Bangunan Tradisional Melayu dan Nilai Budaya Melayu


Oleh : Dr (HC). Tenas Effendy

Penulis memperkenalkan makna lambang-lambang yang terkandung dalam seni bangunan di Riau. Menurutnya, sandaran atau sumber seni bangunan tradisional di Riau dapat dijumpai dalam berbagai bentuk puisi tradisional serta ungkapan-ungkapannya yang khas. Oleh karena itu, untuk mengetahui dengan tepat makna lambang-lambang yang terdapat dalam seni bangunan tradisional tersebut diperlukan pengetahuan yang mendalam mengenai sastra lisan, tulisan, dan ungkapan lama.

1. Pendahuluan
Bangunan tradisional yang disebut juga “seni bina” Melayu, terutama untuk rumah kediaman, pada hakekatnya amat diutamakan dalam kehidupan orang Melayu. Rumah bukan saja sebagai tempat tinggal, tetapi juga menjadi lambang kesempurnaan hidup. Beberapa ungkapan tradisional Melayu menyebutkan rumah sebagai “cahaya hidup di bumi, tempat beradat berketurunan, tempat berlabuh kaum kerabat, tempat singgah dagang lalu, hutang orang tua kepada anaknya”. ltulah sebabnya rumah dikatakan “mustahak”, dibangun dengan berbagai pertimbangan yang cermat, dengan memperhatikan lambang-lambang yang merupakan refleksi nilai budaya masyarakat pendukungnya. Hanya dengan cara demikian diyakini bangunan akan benar-benar memberikan kesempurnaan lahir dan batin bagi penghuni rumah dan bagi masyarakat sekitarnya.

Lambang-lambang yang berkaitan dengan bangunan tradisional Melayu bukan saja terdapat pada bagian-bagian bangunan, tetapi juga dalam bentuk berbagai upacara, bahan bangunan dan namanya, serta letak bangunan. Oleh karena perjalanan masa, lambang-lambang tersebut tidak mudah dilacak lagi. Berbagai masalah kebudayaan harus turut diperhitungkan, karena cukup banyak nilai-nilai tradisional yang terkandung dalam suatu masyarakat telah terabaikan dan punah karena pergeseran dan perubahan nilai budaya yang terus terjadi. Nilai budaya Melayu Riau umumnya berpunca dari tiga aspek dominan, yaitu agama Islam, adat Melayu, dan tradisi Melayu. Adat dan tradisi yang kian melonggar berangsur-angsur menyebabkan nilai-nilai asli semakin kabur dan kehilangan warna.

Dalam seni bangunan tradisional, pergeseran dan perubahan sangat jelas terlihat. Di seluruh Riau, bangunan tradisional semakin sedikit, sedangkan lambang-lambang yang dikandungnya nyaris tidak lagi dikenal oleh masyarakat. Musyawarah, upacara, dan kegotong-royongan dalam pelaksanaan pendirian bangunan sudah sangat diabaikan. Tempat bangunan pun tidak lagi dikaitkan dengan kepercayaan masyarakat. Bentuk dan ukuran rumah telah digantikan oleh gaya arsitektur masa kini. Menurut tradisi, bahan bangunan harus dipilih dengan cara tertentu, namun kini bahan bangunan tergantung dari pasaran. Begitu pula dengan ragam hias dan lain sebagainya.

Di kampung-kampung masih banyak sisa-sisa bangunan tradisional, namun pemilik atau orang tua-tua di sana tidak banyak lagi yang mengetahui makna lambang-lambangnya. Kalaupun masih ada para tukang yang dapat membuat bangunan berpola tradisional, mereka kurang mengetahui arti yang terkandung dalam lambang-lambang tersebut. Masalah lain yang merupakan penghambat adalah kurangnya bahan bacaan tentang arsitektur tradisional Melayu Riau.

Tulisan ini hanya membahas tentang seni bangunan Melayu Riau dan bukan seni bangunan Melayu seluruhnya karena sulitnya mendapatkan sumber tertulis yang berkaitan dengan seni bangunan Melayu seluruhnya. Sumber informasi tulisan ini sebagian besar berasal dari sastra lisan di pedalaman Riau, seperti Bilang Undang dan Nyai Panjang yang masih kuat tertanam dalam ingatan masyarakat pendukungnya.

2. Arti, Fungsi, Dan Bentuk Bangunan
Setiap bangsa dan sukubangsa tentu mengenal arti, fungsi, dan bentuk bangunan tradisional dengan ciri khasnya, di samping nilai-nilai universal yang dikandungnya. Demikian pula dengan orang Melayu.

Bangunan tradisional Melayu adalah suatu bangunan yang utuh, yang dapat dijadikan sebagai tempat kediaman keluarga, tempat bermusyawarah, tempat beradat berketurunan, dan tempat berlindung siapa saja yang memerlukannya. Ini tergambar pada sebuah ungkapan tradisional Riau yang berbunyi:

Yang bertiang dan bertangga
Beratap penampung hujan penyanggah panas
Berdinding penghambat angin dan tempias
Berselasar dan berpelantar
Beruang besar berbilik dalam
Berpenanggah dan bertepian

Tempat berhimpun sanak saudara
Tempat berunding cerdik pandai
Tempat bercakap alim ulama
Tempat beradat berketurunan

Yang berpintu berundak-undak
Bertingkap panjang berterawang
Berparan beranjung tinggi
Berselembayung bersayap layang
Berperabung kuda berlari
Berlarik jerajak luar
Bertebuk kisi-kisi dalam
Bidainya tingkat bertingkat

Kaki dan atap berombak-ombak
Berhalaman berdusun
Di situ berlabuh kaum kerabat
Di situ bertambat sanak famili
Di situ berhenti dagang lalu


Menurut tradisi, orang Melayu Riau percaya pada empat cahaya di bumi yang terdiri dari rumah tangga, ladang bertumpuk, beras padi, dan anak-anak muda. Rumah tangga sebagai cahaya pertama hendaknya dipelihara sebaik-baiknya dengan dipagari adat atau tradisi, sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan:

Empat hutang orang tua kepada anaknya
Pertama mandi ke air
Kedua jejak tanah
Ketiga sunat Rasul bagi anak laki-laki
Tindik dabung bagi anak perempuan
Keempat mendirikan rumah tangganya

Rumah ada adatnya
Tepian ada bahasanya

Jalan bersetabik
Cakap bersetina
Duduk berbatuh

Makan berkatab

Kandungan makna dan fungsi bangunan dalam kehidupan orang Melayu sangat luas, sehingga menjadi kebanggaan dan memberikan kesempurnaan hidup. Oleh karena itu bangunan hendaknya didirikan dengan tata-cara yang sesuai dengan ketentuan adat, sehingga bangunan itu dapat disebut “rumah sebenar rumah”.

