Penulis mengemukakan bahwa bahasa Melayu adalah pilihan yang tepat untuk membangun bangsa Melayu. Tindakan yang diperlukan sekarang adalah menerjemahkan seluruh ilmu-ilmu modern ke dalam bahasa Melayu, sehingga bahasa Melayu mampu menjadi media pembangunan ilmu. Cara yang harus diambil untuk ke arah itu ialah segera mentransformasikan bahasa Melayu dari sifat estetis-metafisisnya ke rasionalis-positivis.
Bahasa Melayu pada hari ini menghadapi berbagai masalah. Masalah terpenting yang kini sedang terjadi, meskipun kita enggan mengakuinya, ialah krisis ilmu. Kita sama sekali tidak peduli terhadap krisis nasional, yaitu kemuflisan ilmu dalam bahasa Melayu. perpustakaan kita kosong dari bahan-bahan lektur (buku-buku ilmiah) dalam bahasa Melayu, dan keadaan ini lebih tepat diistilahkan sebagai kemuflisan atau kebangkrutan ilmu.
Pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar sistem pendidikan kita menyebabkan timbulnya gejala pada mahasiswa di universitas-universitas kita yang semata-mata bergantung pada diktat para dosen dan tidak berupaya untuk membaca ilmu-ilmu yang tertulis dan tersimpan dalam perpustakaan-perpustakaan universitas, karena buku-buku itu masih berbahasa Inggris. Dengan keadaan yang demikian, ilmu di negara kita disebarkan melalui media pendidikan formal. Padahal hal tersebut hanya sebagian kecil dari media yang seharusnya digunakan untuk membangun bangsa.
Walau terasa pahit, satu hal yang harus kita terima sebagai kenyataan ialah pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dalam sistem pendidikan kita yang telah menyebabkan terjadinya proses degradasi (kemunduran) ilmu, yaitu dari keadaan tradisi ilmu tertulis dalam bentuk kepustakaan bahasa Inggris ke keadaan ilmu lisan dalam bentuk kuliah-kuliah dalam bahasa Melayu. Dengan kata lain, hari ini hampir tidak ada ilmu yang tercatat dalam bahasa Melayu, yang ada tinggal ilmu yang ada di kepala para dosen universitas yang disampaikan kepada mahasiswa dalam kuliah-kuliah lisan.
Pada tingkat kelambatan “lintas ilmu” yang ada sekarang, bahasa Melayu hanya mendapat sisa-sisa basi dari perkembangan dan pencapaian yang dilakukan dunia luar. Beberapa terjemahan yang kita lakukan hanya dapat dibaca setelah buku-buku asalnya dianggap ketinggalan zaman. Apalagi kita hanya mampu melakukan lintas ilmu yang terlalu lemah, semata-mata dari bahasa Inggris, sedangkan dunia sudah menyadari bahwa hanya 50% ilmu dunia modern yang dapat dibaca di dalam bahasa tersebut. Kalau sekarang kita memang sedang menuju kepada dasar pintu yang tertutup, maka pintu itu semakin dipersempit lagi dengan ketergantungan kita kepada satu sumber bahasa ilmu saja.
Keadaan ini diperparah oleh adanya sikap yang mencoba membelokkan sejarah reformasi bahasa Melayu dengan mengarahkan pada pembinaan bahasa Melayu kepada tanah Arab. Hal ini terbukti dengan adanya usaha gigih yang penuh emosi untuk kembali kepada istilah-istilah Arab dan membuang istilah-istilah Inggris yang sudah semakin banyak digunakan oleh bahasa Melayu pada zaman sekarang. Sewaktu pengaruh Arab dalam dunia ilmu sudah kehilangan fungsi akademiknya dan beralih kepada bahasa Eropa dan Jepang, maka usaha seperti ini akan menghambat dan memperlambat proses lintas ilmu yang sangat kita perlukan itu. Usaha untuk kembali kepada sumber Sanskerta dan bahasa Melayu kuno sebagai sumber pembinaan bahasa Melayu modern juga hanya akan menyulitkan kita untuk mengejar perkembangan ilmu yang sudah lama terjadi di dunia luar. Bahasa Arab, bahasa Sanskerta, dan bahasa Melayu kuno memang dapat memberi jati diri dan identitas kepada bahasa Melayu, tetapi ia tidak sesuai untuk dijadikan dasar pembaharuan dan reformasi bahasa yang pada akhirnya kita gunakan sebagai alat untuk memberi peluang lintas ilmu secara besar-besaran dan dengan kadar yang cepat.
Di Malaysia, proses reformasi bahasa Melayu telah dimulai secara formal dan terancang dengan berdirinya Dewan Bahasa dan Pustaka pada tahun 1956, namun, ternyata setelah hampir tiga dekade, bahasa Melayu masih belum memiliki sifat-sifat bahasa yang besar. Bahasa Melayu masih tetap kekal pada tahap memainkan perannya sebagai media kebudayaan ekspresif, estetis, dan metafisis, serta belum menjadi media kebudayaan ilmu rasio. Sebagai bahasa nasional, bahasa Melayu tidak mempunyai sentrifugal dan sentripetal, serta gagal menjadi media pembangunan ilmu, baik secara vertikal maupun horizontal. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam bahasa Melayu selama tiga dekade lalu hanya berjaya memberikan status politik kepada bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, tetapi gagal sama sekali untuk menjadikannya media reformasi masyarakat dengan menggantikan peran yang dimainkan oleh bahasa kolonial (bahasa Inggris).
Pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa Nasional kita pada satu masa dahulu semata-mata dilakukan atas dasar “sentimen politik”, yang kemudian disokong oleh “sentimen intelektual”. Perasaan dan sentimen kebangsaan yang sempit itu telah menghasilkan suatu dasar pintu tertutup terhadap pengaruh ilmu-ilmu modern dalam bahasa-bahasa asing akibat tindakan menolak peran bahasa kolonial. Pada masa kini, pertimbangan kita tentang persoalan bahasa nasional juga ditenggelamkan oleh masalah “kesombongan bahasa” yang menyebabkan kita buta pada faktor lain, yaitu “kesadaran bahasa”. Tampaknya kita memang tidak sadar bahwa sebagai bahasa nasional dan bahasa pengantar pendidikan, bahasa Melayu tidak memiliki ciri-ciri fungsi erklaren, yaitu ilmu-ilmu eksakta. Ia hanya memiliki sedikit fungsi verstehen, yaitu ilmu-ilmu sosial. Untuk menguasai ilmu-ilmu erklaren, kita memerlukan prapengertian bagi ilmu-ilmu tersebut, tetapi ini juga tidak tertulis dan tidak terdapat dalam bahasa Melayu sekarang.
