Sejarah ditemukannya Candi Prambanan


Pada tahun 1733 M seorang Belanda, bernama C. A. Lons menemukan sebuah candi yang terkubur di kedalaman tanah lebih dari 6 meter. Lons memotret dan segera melaporkan kondisi candi Prambanan kepada pemerintah Hindi Belanda pada waktu itu. Karena terletak di desa Prambanan, maka candi tersebut dikenal sebagai candi Prambanan. Ada yang menduga bahwa Candi Prambanan dibangun sekitar tahun 850 Masehi oleh salah seorang dari kedua orang ini, yakni: Rakai Pikatan, Raja kedua wangsa Mataram I atau Balitung Maha Sambu, semasa wangsa Sanjaya. Namun, dengan penemuan prasasti çiwagrha karya Rakai Pikatan, tahun 856 Masehi, para arkeolog cenderung mengaitkan Rakai Pikatan dengan pembangunan candi Prambanan.1 Hal ini diperkuat dengan penjelasan yang detil pada salah satu pasal prasasti tersebut mengenai keseluruhan komplek candi-candi yang ada di Prambanan.

Candi Prambanan tepatnya terletak sekitar 17 kilometer di arah Timur Laut Yogyakarta, arah kota Solo. Candi Prambanan sebenarnya merupakan komplek percandian yang sangat kental dengan budaya Hinduisme dengan candi induk menghadap ke arah Timur. Di bilik utama pada candi induk terdapat arca dewa Siwa, sehingga bisa dikatakan bahwa sebenarnya candi Prambanan merupakan candi Siwa.

Sejak ditemukan kembali pada tahun 1733, candi Prambanan telah berkali-kali mengalami renovasi guna menyelamatkan dari bahaya kehancuran. Diperlukan suatu pengorbanan yang luar biasa dalam merenovasi candi Prambanan ini, terutama pengorbanan uang yang sangat mahal. Sayangnya belum banyak orang yang mendukung penuh usaha renovasi guna melestarikan monumen nasional ini, apa lagi bila berhadapan dengan keeksklusivan kelompok tertentu yang menganggap candi Prambanan merupakan tanggung jawab umat Hindu saja. Hal ini nampaknya karena masih dangkalnya pengetahuan akan candi Prambanan. Jangankan mau mencintai, kenal pun tidak. Namun, jika kita mengerti betapa kayanya nilai-nilai budaya yang terkandung dalam bangunan candi Prambanan, sepertinya kita akan tidak mengaggap segala pengorbanan yang mahal itu sebagai suatu hal yang wajar saja. Candi Prambanan memang sangat kental dengan budaya Hinduisme, namun candi Prambanan tidak hanya milik umat Hindu atau orang Jawa (jika dikaitkan dengan letak geografisnya) saja. Candi Prambanan dengan segala kekayaan nilai budayanya juga milik kita semua, terutama milik generasi muda Indonesia.

Moertjipto dan Bambang Prasetyo, The çiwa Temple of Prambanan (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 25.

Ada pun kekayaan nilai-nilai budaya yang terkandung pada bangunan candi Prambanan akan dijelaskan berikut ini.

Gambaran Komplek Candi Prambanan
Candi Prambanan sebenarnya terdiri dari tiga halaman yang dahulunya dikelilingi tembok. Pada halaman pusat terdapat enam buah bangunan utama dalam dua barisan berhadapan, berderet dari Utara ke Selatan. Pada dinding langkannya dipahat relief cerita Ramayana. Arca induk di dalam bilik tengah candi ini adalah arca Siwa Mahadewa. Sedangkan pada bilik-bilik sebelah Selatan berisi arca Agastya, sebelah Utara terdapat arca Durga atau yang dikenal sebagai Lara Jonggrang, dan sebelah Barat Ganesa. Di depan candi Siwa, menghadap ke Barat, terdapat candi Nandi (lembu Nandi adalah kendaraan dewa Siwa). Di sebelah Selatan candi Siwa, terdapat candi Brahma berkepala empat yang menghadap Timur. Pada dinding candi ini dipahatkan lanjutan relief cerita Ramayana yang ada di candi Siwa. Di depan candi Barahma ini, terdapat candi yang tidak diketahui apa isinya. Di Utara candi Siwa, menghadap Timur, terletak candi Wisnu. Pada dinding candi ini dipahat relief cerita Kresnayana. Di depan candi Wisnu, menghadap Barat, terdapat candi Siwa lagi. Di antara dua deretan candi-candi tersebut terdapat dua buah candi, masing-masing di sisi Utara menghadap Selatan dan di sisi Selatan menghadap Utara. Karena letaknya di antara dua deretan candi-candi utama dari halaman pusat, maka candi-candi ini dinamakan candi Apit. Pada halaman tengah, berdirilah candi-candi kecil yang disebut candi Perwara, berkeliling di seputar candi-candi utama di halaman pusat tadi dalam jumlah lebih dari 200 buah. Halaman yang paling luar sampai saat ini belum ditemukan bekas-bekas bangunan. Halaman paling luar ini sekarang sering dipakai untuk pertunjukan teater terbuka Ramayana.1

Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia (Jakarta: P.T. Intermasa), 2761.

Legenda Bandung Bondowoso1
Alkisah, hiduplah seorang putra Raja dari kerajaan Pengging bernama Bandung Bondowoso. Bandung berhasil membunuh Prabu Baka, seorang Raja serakah dari kerajaan musuh yang memiliki seorang anak gadis bernama Lara Jonggrang. Raja Pengging sangat bangga terhadap Bandung, karena telah membunuh Prabu Baka. Raja yakin bahwa Yang Maha Kuasa telah memakai Bandung untuk menghukum Prabu Baka. Bandung dianggap sebagai pahlawan yang membela keadilan. Oleh karena itu, Raja Pengging membuat pesta selama 40 hari 40 malam untuk menyambut kepulangan Bandung dari medan perang .

Ternyata Raja Pengging belum mengetahui bahwa selain membunuh Prabu Baka, Bandung pun telah mengutuk Lara Jonggrang menjadi arca karena murkanya. Bandung memang menyukai Lara Jonggrang dan ingin menikahinya. Lara Jonggrang memberi syarat pada Bandung bahwa untuk menikahinya, Bandung harus membuat baginya 1000 candi dalam satu malam. Bandung menyanggupi persyaratan yang diberikan Lara Jonggrang. Segera Bandung meminta pertolongan dari pasukan jin untuk membantunya membangun 1000 candi dalam satu malam.

Lalu, ketika hampir diselesaikannya pembangunan 1000 candi itu, dan tinggal satu candi lagi belum selesai dibuat, tiba-tiba ayam-ayam berkokok, tanda matahari mulai terbit. Segera pasukan jin itu pergi dan meninggalkan pekerjaan pembangunan candi itu, meski belum selesai, karena memang para jin takut pada cahaya matahari. Bandung sangat kecewa, apalagi ketika diketahuinya bahwa itu semua hanya akal-akalan Lara Jonggrang. Lara Jonggrang menyuruh semua wanita di desa itu untuk memukul palungan, seakan-akan sedang menumbuk padi, sehingga ayam-ayam terbangun dan berkokok. Karena ayam-ayam itu berkokok, para jin mengira matahari akan segera terbit. Lara Jonggrang berhasil mencurangi Bandung. Bandung sangat marah dan tidak dapat mengontrol emosinya, ia mengutuk Lara Jonggrak menjadi arca untuk menggantikan satu candi yang belum terselesaikan. Setelah Lara Jonggrang menjadi arca, baru sadarlah Bandung bahwa ia telah melakukan hal yang bodoh karena hanya menuruti emosinya. Bandung menjadi sedih dan menyesal karena telah mengutuk Lara Jonggrang menjadi arca. Akhirnya, ia meninggalkan Lara Jonggrang yang telah menjadi arca dan kembali ke kerajaannya.

Setelah pesta penyambutan Bandung selesai, Raja memanggil Bandung dan bertanya: “Mengapa kau terlihat sedih? Sejak datang kau tidak sama sekali terlihat senang.” Ternyata Raja memperhatikan perangai Bandung yang sedih dan tidak bersemangat sejak pulang dari pertarungan melawan Prabu Baka, padahal ia memenangkan pertarungan itu. Bandung tidak dapat lagi menyembunyikan kesedihannya, dengan menangis ia menceritakan semua peristiwa yang membuatnya menjadi sedih, yaitu karena telah mengubah Lara Jonggrang menjadi arca. Raja sangat terkejut ketika mendengar apa yang diceritakan oleh Bandung, seharusnya Bandung lebih sabar lagi jika menghendaki Lara Jonggrang menjadi istrinya. Raja menjadi sangat marah dan kecewa pada Bandung, Raja merasa anaknya sungguh tidak berperikemanusiaan. Tanpa diduga Raja berkata, “Bandung, kau seorang ksatria yang memiliki karakter seekor binatang”. Segeralah, Raja merubah Bandung diubah menjadi seekor lembu yang dinamai Lembu Sora.

