Bahasa Melayu dan Nasib Bangsa Melayu

Oleh : Aimon Muhammad

Penulis mengemukakan bahwa bahasa Melayu adalah pilih­an yang tepat untuk membangun bangsa Melayu. Tindakan yang di­perlukan sekarang adalah me­nerjemahkan seluruh ilmu-ilmu modern ke dalam bahasa Melayu, sehingga bahasa Melayu mam­pu men­jadi media pembangunan ilmu. Cara yang ha­rus di­ambil untuk ke arah itu ialah segera mentransformasikan bahasa Melayu dari sifat estetis-me­tafisisnya ke rasionalis-positivis.

Bahasa Melayu pada hari ini menghadapi berbagai masalah. Masalah terpenting yang kini sedang terjadi, meskipun kita enggan mengakuinya, ialah krisis ilmu. Kita sama sekali tidak peduli terhadap krisis nasional, yaitu kemuflisan ilmu dalam bahasa Me­layu. perpustakaan kita kosong dari bahan-bahan lektur (buku-buku ilmiah) dalam bahasa Melayu, dan keadaan ini lebih tepat di­istilahkan sebagai kemuflisan atau kebangkrutan ilmu.

Pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar sis­tem pen­didikan kita menyebabkan timbulnya gejala pada mahasiswa di universitas-universitas kita yang semata-mata bergantung pa­da diktat para dosen dan tidak berupaya untuk membaca ilmu-ilmu yang ter­tulis dan tersimpan dalam perpustakaan-perpustakaan universitas, ka­rena buku-buku itu masih berbahasa Inggris. Dengan keadaan yang demikian, ilmu di negara kita disebarkan melalui media pendidikan formal. Padahal hal tersebut hanya sebagian kecil dari media yang se­harusnya digunakan untuk membangun bangsa.

Walau terasa pahit, satu hal yang harus kita terima sebagai ke­nyataan ialah pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa pe­ngan­tar dalam sistem pendidikan kita yang telah menyebabkan terjadinya pro­ses degradasi (kemunduran) ilmu, yaitu dari keadaan tradisi ilmu tertulis dalam bentuk kepustakaan bahasa Inggris ke keadaan ilmu lisan dalam bentuk kuliah-kuliah dalam bahasa Melayu. Dengan kata lain, hari ini hampir tidak ada ilmu yang ter­catat dalam bahasa Melayu, yang ada tinggal ilmu yang ada di kepala para dosen universitas yang disampaikan kepada maha­siswa dalam kuliah-kuliah lisan.

Pada tingkat kelambatan “lintas ilmu” yang ada seka­rang, bahasa Melayu hanya mendapat sisa-sisa basi dari perkembangan dan pen­ca­paian yang dilakukan dunia luar. Beberapa terjemahan yang kita laku­kan hanya dapat dibaca setelah buku-buku asalnya dianggap ke­tinggalan zaman. Apalagi kita hanya mampu mela­kukan lintas ilmu yang terlalu lemah, semata-mata dari bahasa Inggris, sedangkan du­nia sudah menyadari bahwa hanya 50% ilmu dunia modern yang da­pat dibaca di dalam bahasa tersebut. Kalau sekarang kita memang sedang menuju kepada dasar pintu yang tertutup, maka pintu itu se­­makin dipersempit lagi dengan ke­tergantungan kita kepada satu sum­ber bahasa ilmu saja.

Keadaan ini diperparah oleh adanya sikap yang mencoba mem­belokkan sejarah reformasi bahasa Melayu dengan meng­arahkan pada pembinaan bahasa Melayu kepada tanah Arab. Hal ini terbukti dengan adanya usaha gigih yang penuh emosi untuk kembali ke­pada istilah-istilah Arab dan membuang istilah-istilah Inggris yang sudah semakin banyak digunakan oleh bahasa Melayu pada zaman sekarang. Sewaktu pengaruh Arab dalam dunia ilmu sudah kehilangan fungsi akademiknya dan beralih kepada bahasa Eropa dan Jepang, maka usaha seperti ini akan menghambat dan memperlambat proses lintas ilmu yang sangat kita perlukan itu. Usaha untuk kembali ke­pa­da sumber Sanskerta dan bahasa Melayu kuno sebagai sumber pembinaan bahasa Melayu modern juga hanya akan menyulitkan kita untuk mengejar perkembangan ilmu yang sudah lama terjadi di dunia luar. Bahasa Arab, bahasa Sanskerta, dan bahasa Melayu kuno memang dapat memberi jati diri dan identitas kepada bahasa Melayu, tetapi ia tidak sesuai untuk dijadikan dasar pembaharuan dan reformasi bahasa yang pada akhirnya kita gunakan sebagai alat untuk memberi peluang lintas ilmu secara besar-besaran dan dengan kadar yang cepat.

Di Malaysia, proses reformasi bahasa Melayu telah dimulai secara formal dan terancang dengan berdirinya Dewan Bahasa dan Pustaka pada tahun 1956, namun, ternyata setelah hampir tiga dekade, bahasa Melayu masih belum memiliki sifat-sifat bahasa yang besar. Bahasa Melayu masih tetap kekal pada tahap memainkan perannya sebagai media kebudayaan ekspresif, estetis, dan metafisis, serta belum men­jadi media kebudayaan ilmu rasio. Sebagai bahasa nasional, bahasa Melayu tidak mempunyai sen­trifugal dan sentripetal, serta gagal men­­jadi media pembangunan ilmu, baik secara vertikal maupun ho­ri­zontal. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dalam bahasa Me­layu selama tiga dekade lalu hanya berjaya memberikan status politik ke­pada bahasa Melayu sebagai bahasa nasional, tetapi gagal sama se­kali untuk men­jadi­kannya media reformasi masyarakat dengan meng­­gantikan peran yang dimainkan oleh bahasa kolonial (bahasa Inggris).

Pemilihan bahasa Melayu sebagai bahasa Nasional kita pada satu masa dahulu semata-mata dilakukan atas dasar “sentimen politik”, yang kemudian disokong oleh “sentimen intelektual”. Perasaan dan sen­­timen kebangsaan yang sempit itu telah meng­hasilkan suatu dasar pintu tertutup terhadap pengaruh ilmu-ilmu modern dalam bahasa-ba­­hasa asing akibat tindakan menolak peran bahasa kolonial. Pada masa kini, pertimbangan kita tentang persoalan bahasa nasional juga ditenggelamkan oleh masalah “ke­sombongan bahasa” yang me­­nye­babkan kita buta pada faktor lain, yaitu “kesadaran bahasa”. Tam­pak­nya kita memang tidak sadar bahwa sebagai bahasa nasional dan bahasa pengantar pendidikan, bahasa Melayu tidak memiliki ciri-ciri fungsi erklaren, yaitu ilmu-ilmu eksakta. Ia hanya memiliki sedikit fungsi verstehen, yaitu ilmu-ilmu sosial. Untuk menguasai ilmu-ilmu erklaren, kita memerlukan prapengertian bagi ilmu-ilmu tersebut, te­tapi ini juga tidak tertulis dan tidak terdapat dalam bahasa Melayu sekarang.

Saat ini, bahasa Melayu di Malaysia masih tetap dengan ciri-ciri zaman silamnya, meskipun sudah hampir tiga puluh ta­hun di­angkat menjadi bahasa nasional dan bahasa pengantar pen­didikan. Kebudayaan yang didukung oleh bahasa tersebut ma­sih bersifat ke­­budayaan ekspresif, bukan kebudayaan ilmu dan rasional. Oleh karena itu, sekarang sudah saatnya kita mem­persoalkan letak validitas bahasa Melayu yang terus kita kekalkan sebagai media pendidikan kita.

