pada instrumen yang digunakan untuk mengiringi pantun. Saluang adalah alat musik tiup menyerupai seruling bambu dengan empatlubang di batang buluhnya. Panjangnya 60-70 sentimeter. Cara meniupnya mirip seperti cara meniup mulut botol untuk mengeluarkan bunyi. Keempat lubangnya fungsional untuk memainkan irama saluang.

Adapun alat musik sampelong hampir mirip dengan saluang, tetapi panjangnya hanya 40-50 sentimeter. Selain itu, diameter bambu yang digunakan lebih kecil dibandingkan dengan saluang. Empat lubang di batang buluhnya tidak semuanya digunakan. Hanya tiga yang berfungsi. Satu lubang lagi hanya untuk improvisasi atau ornamesi.

Nada sampelong, menurut Islamidar, mirip dengan nada slendro dalam kesenian tradisional Jawa. Hanya saja, pada sampelong, ada dua nada turun seperempat, yaitu nada la dan mi.

Petani seniman
Kesenian tradisi bukanlah hal yang baru bagi Islamidar. Ia terlahir dari pasangan Jalaluddin, seorang juragan gambir dan Rabiana Ma`ruf, seorang petani, di wilayah Kanagarian Talang Maua, Kecamatan Mungka, Kabupaten Limapuluh Kota. Selain dikenal sebagai petani, orangtua Islamidar juga dikenal pintar memainkan alat musik.

Jalaluddin, sang ayah, pandai memainkan biola. Sedangkan Rabiana Ma`ruf, sang ibu, merupakan pemain gambus. Begitu pula nenek dan kakeknya adalah pemain musik talempong (semacam gamelan).

Islamidar terkenang masa kecilnya yang indah, di sebuah kanagarian yang dikelilingi oleh perbukitan di sebelah utara Kota Payakumbuh. Ibunya selalu mendendangkan sampelong menjelang tidur di malam hari.

loloklah sayang (tidurlah sayang)
loloklah lolok (tidurlah tidur)

"Biasanya ibu selalu menyanyikan pantun itu saat saya mau tidur. Saat sedang menjahit juga. Untuk mengusir sepi," tutur Islamidar.

Islamidar menjelaskan, kesenian sampelong biasanya didendangkan warga di wilayah Talang Maua saat pergi ke hutan untuk mengumpulkan getah gambir.

"Saat merebus daun gambir untuk diambil getahnya itulah para petani gambir mendendangkan sampelong," papar bapak lima anak ini.

Islamidar tidak pernah mengenyam pendidikan formal di bidang seni. Ia lebih banyak belajar tentang kesenian secara otodidak dari orangtuanya dan salah satu etek atau bibinya, Mardiana Ma`ruf. Yang dipelajari terutama cara berdendang dan memainkan musik gambus. Dari etek itu pulalah Islamidar bisa memainkan alat musik harmonium, ditambah dendang zikir maulid.

Keinginan Islamidar untuk mendalami seni musik terus bergolak. Laki-laki yang menikahi Tati Afrida pada tahun 1969 ini mengikuti kursus musik pada tahun 1974, yakni di Sanggar Sofyani di Kota Bukittinggi.

Di sanggar seni itu, Islamidar mendapatkan pelajaran mengenai cara membaca not balok dan memainkan alat musik lainnya, seperti akordion, harmonium, dan pianika. Di matanya, Sanggar Sofyani yang diasuh maestro musik tradisi Minangkabau, Yusaf Rachman, tidak hanya sekadar tempat berlatih musik.

Walau hanya enam bulan belajar seni musik di sanggar tersebut, kepuasan batin karena bisa bermain sekaligus belajar musik, baginya lebih penting.

Pelestarian
Laki-laki yang biasa dipanggil Tuen ini, hingga sekarang masih meyakini bahwa kesenian sampelong berasal dari rumpun yang sama dengan seni tradisi yang menggunakan alat musik tiup di Nusantara, seperti pada suku Tengger (Jawa Timur), suku Baduy (Banten), suku Bugis (Sulawesi Selatan), Dayak (Kalimantan), bahkan di beberapa wilayah di Thailand. Namun, hingga kini belum banyak penelitian mengenai ini.

"Ini berdasarkan kesamaan warna nada saja. Sebagian besar nadanya salendro, seperti yang digunakan gamelan Jawa," ujar Islamidar.