Namun, meski sudah diubah menjadi seekor lembu, Bandung masih mencintai Lara Jonggrang. Akhirnya, Raja menyatukan Bandung dengan Lara Jonggrang dengan lalu mengubah Bandung menjadi arca lembu yang menjadi alas kaki Lara Jonggrang. Begitulah kisah Bandung Bondowoso yang dikutuk oleh Raja Pengging menjadi arca lembu, yang dapat kita lihat sampai kini di Candi Prambanan.

konografi Candi Prambanan
Agar candi Prambanan tidak seperti apa yang dikatakan Mudji Sutrisno2, tetap berdiri sebagai candi batu “mati”, maka selanjutnya pentinglah kita mendalami tentang figur-figur dari candi-candi yang ada di Prambanan, terutama candi Siwa yang berada di halaman paling dalam. Posisi arca-arca yang ada dalam candi Prambanan dikelompokkan berdasarkan tingkatan hirarki mereka.3 Posisi yang paling dalam adalah dewa-dewa utama, di tengah adalah para pendamping dewa, dan yang paling luar adalah makhluk-makhluk surgawi (paling rendah).

a. Dewa-Dewa Utama
Para dewa utama yang ada di komplek candi Prambanan mencakup Trimurti, yaitu Brahma (Sang Pencipta), Wisnu (Sang Pemelihara) dan Siwa (Sang Perusak). Arca ketiga dewa ini berada dalam candi induk, yaitu candi Siwa. Arca Wisnu terletak di sisi Utara candi induk, Brahma di sisi Selatan, dan Siwa di tengah-tengah keduanya. Setiap arca terseput dibatasi dengan tembok langkan yang dihiasi relief cerita Ramayana yang dapat dinikmati dengan berperadaksina (berjalan mengelilingi candi dengan pusat candi selalu di sebelah kanan kita) melalui lorong itu.4 Siwa memiliki posisi yang paling tinggi, bisa dikatakan bahwa ia adalah Raja dari segala dewa-dewa. Sebagai dewa Perusak, Siwa menjadi sangat ditakuti sekaligus dipuja oleh banyak orang Jawa kuno.

Nampaknya karena dipandang sebagai Mahadewa, arca dewa Siwa pun dibuat dengan ukuran paling besar dari kedua arca dewa utama lainnya. Arca dewa Siwa memiliki ukuran tinggi 276 cm, bila dihitung dari alasnya menjadi 409 cm; arca dewa Brahma memiliki ukuran tinggi 228 cm, dengan alasnya menjadi 335cm; dan acra dewa Wisnu berukuran 226 cm, dengan alasnya menjadi 335 cm.5 Siwa juga memiliki tiga bilik, berbeda dengan dua dewa utama lain yang hanya memiliki satu bilik. Salah satu bilik Siwa yang menghadap Utara berisi arca Durga, permaisurinya, yang lebih dikenal sebagai arca Lara Jonggrang. Ketiga acra dewa-dewa utama digambarkan berdiri dalam posisi samabhangga (kedua kaki lurus).6 Ketiganya memiliki empat tangan, yaitu dua di depan dan dua di belakang, yang setiap tangan memiliki posisi tertentu atau sedang menggenggam senjata atau simbol tertentu.

Figur muka Siwa yang ada di Prambanan memiliki muka yang tenang dan teduh, namun memiliki empat tangan.7 Tangan kanan depannya diletakkan di depan dada, dan tangan kiri depannya diletakan di depan perut. Tangan kanan belakangnya menggenggam aksamala (sebuah tasbih), dan tangan kiri belakangnya menggenggam camara (sapu terbang). Siwa memiliki urna (mata ketiga) yang terletak di dahinya. Pada kepalanya ia memakai sebuah makhkota disebut Jakamakuta yang melambangkan kemutlakan dengan suatu lambang candra-kapala (tengkorang dan bulan sabit) di bagian depannya. Upawitha (semacam selempang) melingkar seperti ular di tubuh Siwa dari punggung Kiri sampai pinggang Kanan. Kedewaan Siwa juga dilambangkan dengan bajunya yang bermotif kulit macan.

