Tradisi Ruwatan Dalam Masyarakat

Oleh : Dra. Enden Irma R.

Dalam masyarakat modern, masih banyak kita temukan berbagai aktivitas upacara ritual yang mendapat pengaruh dari dari kebudayaan pra Hindu, Budha, Islam. Upacara-upacara tersebut antara lain :

Upacara Selamatan dan Syukuran
Koentjaraningrat (1984) dalam bukunya Kebudayaan Jawa, membagi upacara ini menjadi dua bagian atau jenis, yaitu upacara selamatan di mana orang-orang yang melaksanakannya merasakan getaran emosi yang muncul dari suatu keyakinan keagamaan yang murni dan perasaan khawatir terhadap hal-hal yang tidak diinginkan. Upacara yang tidak keramat dimaksudkan hanya memelihara kerukunan sosial atau merayakan suatu peristiwa kebahagiaan.

Upacara Sepanjang Lingkungan Hidup
Upacara ini merupakan serangkaian upacara yang erat kaitannya dengan kehidupan individu masyarakat dari mulai dalam kandungan hingga ia meninggalkan dunia yang fana ini. Dalam sepanjang kehidupannya ini dipercaya ada saat-saat yang khusus harus melaksanakan upacara ritual. Upacara-upacara yang dimaksud antara lain:

Upacara tujuh bulanan atau tingkeban.
Upacara tingkeban diadakan oleh orang yang sedang hamil yang usia kehamilannya telah menginjak bulan ketujuh. Biasanya dilakukan pada tanggal yang memiliki angka tujuh pula, seperti tanggal tujuh, tujuh belas dan dua puluh tujuh (H.R. Hasan Mustapa, Penerjemah Maryati S, 1996: 17).

Pada upacara ini disediakan berbagai macam makanan dan lalab-lalaban, kecuali makanan dari hewan yang disembelih. Selain itu disediakan juga bunga tujuh macam (warna), bunga pinang (mayang), sebutir kelapa muda yang berwarna kuning serta yang paling menonjol adalah adanya rujak kanitren (bukan yang manis-manis) atau yang sekarang lebih dikenal dengan rujak tujuh bulan.

Upacara Penguburan Ketuban Bahasa Sunda Bali
Upacara yang dilakukan setelah bayi lahir yang biasa diikuti oleh ketuban. Ketuban yang keluar bersama bayi ini tidak sembarang dibuang di senbarang tempat, tetapi melalui suatu proses upacara ritual yang sakral. Hal ini sehubungan dengan anggapan yang muncul di masyrakat bahwa ke-tuban ini merupakan adik dari si bayi, maka kalau ketuban ini dibuang sembarangan akan mengakibatkan terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan terhadap si bayi.

Dalam proses pembuangannya, ketuban ini disimpan di dalam kendi, yang kemudian dikuburkan bersama bumbu-bumbu dapur sebagai sesaji dan di atasnya ditanami hanjuang dan jawer kotok serta diberi udara melalui kelekan yang setengahnya terkubur tanah dan sebagian lagi muncul dipermukaan tanah.

Upacara Puput Puser dan Pemberian Nama
Setelah bayi berusia kurang lebih tujuh hari, tali pusarnya puput atau terlepas. Maka biasanya diadakan upacara puput puser yang sekaligus dengan upacara pemberian nama.

Upacara Kekah dan Pemotongan Rambut
Upacara ini sebenarnya merupakan kewajiban yang tertuang dalam agama Islam sebagai rasa syukur kepada Allah SWT. tetapi masuk pengaruh lain seperti kepercayaan bahwa rambut bayi yang dipotong harus ditimbang dan berat timbangannya dihitung dengan harga setara harga logam mulia serta selanjutnya dibagikan kepada fakir miskin.

Upacara Khitanan dan Gusaran
Upacara khitanan masih ada sangkut pautnya dengan syariah agama Islam. Khitanan dilaksa-nakan bagi anak laki-laki, sedangkan bagi perempuan dikenal dengan istilah gusaran. Upacara ini bi-asanya diikuti dengan hajatan ramai meskipun mengenai hajatan ini tidak memiliki landasan ke-harusan dalam syariah agama.

Upacara Ritus Kematian dan Pemakaman
Dalam masyarakat, upacara ini terdiri dari beberapa kegiatan, yaitu kegiatan pada hari H-nya, yang berupa prosesi pemakaman terhadap orang yang meninggal, tujuh hari setelah orang meninggal, empat puluh harinyan, seratus harinya, dan sampai seribu hari setelah orang meninggal (Koen-tjaraningrat, 1984 : 348). Kadang-kadang dari hari pertama sampai ketujuh diadakan selamatan yang dikenal dengan istilah tahlilan.