Seni sampelong, menurut Islamidar, saat ini semakin lama semakin ditinggalkan oleh para penggemarnya. Sedangkan seni tradisi saluang jauh lebih baik perkembangannya dibandingkan dengan sampelong.

Untuk melestarikan beberapa kesenian tradisional Minangkabau, seperti sampelong, basijobang (berdendang menggunakan korek api), saluang, dan talempong, Islamidar mendirikan kelompok seni Tolang Pitunang. Bersama lima anggotanya, Tolang Pitunang sudah berkeliling daerah di Sumatera Barat dan beberapa daerah lain di Indonesia.

Islamidar menyebutkan, saat ini sangat sulit untuk meneruskan keahlian berdendang sampelong. Dari lima anaknya, hanya satu, yaitu Ahmad Yuslim, yang dia didik untuk memainkan sampelong. "Sudah bisa sedikit-sedikit. Harus terus diasah," ujarnya.

Minimnya minat anak muda Minangkabau untuk mempelajari seni tradisinya, membuat Islamidar khawatir tentang masa depan sampelong. Keberadaan sekolah-sekolah seni formal, menurut Tuen, juga tak banyak menolong upaya pelestarian seni tradisi yang hampir punah ini karena sering kali melenceng dari filosofi asalnya. Untuk itulah, Tuen yang mantan guru Kesenian di SD ini lebih percaya untuk mengembangkan dan mengajarkan kesenian tradisi di kalangan siswa sekolah.

"Dari merekalah kelak kesenian ini diharapkan bisa berkembang. Dengan mengenalkannya sejak awal, akan membuat mereka mencintai kesenian tradisi dari tempat mereka lahir," ujarnya mantap.

Penjaga Sekolah Sekaligus Guru
Islamidar tak pernah mengecap pendidikan formal yang tinggi. Saat menginjak kelas I Sekolah Menengah Pertama, suami Tati Afrida ini terpaksa keluar karena mata kirinya mengalami kebutaan. Hingga saat ini, Islamidar hanya menggunakan mata kanannya untuk membaca atau untuk kegiatan lainnya.

Saat memasuki bangku sekolah dasar, ia pun termasuk terlambat, yakni pada usia 10 tahun. "Secara fisik, kesehatan saya tidak mendukung," ujarnya. Meski demikian, Tuen lulus pendidikan dasar.

Meski tidak sempat mengecap pendidikan formal lebih tinggi, laki-laki kelahiran Nagari Talang Maua, Kecamatan Mungka, Kabupaten Limapuluh Kota, 16 Juli 1941 ini, hingga akhir tahun 2006 dipercaya mengajar beberapa mata pelajaran di Sekolah Dasar Negeri 02 Talang Maua. Mata pelajaran yang diberikan kepada para muridnya adalah Matematika, Agama Islam, dan Kesenian tentu saja.

Islamidar menerangkan ihwal dia diangkat menjadi guru. Pada tahun 1960-an, di kecamatan tempat tinggalnya tak banyak orang yang bisa diandalkan untuk mengajar. Seorang tetua lalu mengusulkan kepada dinas pendidikan setempat agar memanfaatkan ilmu yang dimiliki oleh Tuen untuk mengajar anak-anak. "Karena tidak memiliki bekal ilmu sebagai pengajar, saya diangkat sebagai penjaga sekolah. Selain menjaga sekolah, saya juga bertugas sebagai pengajar," paparnya.

Ayah dari Farida H, Ahmad Yuslim, Rahmi Lenggogeni, Deri Gantosori, dan Renti ini menuturkan, setelah lebih dari 20 tahun mengabdi, pada tahun 1982 Islamidar diangkat sebagai pegawai negeri sipil golongan IA, dengan gaji sebesar Rp 9.600.

Sejak Agustus tahun 2006, Islamidar sudah menjalani masa persiapan pensiunnya sebagai PNS golongan IIA dengan gaji Rp 1.300.000. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, Tuen dan istrinya mengelola sebuah warung di muka rumahnya. Selain itu, Tuen juga masih rajin mengisi berbagai acara kesenian di berbagai kota di Sumatera Barat, termasuk dua kali dalam sepekan di Bukittinggi.

Sumber : www.kompas.co.id

Photo : http://3.bp.blogspot.com