Pengekalan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar ilmiah pasti akan menyebabkan bangsa kita menjadi satu bangsa yang tertutup, karena dengan peran yang dimainkannya sekarang bang­sa kita tidak mungkin dapat menjalani proses perkem­bangan ilmu secara vertikal dan horizontal dalam kompetisi dunia mo­dern saat ini. Jelas bahwa ba­hasa Melayulah yang menghambat kita untuk menjadi suatu bangsa yang terbuka. Keterbukaan kita sebagai suatu bangsa hanya dapat di­kekalkan jika kita boleh melakukan proses lintas ilmu pada kadar yang tinggi dan cepat.

Konsep dan ruang lingkup pembinaan bahasa yang di­ja­lankan bahasa Melayu sangat sempit, yaitu terbatas pada kerja-kerja mem­per­baiki sistem ejaan dan penciptaan istilah saja. Ini terjadi karena para perancang bahasa Melayu mem­batasi diri mereka dengan konsep pem­­binaan bahasa sebagaimana yang dikon­sepsikan oleh ahli-ahli teori Barat, khususnya dari Amerika Serikat. Mereka melihat tugas pe­­rancangan bahasa itu terbatas pada perancangan korpus bahasa itu sendiri. Para perancang bahasa Melayu juga mempunyai sebutan yang sangat pendek bagi profesi mereka, yaitu sekadar memberikan ciri-ciri modern yang formal kepada bahasa yang mereka rancang itu. Jadi, mereka tidak pernah melihat bahwa pada akhirnya perancangan bahasa itu kita perlukan sebagai salah satu alat untuk melakukan reformasi masyarakat pemakai bahasa tersebut. Ditinjau dari sudut ini, ejaan dan istilah hanyalah unsur kecil dalam kerja-kerja pemba­haruan bahasa yang sebenarnya. Unsur yang jauh lebih diper­lukan ialah kandungan ilmu yang bisa diperoleh melalui bahasa tersebut dan bagaimana dapat diusahakan supaya bahasa itu mam­pu me­nyam­paikan ilmu-ilmu itu kepada seluruh pemakainya.

Teori perancangan bahasa yang ada sekarang hanya me­rupakan deskripsi dari hal yang telah dicoba dan dilakukan oleh beberapa ne­gara. Percobaan-percobaan itu juga dilakukan oleh ne­­gara-negara bekas jajahan pada awal kemerdekaannya sebagai salah satu usaha untuk mendapatkan jati diri (identitas) sebuah negara dan bangsa baru.

Para ahli teori perancangan bahasa sebenarnya hanya bekerja di be­lakang para perancang bahasa sendiri, sehingga sudah se­patutnya ada kesadaran terhadap bahasa Melayu. Dalam kondisi saat ini, para pe­rancang bahasa Melayu hanya mela­kukan hal yang diuraikan oleh ahli-ahli teori, sehingga apa yang belum mereka tulis tidak berani kita lakukan. Akibatnya timbul ke­adaan beku dalam perkembangan teori-teori peran­cangan bahasa seperti yang terjadi sekarang, di mana ahli-ahli teori menunggu perkembangan lebih lanjut dari para perancang bahasa, sedangkan para perancang bahasa sendiri menunggu pen­jelasan ahli-ahli teori itu.

Penelitian terhadap bahasa Melayu tidak boleh dilakukan de­ngan pandangan tradisi linguistik Amerika yang sangat des­kriptif, karena paham linguistik di sana dipengaruhi oleh keperluan-ke­perluan antro­po­logis, yaitu kajian terhadap ba­hasa-bahasa yang menjadi salah satu alat untuk mempelajari aspek-aspek antropologi suku-suku kecil yang terancam punah. Dengan kata lain, bahasa Melayu tidak boleh disejajarkan dengan bahasa-bahasa Indian Amerika. Ketika ahli-ahli bahasa Amerika mengkaji bahasa-ba­hasa Indian itu untuk tujuan preservasi, ahli-ahli bahasa Melayu sepatutnya meneliti bahasa Melayu berdasarkan tujuan reformasi, yaitu untuk menjadikan bahasa Melayu sebagai alat gerakan re­formasi sosial, ekonomi, dan politik. Dengan demikian, tugas ahli bahasa adalah untuk menghasilkan segala perubahan yang di­­perlukan oleh bahasa Melayu agar menjadi alat ampuh dalam proses refor­masi tersebut. Barangkali ada baiknya jika masalah ini kita bandingkan dengan sejarah per­kem­bangan ba­hasa Prancis.

Bahasa Prancis modern sebenar­nya berasal dari dialek masa lalu yang hanya dituturkan oleh penduduk sekitar kota Paris. Per­kem­­bangan dialek itu ke daerah-daerah luar Paris meng­akibatkan punahnya dialek-dialek daerah asli. Akibat yang ditim­bulkan ada­lah komunikasi yang lebih baik, sehingga membuat negara Prancis me­­miliki suatu bahasa nasional yang dapat me­mainkan peran sen­trifugal dan sentripetal yang mantap sekali. Hal ini juga dapat kita bandingkan dengan sejarah perkembangan bahasa Hebrew. Pada pe­ringatan awal, para perancang bahasa Hebrew bersifat purist dan mereka banyak melakukan kerja penggalian kosakata arkais untuk me­nerjemahkan kata-kata, terutama dari bahasa Inggris. Namun, pa­da satu tingkat tertentu terbukti bahwa jalan itu bukan pilihan yang paling baik untuk bangsa Yahudi, sehingga akhirnya me­reka mengubah pandangan mereka yang purist itu kepada suatu sikap yang liberal terhadap masuknya ratusan ribu kosakata asing bagi ilmu-ilmu modern yang sudah bertaraf universal. Sikap ini dapat di­bandingkan dan dipadankan dengan sikap bahasa Jepang.

Untuk menerjemahkan karya Flemming menge­nai penisilin, ba­­­hasa Jepang tidak mengambil kosakata perobatan tra­disional Je­pang dan sebaliknya terus mengambil semua istilah-­istilah Latin se­bagaimana yang digunakan oleh Flemming. Persoalannya sekarang ialah apakah kita mau mengorek dan menggali kitab-kitab Melayu lama dari bahasa-bahasa dialek untuk memodernkan bahasa Melayu, atau kita terima saja apa yang sudah ada dan anggaplah barang baru itu sebagai milik kita. Dari segi pengajaran, penggunaan kata-kata arkais maupun dialek sama sulitnya dengan kata-kata pinjaman, ka­rena ketiga jenis kata itu tetap bersifat baru bagi bahasa Melayu saat ini.

Situasi penutur bahasa Melayu yang terkurung dalam keter­be­­lakangan karena bahasanya sendiri pasti akan menghasilkan su­atu bangsa yang secara relatif terbelakang apabila dibandingkan de­ngan bangsa-bangsa maju. Tidak mengherankan apabila kelak kita me­ne­mui satu situasi di mana orang Melayu akan terus-me­nerus men­jadi objek kajian dalam kebodohannya, sebagaimana yang telah terjadi pada masa dahulu, dan rasanya masih terjadi hingga sekarang, se­dangkan bangsa-bangsa maju yang mengkaji orang Melayu terus ber­fungsi sebagai subjek dengan senjata pe­ngetahuannya. Barangkali hal ini dapat dite­rangkan melalui pen­dekatan relativitas, di mana kita berhadapan dengan dunia ilmu dan proses-proses sosial yang ber­kembang dengan cepat di dunia luar, sedangkan kita beku dalam kelambanan usaha untuk menguasai ilmu-ilmu modern yang telah di­­temui dan yang sedang dikembangkan dengan pesat oleh bangsa-bangsa yang lebih maju.