Upacara Tahunan
Selain upacara selamatan yang berbentuk makan-makan dan upacara-upacara sepanjang lingkaran hidup, dalam tradisi masyarakat ditemukan upacara-upacara yang kegiatannya bersipat rutin dan diikuti oleh masyarakat bersama-sama. Upacara - upacara tersebut ada yang berkaitan dengan peristiwa agama dan adat. Upacara yang berkaitan dengan perayaan agama Islam, misalnya : perayaan tahun baru Islam. Perayaan ini di Ranca Kalong Sumedang di-meriahkan dengan tradisi bubur sura, perayaan maulud nabi, perayaan Isra Mi’raj, dan lain-lain. Contoh lain perayaan yang berkaitan dengan tardisi adalah peristiwa bersih dusun dan sekatenan.

Upacara Khusus
Upacara semacam ini berkaitan erat dengan hal-hal yang bersifat khusus, misalnya upacara ruwatan. Upacara ini diadakan berkaiatan sehubungan dengan pertanda jelek ada satu individu, tempat, atai bangunan. Untuk lebih jelasnya akan peneliti bahas pada poin khusus di bawah ini.

Tradisi Ruwatan
Secara Etimologi ruwatan berasal dari kata “ ruwat “ yang memiliki arti “luwar“ atau “lepas“, dilepaskan dan dibebaskan Sri Mulyono (1983). Secara definitive ruwatan bermakna suatu upacara untuk membebaskan orang dari nasib buruk atau malapetaka yang akan menimpanya (Kamus Besar Bahasa Indonesia, Ed. II, 1995).

Menurut upacara ritual se-macam ruwatan ini merupakan warisan budaya pra-Islam yaitu masa animisme-dinamisme-totemisme, dan hindu-Budha yang cenderung kearah mistis dan kemudian berbaur menjadi satu serta diakui sebagai agama Islam, Koentjaraningrat (1984). Namun tidak semua muslim percaya dan menjalankan konsep-konsep pra-Islam ini. Akibatnya dalam masyarakat Jawa khususnya, berkembang dua variant agama Islam, yaitu sinkretis dan Islam puritan (koentjaraningrat, 1984: 310). Islam sinkretis yang kemudian diistilahkan dengan agami Jawi merupakan penganut Islam yang terpengaruh banyak oleh hal-hal yang bersifat mistis. Mereka masih menjalankan syariah agama tetapi tidak sepenuhnya. Islam puritan merupakan penganut agama Islam yang lebih taat ter-hadap ajaran agamanya, meskipun tidak terlepas sama sekali dari penganut pra Islam.

Selanjutnya Koentjaraningrat mengatakan bahwa :
“Upacara ngruwat merupakan suatu upacara yang khas agami jawi dan dimaksudkan untuk melindungi anak-anak dari bahaya-bahaya gaib yang dilambangkan oleh tokoh Bhatara Kala yakni dewa kehan-curan” (Ibid: halaman: 376).

Mengenai cerita murwakala dan ruwatan di Jawa, R.S. Su-balidinata yang dikutif oleh R.M. Ismunandar (1988: 49) menge-mukakan bahwa :

“Cerita ruwatan semula berkembang di dalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah penyucian, yaitu mengenai pem-bebasan dewa bernoda menjadi suci atau dewa yang menjadi makhluk bukan dewa, yang hidup sengsara kemudian menjadi dewa kembali dan hidup bahagia.”

Dari kedua keterangan di atas, peneliti menemukan semacam dua alur histories yang berbeda. Pendapat Koentjaraningrat me-ngenai kegiatan ruwatan yang disebutkan sebagai kegiatan penting dari Agami Jawi merupakan pernyataan bahwa upacara ini sebagai upacara ritual yang tek terlepaskan dari msyarakat khususnya yang termasuk goongan Agami Jawi. Tetapi ketika dihadapkan pada realitas akan terasa samara karena masyarakat yang dituduh sebagai Agami Jawi ini akan menolak sebab mereka pun melaksanakan syariat agama Islam seperti yang diungkapakan oleh Koentjaraningrat.