Bentuk bangunan tradisional Melayu biasanya ditentukan oleh bentuk atapnya, seperti Atap Belah Bubung, Atap Limas, dan Atap Lontik. Rumah dengan perabung lurus pada tengah puncak atap, dengan kedua bagian sisi atapnya curam ke bawah seperti huruf V terbalik disebut Atap Belah Bubung, Bubung Melayu, atau Rabung Melayu. Jika atapnya curam sekali disebut Lipat Pandan. Sebaliknya, jika atapnya mendatar disebut Lipat Kajang. Jika pada bagian bawah atap ditambah atap lain, disebut Atap Labu, Atap Layar, Atap Bersayap, atau Atap Bertinggam. Keterangan mengenai hal ini dapat dijumpai dalam salah satu ungkapan tradisional yang berbunyi:

Perabung lurus di tengah-tengah
Atap mencucur kiri kanan
Yang mengembang lipat kajang
Yang tegak berlipat pandan
Atap bertingkat Ampar Labu
Berempang leher Atap Bertinggam
Menguak ke samping Atap Bersayap
Tadahan angin Atap Layar

Jika perabung atap bangunan itu sejajar dengan jalan raja, orang Melayu menyebutnya Rumah Perabung Panjang. Sebaliknya, jika tidak sejajar disebut Rumah Perabung Melintang. Ungkapan tradisional menyebut bangunan ini secara teliti.

Di mana letak Perabung Panjang
Pada labuh dan tambak panjang
Lurusnya bagai antan disusun
Selari bagai induk tangga
Kalau perabung bersilang tambak
Bertelingkai bagai ranting
Bagai tangga dengan induknya
ltu tandanya Perabung Melintang

Jika perabung bangunan itu melentik ke atas pada kedua ujungnya, disebut Rumah Lontik, Rumah Pencalang, atau Rumah Lancang, karena bentuk hiasan pada kaki dinding di depan dan di belakang seperti bentuk perahu. Ini dinyatakan dalam ungkapan:

Lontik rumah pada perabung
Lontik sepadan ujung pangkal

Tempat hinggap sulo bayung
Tempat bertanggam tanduk buang

Jika atap Rumah Lontik ini bertingkat, disebut Rumah Gorai atau Gerai. Rumah atap limas yang diberi tambahan di bagian muka dan belakang dengan atap lain yang berbentuk limas disebut Limas Penuh, tetapi jika atap tambahan itu berbentuk Belah Bubung, maka rumah itu disebut Limas Berabung Melayu. Keterangan yang ada dalam ungkapan tradisional mengatakan:

Bersorong limas dengan limas
Padanan disebut limas penuh
Yang di muka ke selasar
Yang di belakang ke penanggah
Kalau berpatut limas dengan kajang
Berpandan dengan lipat pandan
Di situ tegak kunyit-kunyit
Yang di muka ke selasar
Yang di belakang ke penanggah

Bangunan di atas umumnya berbentuk persegi panjang dan jarang sekali berbentuk bujur sangkar. Lagi pula bangunan itu dinyatakan sebagai “tinggi lucup kepala, rendahnya seanjing duduk”, yang menggambarkan rumah panggung.

3. Lambang-Lambang Dalam Bangunan Melayu Riau
Kunci utama dalam mewujudkan bangunan dan lambang-lambangnya adalah musyawarah. Oleh karena itu, langkah pertama sebelum mendirikan bangunan adalah melakukan musyawarah, baik antarkeluarga maupun dengan melibatkan anggota masyarakat lain. Musyawarah membicarakan tentang jenis bangunan yang akan didirikan, kegunaannya, bahan yang diperlukan, lokasi bangunan, tukang yang akan mengerjakan, dan waktu pekerjaan dimulai. Biasanya dalam musyawarah juga dijelaskan tentang segala pantangan dan larangan, serta adat dan kebiasaan yang harus dilakukan dengan tertib. Pengerjaannya ditekankan pada asas kegotong-royongan yang disebut batobo, besolang, bepiari, atau betayan.

Seseorang yang mendirikan suatu bangunan tanpa mengadakan musyawarah dapat dianggap sebagai orang yang “kurang adab” atau “tak tahu adat”. Orang tua-tua akan merasa dilangkahi dan orang muda-muda merasa ditinggalkan. Bangunan yang didirikan tanpa musyawarah akan menyebabkan pemiliknya mendapat umpatan masyarakat, sedangkan bangunan itu sendiri dianggap gawal atau sewal, yaitu mendatangkan sial, seperti ungkapan:

Rumah siap pahat berbunyi
Yang mati berbalik hidup
Terkena tangkap sesentak
Berseliu bulan berkalan
Bersilang tongkat dengan tugal
Lantai berjungkat tengah rumah
Kasau jantan menyundak kepala
Ke hilir terhelah-helah
Ke hulu terdudu-dudu

Sebuah bangunan yang ideal digambarkan dalam ungkapan berikut:

Mangkuk penuh pinggan berisi
Rumah siap pahat tidak berbunyi
Melenggang tidak berpepas
Menyundak tidak tertumbuk
Berarang tidak patah
Berotan tidak putus
Tak ada rumput nan menyungkat
Tak ada tanah nan bertingkah
Kilaunya sudah kemas
Tak berundang di balik tanah merah
Tak ada kayat di balik mati

Jadi, musyawarah dan kegotongroyongan menjadi dasar kehidupan tradisional dan merupakan landasan dalam membuat sebuah bangunan. Hal ini jelas sekali dalam ungkapan yang berbunyi:

Orang kaya menurut kayanya
Orang miskin dengan tulang uratnya
Kalau tak ada beban sepikulan
Sehelai rotan terbelit juga

Lambang-lambang yang berkenaan dengan bangunan tradisional Melayu tergambar dengan baik dalam upacara, ukuran bangunan, bagian-bagian bangunan, dan ragam hiasnya.