Saat ini, bahasa Melayu di Malaysia masih tetap dengan ciri-ciri zaman silamnya, meskipun sudah hampir tiga puluh tahun diangkat menjadi bahasa nasional dan bahasa pengantar pendidikan. Kebudayaan yang didukung oleh bahasa tersebut masih bersifat kebudayaan ekspresif, bukan kebudayaan ilmu dan rasional. Oleh karena itu, sekarang sudah saatnya kita mempersoalkan letak validitas bahasa Melayu yang terus kita kekalkan sebagai media pendidikan kita.
Pengekalan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar ilmiah pasti akan menyebabkan bangsa kita menjadi satu bangsa yang tertutup, karena dengan peran yang dimainkannya sekarang bangsa kita tidak mungkin dapat menjalani proses perkembangan ilmu secara vertikal dan horizontal dalam kompetisi dunia modern saat ini. Jelas bahwa bahasa Melayulah yang menghambat kita untuk menjadi suatu bangsa yang terbuka. Keterbukaan kita sebagai suatu bangsa hanya dapat dikekalkan jika kita boleh melakukan proses lintas ilmu pada kadar yang tinggi dan cepat.
Konsep dan ruang lingkup pembinaan bahasa yang dijalankan bahasa Melayu sangat sempit, yaitu terbatas pada kerja-kerja memperbaiki sistem ejaan dan penciptaan istilah saja. Ini terjadi karena para perancang bahasa Melayu membatasi diri mereka dengan konsep pembinaan bahasa sebagaimana yang dikonsepsikan oleh ahli-ahli teori Barat, khususnya dari Amerika Serikat. Mereka melihat tugas perancangan bahasa itu terbatas pada perancangan korpus bahasa itu sendiri. Para perancang bahasa Melayu juga mempunyai sebutan yang sangat pendek bagi profesi mereka, yaitu sekadar memberikan ciri-ciri modern yang formal kepada bahasa yang mereka rancang itu. Jadi, mereka tidak pernah melihat bahwa pada akhirnya perancangan bahasa itu kita perlukan sebagai salah satu alat untuk melakukan reformasi masyarakat pemakai bahasa tersebut. Ditinjau dari sudut ini, ejaan dan istilah hanyalah unsur kecil dalam kerja-kerja pembaharuan bahasa yang sebenarnya. Unsur yang jauh lebih diperlukan ialah kandungan ilmu yang bisa diperoleh melalui bahasa tersebut dan bagaimana dapat diusahakan supaya bahasa itu mampu menyampaikan ilmu-ilmu itu kepada seluruh pemakainya.
Teori perancangan bahasa yang ada sekarang hanya merupakan deskripsi dari hal yang telah dicoba dan dilakukan oleh beberapa negara. Percobaan-percobaan itu juga dilakukan oleh negara-negara bekas jajahan pada awal kemerdekaannya sebagai salah satu usaha untuk mendapatkan jati diri (identitas) sebuah negara dan bangsa baru.
Para ahli teori perancangan bahasa sebenarnya hanya bekerja di belakang para perancang bahasa sendiri, sehingga sudah sepatutnya ada kesadaran terhadap bahasa Melayu. Dalam kondisi saat ini, para perancang bahasa Melayu hanya melakukan hal yang diuraikan oleh ahli-ahli teori, sehingga apa yang belum mereka tulis tidak berani kita lakukan. Akibatnya timbul keadaan beku dalam perkembangan teori-teori perancangan bahasa seperti yang terjadi sekarang, di mana ahli-ahli teori menunggu perkembangan lebih lanjut dari para perancang bahasa, sedangkan para perancang bahasa sendiri menunggu penjelasan ahli-ahli teori itu.
Penelitian terhadap bahasa Melayu tidak boleh dilakukan dengan pandangan tradisi linguistik Amerika yang sangat deskriptif, karena paham linguistik di sana dipengaruhi oleh keperluan-keperluan antropologis, yaitu kajian terhadap bahasa-bahasa yang menjadi salah satu alat untuk mempelajari aspek-aspek antropologi suku-suku kecil yang terancam punah. Dengan kata lain, bahasa Melayu tidak boleh disejajarkan dengan bahasa-bahasa Indian Amerika. Ketika ahli-ahli bahasa Amerika mengkaji bahasa-bahasa Indian itu untuk tujuan preservasi, ahli-ahli bahasa Melayu sepatutnya meneliti bahasa Melayu berdasarkan tujuan reformasi, yaitu untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai alat gerakan reformasi sosial, ekonomi, dan politik. Dengan demikian, tugas ahli bahasa adalah untuk menghasilkan segala perubahan yang diperlukan oleh bahasa Melayu agar menjadi alat ampuh dalam proses reformasi tersebut. Barangkali ada baiknya jika masalah ini kita bandingkan dengan sejarah perkembangan bahasa Prancis.
Bahasa Prancis modern sebenarnya berasal dari dialek masa lalu yang hanya dituturkan oleh penduduk sekitar kota Paris. Perkembangan dialek itu ke daerah-daerah luar Paris mengakibatkan punahnya dialek-dialek daerah asli. Akibat yang ditimbulkan adalah komunikasi yang lebih baik, sehingga membuat negara Prancis memiliki suatu bahasa nasional yang dapat memainkan peran sentrifugal dan sentripetal yang mantap sekali. Hal ini juga dapat kita bandingkan dengan sejarah perkembangan bahasa Hebrew. Pada peringatan awal, para perancang bahasa Hebrew bersifat purist dan mereka banyak melakukan kerja penggalian kosakata arkais untuk menerjemahkan kata-kata, terutama dari bahasa Inggris. Namun, pada satu tingkat tertentu terbukti bahwa jalan itu bukan pilihan yang paling baik untuk bangsa Yahudi, sehingga akhirnya mereka mengubah pandangan mereka yang purist itu kepada suatu sikap yang liberal terhadap masuknya ratusan ribu kosakata asing bagi ilmu-ilmu modern yang sudah bertaraf universal. Sikap ini dapat dibandingkan dan dipadankan dengan sikap bahasa Jepang.
Untuk menerjemahkan karya Flemming mengenai penisilin, bahasa Jepang tidak mengambil kosakata perobatan tradisional Jepang dan sebaliknya terus mengambil semua istilah-istilah Latin sebagaimana yang digunakan oleh Flemming. Persoalannya sekarang ialah apakah kita mau mengorek dan menggali kitab-kitab Melayu lama dari bahasa-bahasa dialek untuk memodernkan bahasa Melayu, atau kita terima saja apa yang sudah ada dan anggaplah barang baru itu sebagai milik kita. Dari segi pengajaran, penggunaan kata-kata arkais maupun dialek sama sulitnya dengan kata-kata pinjaman, karena ketiga jenis kata itu tetap bersifat baru bagi bahasa Melayu saat ini.