Di pihak lain apabila ruwatan itu hanya berkembang dalam cerita jawa juno, mengapa kegiatan ini begitu lekat dengan kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya. Kepercayaan tersebut seolah-olah merupakan bagian tidak terpisahkandari tatanan social, agama, dan ritual masyarakat. Masalah ini muncul apabila pe-maknaan kata cerita yang diung-kapakan Ismunandar sebatas percakapan dari mulut ke mulut sebagai pola perilaku-perilaku pewarisan budaya yang umumnya berkembang di Indonesia sebelum munculnya budaya tulis, maka akan terlihat semacam benang merah dari data yang diajukan oleh Koentjaraningrat dan Ismu-nandar itu.

Mengingat perselisihan diatas memiliki perbedaan dan persamaan, untuk sementara tetap peneliti ajukan sebagai landasan dalam perkara upacara ruwatan karena sebetulnya validitas ke-terangan itu tergantung kepada obyektivitas penelaahan masing-masing pembaca serta dari sudut pandangan mana kita memandangnya. Selain itu, literatur lain yang lebih konprehensif belum ditemukan.

Ismunandar (1984: 49) mengatakan bahwa : “Ruwatan dalam adat jawa berkembang menjadi upacara adat yang didukung oleh kebudayaan wayang dengan cerita lakon Muewakala.“ Dalam murwakala atau ruwatan biasanya disajikan cerita Dalang Karururngan atau Dalang Kandhabuana ter-dapat beberapa tokoh sentral, yaitu Bhatara Kala, sang batara yang menimbulkan kerusakan dan kehancuran serta ketakutan, Dewa Wisnu yang menjadi Dalang Kandhabuana (Sri Mulyono, 1983: 38), serta orang-orang yang harus diruwat. Menurut Ismunandar (1988: 50) orang-orang itu di-sebut dengan istilah Sukerta.

Secara singkat cerita mur-wakala adalah sebagai berikut :
Sebagai awal cerita dikisahkan Batara Guru sedang bercengkrama bersama Dewi Uma dengan naik lembu Andini pada suatu sore nan indah. Melihat wajah sang istri pada saat demikian terasa lebih cantik, maka timbul hasrat Batara Guru untuk bersatu rasa. Tetapi karena merasa malu, Dewi Uma menolak, maka jatuhlah benih Batara Guru ke laut yang disertai angin topan dan badai.

Pada saat mani “sotya” kama (salah) hendak jatuh ke laut, ia berbentuk benda bercahaya ke-milauan. Kemudian Batara Guru menyurah memusnahkan benda itu, namun semua dewa tidak ada yang dapat memusnahkannya bahkan benda itu berubah menjadi janin dan dapat mengalahkan semua dewa.

Ketika Batara Guru sedang dihadap oleh para dewa, datanglah Batara Brama yang dikejar janin tadi. Sesampainya dihadapan Batara Guru janin itu dipotong ari-arinya dan jadilah ia makhluk yang tidak sempurna wujudnya, disertai beberapa makhluk halus. Ia diakui jadi anaknya, serta diberi nama Kalarandhu. Taringnya dipotong jadi keris kalanandhah dan kaladete. Kemudian Kalarandhu disuruh bertapa di Nusakambangan.

Melihat kenyataan ini Batara Guru marah pada Dewi Uma sehingga Dewi Uma dikutuk menjadi raksasa dan diberi nama Durga serta disuruh menjadi istri Kala, yang nantinya kembali jadi dewi setelah diruwat oleh Sadewa putra bungsu Pandu. Kemudian sebagai ganti istrinya, Batar Guru menciptakan Dewi Laksmi dari cahaya cemerlang (teja).

Selanjutnya Batara Guru menyuruh para dewa untuk me-mangil Batara Narada yang sedang bertapa di laut. Namjun ia menolak dan akhirnya Batara Guru sendiri yang memanggilnya. Hal ini dlilakukan karena Batara Narada memiliki ilmu Kawruh Sejatining Urip (ilmu tentang hakekat atau kesejahteraan hidup ).

Pada saat yang sama Batara Kala menimbulkan huru-hara di laut, ia memakan segala sesuatu yang ia temui di laut. Sehingga kemudian laut manjadi kacau. Tetapi diingatkan oleh Batara Gangga dengan mengatakan bahwa Kala pun dilahirkan di laut.

Akhirnya Kala sadar, kemudian ia pergi ke kahyangan dan meminta makanan kepada Batar Guru. Kemudian Batra Guru menetapkan bahwa Kala boleh makan bila surya tumampang arka (tepat tengah hari) dan be-berapa jenis manusia yang boleh dimakan yang disebut sukerta. Pada saat menghadap Kala tidak berpakaian, maka ia diberi pakaian oleh Narada.

Batara Narada melihat bahwa makanan Kala teralalu laus, maka ia harus dinasehati oleh Narada mengenai Kawruh Sejatining Urip dan ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi.