4. Upacara
Mendirikan bangunan secara tradisional memerlukan bermacam-macam upacara agar harapan pemilik dan semua orang yang terlibat dalam pengerjaannya terpenuhi. Selain itu, upacara juga ditujukan supaya mereka semua terhindar dari malapetaka. Upacara yang umum dilakukan dalam pekerjaan ini adalah Beramu, Mematikan Tanah, dan Menaiki Rumah.

a. Upacara Beramu
Upacara Beramu disebut juga Mendarahi kayu, Meramu, atau Membahan. Tujuannya agar orang-orang yang terlibat dalam pembuatan bangunan tidak mendapat gangguan dari “penunggu hutan”, sebagaimana yang tergambar dalam mantra yang dibacakan oleh Pawang, Dukun, atau Kemantan yang melakukan upacara:

Assalamualaikum ibu ke bumi
Assalamualaikum bapa ke langit
Si Dogum namanya bumi
Si Coca namanya kayu
Induk Alim namanya tanaman
Menentukan salah dengan silih
Jangan diberi rusak
Jangan diberi binasa
Pada anak sidang manusia
Berkat aku mengambil kayu Tiang Tua
Berkat Lailahaillallah

Upacara ini disebut Mendarahi Kayu, karena Pawang yang memimpin upacara ini lebih dulu menyiram kayu yang akan ditebang dengan darah ayam sebelum ditepungtawari. Darah ayam yang disiram ke pangkal pohon itu melambangkan bersebatinya darah manusia dengan darah semua makhluk dalam hutan, sehingga mereka tidak akan mengganggu orang-orang tersebut. Lambang-lambang yang terdapat dalam upacara ini mencerminkan sikap hidup orang Melayu yang senantiasa menghormati orang lain serta selalu ingin menjalin persahabatan dan persaudaraan dengan siapa saja di bumi ini.

b. Upacara Mematikan Tanah
Upacara Mematikan Tanah bertujuan untuk membersihkan tanah tempat bangunan akan didirikan dari segala makhluk halus yang mendiaminya. Upacara yang dilakukan secara besar-besaran ini disertai dengan penyembelihan seekor kerbau. Jika diadakan secara sederhana, upacara itu disertai dengan penyembelihan seekor kambing atau seekor ayam.

Peralatan yang dipakai dalam upacara ini mengandung lambang dengan arti yang berkaitan dengan nilai-nilai budaya Melayu, yaitu: (1) Kain Campo Tengkuluk Godang, yakni sejenis selendang yang terdiri dari 3, 5, atau 7 warna untuk diselimutkan pada Tiang Tua. Kain melambangkan ibu rumah tangga yang akan mendiami rumah itu, sedangkan penyelimutan pada tiang menggambarkan kasih sayangnya kepada suami, anak-anak, dan keluarganya. Warna-warna kain pun mempunyai arti, yaitu merah sebagai lambang persaudaraan, hitam untuk keberanian atau kedubalangan, hijau untuk kesuburan atau bertunas, biru untuk kebahagiaan atau cayo langit, putih untuk kesucian atau putih hati seperti kapas, dan kuning untuk kekuasaan atau ono ajo; (2) Sirih setangkai yang melambangkan penghormatan kepada masyarakat yang ikut membantu mendirikan bangunan tersebut; (3) Bibit kelapa dua jurai yang melambangkan hubungan berkeluarga dan berketurunan; (4) Mayang pinang satu jurai yang melambangkan kecantikan dan keselarasan hidup dalam rumah tangga; (5) Payung, melambangkan tempat berlindung bagi siapa saja yang memerlukannya; (6) Kain panji dan umbul-umbul sebagai lambang keragaman suku yang ada dalam masyarakat yang telah turut membantu mendirikan bangunan tersebut; (7) Alat musik celempong, tetawak, dan gendang yang melambangkan kegembiraan dan kebahagiaan; (8) Seperangkat peralatan tepung tawar yang terdiri dari daun Setawar yang berarti obat segala bisa, daun Sedingin untuk mendinginkan kepala yang panas, menyejukkan hati, dan berlapang dada, daun Ati-ati yang berarti bijak berkata-kata dan baik tingkah-laku, daun Gandarusa untuk penangkal malapetaka dari luar, bedak Limau untuk membersihkan jasmani dan rohani, air Percung yang mengandung arti “memberi tidak diminta, melepas tidak disentak” atau ikhlas dan rela berkorban, dan beras kunyit, beras basuh, dan bertih yang mengandung arti keselamatan, kemakmuran, dan kesucian hati; (9) Bebara dan kemenyan sebagai tanda persahabatan dengan segala makhluk serta ajakan dan pernyataan bahwa di tempat itu diadakan upacara; (10) Limau Purut, penyembuh segala penyakit, tangkal penolak bala; (11) Hewan sembelihan untuk semah atau sedekah kepada makhluk di sekitar tempat itu; (12) Tahi besi dan besi berani sebagai lambang kekuatan, kebulatan hati, dan daya pikat dalam pergaulan; (13) Lumpur laut atau lumpur tanah bekas perumahan keluarga tertua yang melambangkan kelemah-lembutan, tidak kaku, dan kekal abadi; (14) Inggu untuk menolak makhluk halus yang jahat; (15) Daun Juang-juang, lambang hidup dan mati, serta sebagai penangkal sihir; (16) Tunam, yaitu semacam obor dari kulit kayu dan damar yang melambangkan cahaya, seri atau rumah tangga yang terang benderang.

c. Upacara Menaiki Rumah
Upacara Menaiki Rumah ditujukan sebagai ucapan terima kasih dari pemilik rumah atau bangunan itu kepada orang-orang yang telah ikut membantu. Kadang-kadang upacara ini diikuti kenduri atau makan bersama yang didahului doa selamat.

5. Letak Bangunan
Tempat-tempat yang baik untuk mendirikan bangunan menurut tradisi Melayu Riau adalah: pertama, tanah liat yang berwarna kuning dan hitam. Rumah di atas tanah ini diyakini akan membuat penghuninya tidak diserang penyakit jerih, pitani, dan sawan babi, sebagaimana dikatakan dalam sebuah ungkapan,

Tegak pada tanah liat
Liat nyawa di badan
Serit jerih menimpa
Yang kuning penolak pening
Yang hitam penawar pitam
Penawar sawan babi

Kedua, tanah yang datar. Rumah yang didirikan di sini dipercayai akan membuat penghuni bangunan selalu tenang hidupnya dan disenangi dalam pergaulan, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah ungkapan lama,

Datar tanah perumahan
Datar pula halamannya
Tak ada batang melintang
Tak ada onak menjemba

Ketiga, tanah yang miring ke belakang. Rumah di sini dipercayai akan membuat penghuninya tidak kekurangan rezeki, seperti dinyatakan dalam ungkapan,

Miring tanah ke penanggah
Tanda tungku kan menyala
Tanda puntung kan berasap
Tanda periuk kan berisi
Kalau curam ke halaman

Yang datang menggolek pergi
Tak terhempang dek pengkelang
Tak tersangkut dek tangga turun
Sumpit kempis, langau tak hinggap

Keempat, tanah belukar. Rumah yang dibangun di sini dipercayai akan membuat penghuni mendapat rezeki yang halal, bebas dari gangguan hantu dan makhluk halus lain, seperti dinyatakan dalam ungkapan,

Terkena pada tanah belukar
Kok codingnya bernas-bernas
Tak menjelau jin pelesit
Tak menyonggol jembalang tanah

Kelima, tanah yang dekat dengan sumber air. Menurut kepercayaan, rumah di atas tanah ini akan membuat penghuninya mendapat rezeki melimpah, seperti dinyatakan dalam ungkapan,

