Oleh : Rina Dianti Hasan Sag
Balimau Kasai yang dilaksanakan sehari sebelum datangnya Ramadan selalu menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat, terutama dari mereka yang memandang pelaksanaan acara Balimau Kasai tersebut lebih merupakan suatu kegiatan hura-hura yang tidak ada relevansinya sama sekali dengan Ramadan yang suci dan penuh ampunan. Bahkan seorang teman saya yang menamatkan strata S1-nya di Universitas al-Azhar Kairo dan Magisternya di Malaysia ini menyatakan, acara Balimau Kasai malah akan merusak nilai kesucian dari bulan Ramadan itu sendiri sebagaiman rusaknya suatu nilai awal perkawinan oleh pesta bujang yang dilakukan para lelaki di negara Barat sebelum mereka menikah, karena saat pesta di akhir masa lajang itu sang lelaki memuaskan hasratnya dengan hura-hura bahkan wanita lain sebelum terikat perkawinan yang suci.
Statemen teman karib saya ini terasa sangat menyakitkan, namun saya juga tidak bisa membantah karena kalau dilihat dari kondisi dan pelaksanaan di Kampar yang ada saat ini ucapan teman tersebut memang ada benarnya mungkin lebih banyak benarnya, kegiatan Balimau Kasai saat ini lebih ditekankan kepada acara mandi bersama, bercampur baur antara lelaki dengan perempuan yang bukan muhrim, dan acara tersebut ditingkahi dengan musik dangdut yang diyanyikan artis dengan pakaian minim dan seksi, joget bersama. Pahit memang.
Tapi sebagai anak jati Kampar, setidaknya saya juga tidak bisa rela pemahaman bahwa Balimau Kasai memang kegiatan negatif dan mubazir, karena Balimau Kasai hakikatnya adalah sesuatu kegiatan budaya tradisi adat masyarakat Kampar sejak dahulunya, sejak adanya komunitas masyarakat di Kampar yang berada dalam persekutuan adat. Dan acara Balimau Kasai pada awalnya sangat sarat dengan nilai-nilai agama dan budaya yang luhur.
Saya masih ingat, ketika kami masih kecil bahkan hingga sekarang, Balimau Kasai merupakan hari yang ditunggu tunggu selain Hari Raya Idul Fitri, karena pada hari itu seluruh saudara, sanak dan kerabat yang jauh dan jarang dijumpai pulang kampung dan berkumpul. Pagi hari kami akan memulai kegiatan dengan merebus limau purut dan membungkus kasai (lulur) yang sudah dibuat beberapa hari sebelumnya, sementara ibu dan saudara perempuan yang lain sibuk masak lemang, dan aneka masakan, hari balimau juga hari kami menyaksikan masyarakat menyembelih kerbau selain Hari Raya Kurban, maka tak jarang periuk untuk merebus limau tadi kami tinggalkan begitu saja karena menonton masyarakat memotong kerbau untuk nanti dagingnya dijual ke masyarakat. Namun hari itu tidak akan ada Amak (ibu) yang marah karena anaknya meninggalkan tugas, hari itu semuanya bergembira maka maafpun dengan mudah didapat.
Makan siang di hari Balimau merupakan pesta besar, karena selain ada lemang dengan srikaya, lopek, kue-kue, juga aneka makanan lainnya, rendang kerbau dan sup tunjang juga sudah menunggu, para tetangga kanan dan kiri pun saling berbagi makanan. Kenduri kecilpun hampir terjadi disetiap rumah.
Usai Salat Zuhur, kami anak anak akan memakai pakaian paling bagus, dengan membawa rantang yang berisi limau yang sudah dibungkus dengan kasai, pergi berombongan ke rumah mamak, paman dan makcik saudara ibu serta ayah untuk mengantarkan limau dan rantang yang juga berisi makanan, di sana makanan pun sudah menunggu, setelah makan kami minta maaf atas segala kesalahan kepada kerabat tersebut, dan kami akan diberi nasihat bagaimana menjalankan puasa plus tip rajin belajar. Dan itu tidak hanya sampai di situ, ketika akan pulang mamak atau paman akan memberi kami uang menyambut Ramadan, tentunya dengan suka cita diterima, bahkan tak jarang kami takkan pulang sebelum mendapat uang limau tersebut.
Sore harinya, anggota keluarga laki laki akan Salat Ashar di masjid dan mereka akan mandi di Sungai Kampar dengan menggunakan limau yang dibawa oleh ponakan dan keluarga yang lain pula, sementara yang perempuan hanya boleh mandi di rumah, kalaupun mandi di sungai tempatnya berbeda dengan kaum pria. Tidak ada orgen tunggal, tidak ada musik dangdut dan tidak ada berenang bersama.
Kegiatan Balimau Kasai pada dasarnya adalah kegiatan masyarakat Kampar untuk menyucikan diri sebelum datangnya Ramadan, karena agama sendiri sudah menegaskan ada beberapa jenis puasa yang tidak akan diterima Allah SWT, pertama puasa anak yang belum minta maaf pada orang tuanya. Kedua puasa seorang istri yang belum minta maaf pada suaminya dan puasa seorang hamba yang belum minta maaf pada saudaranya yang lain.
Dalam rangka hubungan dengan manusia inilah, maka makna Balimau ini ditumpangkan, karena sejatinya, Balimau Kasai adalah suatu kegiatan silaturahmi masyarakat satu dengan yang lainnya, antara anak dengan ayah, antara adik dengan kakak, antara menantu dengan mertua, antara satu rumah dengan rumah yang lain. Pada hari itu semuanya saling mengunjungi dan meminta maaf, dan permintaan maaf itu disimbolkan dengan limau yang sudah direbus dan kasai (lulur) yang memang digunakan untuk mandi dan membersihkan badan secara fisik. Namun yang terpenting dari kegiatan Balimau
Dalam prosesi adat, pada hari Balimau ini semua ninik mamak yang terdiri dari penghulu (pucuk) para dubalang, kapakambai, malin dan anak keponakan saling berkumpul sebelum mandi, tapi ini hanya untuk lelaki, karena masa dahulunya mereka mencari penghidupan di tempat yang berbeda, ada yang ke hutan, ada yang ke ladang, ada yang merantau, maka sebelum Ramadan semuanya pulang. Pada hari Balimau mereka berkumpul dan berbincang bincang bagaimana mengisi Ramadan dan biasanya dibicarakan persoalan persoalan kampung, serta langkah pembangunan masyarakat dan tak jarang keputusan penting tentang kampung lahir dari situ. Dalam acara itu tidak ada satupun perempuan karena acara itu hanya untuk kaum laki laki.
Namun sekarang kondisi itu sudah jauh bergeser, Balimau Kasai sudah menjadi kegiatan hura hura yang lebih kepada penimbunan dosa sebelum masuknya Ramadan. Namun sebagai orang bijak, tidak seharusnya memvonis bahwa Balimau Kasai sudah salah dan tidak benar sama sekali.
Ada beberapa faktor penting yang juga mesti disikapi banyak pihak dengan arif, pertama nilai-nilai agama dan adat itu sendiri, karena pendidikan agama dan adat sudah sangat jauh dari kurikulum pendidikan, apalagi kalau dibandingkan dengan kurikulum umum, orang tuapun sangat sedikit yang mengenalkan dan menjelaskan tentang adat ini kepada anak anak mereka, karena banyak dari orang tua saat ini yang juga buta dengan adat itu sendiri.
Faktor kedua adanya dorongan langsung dari pemerintah, tanpa mengecilkan niat pemerintah untuk mengembangkan pariwisata, tapi hendaknya bijak untuk menjadikan suatu kegiatan adat sebagai suatu kegiatan wisata yang dijual ke publik, karena pondasi adat dan budaya masyarakat sekarang tidak lagi kokoh. Dan faktor yang ketiga adalah pihak luar, kegiatan Balimau Kasai saat ini lebih banyak dinikmati dan dilaksanakan oleh masyarakat dari luar Kampar, sehingga mereka yang tidak memahami hakikat dan makna Balimau Kasai itu sendiri memang mengabaikan dan menghilangkkanya, sementara masyarakatpun dengan bodohnya membiarkan hal itu.
Di sinilah saya jelaskan pada teman saya tersebut, bahwa ada sisi lain yang mesti disikapi dengan bijak daripada hanya menhujat bahwa Balimau Kasai itu salah dan dosa.
Rina Dianti Hasan S.Ag, adalah wartawan Riau Pos bertugas di Kampar.
Sumber : www.riauserantau.com