Sementara itu, Lelangdarma dan Lelangdarmi dua saudara kembar yang termasuk sukerta atas petunjuk ayahnya mencari dalang yang dapat meruwat. Tetapi di perjalanan ketika tengah hari mereka bertemu Kala. Karena mereka termasuk sukerta, maka Kala hendak memakan mereka. Pada mulanya mereka melawan sekuat tenaga namun akhirnya melarikan diri karena merasa kewalahan. Pada saat Kala me-ngejar Lelangdarma dan Lelang-darmi, ia memakan manusia yang termasuk dalam sukerta dan akhirnya terhadi kekacauan di dunia.

Melihat hal itu, Batara Guru merasa prihatin. Diutuslah Dewa Wisnu yang bertugas mamayu hayuning jagat yaitu memelihara perdamaian dunia menjadi Dalang Krurungan dengan sebutan Dalang Kandhabuana untuk mengajarkan Kawruh Sejatining Urip agar dunia menjadi tentram, bersama istrinya dan dewa-dewa lainnya.

Ki Buyut dan istrinya yang sama-sama anak tunggal menghadap kepada Dalang Kandha-buana meminta diruwat. Permintaanya dikabulkan, maka diadakanlah pertunjukan wayang untuk meruwat suami istri tersebut. Dalangnya Dewa Wisnu yang menyamar, istrinya menjadi juru sekar dan dewa-dewa yang lain menjadi pangrawit.

Lelangdarmia dan Lelangdarmi yang dikejar-kejar Kala akhirnya sampai di tempat itu dan sem-bunyi diantara para pangrawit. Kemudian Kala sampai juga ke tempat itu, ia tertarik oleh sajian dalang hingga ia berhenti mengejar dan ikut menonton pergelaraan wayang.

Perasaan Kala semakin tergugah tatkala menyaksikan ki dalang sedang meruwat makhluk-makhluk halus yang ada di senthong kiwa dan sethong tengen. Melihat hal itu, kala ingin diruwat dan akhirnya disetujui oleh ki dalang.

Ki dalang membeberkan rahasia Kala, asal mula, cirri-ciri, dada, dahi, dan punggungnya yang dikenal dengan rajah Kalacakra dan ia mengajarkan kesejatian hidup. Maka secara tiba-tiba Kala menghilang atau lenyap (disarikan dari buku : Simbolisme, Miskisme Dalam Wayang : Sebuah Tinjauan Filosifis, Karya : Ir. Sri Mulyono, 1983 : 43-16).

Selain lakon dalang Karu-rungan, ada lagi lakon lain yang biasa digunakan dalam upacara ngruwat, yaitu Sudamala, Kun-jurakarma, Nawaruci, Karawqrama, dan lain-lain (Ismunandar, 1988: 51).

Kalau melihat alur cerita dan ketentuan-ketentuan yang termasuk ke dalam sukerta, dapat disimpulkan bahwa upacara ngruwat hanya berhubungan dengan keselamatan manusia dalam arti nyawa. Padahal dalam realitasnya tidak sebatas hubungannya dengan nyawa tetapi mencakup semua aspek kehidupan, seperti yang diung-kapkan oleh Sri Mulyono (1983 : 31-32) sebagai berikut :

“Kebudayaan yang berbentuk wayang ini memang sudah mendarah daging dan telah manunggal dengan alam sekelilingnya, sehingga tidak mengherankan bahwa hajat menganggap wayang sering disangkutpautkan dengan kejadian jagat raya, misalnya diadakan pagelaran ruwatan yaitu suatu usaha atau upaya manusia untuk menolak bahaya dan malapetaka yang diramalkan akan menimpanya. Misalkan pada perayaan bersih desa. Pada acara tersebut diharapkan agar bumi jangan ter-guncang, air jangan meluap, hama wereng, tikus jangna menyerang padi, penyakit jangan melanda dan sebaliknya diharapkan agar tanaman menjadi subur, keluarga desa sejahtera dan berbahagia.”

Daftar Pustaka
Koentjaraningrat, 1984, Kebudayaan Jawa, Jakarta : Balai Pustaka;

Sri Mulyono, 1983, Simbolisme dan Mistikisme dalam Wayang : Sebuah Tinjauan Filosofi, Jakarta : Gunung Agung;

R. M. Ismunandar, 1988, Wayang : Asal Usul dan Jenisnya, Semarang : Dahara Prize;

Dra Enden Irma R. adalah tenaga peneliti Balai Pelestarian Sejarah dan Nila Tradisional Bandung Departemen Kebudayaan dan Pariwisata