Dekat telaga di bawah bukit
Dekat suak anak sungai
Dekat segala ucap pinta

Kalau labu berisi penuh
Kalau petak acap-acapan
Makan tak termakan-makan
Minum tak terminum-minum

Tempat yang tidak terlalu baik dan tidak terlalu buruk untuk mendirikan bangunan menurut tradisi Melayu Riau antara lain adalah: pertama, tanah dusun atau kebun yang belum ada tanaman tua atau tanaman keras. Menurut kepercayaan Melayu, penghuni bangunan di sini tidak akan melarat hidupnya, tetapi rezekinya juga tidak melimpah. Ini dinyatakan dalam ungkapan lama,

Tanah ladang berbelukar
Belukar turun ke purun
Purun singgah ke tanah dusun
Terkena ke tanah dusun
Yang tak berdurian bercempedak
Tidak bermacang bermempelam
Tidak bermanggis berbuah rambai
Dapat pagi makan pagi
Bersua malam makan malam
Tapi tidak gadai menggadai
Tidak pula dibelit hutang
Tidak berjuak dan berjurai

Kedua, tanah bercampur pasir. Orang Melayu percaya bahwa penghuni di sini akan terhindar dari penyakit sampar, seperti diterangkan dalam ungkapan,

Berserak pasir di perumahan
Kisik-berkisik di halaman
Tak kan singgah jembalang tanah
Tak kan hinggap awe sampar

Ketiga, tanah bekas perumahan lama. Rumah di lahan ini dipercaya akan membuat penghuninya mendapat nasib seperti pemilik bangunan lama, seperti ungkapan,

Mengunut jejak mengulang langkah
Kalau unut di bawah betis
Kalau jejak di bawah tapak

Keempat, tanah terbuang atau terlantar. Menurut kepercayaan mereka penghuni rumah di sini akan berhasil dalam hidup jika kesialan tanah tersebut dibuang.

Tempat yang dipantangkan untuk mendirikan bangunan antara lain adalah: pertama, tanah gambut. Penghuni bangunan di atas tanah ini diyakini akan menderita penyakit tulang, seperti tersebut dalam ungkapan lama,

Kalau gambut tiang rumah
Kok tegak tak berdiri
Kok cangkung tak terlipat
Kok duduk tak tersila
Ngilu tulang yang kan tiba

Kedua, tanah kuburan. Menurut kepercayaan orang Melayu penghuni di atas lahan ini akan diganggu oleh hantu atau diserang berbagai penyakit, sebagaimana disebutkan dalam ungkapan,

Berumah di atas kubur
Kok hantunya silau bersilau
Penyakit ulang-berulang
Betah pagi petang tiba
Betah petang pagi berbalik

Ketiga, tanah bekas orang mati berdarah. Rumah di atas tanah semacam ini dipercayai akan membuat penghuninya mendapat celaka dan diganggu oleh hantu orang yang mati di situ, seperti dikatakan,

Berumah di atas tanah berani
Bagai menghimbau musuh tiba
Bagai mengimak bala datang

Keempat, tanah bekas orang yang mati karena penyakit sampar. Penghuni bangunan di atas tanah ini dipercaya akan mendapat nasib yang sama, seperti dinyatakan dalam ungkapan,

Berumah di tanah Awe Gilo
Bagai menghimbau induk awe
Bagai mengimak jembalang awe

Kelima, tanah “tahi burung”, yaitu tanah berlekuk-lekuk. Menurut kepercayaan orang Melayu penghuni rumah di atas tanah seperti ini akan mendapat penyakit bubul, sebagaimana dinyatakan

Tanah lekuk-berlekuk
Tanah bernama tahi burung
Dibuat ladang padinya kerit
Dibuat kebun batang meranggas
Dibuat rumah sakit bubul
Dibuat gelanggang mematahkan
Dibuat tepian tak berair

Keenam, tanah berbusut dan beranai-anai. Orang Melayu percaya bahwa penghuni rumah di atas tanah ini akan melarat, seperti diungkapkan dalam pantun,

Tanah berbusut beranai-anai
Busutnya penyemput bala
Anai-anai penyemput hutang
Tak kering kain di pinggang
Tak bersiang tak bermalam

Ketujuh, tanah wakaf. Penghuni rumah di atas tanah ini dipercayai akan ditimpa kutukan, sebagaimana diungkapkan,

Membuat rumah di tanah wakaf
Kepala menjunjung bala
Bahu memikul siksa

Delapan, “lidah tanah”, yaitu tanah yang berbusut panjang. Penghuni bangunan di atas tanah ini diyakini tak akan tetap mendiami rumahnya, sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan,

Busut panjang lidah tanah
Tak menahan gelegar rumah
Tak memapan lantai tengah
Kekalnya sehari dua
Ketiga mati ditimpa alang
Keempat terbuang ke laut luas

6. Arah Bangunan
Setelah memilih tempat yang baik, untuk mendirikan bangunan juga harus diperhatikan arah hadap bangunan. Oleh karena itu seni bangunan Melayu Riau mempunyai beberapa patokan berkenaan dengan arah. Pertama, menghadap ke Utara. Arah hadap utara dianggap baik sekali, karena diyakini mendatangkan banyak rezeki, jarang ditimpa penyakit, dan selalu hidup berkecukupan, seperti dinyatakan ungkapan lama,

Kalau rumah menghadap ke utara
Bagai menahan belat di kuala
Satu dipasang dua isinya
Dua dipasang empat mengena

Kedua, menghadap ke Timur. Arah ini juga dianggap baik sekali, karena dipercayai akan membuat penghuni rumah mendapat rezeki melimpah, jauh dari segala macam penyakit, seperti dinyatakan,

Kalau rumah menghadap ke timur
Bagai lukah di pintu air
Pagi direndam petang berisi
Petang direndam malam penuh
Bukan penuhnya oleh apa

Penuh emas dengan urai
Penuh gelak nan berderai

Ketiga, menghadap ke Barat. Arah hadap ini dianggap tidak baik, karena bisa membuat penghuni bangunan selalu diserang penyakit panas dan tidak tenteram, seperti diungkapkan,

Kalau rumah menghadap ke barat
Bagai lesung batu tidak beranak
Lada ada sambal tak lumat
Garam sebuku tak tergiling

Keempat, menghadap ke Selatan. Arah hadap ini dianggap kadang-kadang mendatangkan kebaikan pada penghuni rumah, kadang-kadang tidak, seperti diungkapkan,

Kalau rumah menghadap ke selatan
Bagai peluntang di tengah sungai
Tuah kail puntung mengena
Sial kail umpannya habis