Dewa Wisnu Sang Pemelihara alam semesta, yang beristrikan Laksmi juga digambarkan memiliki empat tangan, tangan kanan depannya menggenggam cakra, tangan kiri belakangnya menggenggam sangkha (kulit kerang). Tangan kanan depannya menggenggam sebuah gada, tangan kiri depannya menggenggam sekuncup bunga teratai. Hiasan kepalanya disebut kiritamukuta, yang berbentuk kerucut.8 Wisnu dikenal sebagai dewa yang mengatur dan yang membasmi segala angkara murka yang terjadi di dunia.

Tidak seperti dua dewa-dewa utama lainnya, selain memiliki empat tangan, dewa Brahma memiliki empat wajah. Brahma Sang Pencipta memiliki istri bernama Sarasvati (dewi kecantikan dan seni). Kita hanya memiliki data arkeologi yang sedikit mengenai Brahma, hal ini menjelaskan bahwa Brahma tidak memiliki banyak pemuja.9 Keempat wajah Brahma melambangkan kanonisasi kitab Weda. Wajah yang menghadap Timur melambangkan Reg Weda, yang menghadap selatan melambangkan Yajur Weda, yang menghadap Barat melambangkan Somaweda, dan yang menghadap Utara melambangkan Arthana Weda.

b.Dewa-Dewi Pendamping
Telah disebutkan di atas bahwa Siwa memiliki tiga bilik, dalam ketiga bilik itu terdapat arca-arca yang bisa disebut sebagai dewa-dewi pendamping. Ketiga dewa-dewi itu adalah, Durga-Mahisauramardini (istri Siwa) yang terletak di bilik Utara, Ganesa (putra Siwa) yang terletak di bilik Barat, dan Agastya (rsi suci) yang terletak di bilik Selatan.

Dalam legenda Bandung Bondowoso figur Durga ditampilkan sebagai Lara Jonggrang. Nama Lara Jonggrang sendiri berarti wanita cantik. Durga digambarkan sebagai dewi yang cantik dan memiliki tubuh yang langsing. Ia juga memilik urna di dahinya. Durga memiliki delapan tangan, namun hanya empat tangan yang terlihat sedang menggenggam sesuatu. Tangan pertama menggenggam cakra yang melambangkan rotasi bumi atau roda dharma, tangan kedua menggenggam khadga (pedang) yang melambangkan penerang pikiran, tangan yang ketiga menggenggam bana (panah), dan tangan keempat menggenggam ekor Mahisa.10

Genesa dipuja sebagai dewa pengetahuan dan dewa yang mengatasi segala bahaya. Genesa adalah putra dewa Siwa dari istrinya yang bernama Parwati. Arca Ganesa digambarkan sedang duduk bersila, dengan perawakan sebagai manusia setengah hewan, yang memiliki kepala seekor gajah. Ganesa memiliki tubuh dan perut yang besar, juga sebuah belalai persis seekor gajah. Belalainya mengarah ke sebelah kiri bawah, dan berakhir di sebuah mangkok yang ia pegang dengan tangan kirinya. Ia juga dilengkapi dengan tiga simbol yang juga dimiliki oleh Siwa yaitu, mata ketiga di dahinya, hiasan kepala candra-kapala, dan tali selempang ular.11 Ganesa menggenggam empat atribut di keempat tangannya. Pada tangan kiri depannya terdapat sebuah mangkok, tangan kanan belakangnya menggenggam aksamala, tangan kiri belakangnya menggenggam parasu (kapak perang) dan tangan kanan depannya menggenggam patahan gadingnya.