“Apa sebenarnya yang menjadi masalah pada bahasa Melayu se­karang? Adakah ejaan kita yang belum terkemas, tata bahasa kita yang belum mantap, peristilahan kita yang belum penuh, per­pustakaan kita yang kosong, atau bahasa Melayu kini muflis ilmu?” Kita me­merlukan diagnosis yang tepat mengenai masalah yang sedang kita hadapi ini, supaya kita dapat mengobatinya dengan tepat. Dalam kerja-kerja seperti ini kita memerlukan intellectual will yang betul-­betul kuat dari para ahli bahasa. Hendaknya para ahli bahasa tidak menafsirkan peran mereka dengan cara yang sesempit sekarang, di mana mereka mempunyai semacam obsesi terhadap tetek bengek ba­­hasa yang dikupas dan didebat dengan waktu dan tenaga yang be­gitu banyak. Kita khawatir “ketersesatan ilmiah” seperti itu tidak akan membawa kita ke mana-mana, melainkan kepada kehancuran ek­sistensi bahasa Melayu itu sendiri. Ke­besaran suatu bahasa sama sekali tidak tergantung pada ciri-ciri formalnya, seperti ejaan dan se­narai istilah yang dibuatkan baginya, tetapi bergantung kepada ilmu yang terkandung di dalamnya.

Demikian banyak tenaga telah dicurahkan untuk membina ba­ha­sa Melayu, tetapi jelas bahwa usaha itu ditumpukan pada tahap pen­ciptaan istilah, sedangkan dalam proses alamiahnya, istilah itu bukan apa-apa selain hanya by product atau hasil sam­pingan dari kegiatan intelektual penulisan dan penerjemahan. Pada masa ini, jelas lebih banyak para akademisi yang dilibatkan dalam kerja-kerja penciptaan istilah daripada diambil untuk melakukan kerja-kerja yang lebih po­kok bagi bahasa Melayu, yaitu penulisan dan pe­nerjemahan.

Hal penting bagi bangsa dan bahasa Melayu hari ini bu­kanlah mengambil material, teknologi, atau hardware (perangkat keras) dari bangsa lain untuk dipindahkan ke dalam bahasa Melayu, te­tapi mengambil unsur-unsur manusianya, keakalan, softwarenya (pe­rangkat lunak), atau ilmu-ilmu yang menjadi dasar kemajuan bangsa-bangsa tersebut. Oleh karena itu, yang harus dilakukan se­karang ialah gerakan untuk mengadakan perpindahan ilmu yang besar dan cepat dari negara-negara tersebut ke dalam bahasa Me­layu. Dengan demikian kita dapat menggerakkan reformasi pada penutur bahasa Melayu. Kita berharap, pengambilan dan penerimaan ilmu-ilmu mo­dern dari luar akan membuat penu­tur bahasa Melayu mengubah ni­lai-nilai tradisional, cara ber­pi­kir, dan pandangan hidup mereka yang terlalu didominasi oleh budaya ekspresif dan prinsip kepuasan pada nilai-nilai na­­­sio­nalisme-positivisme.

Saat ini, dunia hanya berbicara dalam dua bahasa, yaitu ba­hasa ekonomi dan bahasa teknologi. Kedaulatan suatu bangsa tidak terletak pada nilai-nilai estetis maupun metafisis yang di­miliki oleh para pe­nuturnya, melainkan pada penguasaan bi­dang-bidang ekonomi dan teknologi. Misalnya, supremasi 3, 5 juta bangsa Yahudi atas 40 juta bangsa Arab yang mengelilinginya itu semata-mata berdasarkan su­pre­masi teknologi, khususnya tek­nologi udara yang dimiliki oleh Yahudi. Demikian pula supremasi bangsa Jepang sekarang hanya ber­­dasarkan supremasi ekonomi yang dimilikinya, meskipun Jepang tidak memiliki supremasi militer.

Sebagai pemakai bahasa Melayu saat ini, kita diharuskan untuk me­­milih antara dua hal, yaitu berada dalam strata atas atau strata ba­wah. Kalau kita ingin berada pada strata atas, maka kita harus me­nye­lesaikan persoalan bahasa Melayu. Yang jelas, susunan strata bangsa-bangsa ditentukan oleh penguasaan faktor ekonomi dan tek­nologi.

Kalau kita menoleh kembali pada sejarah perkembangan ba­hasa Melayu pada abad ke-14 dan abad ke-15, jelas bahwa bahasa Melayu berkembang sebagai akibat dari perkembangan peran ekonomi ma­syarakat Melaka zaman itu, dan bukan dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Jika Melaka tidak meletakkan dasar-dasar supremasi politik dan ekonomi pada abad ke-14 dan abad ke-15, tidak mungkin bahasa Melayu dapat tersebar ke seluruh Nusantara seperti halnya saat ini. Dalam tempo yang singkat, Parameswara telah dapat membuktikan bahwa masyarakat nelayan dapat di­ubah menjadi masyarakat pe­da­gang. Nilai­-nilai ekonomi inilah yang harus segera dikejar oleh se­luruh lapisan masyarakat Melayu untuk memastikan supaya Melayu dapat berada pada strata atas dalam hubungan antarbangsa. Saat ini dunia hanya berbicara dalam ba­ha­sa ekonomi dan tidak dalam ba­hasa-bahasa lain. Kelompok yang memiliki dominasi ekonomi akan mem­punyai modal untuk mencapai dominasi teknologi dan juga po­litik, dan dengan demikian mendapatkan kekuasaan untuk me­nentukan kartu (corak) dunia.

Jika melihat ciri-ciri bahasa Melayu pada tahun 1985, maka yang perlu dipertanyakan sekarang ialah, “Apakah bahasa Melayu me­ngandung nilai-nilai yang diperlukan oleh penutur bahasa Me­layu untuk mengantarkan mereka menjadi suatu bangsa yang besar?”. Se­karang, bahasa Melayu hanya merekam bahan-bahan yang me­ngandung nilai-nilai estetis dan agama. Jika ini memang men­cerminkan keadaan sebenarnya dari penutur bahasa Me!ayu, yaitu sistem nilai orang-orang Melayu yang didominasi oleh nilai-nilai seni dan agama se­mata-mata, maka keadaan ini tidak akan dapat menjamin eksistensi orang Melayu. Ada lima nilai penting bagi suatu bangsa, yaitu nilai politik, nilai ilmu pengetahuan, nilai ekonomi, nilai seni, dan nilai agama. Kelima nilai itu harus berkembang secara seimbang. Jika suatu negara sudah didominasi oleh satu atau sebagian dari nilai-nilai itu, maka nilai-nilai lain tidak akan berkembang. Misalnya, jika suatu negara didominasi oleh nilai-nilai politik, maka nilai-nilai ilmu pengetahuan, ekonomi, dan lainnya akan menjadi mandul.