7. Memilih Bahan Bangunan
Sastra lisan yang berupa ungkapan tradisional Riau memberi petunjuk tentang bermacam-macam kayu yang tidak baik untuk dijadikan bahan bangunan, misalnya kayu yang dililit akar. Kayu ini dikatakan dapat menyebabkan bangunan sering dinaiki ular atau penghuninya mendapat kesulitan, seperti ungkapan,

Kalau kayu dililit akar
Tumbangnya tak jejak ke tanah
Ditebang menyangkut beliung
Dibawa pulang diikut susah

Kayu yang berlubang digirik kumbang atau kayu yang berlubang di tengahnya juga dianggap tidak baik, seperti ungkapan,

Kalau kayu digirik kumbang
Dilintangkan ia patah
Ditegakkan ia rebah
Kalau kayu berlubang panjang
Empulurnya membawa miang
Tatalnya melenting mata
Patut dibuat kayu api

Kayu yang sedang berpucuk muda. Kayu ini dianggap dapat menyebabkan penghuni bangunan sakit-sakitan dan sulit mendapat rezeki, seperti ungkapan,

Kalau kayu berbunga lebat
Buahnya mengunjung dahan
Pucuknya menjarum-jarum
Kalau panas ia pecah
kalau hujan ia lapuk
Terasnya tidak berurat
Empulur menggenang getah

Kayu yang batangnya berpilin. Kayu ini dianggap akan dapat menyebabkan penghuni bangunan mendapat fitnah, seperti ungkapan,

Batang kayu berpiuh pilin
Di hutan menyundak dahan
Di rumah menyundak atap
Yang lurus membengkokkan
Yang tegak merebahkan

Kayu tunggal, yaitu kayu yang jenisnya hanya ada sebatang di suatu tempat. Menurut kepercayaan penghuni rumah yang dibuat dengan kayu ini akan bercerai dengan keluarganya, sebagaimana diungkapkan,

Kayu tunggal penunggu rimba
Kalau ditebang menghabiskankan
Kalau ditutur mematikan

Kayu bekas tebangan orang. Bangunan yang dibuat dengan kayu ini diyakini akan membuat penghuninya cepat bercerai dengan keluarganya, seperti ungkapan,

Kalau ada bekas beliung
Tak boleh dikerat lagi
Di situ letak silang sengketa
Di situ pertemuan dihabisi

Kayu yang tidak langsung tumbang di tanah ketika ditebang. Bangunan yang dibuat dari kayu ini menurut kepercayaan akan mendatangkan bahaya kematian bagi penghuninya, seperti ungkapan,

Yang rebah tak mencecah tanah
Menyandar ke kayu lain
Memutus ranting meretas dahan
Matinya mati menganggang
Tergantung lapuk tertegak busuk

Kayu yang akarnya menjulur ke air. Bangunan yang dibuat dengan kayu ini dianggap akan dapat menyebabkan penghuninya mendapat sial, seperti ungkapan,

Sebelah akar di tebing
Sebelah akar di air
Satu dipegang satu lepas
Satu dapat satu menghilang

Kayu bekas terbakar. Bangunan yang dibuat dengan kayu ini dianggap akan menyebabkan penghuninya menderita kemiskinan dan berbagai penyakit, seperti ungkapan,

Terpanggang kayu di tengah ladang
Terasnya menjadi gubal
Diketam tidak bertatal
Kulit dikubik berisi arang
Banir diseluk tak berurat tunggang
Dipesandar timpa-menimpa
Ditampung tak tertampung
Dikerat tak terkerat
Mematah pada beliung
Memecah hulu parang

8. Ukuran Bangunan
Ukuran bangunan juga dipercaya dapat menentukan baik tidaknya sebuah rumah. Secara tradisional patokan untuk mengukur adalah ukuran bagian tubuh si pemilik, seperti tinggi hasta, serta ukuran berdasarkan banyaknya kasau dan gelepar. Tinggi bangunan yang paling baik adalah sepemikulan atau setinggi bahu karena ini berarti beban hidup akan dapat dipikul sepenuhnya oleh si pemilik. Tentang hal ini ungkapan lama menyebutkan,

Tinggi rumah sepemikulan
Terpikul bendul nan empat
Terpikul ladang bertumpuk
Tak bertingkat tungku di dapur
Tak tersingkap kain di pinggang

Jika tinggi bangunan itu sejunjungan, yaitu setinggi puncak kepala si pemilik, hal itu juga berarti baik.

Tinggi rumah sejunjungan
Terjunjung adat dengan lembaga
Terjunjung harta dengan pusaka
Terjunjung pintak dengan bagi
Terjunjung ico dengan pakaian

Jika tinggi bangunan itu sepenjangkauan, itu juga berarti baik karena dipercaya si pemilik akan dapat menjangkau segala keperluan rumah tangganya serta mencapai cita-cita.

Tinggi rumah sepenjangkauan
Tergapai kasau dengan alang
Teraih padi dalam petak
Tertutup baju di dada
Tercapai ucap dengan pinta

Jika tinggi bangunan itu sepenyangup, yaitu setinggi mulut, itu berarti tidak baik, karena menurut kepercayaan si pemilik akan menjadi rakus, kikir, serta bertengkar dengan tetangga di sekitar.

Tinggi rumah sepenyangup,
langau lalat dimakannya,
berlapis kancing pintunya,
duduknya di atas-atas,

cakap tengking-menengking,
tak lawan musuh dicari.

Jika tinggi bangunan itu selutut, berarti sangat tidak baik, karena si pemilik dianggap tidak tahu adat serta akan berada dalam kemiskinan.

Kalau rumah tinggi selutut
Tak beradat pintu rumah
Tak beradat tangga rumah
Berbeliung tak berpoda
Berparang tidak berasah
Ke hulu pinta-meminta
Ke hilir kata-mengata

Untuk ukuran tinggi bangunan digunakan ukuran tinggi badan pria (suami), sedang untuk ukuran besar bangunan diutamakan menggunakan ukuran tangan wanita (istri). Untuk mengukur besar rumah yang tepat dipakai seutas tali. Hasta pertama disebut ular berang yang berarti tidak baik, karena bangunan yang ukurannya jatuh pada hasta pertama ini akan mengakibatkan sengketa. Hasta kedua disebut meniti riak, juga berarti tidak baik, karena dipercaya akan membuat penghuninya menjadi sombong. Hasta ketiga disebut riak meniti kumbang berteduh, yang berarti baik sekali, karena dapat membuat penghuninya mendapat ketenteraman, kebahagiaan, rezeki melimpah, serta menjadi tempat bernaung keluarga dan masyarakat sekitarnya. Hasta keempat disebut habis hutang berganti hutang yang berarti tidak baik, karena akan membuat penghuninya miskin akibat berhutang. Hasta kelima disebut hutang lalu tidak terimbuh yang berarti tidak baik, karena menurut kepercayaan penghuni bangunan seukuran itu akan bertambah miskin bila mendiaminya.