Situasi penutur bahasa Melayu yang terkurung dalam keterbelakangan karena bahasanya sendiri pasti akan menghasilkan suatu bangsa yang secara relatif terbelakang apabila dibandingkan dengan bangsa-bangsa maju. Tidak mengherankan apabila kelak kita menemui satu situasi di mana orang Melayu akan terus-menerus menjadi objek kajian dalam kebodohannya, sebagaimana yang telah terjadi pada masa dahulu, dan rasanya masih terjadi hingga sekarang, sedangkan bangsa-bangsa maju yang mengkaji orang Melayu terus berfungsi sebagai subjek dengan senjata pengetahuannya. Barangkali hal ini dapat diterangkan melalui pendekatan relativitas, di mana kita berhadapan dengan dunia ilmu dan proses-proses sosial yang berkembang dengan cepat di dunia luar, sedangkan kita beku dalam kelambanan usaha untuk menguasai ilmu-ilmu modern yang telah ditemui dan yang sedang dikembangkan dengan pesat oleh bangsa-bangsa yang lebih maju.
“Apa sebenarnya yang menjadi masalah pada bahasa Melayu sekarang? Adakah ejaan kita yang belum terkemas, tata bahasa kita yang belum mantap, peristilahan kita yang belum penuh, perpustakaan kita yang kosong, atau bahasa Melayu kini muflis ilmu?” Kita memerlukan diagnosis yang tepat mengenai masalah yang sedang kita hadapi ini, supaya kita dapat mengobatinya dengan tepat. Dalam kerja-kerja seperti ini kita memerlukan intellectual will yang betul-betul kuat dari para ahli bahasa. Hendaknya para ahli bahasa tidak menafsirkan peran mereka dengan cara yang sesempit sekarang, di mana mereka mempunyai semacam obsesi terhadap tetek bengek bahasa yang dikupas dan didebat dengan waktu dan tenaga yang begitu banyak. Kita khawatir “ketersesatan ilmiah” seperti itu tidak akan membawa kita ke mana-mana, melainkan kepada kehancuran eksistensi bahasa Melayu itu sendiri. Kebesaran suatu bahasa sama sekali tidak tergantung pada ciri-ciri formalnya, seperti ejaan dan senarai istilah yang dibuatkan baginya, tetapi bergantung kepada ilmu yang terkandung di dalamnya.
Demikian banyak tenaga telah dicurahkan untuk membina bahasa Melayu, tetapi jelas bahwa usaha itu ditumpukan pada tahap penciptaan istilah, sedangkan dalam proses alamiahnya, istilah itu bukan apa-apa selain hanya by product atau hasil sampingan dari kegiatan intelektual penulisan dan penerjemahan. Pada masa ini, jelas lebih banyak para akademisi yang dilibatkan dalam kerja-kerja penciptaan istilah daripada diambil untuk melakukan kerja-kerja yang lebih pokok bagi bahasa Melayu, yaitu penulisan dan penerjemahan.
Hal penting bagi bangsa dan bahasa Melayu hari ini bukanlah mengambil material, teknologi, atau hardware (perangkat keras) dari bangsa lain untuk dipindahkan ke dalam bahasa Melayu, tetapi mengambil unsur-unsur manusianya, keakalan, softwarenya (perangkat lunak), atau ilmu-ilmu yang menjadi dasar kemajuan bangsa-bangsa tersebut. Oleh karena itu, yang harus dilakukan sekarang ialah gerakan untuk mengadakan perpindahan ilmu yang besar dan cepat dari negara-negara tersebut ke dalam bahasa Melayu. Dengan demikian kita dapat menggerakkan reformasi pada penutur bahasa Melayu. Kita berharap, pengambilan dan penerimaan ilmu-ilmu modern dari luar akan membuat penutur bahasa Melayu mengubah nilai-nilai tradisional, cara berpikir, dan pandangan hidup mereka yang terlalu didominasi oleh budaya ekspresif dan prinsip kepuasan pada nilai-nilai nasionalisme-positivisme.
Saat ini, dunia hanya berbicara dalam dua bahasa, yaitu bahasa ekonomi dan bahasa teknologi. Kedaulatan suatu bangsa tidak terletak pada nilai-nilai estetis maupun metafisis yang dimiliki oleh para penuturnya, melainkan pada penguasaan bidang-bidang ekonomi dan teknologi. Misalnya, supremasi 3, 5 juta bangsa Yahudi atas 40 juta bangsa Arab yang mengelilinginya itu semata-mata berdasarkan supremasi teknologi, khususnya teknologi udara yang dimiliki oleh Yahudi. Demikian pula supremasi bangsa Jepang sekarang hanya berdasarkan supremasi ekonomi yang dimilikinya, meskipun Jepang tidak memiliki supremasi militer.
Sebagai pemakai bahasa Melayu saat ini, kita diharuskan untuk memilih antara dua hal, yaitu berada dalam strata atas atau strata bawah. Kalau kita ingin berada pada strata atas, maka kita harus menyelesaikan persoalan bahasa Melayu. Yang jelas, susunan strata bangsa-bangsa ditentukan oleh penguasaan faktor ekonomi dan teknologi.
Kalau kita menoleh kembali pada sejarah perkembangan bahasa Melayu pada abad ke-14 dan abad ke-15, jelas bahwa bahasa Melayu berkembang sebagai akibat dari perkembangan peran ekonomi masyarakat Melaka zaman itu, dan bukan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Jika Melaka tidak meletakkan dasar-dasar supremasi politik dan ekonomi pada abad ke-14 dan abad ke-15, tidak mungkin bahasa Melayu dapat tersebar ke seluruh Nusantara seperti halnya saat ini. Dalam tempo yang singkat, Parameswara telah dapat membuktikan bahwa masyarakat nelayan dapat diubah menjadi masyarakat pedagang. Nilai-nilai ekonomi inilah yang harus segera dikejar oleh seluruh lapisan masyarakat Melayu untuk memastikan supaya Melayu dapat berada pada strata atas dalam hubungan antarbangsa. Saat ini dunia hanya berbicara dalam bahasa ekonomi dan tidak dalam bahasa-bahasa lain. Kelompok yang memiliki dominasi ekonomi akan mempunyai modal untuk mencapai dominasi teknologi dan juga politik, dan dengan demikian mendapatkan kekuasaan untuk menentukan kartu (corak) dunia.