Ditinjau dari sudut ilmu, ada dua faktor yang telah gagal di­main­kan oleh bahasa Melayu dalam perannya sebagai bahasa pe­ngantar pen­didikan. Kedua faktor itu adalah jumlah dan kadar pe­masukan ilmu yang seharusnya dapat kita peroleh melalui pe­nggunaan bahasa Melayu. Kegagalan ini menyebabkan kita harus menerima kenyataan bahwa bahasa Melayu sebagai bahasa nasional negara kita tidak me­mainkan peran sentrifugal dan sentripetal dalam memperoleh dan menyebarkan ilmu-ilmu modern sebagaimana seharusnya. Dalam ke­adaan sekarang, fungsi sentrifugal, yaitu fungsi pemerolehan ilmu, jelas masih dimainkan oleh bahasa Inggris, baik kita akui maupun tidak.

Memang tidak mungkin bagi kita untuk mendapatkan ilmu-ilmu modern kalau kita berharap pada bahasa Melayu, karena kini memang tidak ada ilmu-ilmu modern yang tertulis dalam bahasa itu. Hal ini telah membuat bahasa Melayu tidak memain­kan fungsi sen­tripetal, yaitu fungsi penyebaran ilmu-ilmu tersebut. Dengan fung­si sentripetal yang dimaksudkan adalah fungsi penyebaran dan pe­nyampaian ilmu-ilmu kepada setiap individu dalam masyarakat, yang diperlukan untuk mendorong mereka mentransformasikan diri dari berkebudayaan rendah kepada berkebudayaan tinggi. Fungsi sen­tri­fugal adalah fungsi penemuan, pemerolehan, pe­ne­kanan, dan pe­masukan ilmu-ilmu yang diperlukan.

Fungsi-fungsi sentrifugal dan sentripetal ini bergantung pada ak­tivitas lintas ilmu antara bahasa-bahasa asing dengan bahasa Melayu. Hasil yang dicapai oleh fungsi ini ditentukan oleh jumlah dan kadar ke­­cepatan proses lintas tersebut. Pada waktu ini jelas sekali bahwa jum­lah dan kadar itu dapat dika­takan tidak berlaku sama sekali. Dari buku-buku yang tertulis dalam bahasa Melayu, 90% merupakan bidang kesusastraan dan agama, yaitu bidang-bidang estetis dan me­ta­fisis. Untuk memberikan ciri sentrifugal dan sentripetal kepada bahasa Melayu, kita memerlukan sikap liberal terhadap masuknya dua faktor dari bahasa-bahasa lain, yaitu nilai-nilai rasionalisme-po­sitivisme dan nilai ilmu pengetahuan yang telah dikumpulkan oleh bahasa-bahasa itu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melak­sanakan gerakan re­formasi bahasa Melayu, bukan tindakan konfrontasi sebagai­mana yang pernah ter­jadi dahulu akibat sikap purisme yang saat ini masih diusahakan oleh beberapa pihak. Tinjauan terhadap kaidah pen­cip­taan istilah yang ditetapkan pada bahasa Melayu misalnya, jelas mem­per­lihatkan pengaruh filsafat purisme.

Berkenaan dengan bahaya sikap purisme ini, ada baiknya jika kita melihat hal yang telah dialami oleh bahasa nasional Filipina, yaitu bahasa Tagalok. Bahasa Tagalok gagal mengambil alih peran ba­hasa Inggris di Filipina, karena sikap purisme yang dianut oleh para pejuangnya yang tidak memungkinkan berlaku­nya reformasi pa­da bahasa tersebut. Hal ini justru mengakibatkan proses lintas ilmu dari bahasa-bahasa asing ke dalam bahasa Tagalok berjalan sangat lambat. Bahkan, kini terhenti sama sekali. Hal yang se­baliknya dapat kita saksikan di Jepang.

Model restorasi Meiji di Jepang memperlihatkan hal sebaliknya. Agar proses lintas ilmu berjalan dengan cepat dan dalam jumlah yang banyak, bahasa Jepang telah menciptakan huruf-huruf Hira­gana pada tulisan Katagana supaya unsur-unsur bahasa asing dapat dimasukkan secara langsung ke dalam bahasa tersebut. Hasil­nya, sebagai contoh, tulisan Flemming mengenai penisilin dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang hanya dalam waktu 10 hari saja. Model restorasi Meiji memperlihatkan bahwa Jepang tidak mengambil sum­ber bahasa-ba­hasa lama, kuno, arkais, atau bahasa-bahasa dialek sebagai modal pem­­­baha­ruan bahasa Jepang. Kalau dikomparasikan dengan bahasa Melayu, ini berarti bahwa kita tidak perlu bersusah payah membolak-balik kitab-kitab lama zaman Malaka berkait dengan peristilahan modern. Kita ambil saja kata-kata asing saat ini karena sudah menjadi bagian dari kosakata ilmu-ilmu modern yang bersifat universal.

Bahasa dan bangsa Melayu memerlukan reformasi hanya se­ba­gai katalis, yaitu semacam modal pokok untuk mendorong kita me­la­kukan kemajuan selanjutnya. Katalis seperti ini perlu, karena hanya dengan itu kita dapat mempercepat proses pembangunan bahasa dan bangsa, yang jika hanya diserahkan pada proses alami­ah tidak mung­kin dapat mengejar kemajuan bangsa lain yang ber­gerak cepat. Untuk melaksanakan reformasi bahasa Melayu, kita memerlukan dua faktor utama, yaitu sema­cam political will dan intellectual will. Faktor political will berguna untuk melakukan usaha-usaha eks­pe­ri­men dan langkah-langkah perbaikan untuk mematangkan teori-teori perancangan bahasa tersebut. Usaha itu diikuti dengan faktor intelectual will yang akan memperkaya kan­dungan ilmu-ilmu modern dalam bahasa Melayu. Pada saat bahasa Melayu sudah menunjukkan bukti-bukti kemerosotan ilmu, masih saja belum ada suatu tindakan tegas secara politis untuk menangani ma­salah ini, di samping golongan intelektual Melayu sendiri yang masih terus berpangku tangan.

Bagi kita sekarang hanya ada dua pilihan. Pertama, kita mesti meng­gantikan kedudukan bahasa Melayu dengan bahasa asing yang sudah menyiapkan perangkat segala ilmu modern yang kita perlukan. Dalam hal ini, pilihan yang paling baik ialah bahasa Inggris. Kedua, me­mulai proses reformasi yang terencana pada bahasa Melayu su­pa­ya ia ditransformasikan dari sifat-sifatnya yang ada sekarang se­hingga dapat memperoleh sifat-sifat baru yang menyerupai sifat-sifat bahasa besar lainnya. Sebelum kita mem­buat keputusan untuk kembali mem­pergu­nakan bahasa kolonial (khususnya bahasa Inggris) sebagai peng­antar ilmu pengetahuan, diperlukan perenungan yang men­­da­lam terlebih dahulu.

Siapakah yang dapat menafikan bahwa bahasa Inggris, bahasa Prancis, bahasa Belanda, dan bahasa Spanyol adalah bahasa-ba­ha­sa dunia yang penting dalam bidang ilmu dan urus­an inter­na­sio­­nal. Bahasa-bahasa itu sudah terbukti ber­jaya membangun bang­sa-­bangsanya sendiri, meskipun di luar tanah asalnya, yaitu di ne­ga­ra-negara dunia ketiga, bahasa-bahasa itu tiba-tiba gagal sama sekali. Ternyata bahasa-bahasa itu tidak berdaya secara langsung mem­­bangunkan bangsa-bangsa di tanah asing yang meminjamnya. Belum ada satu pun negara peminjam bahasa negara lain yang dapat membangun dengan bahasa tersebut sebagai alatnya. Ber­dasarkan statistik UNESCO, tidak ada satu pun negara-negara peminjam yang dapat mencapai indeks, ukuran, dan definisi ke­miskinan yang dibuat oleh Perserikatan Bangsa-bangsa. Dengan kata lain, belum ada negara yang mencapai ukuran internasional. “Mengapa tragedi ini harus ter­jadi, dan mengapa pula para elit kita tidak menyadari hal ini?”