Ada cara mengukur yang disebut bilang kasau yang juga diserahkan kepada wanita (istri). Ukurannya disebut setulang, yakni sepanjang ujung siku hingga ke ujung buku jari tergenggam. Tulang pertama disebut kasau yang berarti baik, karena membawa kebahagiaan lahir dan batin. Tulang kedua disebut risau yang berarti akan mendatangkan malapetaka. Tulang ketiga disebut rebe yang berarti selalu diancam oleh bahaya dan melarat. Tulang keempat disebut api yang berarti sering terjadi perselisihan, pertengkaran, dan mungkin sekali rumah itu terbakar.

Cara mengukur bilang gelegar sama dengan kasau. Tulang pertama disebut gelegar yang artinya baik sekali, karena ukuran ini membawa kesejahteraan dan kebahagiaan. Tulang kedua disebut geligi, artinya tidak baik karena penghuni bangunan akan selalu sakit, mendapat sial, dan susah. Tulang ketiga disebut ubur, artinya tidak baik karena mendatangkan kesusahan dan kemelaratan. Tulang keempat disebut bangkai, yang berarti sangat tidak baik karena membawa malapetaka dan bahaya maut bagi penghuninya.

9. Tiang
Dalam bangunan tradisional Melayu terdapat beberapa macam tiang seperti tiang seri, yaitu tiang yang terletak pada empat sudut bangunan induk. Sastra lisan di Riau mengungkapkan tentang tiang seri seperti berikut,

Tiang seri di empat sudut
Empat cahaya di langit
Empat cahaya di bumi
Empat seri ke muka
Tempat dinding bertemu kasih
Tempat belebat bergalang ujung
Kalau tegak tiang nan empat
Kalau hutang ke anak jantan
Empat hutang ke anak betina
Empat alim berkitabullah
Empat sahabat Rasulullah
Empat alam ditunggunya
Empat asal kejadiannya

Tiang Penghulu adalah tiang yang terletak di antara pintu muka dengan tiang seri di sudut kanan muka bangunan. Dalam ungkapan dikatakan,

Tegak rumah dek tiang seri
Kokoh rumah dek tiang penghulu
Tempat bersandar datuk-datuk
Tempat bertumpu alim ulama
Tiang penghulu bertiang panjang
Lurusnya bagai alif
Nan menahan beban rumah
Nan memikul berat atap
Nan menyangga dinding belebat
Tertegak tiang penghulu
Tegak adat selilupnya

Tiang Tua adalah tiang yang terletak pada deretan kedua sebelah kiri dan kanan pintu tengah. Dalam ungkapan dikatakan,

Tiang tua sebelah kiri
Tempat kelapa dua jurai
Tiang tua sebelah kanan
Tempat selendang kain campo
Tiang tua di pintu tengah
Tempat bersandar bendul panjang
Tempat adat dipalangkan
Tempat langkah dihentikan

Tiang Tengah adalah tiang-tiang yang terdapat di sekeliling bangunan induk. Dalam ungkapan dikatakan,

Tiang tengah pemasak rumah
Terpasak kaki ke bumi
Terpasak kepala ke langit
Terpasak dengki dengan aniaya
Terpasak salah dengan silih

Tiang Bujang adalah tiang yang khusus dibuat di bagian tengah rumah. Dalam ungkapan dikatakan,

Tiang bujang di tengah rumah
Bertanduk rusa bersangkutan
Tempat membuat peluh busuk
Tempat mengusap-usap muka
Tempat menggaru-garu belakang
Tempat kenyang dilepaskan

Tiang dua belas adalah gabungan dari 4 buah tiang seri, 4 buah tiang tengah, 2 buah tiang tua, 1 buah tiang penghulu, dan 1 buah tiang bujang. Dalam ungkapan dikatakan,

Tertegak rumah tiang dua belas
Dua belas cahaya naik
Dua belas cahaya turun
Dua belas tiang dikandungnya
Dua belas bulan ditunangnya

Selain tiang-tiang utama tersebut, juga terdapat tiang-tiang pembantu, yaitu tiang tongkat, tiang sokong, dan tiang sulai atau tiang banga. Bentuk tiang-tiang tersebut bulat atau bersegi. Tiang bulat dan bersegi mempunyai makna tertentu seperti yang terungkap dalam khazanah sastra lisan.

10. Tangga
Pada bangunan tradisional Melayu, tangga depan dikatakan mengandung makna lambang-lambang, sehingga diungkapkan,

Leher berpanggak pada bendul
Kepala bersandar ke jenang pintu
Anak bersusun tingkat-bertingkat
Tempat pusaka melangkah turun
Tempat mengisik-ngisik debu
Tempat membasuh-basuh kaki

Ada dua jenis tangga. Pertama, tangga bulat, yakni tangga yang dibuat dari kayu bulat. Jenis ini dikenal dengan tangga bertanggam. Kedua, tangga picak, yaitu tangga pipih yang terbuat dari papan tebal. Susunan anak tangga, cara mengikat tali tangga, dan bagian-bagian induk tangga mengandung makna tertentu sesuai tradisi seni bangunan Melayu seperti yang diungkapkan dalam sastra lisan. Misalnya, pangkal kayu anak-anak tangga harus diletakkan di sebelah kanan tangga. Hal ini dijelaskan dalam ungkapan lama,

Pangkal kayu sebelah kanan
Ujung terletak di sebelah kiri
Tak bersilang adik-beradik
Tak menyunsang sampan dikayuh
Tak terkejut tengah malam
Tak tergempar orang di banjar

Ikatan tangga harus dibuat secara khusus yang disebut lilit selari atau belit bercengkam. Disebut seperti itu karena ikatan tali tidak boleh terputus-putus, mulai dari anak tangga paling atas sampai ke anak tangga terbawah, seperti ungkapan,

Belit bercengkam tali tangga
Lilit selari sambung-bersambung
Dari atas turun ke bawah
Ikat bercengkam simpul mati
Tak bertelingkah cakap di rumah
Tak kerit padi di ladang
Kalau ya dipakai, kalau tidak dibuang

Bagian yang disebut leher tangga, yang tersangkut di atas bendul pintu, melambangkan kasih sayang ibu kepada anaknya. Dalam ungkapan lama dikatakan,

Leher terpangguk pada bendul
Bagai memangku anak menyusu
Kasih menurut sepanjang jalan
Tak bersekat berhempang-hempang

Bagian yang disebut kepala tangga tersandar ke jenang pintu melambangkan kepala rumah tangga yang senantiasa menjaga martabat keluarganya, seperti ungkapan,

Kepala bersandar ke jenang pintu
Memberi tahu orang di rumah
Memberi kabar orang di tanah
Entah orang salah duduk
Entah orang salah cakap