Agastya digambarkan sebagai seorang pendeta (rsi) yang suci, yang juga dikenal sebagai Mahaguru Siwa. Digambarkan bahwa Agastya memakai hiasan kepala Sirascakra dan juga memiliki urna. Arca Agastya memperlihatkan perut yang buncit, kumis dan jenggot. Agastya memiliki dua tangan, tangan kanannya menggenggam aksamala dan tangan kirinya menggenggam kamandalu (sebuah cawan air amerta) yang melambangkan suatu hidup yang berkelanjutan.12 Pada sisi kanan Agastya, terdapat trisula yang melambangkan ketiga peran dewa, pencipta, pengatur dan penghancur. Berturut-turut ketiga sisi trisula itu dinamakan Sattva, Rajas, Tamas. Terdapat juga camara yang tergantung di pundak kirinya.

c. Dikpalaka
Pada bagian luar pagar dinding candi induk, terdapat relief yang menggambarkan delapan sosok dewa-dewa yang menguasai delapan arah mata angin, yang dinamakan Dikpalaka atau Lokapala. Setiap arah mata angin yang menjadi daerah kekuasan Dikpalaka tidak lepas dari mitos. Misalnya Indra sang dewa Timur, selalu dikaitkan dengan keberuntungan karena ada mitos yang mengatakan bahwa Matahari terbit dari Timur, maka Timur adalah letak yang merupakan sumber segala kekuatan. Lalu, arah Selatan diyakini sebagai tempat yang sial, maka tidak heran jika Yama sang dewa Selatan dikenal sebagai dewa kematian. Varuna sang dewa Barat dikenal sebagai dewa air, karena Barat merupakan simbol kedalaman dan keluasan lautan.13

d. Wahana (Kendaraan) Para Dewa
Dalam candi Prambanan sebenarnya juga terdapat arca-arca kendaraan (wahana) para dewa. Wahana-wahana itu antara lain, Nandi (wahana Siwa), Elang (wahana Wisnu), Angsa (wahana Brahma), Tikus (wahana Ganesa), Singa (wahana Durga), Kakatua (wahana Rati), Domba (wahana Agni), Gajah Airwata (wahana Indra), dan sebagainya. Namun, tidak semua wahana berada pada tempatnya, ada beberapa yang sudah hilang. Seperti dua wahana milik Brahma (Angsa) dan milik Wisnu (Elang) sudah tidak ada ditempatnya, hanya wahana milik Siwa (Nandi) yang masih ada pada tempatnya hingga kini. Nandi tampak memiliki empat kaki dengan kepala menghadap ke depan. Di belakang arca Nandi, di sisi Kiri ditemukan gambar dewa Candra yang sedang menunggangi kereta yang ditarik 10 kuda, dan di sisi kanan ditemukan gambar dewa Surya yang menunggangi kereta yang ditarik 7 kuda.

e. Makhluk-makhluk Sorgawi
Pada dinding luar candi pada halaman induk juga dihiasi oleh makhluk-makhluk sorgawi yang dapat dikelompokkan menjadi lima:

  • Āpsaras dan vidyâdharas. Gambaran mereka dapat dilihat di sepanjang langkan candi Siwa dan di sepanjang langkan candi Wisnu. Mereka adalah pria dan wanita rupawan yang memakai jubah yang penuh hiasan.

  • Rsi Brahma atau Rsi Veda. Seorang pria berjanggut, yang bisa ditemukan di sepanjang pagar langkan candi Brahma.

  • Tāņdava. Pose-pose tarian yang dilakukan oleh seorang pria yang diyakini sebagai dewa Siwa. Gambaran ini terdapat di langkan luar candi Siwa.

  • Kinnara (pria) dan kinnari (wanita). Seringkali digambarkan mengapit pohon keramat surgawi atau pohon keberuntungan, Kalpataru atau Parijata. Figur makhluk surgawi ini memiliki wajah manusia dan tubuh seekor burung.

  • Flora dan Fauna. Gambar-gambar yang ada di relief juga sering dilengkapi oleh gambar-gambar flora (tumbuh-tumbuhan, bunga-bungaan) dan fauna (hewan). Banyak flora dan fauna yang kita kenal, namun ada juga flora dan fauna yang tidak kita kenal entah itu sudah punah atau memang hanya imajinasi pembuatnya.

Penutup
Sebagai sebuah hasil ciptaan dan imajinasi manusia candi Prambanan dalam dirinya mengandung beberapa kekaguman. Pertama, kekaguman dari bentuknya yang secara fisik indah dan megah. Dipastikan sejumlah besar tenaga, daya dan dana yang digunakan untuk membangun bangunan seperti candi Prambanan. Adalah suatu bangsa yang sangat sejahtera yang mampu membangun candi Prambanan (dan candi-candi lainnya di Indonesia). Betapa tinggi kemampuan seni dan bahkan teknologi yang dimiliki bangsa Indonesia pada waktu itu.