Pemilihan bahasa asing sebagai bahasa resmi justru akan ber­aki­bat munculnya berbagai masalah pada negara peminjam. Alasan utamanya, terdapat sifat-sifat sosiolinguistik bahasa penjajah itu sendiri. Bahasa penjajah berpusat di kota (bandar) dan bersifat elit sekali. Oleh karena berbagai faktor, bahasa penjajah tidak dapat tersebar ke luar batas kota-kota besar. Ini berarti bahwa bahasa itu mengandung banyak ilmu pengetahuan. Penerimaan ilmu-ilmu modern itu hanya terbatas di kalangan elit ekonomi dan elit sosial kota-kota. Oleh karena itu, hanya golongan tertentu saja yang dapat ikut serta dan mengambil kesempatan dalam setiap program dan proyek pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Sebaliknya, sektor desa akan tercecer dan tidak dapat memainkan peran dalam usaha pembangunan itu, se­­mata-mata karena mereka tidak menguasai ilmu-ilmu modern yang hanya tertulis dalam ba­hasa-bahasa penjajah. Disebabkan hal itu, justru sektor desa dan rakyatnya menjadi mundur dan tidak dapat mem­­bangun pengetahuan mereka atas dasar bahasa pinjaman. Ke mana pun kita pergi di dunia ketiga, keadaan yang sangat mencolok ialah perbedaan yang tajam antara sektor kota dan luar kota (desa).

Keadaan sosiolinguistik seperti ini menghasilkan ciri dualistik di bidang ekonomi, sosial, dan politik negara. Di kota, masyara­katnya maju dengan bahasa asing, sedangkan di luar kota masya­rakatnya ter­belakang dengan bahasa-bahasa lokal. Selanjutnya, keadaan seperti ini melahirkan lingkaran setan yang dahsyat. Dengan penguasaan ba­hasa asing, orang kota mampu menda­pat­kan pendidikan tinggi karena mampu mengetahui ilmu-ilmu modern dan dapat merebut pe­­­luang-peluang pembangunan. Me­reka bertambah makmur dan se­lanjutnya berupaya memberi pendidikan bahasa asing kepada anak-anak mereka. Begitulah putaran itu berjalan. Sebaliknya, masyarakat desa tidak berpeluang mempelajari bahasa asing yang berpusat di kota, sehingga me­reka tidak berpeluang menerima pendidikan tinggi dan tidak menguasai ilmu-ilmu modern. Hasilnya, mereka tidak dapat me­rebut peluang-peluang pembangunan. Mereka tetap terbela­kang, miskin, dan tidak mampu memberikan pendidikan bahasa asing ke­pada anak-anak mereka. Putaran itu membe­lenggu mereka da­lam keterbelakangan dan kepapaan.

Dalam situasi dualistik seperti ini tidak dapat ditentukan siapa yang akan selamat dalam jangka panjang, apakah yang kaya di kota atau yang miskin di desa. Walaupun kota maju, tetapi kemiskinan di desa akan mendorong urbanisasi dalam usaha melarikan diri dari ke­miskinan desa. Urbanisasi rakyat desa yang tidak berpendidikan modern dan tanpa memiliki keterampilan akan mengakibatkan te­kanan ekonomi dan sosial yang rumit kepada kota. Kedatangan me­reka membebani kota dan akibatnya kemakmuran kota sendiri akan terhambat. Inilah bukti bahwa kota tidak mungkin kaya-raya jika ka­wasan di sekitarnya miskin.

Hukum ini dapat dilihat lebih jelas di negara-negara maju. Tidak ada negara maju yang sektor desanya miskin dan mundur. Bahkan ke­majuan negara bukan ditentukan oleh kota, tetapi oleh sektor desa. Hakekat ini jarang sekali disadari oleh elit pemerintah negara-ne­gara dunia ketiga. Seluruh program pembangunan ne­gara selalu ditentukan oleh cita rasa dan kepentingan rakyat kota. Pengeluaran biaya negara lebih banyak dicurahkan untuk rakyat kota daripada luar kota. Sikap ini berdasarkan anggapan dan mitos bahwa kota adalah pusat politik. Sebenarnya, negara-negara dunia ketiga mempunyai dua pusat politik, selaras dengan sifat dualisme masyarakatnya, yaitu satu di kota dan lainnya di desa.

Di negara-negara dunia ketiga, sektor desa yang miskin men­jadi pusat berkembangnya gerakan-gerakan menentang rezim elit di kota. Memang kota-kota dunia ketiga, selain menjadi pusat bahasa asing juga menjadi pusat kapitalisme sebagai salah satu bagian dari budaya bahasa-bahasa tersebut. Gerakan-gerakan anti­pemerintah senantiasa bersifat jelata (populer), berbahasa lokal, berbentuk sosialis-komunis, dan berpusat di desa. Dualisme inilah yang menimbulkan keadaan po­litik yang sangat tidak stabil di negara-­negara dunia ketiga. Ketika ne­gara maju berperang dengan negara lain karena saling berebut pe­nga­ruh, negara-negara dunia ketiga berperang dengan rakyatnya sendiri.

Dasar peminjaman bahasa penjajah melahirkan imperialisme ke­bahasaan yang mengundang masalah-masalah lain yang juga sangat penting. Pertama, kemerdekaan negara-negara dunia ketiga ti­dak dapat mencapai arti kemerdekaan yang diidam-idamkan. Walaupun secara fisik penjajah telah keluar, tetapi bahasa yang di­tinggalkan akan menjadi tali yang menjamin ber­lanjutnya keter­gan­tungan ekonomi, militer, kebudayaan, dan psikologi rakyat bekas ta­nah jajahan. Ketergantungan se­perti itu menimbulkan masalah kelangsungan penindasan/penjajahan terhadap negara-negara du­nia ketiga. Keengganan dunia ketiga membina bahasa setempat sebagai bahasa resmi tidak boleh tidak akan terus me­ngekalkan ma­­salah-masalah yang dihadapi sejak mereka masih di­jajah, atau memperburuk masalah-masalah itu. Walaupun ne­gara-negara dunia ketiga mengekalkan bahasa penjajah yang konon demi kemajuan ilmu, tetapi ternyata mereka tidak memperoleh ilmu-ilmu itu. Bukti-bukti yang ada menunjukkan bahwa ternyata semua negara yang buku-buku sekolahnya masih dalam bahasa asing tidak satu pun yang dapat menyelesaikan masalah kemunduran taraf pendidikan dan keterampilan life skill) di kalangan rakyat mereka, padahal pen­didikan dan keterampilan (life skill) adalah aspek software yang men­jadi persyaratan pembangunan.

Penggunaan bahasa asing untuk melatih para cerdik pandai di dunia ketiga juga menghasilkan golongan terpelajar yang otaknya herot-perot belang-bonteng), terbelenggu oleh pandangan-pandangan Barat secara mentah-mentah, dan menjadi benuk Barat. Hal ini disebab­kan karena pendidikan melalui bahasa asing melahirkan indi­vidu yang “terasing” dari bumi dan masyarakat­nya sendiri. Orang-orang seperti inilah yang akhirnya menyum­bangkan masalah brain-drain. Pendidikan melalui bahasa asing sangat mahal dan rakyat negara-negara dunia ketiga berkorban untuk membiayai pendidikan para profesional, tetapi akhirnya para profesional ini lari ke Barat se­mata-mata untuk menda­pat gaji yang lebih banyak. Dengan demikian sistem pendidikan melalui bahasa asing akhirnya hanya memperkaya negara asal bahasa itu, karena mereka mendapatkan para profesional kita secara percuma (gratis).