Jumlah anak tangga dalam bangunan tradisional Melayu dinyatakan dalam ungkapan tradisional sebagai berikut,

Yang pertama memberi salam
Yang kedua pengisik debu
Yang ketiga pelepas penat
Yang keempat peninjau laman
Yang kelima pijakan adat

Yang keenam gantung rantungan
Anak tangga bersusun lima

Lima rukun di dalamnya
Anak tangga bersusun enam
Enam pula kandungannya
Yang sesuai menurut syara‘
Yang lulus menurut kitab

11. Bendul Dan Lain-Lain
Bendul atau bendul pintu kadang-kadang disebut juga “batas adat”, karena bendul merupakan batas tempat tamu lelaki dibenarkan masuk apabila di rumah tersebut tidak ada lelaki. Sang tamu hanya dibenarkan duduk di bendul pintu muka dengan sebelah kaki berjuntai di anak tangga. Dalam rumah yang tidak berbilik permanen, bendul dijadikan sekat atau batas yang biasanya ditutup dengan tabir. Dalam ungkapan dikatakan,

Rumah ada adatnya
Selilup bendul tepi

Selingkup bendul tengah
Kalau rumah tak berjantan

Sebelah kaki di bendul
Sebelah tinggal di anak tangga
Kalau dihimbau naik ke rumah
Masuk terpalang bendul tengah

Itu tandanya rumah beradat
Berbendul sekat menyekat
Bagai durian beruang-ruang
Bagai buluh ruas-beruas

Selain bendul, gelegar, pintu, jendela, kasau, alang, dinding, bilik, anjungan, lubang angin, bidai, atap, dan ruangan juga dinyatakan dalam ungkapan tradisional yang termasuk dalam sastra lisan, yang masih diingat para penduduk di beberapa pelosok Riau.

12. Ragam Hias Dalam Seni Bangunan Melayu Riau
Hiasan yang terdapat dalam seni bangunan Melayu Riau bermacam-macam. Misalnya, sepanjang kaki dinding di bagian depan dan belakang rumah lontik diberi ukiran yang disebut gando ari. Motif ukiran mengambil bentuk daun, bunga, kuntum, dan akar-akaran yang menggambarkan kekayaan flora sebagai pernyataan dekatnya hubungan manusia dengan alam. Juga terdapat motif-motif hewan dan alam sekitar. Motif-motif dari seluruh daerah Riau dapat disebut secara garis besar seperti misalnya Kaluk Pakis, Bunga Hutan, Bunga Kundur, Tampuk Manggis, Pucuk Rebung, dan lain-lain yang berasal dari alam flora, dan Itik Pulang Petang, Semut Beriring, Siku Keluang, dari alam fauna, dan motif lainnya dari alam seperti Bulan Sabit, Bintang-bintang, Awan Larat, dan lain sebagainya.

Hiasan-hiasan itu dibuat di dinding-dinding bangunan, di daun pintu, di kisi-kisi jendela, di tangga, dan di bagian atap. Hiasan pada bagian atap biasanya dibuat pada cucuran atap atau pada perabung. Di antara hiasan yang dibuat pada perabung atap adalah selembayung. Selembayung disebut juga Sulo Bayung atau Tanduk Buang, yaitu hiasan yang terletak bersilangan di kedua ujung perabung bangunan Belah Bubung dan Rumah Lontik. Di bagian bawahnya kadang-kadang juga diberi hiasan tambahan seperti tombak terhunus yang bersambung dengan kedua ujung perabung.

Selembayung yang diletakkan di bagian paling tinggi suatu bangunan mengandung lambang yang sangat tinggi artinya. ltulah sebabnya selembayung disebut juga Tajuk Rumah atau mahkota suatu bangunan yang dipercaya dapat membangkitkan seri atau cahaya bangunan itu. Sebagai Tajuk Rumah ungkapan tradisional daerah Riau mengatakan,

Sepasang tajuk di ujung
Sepasang tajuk di pangkal
Tajuk pembangkit seri pelangi
Membangkit cahaya di bumi
Membangkit cahaya di langit
Membangkit cahaya di laut
Membangkit cahaya di dalam rumah

Selembayung disebut juga Pekasih Rumah sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan,

Selembayung jantan sebelah kanan
Selembayung betina sebelah kiri

Bagai balam dua selenggek Kalau mengukur balam jantan
Angguk-mengangguk balam betina

Selembayung disebut juga Pasak Atap sebagai lambang keserasian hidup yang “tahu diri”. Hal ini dinyatakan dalam ungkapan,

Terpacak selembayung bubung Melayu
Tegak pemasak atap rumah
Bagai tangan tadah-tadahan

Yang tahu kecil dirinya
Yang tahu papa dengan kedana
Yang tahu nasib dengan untungnya
Yang bercakap di bawah-bawah
Yang mandi di hilir-hilir

Selembayung juga disebut Tangga Dewa yang dipercaya sebagai tempat turun dewa, mambang, akuan, soko, dan roh orang sakti. Hal ini dinyatakan dalam ungkapan,

Selembayung balai belian
Tangga Desa nama asalnya
Tempat berpijak Dewo Mambang
Tempat turun soko akuan
Tempat pijakan keramat sidi
Tempat melenggang wali-wali

Yang turun ke balai puncak
Yang turun ke bilik dalam
Yang turun ke tanah sekepal mula jadi
Yang turun ke bumi selebar dulang
Yang turun dari langit sekembang payung

Selembayung dua kemuncak
Ujungnya menyundak langit
Kaki menyusun-nyusun atap

Tempat turun nenek di gunung
Tempat turun nenek di padang
Tempat turun nenek bunyian
Tempat turun Nek Bia Sati
Turunnya turun beradat

Turun berpijak pada kemuncak
Turun ke Balai Dewo Balai Ancak

Ancak berisi panggang mondung
Lengkap dengan nasi kunyitnya
Di muka tempat pelesungan

Di belakang beras bertih
Di bawah lantai selari
Di atas berselembayung

Turun segala penghulu lawang
Turun bermanis-manis muka

Membawa obat dengan mawar
Membuang salah dengan silih

Selembayung juga dinamakan Rumah Beradat, karena bangunan yang berselembayung merupakan tanda kediaman orang berbangsa atau kediaman orang patut-patut/terhormat. Dalam ungkapan dikatakan,

Di mana tegak selembayung
Di balai tingkat bertingkat
Di istana beranjung tinggi
Di rumah besar berbilik dalam

Tempat berunding bermufakat
Tempat bertitah raja berdaulat
Tempat berpetuah datuk-datuk
Tempat dubalang kuat kuasa

Tempat penghulu pemangku adat
Tempat orang nan patut-patut
Tempat beradat berlembaga