Lalu kekaguman dari segala detail pahatan batu yang ada di candi Prambanan. Sering kali baik pada pahatan arca maupun pada relief-relief terdapat gambaran tentang dua sisi yang berbeda dan bertolak belakang. Seperti ketika dewa Wisnu yang digambarkan memiliki wajah yang tenang, padahal ia adalah Sang Penghancur. Ganesa digambarkan sebagai manusia setengah hewan. Durga yang memiliki paras cantik dan tubuh langsing, ternyata menggenggam senjata-senjata penghancur, dan sebagainya. Alasan dari penyajian seperti ini nampaknya merupakan suatu aspek esensial dari simbolisme religius. Hinduisme tidak mengenal distingsi antara kebaikan dan kejahatan, surga di atas dan neraka di bawah, dan lainnya, semuanya itu berada dalam satu level. Perbedaan adalah suatu kenyataan yang ada di dunia, kebaikan dan kejahatan tidak berada dalam isolasi, namun sering bertemu satu sama lain. Namun, bisa kita lihat dari gambaran yang ada di Prambanan, bagaimana dua hal yang berbeda itu dapat disatukan menjadi kesatuan yang harmonis. Bahkan ketika Durga menggenggam tombak dan panah di satu sisi, dan menggenggap perisai di sisi lain, alat-alat itu tidak digunakan untuk dipertentangkan satu sama lain. Semua alat yang digenggam Durga tidak saling berlawanan, namun bersifat saling melengkapi.

Lebih lanjut, kita juga mengetahui bahwa candi Prambanan tidak berdiri sendiri. Monumen Hindus ini berada bersama-sama dengan candi Budhis (Borobudur) dan bangunan-bangunan kuno lainnya. Hal ini membuktikan bahwa sejak dahulu sebenarnya nenek moyak kita telah mengenal Pluralisme budaya dan agama. Mereka tidak menganggap bahwa kesatuan bangsa sebagai suatu penyeragaman budaya, namun lebih pada universalisme yang pluralis. Usaha menyatukan bangsa bukan berarti memungkiri dan meniadakan segala perbedaan yang ada, namun lebih pada menyelaraskannya. Sejak dahulu bangsa kita memiliki keberagaman budaya dan agama, dan kesatuan bukanlah suatu hal yang mustahil. Hendaknya segala hal di atas bisa juga menjadi bahan refleksi bagi bangsa kita saat ini. Sampai sekarang bangsa kita terdiri dari berbagai perbedaan, berkaca dari pengalaman nenek moyang kita, maka kesatuan adalah sesuatu yang mungkin saja kita raih jika kita mau mengusahakan dengan sungguh-sungguh.

Daftar Pustaka
Moertjipto dan Bambang Prasetyo. The çiwa Temple of Prambanan. Yogyakarta:
Kanisius, 1992.
Redaksi Ensiklopedi Indonesia, Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: P.T. Intermasa.
Sedyawati, Edi (ed.). Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006.
Sutrisno, Mudji. Getar-getar Peradaban. Yogyakarta: Kanisius, 1994.

http:/students.ukdw.ac.id/-22023009/prambanan.html diakses pada tanggal 24 Maret
2007, jam 12.45.
1  Diceritakan ulang dari Moertjipto, Op. Cit., 29-36.
2  Sutrisno,Op. Cit., 27.
3  Edi Sedyawati (ed.), Budaya Indonesia: Kajian Arkeologi, Seni, dan Sejarah (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), 85.
4  http:/students.ukdw.ac.id/-22023009/prambanan.html diakses pada tanggal 24 Maret 2007, jam 12.45.
5  Sedyawati, Op.Cit., 86.
6  Ibid.
7  Moertjipto, Op. Cit.,40-42.
8  Sedyawati, Op.Cit., 87.
9  Moertjipto, Op. Cit., 54.
10  Mahisa adalah iblis yang dikalahkan oleh Durga. Lih. Ibid., 46-48.
11  Sedyawati, Op. Cit., 89.
12  Moertipto, Op.Cit., 42.
13  Ibid., 54.
14  Ibid., 52.

Sumber : http://vero-pontoh.blog.friendster.com
Photo : http://kemoning.info