Jika melihat ciri-ciri bahasa Melayu pada tahun 1985, maka yang perlu dipertanyakan sekarang ialah, “Apakah bahasa Melayu mengandung nilai-nilai yang diperlukan oleh penutur bahasa Melayu untuk mengantarkan mereka menjadi suatu bangsa yang besar?”. Sekarang, bahasa Melayu hanya merekam bahan-bahan yang mengandung nilai-nilai estetis dan agama. Jika ini memang mencerminkan keadaan sebenarnya dari penutur bahasa Me!ayu, yaitu sistem nilai orang-orang Melayu yang didominasi oleh nilai-nilai seni dan agama semata-mata, maka keadaan ini tidak akan dapat menjamin eksistensi orang Melayu. Ada lima nilai penting bagi suatu bangsa, yaitu nilai politik, nilai ilmu pengetahuan, nilai ekonomi, nilai seni, dan nilai agama. Kelima nilai itu harus berkembang secara seimbang. Jika suatu negara sudah didominasi oleh satu atau sebagian dari nilai-nilai itu, maka nilai-nilai lain tidak akan berkembang. Misalnya, jika suatu negara didominasi oleh nilai-nilai politik, maka nilai-nilai ilmu pengetahuan, ekonomi, dan lainnya akan menjadi mandul.
Ditinjau dari sudut ilmu, ada dua faktor yang telah gagal dimainkan oleh bahasa Melayu dalam perannya sebagai bahasa pengantar pendidikan. Kedua faktor itu adalah jumlah dan kadar pemasukan ilmu yang seharusnya dapat kita peroleh melalui penggunaan bahasa Melayu. Kegagalan ini menyebabkan kita harus menerima kenyataan bahwa bahasa Melayu sebagai bahasa nasional negara kita tidak memainkan peran sentrifugal dan sentripetal dalam memperoleh dan menyebarkan ilmu-ilmu modern sebagaimana seharusnya. Dalam keadaan sekarang, fungsi sentrifugal, yaitu fungsi pemerolehan ilmu, jelas masih dimainkan oleh bahasa Inggris, baik kita akui maupun tidak.
Memang tidak mungkin bagi kita untuk mendapatkan ilmu-ilmu modern kalau kita berharap pada bahasa Melayu, karena kini memang tidak ada ilmu-ilmu modern yang tertulis dalam bahasa itu. Hal ini telah membuat bahasa Melayu tidak memainkan fungsi sentripetal, yaitu fungsi penyebaran ilmu-ilmu tersebut. Dengan fungsi sentripetal yang dimaksudkan adalah fungsi penyebaran dan penyampaian ilmu-ilmu kepada setiap individu dalam masyarakat, yang diperlukan untuk mendorong mereka mentransformasikan diri dari berkebudayaan rendah kepada berkebudayaan tinggi. Fungsi sentrifugal adalah fungsi penemuan, pemerolehan, penekanan, dan pemasukan ilmu-ilmu yang diperlukan.
Fungsi-fungsi sentrifugal dan sentripetal ini bergantung pada aktivitas lintas ilmu antara bahasa-bahasa asing dengan bahasa Melayu. Hasil yang dicapai oleh fungsi ini ditentukan oleh jumlah dan kadar kecepatan proses lintas tersebut. Pada waktu ini jelas sekali bahwa jumlah dan kadar itu dapat dikatakan tidak berlaku sama sekali. Dari buku-buku yang tertulis dalam bahasa Melayu, 90% merupakan bidang kesusastraan dan agama, yaitu bidang-bidang estetis dan metafisis. Untuk memberikan ciri sentrifugal dan sentripetal kepada bahasa Melayu, kita memerlukan sikap liberal terhadap masuknya dua faktor dari bahasa-bahasa lain, yaitu nilai-nilai rasionalisme-positivisme dan nilai ilmu pengetahuan yang telah dikumpulkan oleh bahasa-bahasa itu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melaksanakan gerakan reformasi bahasa Melayu, bukan tindakan konfrontasi sebagaimana yang pernah terjadi dahulu akibat sikap purisme yang saat ini masih diusahakan oleh beberapa pihak. Tinjauan terhadap kaidah penciptaan istilah yang ditetapkan pada bahasa Melayu misalnya, jelas memperlihatkan pengaruh filsafat purisme.
Berkenaan dengan bahaya sikap purisme ini, ada baiknya jika kita melihat hal yang telah dialami oleh bahasa nasional Filipina, yaitu bahasa Tagalok. Bahasa Tagalok gagal mengambil alih peran bahasa Inggris di Filipina, karena sikap purisme yang dianut oleh para pejuangnya yang tidak memungkinkan berlakunya reformasi pada bahasa tersebut. Hal ini justru mengakibatkan proses lintas ilmu dari bahasa-bahasa asing ke dalam bahasa Tagalok berjalan sangat lambat. Bahkan, kini terhenti sama sekali. Hal yang sebaliknya dapat kita saksikan di Jepang.
Model restorasi Meiji di Jepang memperlihatkan hal sebaliknya. Agar proses lintas ilmu berjalan dengan cepat dan dalam jumlah yang banyak, bahasa Jepang telah menciptakan huruf-huruf Hiragana pada tulisan Katagana supaya unsur-unsur bahasa asing dapat dimasukkan secara langsung ke dalam bahasa tersebut. Hasilnya, sebagai contoh, tulisan Flemming mengenai penisilin dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang hanya dalam waktu 10 hari saja. Model restorasi Meiji memperlihatkan bahwa Jepang tidak mengambil sumber bahasa-bahasa lama, kuno, arkais, atau bahasa-bahasa dialek sebagai modal pembaharuan bahasa Jepang. Kalau dikomparasikan dengan bahasa Melayu, ini berarti bahwa kita tidak perlu bersusah payah membolak-balik kitab-kitab lama zaman Malaka berkait dengan peristilahan modern. Kita ambil saja kata-kata asing saat ini karena sudah menjadi bagian dari kosakata ilmu-ilmu modern yang bersifat universal.
Bahasa dan bangsa Melayu memerlukan reformasi hanya sebagai katalis, yaitu semacam modal pokok untuk mendorong kita melakukan kemajuan selanjutnya. Katalis seperti ini perlu, karena hanya dengan itu kita dapat mempercepat proses pembangunan bahasa dan bangsa, yang jika hanya diserahkan pada proses alamiah tidak mungkin dapat mengejar kemajuan bangsa lain yang bergerak cepat. Untuk melaksanakan reformasi bahasa Melayu, kita memerlukan dua faktor utama, yaitu semacam political will dan intellectual will. Faktor political will berguna untuk melakukan usaha-usaha eksperimen dan langkah-langkah perbaikan untuk mematangkan teori-teori perancangan bahasa tersebut. Usaha itu diikuti dengan faktor intelectual will yang akan memperkaya kandungan ilmu-ilmu modern dalam bahasa Melayu. Pada saat bahasa Melayu sudah menunjukkan bukti-bukti kemerosotan ilmu, masih saja belum ada suatu tindakan tegas secara politis untuk menangani masalah ini, di samping golongan intelektual Melayu sendiri yang masih terus berpangku tangan.
