Bo Sangaji Kai

Kedatangan Pangeran Bernard dan Duta Besar Belanda Van Dongen ke Bima pada 1984 membidani kelahiran kembali Bo Sangaji Kai

Kala itu, Hajjah Siti Maryam Salahuddin, salah satu putri Sultan Bima terakhir Muhammad Salahuddin, diminta pemerintah untuk mempersiapkan semacam pameran benda-benda peninggalan Kerajaan Bima.

Maka, berbagai senjata, perhiasan emas dan permata dikeluarkan. Tapi Maryam merasa tidak puas. "Rasanya ada yang kurang tanpa kehadiran kitab Bo Sangaji Kai," ujar anak ketujuh dari sembilan bersaudara itu.

Dia kemudian mulai melakukan pencarian. Tidak sia-sia, akhirnya berhasil dikumpulkan dua peti naskah kuno. "Berserakan di mana-mana. Ada di banyak lemari dan banyak tempat di istana. Halamannya pun kacau, bahkan bagian terakhir ada yang rusak," cerita Maryam.

Naskah kuno yang dikenal dengan sebutan Bo Sangaji Kai itu pun dipamerkan. Menyedot perhatian Pangeran Bernard dan Van Dongen. Mereka, kata Maryam, tidak tertarik dengan emas permata. Bo Sangali Kai justru menjadi favorit.

Dalam sebuah pertemuan, Pangeran Bernard bertanya, "Apakah Anda sudah mempunyai kopi naskah untuk berjaga-jaga jika hilang atau rusak?" Maryam tersentak, menjawab jujur, belum.

"Saat itu saya malu sekali. Mengapa orang asing yang peduli dengan peninggalan Bima? Siang itu, saya langsung ke pasar mengopi semua naskah. Tapi tidak selesai karena terlalu banyak hingga membuat mesin fotocopy rusak. Akhirnya proses itu dilanjutkan di Mataram, Lombok," kenang Maryam yang sudah puluhan tahun tinggal di Mataram, hingga harus bolak-balik Mataram-Bima.

Kini, kopian naskah kuno sudah tersebar di beberapa tempat. Antara lain Perpustakaan Nasional dan museum di Belanda. Maryam masih menyimpan naskah asli.

Bo Sangaji Kai merupakan naskah kuno yang ditulis ulang pada abad 19. Antara lain menggunakan kertas dari Belanda dan China. "Ahli kertas pasti tahu karena di setiap lembarnya tercantum merek kertas yang digunakan," papar Maryam.

Terlepas dari itu, kerajaan di daerah yang kaya kuda ini memang punya tradisi kuat mencatat dan menyalin kejadian. Dilakukan terus-menerus selama berabad-abad. Terakhir ditulis dalam bahasa Arab Melayu. Perubahan dari aksara Bima ke Arab dilakukan setelah Islam masuk Bima. Dalam naskah tersebut tertulis, menggunakan `bahasa yang diridhoiAllah`.

Itulah sekelumit kisah kelahiran kembali Bo Sangaji Kai Keberadaannya menyentak ahli arkeologi dan filologi dunia. Di antaranya Henry Chambert Loir, filolog dari Prancis. Dia sangat terkejut ketika diberi tahu ada dua peti naskah kuno Bo Sangaji Kai. Gairah keilmuannya langsung memuncak.

Henry mendatangi Maryam. Bersama-sama mereka melakukan penelitian, kemudian melahirkan buku berjudul Bo Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Diterbitkan Ecole Francaise d`Extreme Orient bekerja sama dengan Yayasan Obor. Buku itu merupakan sumbangan besar dalam dunia sejarah. Namun, pekerjaan belum selesai. Jalan masih panjang. Sampai sekarang, banyak naskah kuno Bima yang belum tersentuh. (S-1)

Sumber : bima-ntb.blogspot.com