Kalau tingginya tampak jauh
Kalau dekatnya tidak tergamak

Selembayung yang berbentuk seperti bulan sabit disebut juga Tuan Rumah, yang dipercaya akan mendatangkan tuah kepada pemilik bangunan. Dalam ungkapan dikatakan,

Yang bernama Sulo Bayung
Bagai mengetam bulan naik
Mengetam cahaya ke muka
Menyimbah tuah ke rumah
Mengetam cahaya ke kaki
Menyimbah tuah mendaki

Selembayung yang dilengkapi dengan tombak-tombak melambangkan penjaga, agar rumah atau bangunan tenteram, juga menggambarkan kewibawaan dan keperkasaan pemiliknya. Dalam ungkapan dikatakan,

Selembayung bertombak-tombak
Untuk penunggu-nunggu rumah
Untuk penyedap-nyedap hati

Kan penahan balak dan bala
Kan penahan salah dan silih

Motif ukiran selembayung terdiri dari daun-daunan dan bunga yang melambangkan perwujudan kasih sayang, tahu adat, tahu diri, berlanjutnya keturunan, dan serasi dalam rumah tangga. Hal ini dinyatakan dalam ungkapan,

Jalin berjalin akar pakis
Lapis berlapis kelopak bunga
Susun bersusun kuntum jadi
Seluk berseluk daun kayu

Yang berjalin kasih saying
Yang berlapis panggilan gelar
Yang bersusun gadis pingitan
Yang berseluk sanak saudara

Hiasan yang terdapat pada keempat sudut cucuran atap bentuknya mirip dengan selembayung dan disebut sayap layang-layang atau sayap layangan. Hiasan dipakai sebagai padanan untuk setiap bangunan yang berselembayung. Hiasan sayap layang-layang yang diletakkan pada keempat sudut cucuran atap itu diungkapkan sebagai empat penjuru hakekat sebagaimana dinyatakan dalam ungkapan,

Empat sudut cucuran atap
Empat sayap layang-layangan
Empat alam terkembang
Empat pintu terbuka

Pertama pintu rezeki
Kedua pintu hati
Ketiga pintu budi
Keempat pintu Ilahi

Hiasan ini juga digambarkan sebagai lambang kebebasan sesuai dengan namanya, sebagaimana dikatakan dalam ungkapan,

Nan bernama sayap layangan
Nan membumbung ke langit tinggi
Menengok alam sekelilingnya

Ditebang tidak tertebang
Ditebas jua jadinya
Dihempang tidak terhempang
Dihepas jua jadinya

Tapi walaupun dihepas
Diberi bertali panjang
Hendak menyimpang tali digenjur

13. Penutup
Demikian selintas pandang tentang makna lambang-lambang yang terdapat dalam seni bangunan tradisional Melayu. Tentu masih banyak lambang-lambang yang tercecer dari pandangan penulis. Keragaman warna budaya daerah Riau memungkinkan adanya perbedaan penafsiran atas lambang-lambang suatu wilayah dengan wilayah lainnya. Hal ini memerlukan telaah yang lebih tajam dan mendalam.

Daftar Pustaka
Abdullah, M. (Nakula) B. 1978. Bentuk-bentuk Bangunan Mesjid Kunci Memahami Kebudayaan Melayu. Kuala Lumpur: Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan Malaysia.

Effendy, T. 1980. Bilang Undang Membayar Tanda. Naskah.

––––––––––. 1981. Kumpulan Mantra Melayu. Naskah.

––––––––––. 1983a. Ragam Pantun Melayu. Naskah.

––––––––––. 1983b. Upacara Belian. Naskah.

Effendy, T. dan O. K. Nizami Jamil. 1980. Seni Ukir Daerah Riau. Riau: Pemda Riau.

Pemda Riau. 1982. Anjungan Riau di TMII Jakarta. Booklet.

Sabrin, A. 1978/1979. Bentuk-bentuk Ornamen Daerah Riau. Kumpulan naskah kesenian Daerah Riau. Proyek Pengembangan Kesenian Riau.

Tim Penulis IDKD. 1982/1983a. Ungkapan Tradisional Daerah Riau.

––––––––––. 1982/1983b. Arsitektur Tradisional Daerah Riau.

––––––––––. 1982/1983c. Isi dan Kelengkapan Rumah Tradisional Daerah Riau.

––––––––––. 1983/1984. Ungkapan Tradisional yang Berkaitan Dengan Sila-sila dalam Pancasila di Daerah Riau.

Dr (HC). Tenas Effendy, dilahirkan pada 9 November 1936, di Dusun Tanjung Malim, Desa Kuala Panduk, Pelalawan, dari ayah yang bernama Tengku Said Umar Muhammad Aljufri dan Ibu Tengku Syarifah Azamah binti Tengku Said Abu­bakar. Tengku Nasaruddin Said Effendy atau dikenal dengan Tenas Effendy melarutkan dirinya menekuni seluk-beluk budaya Melayu, khasnya bu­daya Melayu Riau. Minatnya yang besar untuk mengangkat dan mengekalkan ni­lai-nilai luhur budaya ini, mendorongnya untuk menulis dan merekam ke­beragaman budaya Melayu. Selama lebih dari 30 tahun ia bergelimang dalam pengkajian budaya Melayu.

Dengan modal pendidikan Sekolah Rakyat dan Sekolah Guru (SGB dan SGA), ia belajar sendiri, termasuk menimba pengalaman dari berbagai seminar dan per­temuan, baik di dalam maupun di luar negeri. Karenanya, karya Tenas Effendy terasa sederhana dan “apa adanya” dengan bahasa yang mudah dipahami awam.

Selain aktif memenuhi permintaan ceramah tentang budaya Melayu di berbagai seminar kebudayaan di dalam dan luar negeri, Tenas Effendy juga pernah menjabat sebagai Ketua Majelis Kerapatan Adat, Lembaga Adat Melayu, Riau. Beliau juga sebagai pendiri dan penasehat Tenas Foundation, Tenas sudah melahirkan lebih dari 67 judul karya tulis, sebagian besar diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Riau, sebagian lainnya di luar Riau, termasuk oleh Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia dan beberapa penerbit lain. Di rumahnya masih tersimpan berjilid-jilid karya tulis yang belum diterbitkan, dan ratusan pita rekaman seni budaya Melayu dari berbagai puak dan berbagai bidang seni budaya, termasuk kumpulan ungkapan tradisional Melayu yang berisi lebih dari 17.500 buah ungkapan dan koleksi pantun yang berisi lebih dari 10.000 bait pantun Melayu.
__________
Makalah ini disampaikan pada Seminar “Masyarakat Melayu Riau dan Kebudayaannya”, yang diselenggarakan di Tanjung Pinang, Riau.

Photo : http://4.bp.blogspot.com