Pendidikan melalui bahasa asing juga tidak membolehkan ne­gara dunia ketiga mencapai scientific independence. Itulah sebab­nya setiap hari kita hanya mendengar konsep “alih teknologi” dan bukan “alih ilmu” sebagaimana digaungkan oleh kalangan kita yang ter­golong elit Barat. Ditinjau dari sudut ini, kreativitas dan kelainan mental bangsa Jepang dan Korea pasti mempunyai kaitan dengan soal “keterpenjaraan bahasa” linguistic imprisonment) yang tidak berlaku pada mereka. Berbeda halnya dengan bangsa-bangsa dunia ketiga. Kegagalan kita mendapat kemerdekaan ilmu menjadikan kita selama-lamanya berperan sebagai negara kon­sumen consumer nations) dan tidak mungkin menjadi negara produsen.

Gejala seperti itu juga terbukti dalam pola monopoli teknologi du­nia ketiga. Negara-negara yang menggunakan bahasa setempat ternyata mempunyai kemampuan menciptakan teknologi tinggi, se­dangkan negara-negara peminjam bahasa asing mati akal. De­ngan bahasa asing, jangankan hendak menghasilkan teknologi sendiri, hen­dak menguasai teknologi yang tercatat dalam bahasa itu pun me­­­reka tidak berdaya. Sudah diketahui bahwa kekuasaan bangsa-bangsa saat ini adalah berdasarkan kekuasaan teknologi, baik dalam bentuk ekonomi, militer, maupun kebudayaan. Dasar bahasa asing me­ngekalkan keterbelakangan dan kemiskinan di kalangan negara-negara dunia ketiga, mematikan kreativitas para profesional kita untuk mencari penyelesaian-penyelesaian lain yang sesuai bagi masalah-ma­salah tipikal di dunia ketiga, dan akhirnya kita akan terus menjadi mangsa bagi kepentingan-kepentingan negara maju.

Peta dunia abad ke-20 hanya diwarnai oleh dua kartu. Per­tama, warna hijau. Negara-negara yang memiliki warna ini di­kenal sebagai dunia pertama, negara-negara utara, atau negara-negara maju. Semua negara itu menggunakan bahasa nasional ma­sing-masing sebagai alat pembangunan bangsa dan pengantar pendidikan. Kedua, warna merah. Negara-negara yang memiliki warna ini dikenal sebagai du­nia ketiga, negara-negara selatan, atau negara-negara membangun (ber­kembang). Semua negara ini menggunakan bahasa asing sebagai bahasa nasional dan pengantar pendidikan. Seluruh benua Amerika Latin, Afrika, India, dan se­bagian benua Asia menggunakan bahasa asing. Semua negara ke­lompok ini terbilang miskin.

Kaitan antara dasar bahasa dengan aspek-aspek politik, eko­nomi, dan militer ini menyedihkan sekali. Jika diteliti dari sudut politik, ne­gara-negara yang menggunakan bahasa asing sebagai bahasa resmi adalah negara-negara yang sangat rendah tingkat demokrasinya. Biasa­nya negara-negara itu berada di bawah peme­rintah diktator, tangan besi, feodal, undang-undang darurat, peme­rintahan boneka asing, dan pemerintahan militer, baik secara ter­buka ataupun ter­se­lubung. Di kalangan negara-negara itu juga terdapat masalah pe­rang saudara, perebutan kekuasaan, kuasa mi­liter, pemberontakan, ge­rakan perpecahan, perang gerilya, dan segala bentuk pertumpahan darah. Gambar­an yang menakutkan ini tidak hanya sampai di sini, karena kita juga sudah dan masih menyaksikan bahwa di negara-ne­gara ini semakin hari semakin banyak anggota yang jatuh ke tangan so­sialisme dan komunisme satu demi satu. Anehnya, tren atau ke­cen­derungan ini berlaku pada saat negara-negara sosialis-komunis Eropa–Cina sedang me­nuju ke arah dasar liberalisme. Negara-negara ini juga berada di bawah pengaruh dan telunjuk kuasa politik dari militer negara asing, yaitu kumpulan negara yang menggunakan ba­hasa aslinya.

Ditinjau dari sudut ekonomi, semua negara yang meminjam ba­hasa asing sebagai bahasa resminya adalah negara-negara mis­­kin, men­derita karena masalah hutang negara yang besar, pe­­ngeluaran dan ekspor negara yang rendah, kadar pertum­buh­an ekonomi yang rendah atau statis, tingkat kelahiran tinggi, tidak memiliki teknologi tinggi, semata-mata mengandalkan pe­ngeluaran barang mentah (ba­han baku), serta sektor desanya sangat miskin. Dari sudut sosial, ne­­gara-negara ini menderita ka­rena segala bentuk kezaliman sosial, mutu pendidikan yang rendah, buta huruf yang tinggi, jaminan sosial yang menyedih­kan, penuh korupsi, serta segala macam penyakit me­nular. Sebaliknya, negara-negara yang memilih bahasa setempat se­bagai bahasa resmi menikmati kebalikan dari apa yang dialami oleh negara-negara yang meminjam bahasa resminya.

Negara-negara yang berbahasa setempat menikmati de­mo­krasi yang sangat tinggi, apa pun bentuk demokrasi yang mereka anut. Po­litik me­reka stabil dan kehidupan mereka aman. Amerika dan Rusia senantiasa berperang, tetapi peperangan mereka tidak di dalam negeri, melainkan di tempat lain, yaitu dunia ketiga. Tidak ada perang saudara dan pe­rampasan kekuasaan, tidak ada undang-undang darurat atau militer. Di kalangan blok komunis, kecen­derungannya ke arah liberalisme dan kapitalisme. Negara-negara ini memonopoli informasi dan teknologi tinggi. Mereka me­miliki kekuasaan serta pengawal po­­litik dan militer antarbangsa (inter­nasional). Kadar pertumbuhan eko­­­nomi mereka tinggi karena mereka merupakan negara-negara peng­ekspor barang jadi. Mereka mengecap kemakmuran yang tinggi dan adakalanya terlalu mewah. Tingkat kelahiran mereka rendah de­ngan mutu pendidikan dan angka melek huruf sangat tinggi. Mereka mempunyai keadilan sosial, korupsi sangat rendah, serta diawasi. Me­reka sudah bebas dari ancaman penyakit-penyakit menular.

Di kalangan negara-negara yang menggunakan bahasa mereka sen­diri sebagai bahasa resmi dan pengantar dalam bidang pendidikan, terdapat beberapa negara yang menyimpang dari pola dunia pertama. Negara-negara itu ialah Cina, Indonesia, dan Thailand. Bagi ketiga negara itu, walaupun telah membuat pilihan yang tepat untuk bahasa nasional, tetapi mereka tidak dapat me­nandingi kemajuan yang te­lah dicapai oleh negara-negara dunia pertama. Faktor yang ti­dak di­sadari oleh negara-negara seperti Cina, Indonesia, dan Thai­land ialah pentingnya melakukan proses lintas ilmu yang besar dan cepat dari bahasa-bahasa lain ke dalam bahasa nasional tersebut. Hal ini hanya dapat dilakukan jika pemerintah mengadakan program pe­ner­jemahan yang terancang. Faktor inilah yang tidak dilakukan oleh Cina, Indonesia, dan Thailand.

Di antara negara-negara yang menggunakan bahasa asing seba­gai bahasa nasional dan pengantar bidang pendidikan, hanya satu ne­gara saja yang telah berjaya, yaitu Singapura. Kejayaan bahasa Inggris di Singapura bukan bukti kemampuan bahasa Inggris di tanah asing. Singapura adalah sebuah negara kota. Kota mana pun memang bisa sur­vive dengan bahasa asing. Bagi Malaysia misalnya, Kuala Lum­pur saja dapat hidup dengan bahasa Inggris, tetapi kita harus me­nya­dari bahwa Kuala Lum­pur bukan Malaysia. Begitu pula dengan semua negara dunia ketiga lainnya. Apabila kegiatan terjemahan tidak dijadikan tugas negara yang dibuat secara terencana dan be­sar-be­saran, pastilah negara-negara itu tidak akan dapat mencapai ke­majuan.

Untuk membangun tidak cukup hanya dengan mempunyai ba­hasa nasional. Hal ini sudah terbukti pada negara-negara yang te­lah mencoba bahasa nasional, tetapi kemudian kembali menggunakan bahasa penjajah (Burma, Filipina, dan sebagainya). Tragedi itu ber­laku terutama apabila sistem pendidikan bahasa nasional menghadapi ancaman kemunduran yang disebabkan oleh masalah-masalah tek­nis seperti peristilahan dari buku-buku rujukan. Di sini suatu per­timbangan teknis telah dijadikan alasan untuk membatalkan per­tim­bangan prinsip. Oleh karena soal per­istilahan dari buku adalah soal teknis, maka penyelesaiannya terletak di tingkat itu. Eropa dan Jepang telah melakukan gerakan penerje­mahan secara massal, namun tidak satu pun negara-negara dunia ketiga yang melakukan hal serupa. Is­tilah-istilah adalah hasil sam­pingan by product) kegiatan intelektual seperti penulis­an dan penerjemahan. Ironisnya, soal peristilahan ini se­lalu saja dija­dikan dalih untuk tidak mau membangun dasar bahasa nasional.

Sejarah Eropa membuktikan satu hal, yaitu masyarakat Eropa baru dapat keluar dari kegelapan Zaman Pertengahan Middle Age) hanya se­te­lah Perang Salib (Crusade) berakhir, ketika mereka berhasil me­newaskan pemimpin tentara Islam, Shalahuddin, yang dalam aksi militer telah memberi peluang bagi Eropa untuk menguasai pusat-pusat studi Islam dan langsung menerjemahkan seluruh ilmu yang ter­tulis dalam bahasa Arab ke dalam bahasa Latin untuk dibaca di Eropa.

Negara-negara dunia pertama yang menggunakan bahasa se­tem­pat sebagai bahasa resmi sebelumnya pernah menggunakan ba­hasa pinjaman (bahasa penjajah). Seluruh Eropa Barat pernah meng­gunakan bahasa bangsa Romawi, yaitu bahasa Latin sebagai bahasa resmi dalam bidang ilmu dan ketatanegaraan. Sebelum Renaissance, seluruh Eropa berada dalam keterbelakangan dan kegelapan (Middle Age) selama 2000 tahun dengan selimut bahasa Latinnya. Sementara itu, di bagian dunia lain, yaitu di Timur Tengah, Baghdad sudah mem­­punyai rumah sakit dan jalan-­ja­lan raya yang terang-benderang. Waktu itu, para penerjemah di Baghdad dibayar oleh pemerintahnya dengan emas yang di­timbang sama berat dengan bahan yang diterje­mahkan dari bahasa Yunani ke bahasa Arab.

Kebangkitan semangat kebangsaan di Eropa yang telah berjaya menjatuhkan penjajahan Romawi, yang diikuti oleh kemunduran ne­gara-negara bangsa national states) berdasarkan bahasa-bahasa se­tempat (vernacular), telah mengenyahkan peran Latin yang demi­kian penting sebelumnya. Ini semua berjalan dan menjadi unsur penting gerakan Renaissance. Sayangnya, hal ini tidak selalu di­ajar­kan kepada elit cendekiawan dan elit politik negara dunia ketiga. Se­­belum Renaissance, bahasa Inggris, bahasa Spanyol, ba­hasa Itali, bahasa Prancis, bahasa Jerman, dan bahasa Rusia seperti yang kita kenal hari ini adalah bahasa-bahasa “sakai” atau “kampung” (seperti bahasa Melayu sebelum Malaka) dan hanya dituturkan oleh orang-orang bawahan yang tidak berpengetahuan. Dalam abad kesembilan belas, revolusi industri yang berlangsung di Eropa dimungkinkan oleh adanya penerjemahan buku-buku yang tertulis dalam bahasa Latin ke dalam bahasa-bahasa nasional tempatan di seluruh Eropa. Sebenarnya, penerjemahanlah yang telah memajukan bahasa-bahasa “kam­pung” hingga menjadi ba­hasa besar seperti sekarang. Penerjemahan jugalah yang mem­buat bangsa-bangsa itu dapat menguasai berbagai ilmu dan me­ningkatkan serta mengembangkan ilmu-ilmu itu.

Jelas bahwa kemajuan yang telah dicapai oleh bahasabahasa Eropa modern hanya dapat menjadi kenyataan melalui penggantian dan perubahan peran yang selama ini dimainkan oleh bahasa Latin sebagai bahasa ilmu dan ungkapan. Pola ini juga dilalui oleh be­be­ra­pa bahasa Asia modern, yaitu bahasa Jepang dan bahasa Korea. Pada masa sebelum Perang Dunia Pertama, Jepang dan Korea meng­gunakan bahasa Cina Kuno, bahasa penjajah mereka sebagai bahasa ilmiah dan ungkapan. Seratus tahun yang lalu, takkala Meiji kembali ber­kuasa, Jepang mengganti bahasa Cina Kuno sebagai bahasa resmi dengan bahasa setempat. Demikian pula Korea selepas Perang Dunia Kedua, dan begitu negara itu mencapai kemerdekaan dari Jepang, Korea segera menjadikan bahasanya sendiri, bahasa Cina sebagai ba­hasa resmi. Peristiwa inilah yang membuat Jepang dan Korea dapat membangun bangsanya.

Walau bagaimanapun, pola yang dilalui oleh seluruh Eropa, Jepang, dan Korea tidak dicontoh oleh bekas tanah jajahan Inggris, Belanda, Spanyol, dan Prancis. Hal ini terlihat dari keputusan negara-negara di Amerika Latin, Afrika, dan sebagian Asia yang telah membuat keputusan untuk terus meminjam bahasa asing sebagai bahasa resmi daripada menggantikannya dengan bahasa setempat. Bahkan, ada tan­­da-tanda bahwa di antara negara-negara dunia ketiga yang sudah mempunyai bahasa nasional sendiri (Indonesia dan Malaysia) terdapat golongan elit yang bersedia supaya dasar itu diubah dan mencontoh negara-negara yang me­minjam bahasa asing.