Bagi kita sekarang hanya ada dua pilihan. Pertama, kita mesti menggantikan kedudukan bahasa Melayu dengan bahasa asing yang sudah menyiapkan perangkat segala ilmu modern yang kita perlukan. Dalam hal ini, pilihan yang paling baik ialah bahasa Inggris. Kedua, memulai proses reformasi yang terencana pada bahasa Melayu supaya ia ditransformasikan dari sifat-sifatnya yang ada sekarang sehingga dapat memperoleh sifat-sifat baru yang menyerupai sifat-sifat bahasa besar lainnya. Sebelum kita membuat keputusan untuk kembali mempergunakan bahasa kolonial (khususnya bahasa Inggris) sebagai pengantar ilmu pengetahuan, diperlukan perenungan yang mendalam terlebih dahulu.
Siapakah yang dapat menafikan bahwa bahasa Inggris, bahasa Prancis, bahasa Belanda, dan bahasa Spanyol adalah bahasa-bahasa dunia yang penting dalam bidang ilmu dan urusan internasional. Bahasa-bahasa itu sudah terbukti berjaya membangun bangsa-bangsanya sendiri, meskipun di luar tanah asalnya, yaitu di negara-negara dunia ketiga, bahasa-bahasa itu tiba-tiba gagal sama sekali. Ternyata bahasa-bahasa itu tidak berdaya secara langsung membangunkan bangsa-bangsa di tanah asing yang meminjamnya. Belum ada satu pun negara peminjam bahasa negara lain yang dapat membangun dengan bahasa tersebut sebagai alatnya. Berdasarkan statistik UNESCO, tidak ada satu pun negara-negara peminjam yang dapat mencapai indeks, ukuran, dan definisi kemiskinan yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Dengan kata lain, belum ada negara yang mencapai ukuran internasional. “Mengapa tragedi ini harus terjadi, dan mengapa pula para elit kita tidak menyadari hal ini?”
Pemilihan bahasa asing sebagai bahasa resmi justru akan berakibat munculnya berbagai masalah pada negara peminjam. Alasan utamanya, terdapat sifat-sifat sosiolinguistik bahasa penjajah itu sendiri. Bahasa penjajah berpusat di kota (bandar) dan bersifat elit sekali. Oleh karena berbagai faktor, bahasa penjajah tidak dapat tersebar ke luar batas kota-kota besar. Ini berarti bahwa bahasa itu mengandung banyak ilmu pengetahuan. Penerimaan ilmu-ilmu modern itu hanya terbatas di kalangan elit ekonomi dan elit sosial kota-kota. Oleh karena itu, hanya golongan tertentu saja yang dapat ikut serta dan mengambil kesempatan dalam setiap program dan proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Sebaliknya, sektor desa akan tercecer dan tidak dapat memainkan peran dalam usaha pembangunan itu, semata-mata karena mereka tidak menguasai ilmu-ilmu modern yang hanya tertulis dalam bahasa-bahasa penjajah. Disebabkan hal itu, justru sektor desa dan rakyatnya menjadi mundur dan tidak dapat membangun pengetahuan mereka atas dasar bahasa pinjaman. Ke mana pun kita pergi di dunia ketiga, keadaan yang sangat mencolok ialah perbedaan yang tajam antara sektor kota dan luar kota (desa).
Keadaan sosiolinguistik seperti ini menghasilkan ciri dualistik di bidang ekonomi, sosial, dan politik negara. Di kota, masyarakatnya maju dengan bahasa asing, sedangkan di luar kota masyarakatnya terbelakang dengan bahasa-bahasa lokal. Selanjutnya, keadaan seperti ini melahirkan lingkaran setan yang dahsyat. Dengan penguasaan bahasa asing, orang kota mampu mendapatkan pendidikan tinggi karena mampu mengetahui ilmu-ilmu modern dan dapat merebut peluang-peluang pembangunan. Mereka bertambah makmur dan selanjutnya berupaya memberi pendidikan bahasa asing kepada anak-anak mereka. Begitulah putaran itu berjalan. Sebaliknya, masyarakat desa tidak berpeluang mempelajari bahasa asing yang berpusat di kota, sehingga mereka tidak berpeluang menerima pendidikan tinggi dan tidak menguasai ilmu-ilmu modern. Hasilnya, mereka tidak dapat merebut peluang-peluang pembangunan. Mereka tetap terbelakang, miskin, dan tidak mampu memberikan pendidikan bahasa asing kepada anak-anak mereka. Putaran itu membelenggu mereka dalam keterbelakangan dan kepapaan.
Dalam situasi dualistik seperti ini tidak dapat ditentukan siapa yang akan selamat dalam jangka panjang, apakah yang kaya di kota atau yang miskin di desa. Walaupun kota maju, tetapi kemiskinan di desa akan mendorong urbanisasi dalam usaha melarikan diri dari kemiskinan desa. Urbanisasi rakyat desa yang tidak berpendidikan modern dan tanpa memiliki keterampilan akan mengakibatkan tekanan ekonomi dan sosial yang rumit kepada kota. Kedatangan mereka membebani kota dan akibatnya kemakmuran kota sendiri akan terhambat. Inilah bukti bahwa kota tidak mungkin kaya-raya jika kawasan di sekitarnya miskin.
Hukum ini dapat dilihat lebih jelas di negara-negara maju. Tidak ada negara maju yang sektor desanya miskin dan mundur. Bahkan kemajuan negara bukan ditentukan oleh
Di negara-negara dunia ketiga, sektor desa yang miskin menjadi pusat berkembangnya gerakan-gerakan menentang rezim elit di
Dasar peminjaman bahasa penjajah melahirkan imperialisme kebahasaan yang mengundang masalah-masalah lain yang juga sangat penting. Pertama, kemerdekaan negara-negara dunia ketiga tidak dapat mencapai arti kemerdekaan yang diidam-idamkan. Walaupun secara fisik penjajah telah keluar, tetapi bahasa yang ditinggalkan akan menjadi tali yang menjamin berlanjutnya ketergantungan ekonomi, militer, kebudayaan, dan psikologi rakyat bekas tanah jajahan. Ketergantungan seperti itu menimbulkan masalah kelangsungan penindasan/penjajahan terhadap negara-negara dunia ketiga. Keengganan dunia ketiga membina bahasa setempat sebagai bahasa resmi tidak boleh tidak akan terus mengekalkan masalah-masalah yang dihadapi sejak mereka masih dijajah, atau memperburuk masalah-masalah itu. Walaupun negara-negara dunia ketiga mengekalkan bahasa penjajah yang konon demi kemajuan ilmu, tetapi ternyata mereka tidak memperoleh ilmu-ilmu itu. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa ternyata semua negara yang buku-buku sekolahnya masih dalam bahasa asing tidak satu pun yang dapat menyelesaikan masalah kemunduran taraf pendidikan dan keterampilan life skill) di kalangan rakyat mereka, padahal pendidikan dan keterampilan (life skill) adalah aspek software yang menjadi persyaratan pembangunan.
Penggunaan bahasa asing untuk melatih para cerdik pandai di dunia ketiga juga menghasilkan golongan terpelajar yang otaknya herot-perot belang-bonteng), terbelenggu oleh pandangan-pandangan Barat secara mentah-mentah, dan menjadi benuk Barat. Hal ini disebabkan karena pendidikan melalui bahasa asing melahirkan individu yang “terasing” dari bumi dan masyarakatnya sendiri. Orang-orang seperti inilah yang akhirnya menyumbangkan masalah brain-drain. Pendidikan melalui bahasa asing sangat mahal dan rakyat negara-negara dunia ketiga berkorban untuk membiayai pendidikan para profesional, tetapi akhirnya para profesional ini lari ke Barat semata-mata untuk mendapat gaji yang lebih banyak. Dengan demikian sistem pendidikan melalui bahasa asing akhirnya hanya memperkaya negara asal bahasa itu, karena mereka mendapatkan para profesional kita secara percuma (gratis).
Pendidikan melalui bahasa asing juga tidak membolehkan negara dunia ketiga mencapai scientific independence. Itulah sebabnya setiap hari kita hanya mendengar konsep “alih teknologi” dan bukan “alih ilmu” sebagaimana digaungkan oleh kalangan kita yang tergolong elit Barat. Ditinjau dari sudut ini, kreativitas dan kelainan mental bangsa Jepang dan Korea pasti mempunyai kaitan dengan soal “keterpenjaraan bahasa” linguistic imprisonment) yang tidak berlaku pada mereka. Berbeda halnya dengan bangsa-bangsa dunia ketiga. Kegagalan kita mendapat kemerdekaan ilmu menjadikan kita selama-lamanya berperan sebagai negara konsumen consumer nations) dan tidak mungkin menjadi negara produsen.
Gejala seperti itu juga terbukti dalam pola monopoli teknologi dunia ketiga. Negara-negara yang menggunakan bahasa setempat ternyata mempunyai kemampuan menciptakan teknologi tinggi, sedangkan negara-negara peminjam bahasa asing mati akal. Dengan bahasa asing, jangankan hendak menghasilkan teknologi sendiri, hendak menguasai teknologi yang tercatat dalam bahasa itu pun mereka tidak berdaya. Sudah diketahui bahwa kekuasaan bangsa-bangsa saat ini adalah berdasarkan kekuasaan teknologi, baik dalam bentuk ekonomi, militer, maupun kebudayaan. Dasar bahasa asing mengekalkan keterbelakangan dan kemiskinan di kalangan negara-negara dunia ketiga, mematikan kreativitas para profesional kita untuk mencari penyelesaian-penyelesaian lain yang sesuai bagi masalah-masalah tipikal di dunia ketiga, dan akhirnya kita akan terus menjadi mangsa bagi kepentingan-kepentingan negara maju.
Peta dunia abad ke-20 hanya diwarnai oleh dua kartu. Pertama, warna hijau. Negara-negara yang memiliki warna ini dikenal sebagai dunia pertama, negara-negara utara, atau negara-negara maju. Semua negara itu menggunakan bahasa nasional masing-masing sebagai alat pembangunan bangsa dan pengantar pendidikan. Kedua, warna merah. Negara-negara yang memiliki warna ini dikenal sebagai dunia ketiga, negara-negara selatan, atau negara-negara membangun (berkembang). Semua negara ini menggunakan bahasa asing sebagai bahasa nasional dan pengantar pendidikan. Seluruh benua Amerika Latin, Afrika, India, dan sebagian benua Asia menggunakan bahasa asing. Semua negara kelompok ini terbilang miskin.
Kaitan antara dasar bahasa dengan aspek-aspek politik, ekonomi, dan militer ini menyedihkan sekali. Jika diteliti dari sudut politik, negara-negara yang menggunakan bahasa asing sebagai bahasa resmi adalah negara-negara yang sangat rendah tingkat demokrasinya. Biasanya negara-negara itu berada di bawah pemerintah diktator, tangan besi, feodal, undang-undang darurat, pemerintahan boneka asing, dan pemerintahan militer, baik secara terbuka ataupun terselubung. Di kalangan negara-negara itu juga terdapat masalah perang saudara, perebutan kekuasaan, kuasa militer, pemberontakan, gerakan perpecahan, perang gerilya, dan segala bentuk pertumpahan darah. Gambaran yang menakutkan ini tidak hanya sampai di sini, karena kita juga sudah dan masih menyaksikan bahwa di negara-negara ini semakin hari semakin banyak anggota yang jatuh ke tangan sosialisme dan komunisme satu demi satu. Anehnya, tren atau kecenderungan ini berlaku pada saat negara-negara sosialis-komunis Eropa–Cina sedang menuju ke arah dasar liberalisme. Negara-negara ini juga berada di bawah pengaruh dan telunjuk kuasa politik dari militer negara asing, yaitu kumpulan negara yang menggunakan bahasa aslinya.
Ditinjau dari sudut ekonomi, semua negara yang meminjam bahasa asing sebagai bahasa resminya adalah negara-negara miskin, menderita karena masalah hutang negara yang besar, pengeluaran dan ekspor negara yang rendah, kadar pertumbuhan ekonomi yang rendah atau statis, tingkat kelahiran tinggi, tidak memiliki teknologi tinggi, semata-mata mengandalkan pengeluaran barang mentah (bahan baku), serta sektor desanya sangat miskin. Dari sudut sosial, negara-negara ini menderita karena segala bentuk kezaliman sosial, mutu pendidikan yang rendah, buta huruf yang tinggi, jaminan sosial yang menyedihkan, penuh korupsi, serta segala macam penyakit menular. Sebaliknya, negara-negara yang memilih bahasa setempat sebagai bahasa resmi menikmati kebalikan dari apa yang dialami oleh negara-negara yang meminjam bahasa resminya.
Negara-negara yang berbahasa setempat menikmati demokrasi yang sangat tinggi, apa pun bentuk demokrasi yang mereka anut. Politik mereka stabil dan kehidupan mereka aman. Amerika dan Rusia senantiasa berperang, tetapi peperangan mereka tidak di dalam negeri, melainkan di tempat lain, yaitu dunia ketiga. Tidak ada perang saudara dan perampasan kekuasaan, tidak ada undang-undang darurat atau militer. Di kalangan blok komunis, kecenderungannya ke arah liberalisme dan kapitalisme. Negara-negara ini memonopoli informasi dan teknologi tinggi. Mereka memiliki kekuasaan serta pengawal politik dan militer antarbangsa (internasional). Kadar pertumbuhan ekonomi mereka tinggi karena mereka merupakan negara-negara pengekspor barang jadi. Mereka mengecap kemakmuran yang tinggi dan adakalanya terlalu mewah. Tingkat kelahiran mereka rendah dengan mutu pendidikan dan angka melek huruf sangat tinggi. Mereka mempunyai keadilan sosial, korupsi sangat rendah, serta diawasi. Mereka sudah bebas dari ancaman penyakit-penyakit menular.
Di kalangan negara-negara yang menggunakan bahasa mereka sendiri sebagai bahasa resmi dan pengantar dalam bidang pendidikan, terdapat beberapa negara yang menyimpang dari pola dunia pertama. Negara-negara itu ialah Cina, Indonesia, dan Thailand. Bagi ketiga negara itu, walaupun telah membuat pilihan yang tepat untuk bahasa nasional, tetapi mereka tidak dapat menandingi kemajuan yang telah dicapai oleh negara-negara dunia pertama. Faktor yang tidak disadari oleh negara-negara seperti Cina, Indonesia, dan Thailand ialah pentingnya melakukan proses lintas ilmu yang besar dan cepat dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa nasional tersebut. Hal ini hanya dapat dilakukan jika pemerintah mengadakan program penerjemahan yang terancang. Faktor inilah yang tidak dilakukan oleh
Di antara negara-negara yang menggunakan bahasa asing sebagai bahasa nasional dan pengantar bidang pendidikan, hanya satu negara saja yang telah berjaya, yaitu Singapura. Kejayaan bahasa Inggris di Singapura bukan bukti kemampuan bahasa Inggris di tanah asing. Singapura adalah sebuah negara
Untuk membangun tidak cukup hanya dengan mempunyai bahasa nasional. Hal ini sudah terbukti pada negara-negara yang telah mencoba bahasa nasional, tetapi kemudian kembali menggunakan bahasa penjajah (Burma, Filipina, dan sebagainya). Tragedi itu berlaku terutama apabila sistem pendidikan bahasa nasional menghadapi ancaman kemunduran yang disebabkan oleh masalah-masalah teknis seperti peristilahan dari buku-buku rujukan. Di sini suatu pertimbangan teknis telah dijadikan alasan untuk membatalkan pertimbangan prinsip. Oleh karena soal peristilahan dari buku adalah soal teknis, maka penyelesaiannya terletak di tingkat itu. Eropa dan Jepang telah melakukan gerakan penerjemahan secara massal, namun tidak satu pun negara-negara dunia ketiga yang melakukan hal serupa. Istilah-istilah adalah hasil sampingan by product) kegiatan intelektual seperti penulisan dan penerjemahan. Ironisnya, soal peristilahan ini selalu saja dijadikan dalih untuk tidak mau membangun dasar bahasa nasional.
Sejarah Eropa membuktikan satu hal, yaitu masyarakat Eropa baru dapat keluar dari kegelapan Zaman Pertengahan Middle Age) hanya setelah Perang Salib (Crusade) berakhir, ketika mereka berhasil menewaskan pemimpin tentara Islam, Shalahuddin, yang dalam aksi militer telah memberi peluang bagi Eropa untuk menguasai pusat-pusat studi Islam dan langsung menerjemahkan seluruh ilmu yang tertulis dalam bahasa Arab ke dalam bahasa Latin untuk dibaca di Eropa.
Negara-negara dunia pertama yang menggunakan bahasa setempat sebagai bahasa resmi sebelumnya pernah menggunakan bahasa pinjaman (bahasa penjajah). Seluruh Eropa Barat pernah menggunakan bahasa bangsa Romawi, yaitu bahasa Latin sebagai bahasa resmi dalam bidang ilmu dan ketatanegaraan. Sebelum Renaissance, seluruh Eropa berada dalam keterbelakangan dan kegelapan (Middle Age) selama 2000 tahun dengan selimut bahasa Latinnya. Sementara itu, di bagian dunia lain, yaitu di Timur Tengah,
Kebangkitan semangat kebangsaan di Eropa yang telah berjaya menjatuhkan penjajahan Romawi, yang diikuti oleh kemunduran negara-negara bangsa national states) berdasarkan bahasa-bahasa setempat (vernacular), telah mengenyahkan peran Latin yang demikian penting sebelumnya. Ini semua berjalan dan menjadi unsur penting gerakan Renaissance. Sayangnya, hal ini tidak selalu diajarkan kepada elit cendekiawan dan elit politik negara dunia ketiga. Sebelum Renaissance, bahasa Inggris, bahasa Spanyol, bahasa Itali, bahasa Prancis, bahasa Jerman, dan bahasa Rusia seperti yang kita kenal hari ini adalah bahasa-bahasa “sakai” atau “kampung” (seperti bahasa Melayu sebelum Malaka) dan hanya dituturkan oleh orang-orang bawahan yang tidak berpengetahuan. Dalam abad kesembilan belas, revolusi industri yang berlangsung di Eropa dimungkinkan oleh adanya penerjemahan buku-buku yang tertulis dalam bahasa Latin ke dalam bahasa-bahasa nasional tempatan di seluruh Eropa. Sebenarnya, penerjemahanlah yang telah memajukan bahasa-bahasa “kampung” hingga menjadi bahasa besar seperti sekarang. Penerjemahan jugalah yang membuat bangsa-bangsa itu dapat menguasai berbagai ilmu dan meningkatkan serta mengembangkan ilmu-ilmu itu.
Jelas bahwa kemajuan yang telah dicapai oleh bahasabahasa Eropa modern hanya dapat menjadi kenyataan melalui penggantian dan perubahan peran yang selama ini dimainkan oleh bahasa Latin sebagai bahasa ilmu dan ungkapan. Pola ini juga dilalui oleh beberapa bahasa Asia modern, yaitu bahasa Jepang dan bahasa
Walau bagaimanapun, pola yang dilalui oleh seluruh Eropa, Jepang, dan
Saat ini, Jepang adalah contoh negara yang dapat membuktikan dengan jelas bahwa bahasa asli dapat dipergunakan sebagai alat pembangunan negara. Sejarah Jepang modern bermula sekitar 100 tahun yang lalu, ketika Meiji berkuasa. Sebelum itu, Jepang merupakan tanah jajahan Cina. Saat dijajah, seluruh ungkapan negara Jepang dan sistem pendidikannya dijalankan dalam bahasa Cina Kuno. Waktu itu Jepang adalah negara feodal dengan kasta-kasta ekonomi dan sosial yang jelas. Saat itu Jepang miskin dan mundur dibandingkan dengan negara-negara Eropa yang telah menguasai hampir 80% muka bumi ini. Pemerintahan Meiji menyadari hal itu dan bercita-cita untuk membangun suatu “negara baru” berdasarkan “alam pengetahuan baru”. Untuk melaksanakan cita-cita itu, Meiji menyadari bahwa setiap rakyat Jepang harus diberi ilmu-ilmu baru supaya tidak ada yang tidak dapat ikut serta dalam pembangunan yang dirancang. Meiji sadar bahwa bahasa penjajah Cina adalah penghalang utama ke arah cita-cita tersebut. Untuk membina zaman baru, bahasa Cina harus “dibuang” dan diganti dengan bahasa Jepang sendiri, tetapi waktu itu bahasa Jepang adalah bahasa rendah, belum mempunyai tulisan, tidak mempunyai sastra tertulis, perbendaharaan katanya terbatas, dan terdiri dari banyak logat/dialek. Demikian keadaan bahasa Jepang yang akan menggantikan bahasa Cina dalam urusan tata negara dan di universitas-universitas Jepang 100 tahun lalu.
Meiji telah membuat keputusan. Logat/dialek yang telah dipilih ialah logat yang pada waktu itu hanya dituturkan oleh para petani dan kaum wanita, yaitu kumpulan kasta paling rendah dalam masyarakat Jepang saat itu. Logat/dialek inilah yang menjadi asal-usul bahasa Jepang modern hari ini. Pilihan atas logat/dialek petani dan wanita ini penting, karena alam pengetahuan baru yang hendak disampaikan kepada setiap rakyat Jepang hendaklah dalam bahasa yang dimengerti oleh mereka. Dengan keputusan itu, maka langkah-langkah untuk memberi tulisan pada bahasa itu dan menambah perbendaharaan katanya telah diambil. Selanjutnya Meiji memilih pemuda-pemuda yang pintar untuk dilatih di negara-negara Eropa dan mempelajari bahasa asing dengan tujuan khusus untuk menerjemahkan ilmu-ilmu Barat ke dalam bahasa Jepang. Pemuda-pemuda itu dikirim ke Rusia untuk menerjemahkan buku-buku militer, ke Inggris untuk buku-buku perkapalan, ke Prancis untuk buku-buku filsafat, dan ke Jerman untuk buku-buku teknologi dan kedokteran. Untuk menjalankan usaha itu, Meiji mendirikan biro terjemahan yang menjadi asal-usul Universitas Imperial Tokyo sekarang.
Seandainya kita bersedia menerima dan mengakui kebenaran sejarah masa lalu, maka negara-negara dunia ketiga hendaknya siap untuk terjun ke dalam kegiatan penerjemahan dan pembinaan bahasa nasional setempat. Bila tidak, kita akan mengalami nasib seperti ini sampai kapan pun. Lihat apa yang terjadi pada anggota dunia ketiga yang paling penting, bangsa India. Sejarah kegemilangan bangsa India sangat tua usianya, sejak zaman tamaddun (peradaban) di Lembah Indus. Bangsa ini adalah bangsa besar dan telah mengembangkan pengaruh kekuasaannya secara luas ke negara-negara yang mengelilinginya. Dua agama besar yang lahir di sana, Hindu dan Budha, telah tersebar luas hari ini. Bangsa ini telah melahirkan banyak cendekiawan, sastrawan, ahli teknologi, dan tokoh-tokoh yang bertaraf internasional. India telah mengalami nasib seperti berpuluh-puluh negara lain yang jatuh ke tangan penjajah selama beratus-ratus tahun. Dalam rentang waktu itu, bahasa Inggris telah mengambil alih peran bahasa India dalam urusan-urusan tata-negara dan ilmu.
Setelah merdeka, India mengekalkan penggunaan bahasa penjajah itu sebagai bahasa resminya hingga hari ini. Bahasa Inggris adalah bahasa pengantar utama dalam sistem pendidikan India. Semua pendidikan tinggi di India disampaikan dalam bahasa Inggris. Ini bermakna bahwa India menyampaikan pengetahuan modern kepada rakyatnya melalui bahasa asing dan tidak melalui jalan pembinaan bahasa kebangsaannya sendiri. India juga tidak mengambil langkah untuk menerjemahkan secara besar-besaran dan terencana buku-buku kesusastraan dan ilmu-ilmu modern.
Jelas bagi kita sebagai orang luar bahwa penggunaan bahasa Inggris tidak berdaya untuk menyelamatkan India dari ancaman masalah-masalah yang paling dasar dalam hidup manusia, seperti persoalan pangan dan papan. Belum lagi masalah yang lebih tinggi seperti keadilan sosial (sistem kasta), perang saudara (pemisahan Pakistan, kemudian Bangladesh), dan kebebasan politik (pengaruh Rusia). Namun, inilah negara yang melahirkan tokoh seperti Bose (beliau membetulkan kesalahan pada teori Einstein). Ini juga negara yang paling banyak melahirkan cendekiawan yang telah hijrah ke negara-negara Barat atas desakan ekonomi semata-mata.
Bahasa Melayu adalah pilihan tepat untuk membangun bangsa Melayu. Tindakan segera yang diperlukan sekarang ialah menerjemahkan seluruh ilmu-ilmu modern ke dalam bahasa Melayu. Kita tidak melihat pilihan lain. Catatan bagi kita adalah agar segera mentransformasikan bahasa Melayu dari sifat-sifat estetis–metafisisnya ke rasionalis–positivis. Agenda itu hendaknya mengandung program-program sebagai berikut.
Merancang ketersediaan sumber daya manusia pada tingkat nasional yang menetapkan jumlah tenaga terampil dalam bahasa-bahasa modern.
Mendirikan universitas bahasa modern.
Memberi beasiswa khusus untuk melatih tenaga terampil dalam bidang bahasa-bahasa modern sebagai persediaan awal.
Mendirikan biro penerjemahan dan bank manuskrip terjemahan yang sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah.
Menyebarkan pengetahuan terjemahan di kalangan profesional.
Menjalin kerjasama dengan tenaga ahli dan keuangan antara negara-negara berbahasa Melayu pada tingkat antarpemerintah.
Melayu sebagai satu bangsa hendaknya kembali pada semangat Malaka masa lampau dan bekerja dalam kesatuan budaya Nusantara yang tidak mengaca pada kemalangan sejarah politik rantau kita. Hanya dalam gagasan seperti ini kita dapat menyelamatkan nasib bahasa dan bangsa kita sendiri.
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau.