Awal April 2005, masyarakat Nias masih pada masa puncak kekhawatiran dan ketakutan akibat bencana gempa yang melanda 28 Maret lalu. Lebih dari 600 warga Nias meninggal dan ratusan lainnya luka-luka, kehilangan sanak keluarga serta pekerjaan.
Warga yang selamat sibuk dengan diri sendiri berusaha untuk tetap hidup. Mereka mengungsi di berbagai tempat, berusaha terus menjaga jarak dari rumah atau bangunan tertentu agar tak tertimbun jika sewaktu-waktu gempa mengguncang kembali. Namun, tidak demikian dengan sedikit pengurus Museum Pusaka Nias (MPN), Gunung Sitoli, Kabupaten Nias.
Dikomandoi oleh Johannes Maria Härmmerle, pengurus MPN berusaha mengamankan koleksi dan bangunan museum sejak hari pertama pascabencana. Sosok bule ini tampak menonjol di antara orang-orang yang sore itu pada pekan pertama bulan April berkumpul di halaman Kantor Museum Pusaka Nias. Mereka baru saja membersihkan paviliun tempat pajang koleksi yang porak-poranda akibat gempa.
Ketegasan dan keriangan yang selalu menyertai setiap tindakan serta ucapan pastor asal Jerman itu tidak mampu menutupi kesedihan akibat rusaknya koleksi museum. Dalam bahasa Indonesia yang lancar ia menceritakan nasib malang yang menimpa koleksi benda-benda tinggalan budaya Nias yang berumur ratusan tahun itu.
“Kami baru saja membersihkan bangunan utama museum tempat koleksi dipamerkan. Banyak sekali pecahan kaca menghampar di lantai. Beberapa patung kuno dari kayu dan juga dari batu patah, bahkan ada yang pecah berhamburan. Rusaknya koleksi menyebabkan hilangnya nilai historis, seni, dan budaya Nias yang tak tergantikan,” kata Johannes Maria Härmmerle.
PRIA yang lahir 9 Juli 1941 dan masih tampak bugar ini menceritakan berbagai jenis tinggalan budaya berusia ratusan tahun yang tersimpan di Museum Pusaka Nias. Museum ini memiliki sekitar 6.500 koleksi tinggalan budaya Nias.
Memang secara umum masih dapat diselamatkan dari bencana gempa, tetapi tak urung terdapat ratusan koleksi yang rusak. Total kerugian materi mencapai puluhan miliar, tetapi diyakini kerugian akibat hilangnya nilai-nilai historis dan budaya tak terhitung.
Jenis-jenis koleksi MPN, antara lain, tinggalan megalitik berupa arca menhir, menhir, dan altar batu. Tinggalan megalitik tertua diperkirakan berasal dari 500-600 tahun lalu. Koleksi lainnya yang berusia sekitar 100 tahun lalu meliputi pahatan patung kayu, alat musik, peralatan dapur dari kayu maupun dari gerabah, pakaian dari anyaman rerumputan, kulit kayu, dan sejumlah barang berfungsi religius maupun peralatan sehari-hari lainnya.
Museum yang dikelola yayasan swasta terlepas dari pemerintah setempat ini didirikan tahun 1991. Johannes Maria Härmmerle, seorang pastor warga negara Jerman, merintis berdirinya museum ini sejak tahun 1972, berbarengan dengan kegiatannya sebagai misionaris yang mengharuskannya memasuki daerah-daerah terpencil di Nias.
Ia mengumpulkan benda-benda peninggalan budaya Nias, yang kemudian menjadi koleksi museum. Benda-benda itu didapatkannya dari berbagai pelosok Nias, termasuk dari daerah Nias Selatan, Nias Tengah, dan Kabupaten Nias.
Lebih dari 30 tahun lalu Johannes Maria Härmmerle muda baru saja menapakkan kakinya di Nias. Sebagai orang baru, ia cepat menemukan fakta perubahan drastis dalam pola pikir masyarakat Nias.
Masuknya agama baru membuat masyarakat berpandangan, berhubungan dengan apa pun yang terkait dengan kepercayaan lama yang pernah dianutnya adalah dosa. Kala itu, usaha penghancuran tinggalan budaya berupa patung atau alat-alat pemujaan marak dilakukan warga sendiri.
Seniman-seniman Nias yang melahirkan karya-karya patung kayu, baik untuk sarana pemujaan nenek moyang maupun sekadar hiasan rumah adat, tiba-tiba menghentikan aktivitasnya. Pemeliharaan terdapat peninggalan megalitik yang pernah dianggap sebagai penghubung antara manusia dan dunia roh serta-merta terhenti. Hanya rumah-rumah adat saja yang tetap dipertahankan sebagaimana fungsinya sebagai tempat tinggal.
Härmmerle juga melihat situasi ini dimanfaatkan orang-orang luar Nias untuk mengeruk keuntungan berlipat. Calo-calo benda antik dari dalam dan luar negeri berdatangan ke Nias dan membeli murah peninggalan budaya yang sebenarnya bernilai material amat tinggi itu.
PRIHATIN melihat Nias yang semakin kosong dari benda-benda bernilai seni tinggi hasil karya sendiri dan pemiskinan kreativitas masyarakat akibat pemahaman agama baru yang masih minim, memicu Härmmerle untuk mencegahnya.
Mula-mula ia meminta warga yang ingin membuang benda-benda pemujaan agar memberikan saja kepadanya. Awalnya warga memberikan secara cuma-cuma. Tetapi, dengan maraknya jual-beli benda antik di Nias, warga mulai pasang harga. Härmmerle kelimpungan menghadapi kenyataan ini karena uang bukanlah hal yang banyak dimiliki seorang pastor seperti dirinya.
Melihat kenyataan makin tak terbendungnya perdagangan ilegal peninggalan budaya Nias, akhirnya Härmmerle sekuat tenaga berusaha membeli barang-barang sarat nilai itu. Ia pun mulai menghimpun bantuan dari sana-sini, khususnya dari relasinya sesama pemerhati budaya asal Jerman.
Dua puluh tahun kemudian, hasil jerih payahnya terkumpul amat beragam dan berjumlah ribuan. Muncullah masalah penyimpanan, yang kemudian mengilhaminya membuka sebuah museum. Realisasi ide ini bukanlah hal mudah karena mewujudkan museum berisi benda-benda yang dianggap bertentangan dengan agama banyak ditentang sesama rekan dalam kegiatan keagamaannya.
Hanya didukung segelintir sahabat, Härmmerle berkeras membuka museum. Ia mengawasi sendiri pembangunan lahan milik gereja dari Ordo Kapusin. Dari sekadar ruang sempit untuk menyimpan koleksi, keuletan Johannes dari tahun ke tahun membuahkan hasil. Museum yang dirintisnya kini menempati bangunan permanen terdiri dari empat paviliun dan didukung fasilitas lain, seperti taman dengan koleksi tanaman langka dan burung beo khas Nias, taman laut, dan tempat sederhana yang menyediakan makanan bagi pengunjung.
Di usianya yang hampir 65 tahun, Härmmerle tetap bersemangat dan yakin MPN tidak akan tutup. “Sulit memang mempertahankan museum, yang juga berarti mempertahankan kelestarian budaya Nias. Namun, kami tetap yakin usaha kami tidak sia-sia dan bantuan akan datang. Museum ini adalah milik warga Nias yang menelurkan karya-karya seni hebat. Tentunya, dukungan warga Nias sendiri dan para pemerhati budaya asli Indonesia akan amat berarti bagi kelangsungan museum ini,” kata Härmmerle.