Saat ini, Jepang adalah contoh negara yang dapat membukti­kan dengan jelas bahwa bahasa asli dapat diperguna­kan seba­gai alat pembangunan negara. Sejarah Jepang modern ber­mula sekitar 100 tahun yang lalu, ketika Meiji berkuasa. Sebelum itu, Jepang me­rupakan tanah jajahan Cina. Saat dijajah, seluruh ung­kapan negara Jepang dan sistem pendidikannya dijalankan dalam bahasa Cina Kuno. Waktu itu Jepang adalah negara feodal dengan kasta-kasta eko­­nomi dan sosial yang jelas. Saat itu Jepang miskin dan mundur di­ban­dingkan dengan negara-negara Eropa yang telah menguasai hampir 80% muka bumi ini. Pemerintahan Meiji menyadari hal itu dan bercita-cita untuk membangun suatu “negara baru” berda­sarkan “alam pengetahuan baru”. Untuk melaksanakan cita-cita itu, Meiji me­nyadari bahwa setiap rakyat Jepang harus diberi ilmu-ilmu baru supaya tidak ada yang tidak dapat ikut serta dalam pembangunan yang dirancang. Meiji sadar bahwa bahasa penjajah Cina adalah peng­­halang utama ke arah cita-cita tersebut. Untuk membina zaman baru, bahasa Cina harus “dibuang” dan diganti dengan bahasa Jepang sendiri, tetapi waktu itu bahasa Jepang adalah bahasa rendah, belum mempu­nyai tulisan, tidak mempunyai sastra tertulis, perbendaharaan kata­nya terbatas, dan terdiri dari banyak logat/dialek. Demikian ke­adaan bahasa Jepang yang akan menggantikan bahasa Cina dalam uru­san tata negara dan di universitas-universitas Jepang 100 tahun lalu.

Meiji telah membuat kepu­tusan. Logat/dialek yang telah di­pilih ialah logat yang pada wak­tu itu hanya dituturkan oleh para petani dan kaum wanita, yaitu kumpulan kasta paling rendah da­lam masyarakat Jepang saat itu. Logat/dialek inilah yang menjadi asal-usul bahasa Jepang modern hari ini. Pilihan atas logat/dialek petani dan wanita ini penting, karena alam pengetahuan baru yang hendak disampaikan ke­pada setiap rakyat Jepang hendaklah dalam bahasa yang dimengerti oleh mereka. Dengan keputusan itu, maka langkah-langkah untuk mem­beri tulisan pada bahasa itu dan menambah perbendaharaan kata­nya telah diambil. Se­lan­jutnya Meiji memi­lih pemuda-pemuda yang pintar untuk dilatih di negara-negara Eropa dan mempelajari ba­­hasa asing dengan tujuan khusus untuk menerjemahkan ilmu-ilmu Barat ke dalam ba­hasa Jepang. Pemuda-pemuda itu dikirim ke Rusia untuk me­nerjemahkan buku-buku militer, ke Inggris untuk buku-buku perkapalan, ke Prancis untuk buku-buku filsafat, dan ke Jerman untuk buku-buku teknologi dan kedokteran. Untuk menjalankan usa­ha itu, Meiji mendirikan biro terjemahan yang menjadi asal-usul Uni­versitas Imperial Tokyo sekarang.

Seandainya kita bersedia menerima dan mengakui kebenaran se­­­jarah masa lalu, maka negara-negara dunia ketiga hendak­nya siap untuk terjun ke dalam kegiatan penerjemahan dan pembinaan ba­­ha­sa nasional setempat. Bila tidak, kita akan mengalami nasib se­perti ini sampai kapan pun. Lihat apa yang terjadi pada ang­gota dunia ketiga yang paling penting, bangsa India. Sejarah kege­mi­langan bangsa India sangat tua usianya, sejak zaman tamaddun (per­­adaban) di Lembah Indus. Bangsa ini adalah bangsa besar dan telah mengembangkan pengaruh ke­kuasaannya secara luas ke ne­ga­ra-negara yang mengelilinginya. Dua agama besar yang lahir di sana, Hindu dan Budha, telah tersebar luas hari ini. Bang­sa ini telah melahirkan banyak cende­kiawan, sastrawan, ahli tek­nologi, dan to­koh-tokoh yang bertaraf internasional. India telah mengalami nasib seperti berpuluh-puluh negara lain yang jatuh ke tangan pen­jajah selama beratus-ratus tahun. Dalam rentang waktu itu, bahasa Inggris telah mengambil alih peran bahasa India dalam urusan-urusan tata-negara dan ilmu.

Setelah merdeka, India mengekalkan penggunaan bahasa pen­ja­jah itu sebagai bahasa resminya hingga hari ini. Bahasa Inggris adalah bahasa pengantar utama dalam sistem pendidikan India. Semua pen­didikan tinggi di India disampaikan dalam bahasa Inggris. Ini ber­makna bahwa India menyampaikan pe­ngetahuan modern kepada rakyatnya melalui bahasa asing dan tidak melalui jalan pembinaan bahasa kebang­saannya sen­diri. India juga tidak mengambil langkah untuk menerjemahkan secara besar-besaran dan terencana buku-bu­ku kesusas­traan dan ilmu-ilmu modern.

Jelas bagi kita sebagai orang luar bahwa penggunaan bahasa Inggris tidak berdaya untuk menyelamatkan India dari ancaman ma­salah-masalah yang paling dasar dalam hidup manusia, seperti per­soalan pangan dan papan. Belum lagi masalah yang lebih tinggi se­­perti keadilan sosial (sistem kasta), perang saudara (pemisahan Pakistan, kemudian Bangladesh), dan kebebasan politik (pengaruh Rusia). Namun, inilah negara yang melahirkan tokoh seperti Bose (beliau membetulkan kesalahan pada teori Einstein). Ini juga negara yang paling banyak melahirkan cendekiawan yang telah hijrah ke negara-negara Barat atas desakan ekonomi semata-mata. India juga negara miskin terbesar di dunia. Walaupun India mempunyai sumber daya alam yang kaya dan potensi pasar dalam negeri yang besar, na­mun kekuatan bahasa Inggris di India gagal menggerakkan sumber daya itu untuk membangun manusia India sebagaimana bahasa itu berjaya di tanah asalnya.

Bahasa Melayu adalah pilihan tepat untuk membangun bangsa Melayu. Tindakan segera yang diperlukan sekarang ialah me­­nerje­mah­kan seluruh ilmu-ilmu modern ke dalam bahasa Mela­yu. Kita tidak melihat pilihan lain. Catatan bagi kita adalah agar segera men­trans­formasikan bahasa Melayu dari sifat-sifat es­tetis–metafisisnya ke ra­sionalis–positivis. Agenda itu hendaknya mengan­dung program-pro­gram sebagai berikut.

Merancang ketersediaan sumber daya manusia pada tingkat na­sional yang menetapkan jumlah tenaga terampil dalam ba­hasa-bahasa modern.

Mendirikan universitas bahasa modern.

Memberi beasiswa khusus untuk melatih tenaga terampil da­lam bi­dang bahasa-bahasa modern sebagai persediaan awal.

Mendirikan biro penerjemahan dan bank manuskrip terjemahan yang sepenuhnya dibiayai oleh pemerintah.

Menyebarkan pengetahuan terjemahan di kalangan profesio­nal.

Menjalin kerjasama dengan tenaga ahli dan keuangan antara ne­gara-negara berbahasa Melayu pada tingkat antarpeme­rintah.

Melayu sebagai satu bangsa hendaknya kembali pada se­ma­ngat Malaka masa lampau dan bekerja dalam kesatuan bu­daya Nusantara yang tidak mengaca pada kemalangan sejarah politik rantau kita. Hanya dalam gagasan seperti ini kita dapat menyelamatkan nasib ba­hasa dan bangsa kita sendiri.

Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau.