Majapahit

Kemaharajaan Majapahit, Nasibmu Kini

KONON sebuah bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Namun, ketika badai krisis moneter beberapa waktu lalu mengamuk, ketika urusan politik dan perut yang melilit menjadi urusan nomor satu, puing-puing peninggalan bersejarah yang menjadi bagian saksi perjalanan sebuah bangsa terpaksa harus menunggu mendapat perhatian.

TAK terkecuali bagi sejumlah puing-puing peninggalan bekas kota Kemaharajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur.

Di kawasan Candi Kedaton, wilayah Dukuh Kedaton, Desa Sentonorejo, Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur, ribuan batu bata itu terserak di sebidang tanah. Sebagian tertumpuk membentuk struktur fondasi yang belum nyata benar wujudnya. Bentuk galian tersebut menyerupai parit sedalam lebih dari satu meter dan berkelok-kelok.

Di bagian tengah ada sebuah sumur kuno yang terbuat dari susunan bata. Bentuknya bujur sangkar dengan ukuran 85 x 85 cm yang tertutup batu gilang. Kedalamannya belum diketahui karena hingga sekarang, belum ada orang yang berani membuka mulut sumur ini.

Konon, sumur tersebut mengeluarkan semacam gas racun (upas) sehingga kawasan itu dikenal dengan Sumur Upas atau Candi Sumur Upas. Tak seberapa jauh, terdapat bangunan menyerupai kaki candi yang telah selesai dipugar yang dikenal dengan Candi Kedaton.

Yang melindungi tumpukan batu-batu berusia lebih 700 tahun itu hanya atap dari seng yang ditopang cagak-cagak bambu reyot. Sebuah papan bertuliskan "Dilarang Masuk" tergantung di pinggir pagar bambu yang membatasi kawasan batu berserakan tersebut. Tidak ada kegiatan proyek di tempat itu.

"Dulu, mulai tahun 1995, pernah ada ekskavasi di sini, tetapi terhenti waktu ramai-ramainya krisis moneter lalu. Katanya, belum ada dana untuk melanjutkan," ujar Darsono (27), juru kunci yang telah tujuh tahun menunggui tempat tersebut dan turut pula dalam proyek ekskavasi kawasan Candi Kedaton.

Darsono mengatakan, tempat tersebut oleh sebagian masyarakat dipercayai sebagai tempat berkumpulnya leluhur para Kerajaan Majapahit dan menjadi bagian dari keraton atau pusat Majapahit yang masih menjadi misteri hingga kini.

"Dibandingkan dengan situs lain di Trowulan, kawasan Candi Kedaton dianggap memiliki ’getaran’ lebih sehingga banyak orang yang bertirakat di tempat ini," katanya.

Kondisi serupa ditemui di kawasan situs Candi Gentong yang terletak di wilayah Dukuh Jambu Mente, Desa Bejijong, Kecamatan Trowulan. Candi yang dipercaya warga sekitar sebagai tempat pemandian jenazah itu terhenti ekskavasinya sejak tahun 2000.

Bentuk bangunan candi juga terdiri atas parit seperti di kawasan Candi Kedaton. Bedanya, parit di candi ini tidak berkelok-kelok.

SEBAGAI kerajaan yang pernah berjaya, kemaharajaan Majapahit meninggalkan puing-puing bangunan dan berbagai artefak luar biasa di sekitar 10 x 10 kilometer di Trowulan, Mojokerto.

Balai Penyelamatan Arca Trowulan setidaknya memiliki koleksi 80.000 benda peninggalan sejarah dan purbakala. Sebagian besar berasal dari situs Trowulan.

Demikian juga halnya dengan sisa-sisa bangunan. Meski bukan berupa bangunan kolosal, Majapahit meninggalkan bangunan masa klasik yang tak kalah indah. Sebut saja Candi Brahu, Candi Tikus, Candi Bajang Ratu, dan candi bentar Wringin Lawang.

Hampir semuanya berciri ramping dan menjulang.

Selain itu, ada pula bangunan yang menandai kemajuan teknologi saat itu. Candi Tikus, misalnya, diduga sebagai pengatur debit air di kawasan itu.

Beberapa peninggalan lainnya adalah sejumlah makam kuno seperti Makam Tralaya dan kolam besar yang dikenal dengan nama Kolam Segaran.

Konon, di kolam tersebut keluarga kerajaan menghibur tamu-tamu kerajaan dengan perlengkapan makan istana dari emas yang dibuang ke dalam kolam seusai jamuan. Cerita tersebut sekaligus menggambarkan betapa kayanya Majapahit saat itu.

Hampir semua bangunan tersebut terbuat dari bata merah. Dapat dibayangkan ketika masih dalam kondisi utuh tentunya memberikan kemegahan tersendiri dengan warna merahnya yang menyala.

Kesan mencemaskan terhadap situs bekas kota Majapahit tak dimungkiri Kepala Dinas Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur Umiyati Nurudin Shuqib. "Ada alasan teknis yang tidak dimengerti masyarakat awam. Hasil ekskavasi tersebut, misalnya, analisisnya belum sempurna atau belum selesai sehingga belum bisa diambil kesimpulan luas bangunan dan kegunaan sebenarnya bangunan itu. Karena itu, kondisi situs dibiarkan saja ruang terbuka," ujarnya.

Untuk melindungi situs tersebut, pemerintah berupaya dengan memasang cungkup atau atap. Dengan demikian, pengunjung atau peneliti merasa lebih nyaman berada di tempat itu.

Hanya saja sebagian cungkup yang ada sekarang kondisinya, diakui Umiyati, memprihatinkan. Tiangnya terbuat dari bambu reyot. Oleh karena itu, ada kesan, peninggalan sejarah di Trowulan telantar.

"Cungkup di kawasan Candi Kedaton atau Sumur Upas itu, misalnya, pernah tertimpa angin pada Oktober 1999 sehingga roboh dan hancur berantakan. Sudah diberdirikan, tapi masih reyot. Sekarang ini, tidak ada yang berani duduk di sini, kecuali yang tirakatan di Sumur Upas," kata Umiyati.

Sementara itu, proses ekskavasi di kawasan candi tersebut juga sejauh ini dihentikan karena peninggalan di kawasan itu sifatnya multikomponen. Dalam penggalian, selain temuan berupa gerabah, didapati pula tujuh kerangka manusia. Diduga, di samping bangunan masa Majapahit, pernah pula berdiri bangunan masa klasik lainnya dan strukturnya bertumpuk di sana.

Demikian pula halnya dengan kondisi di Candi Gentong II yang berada di balik rimbunan pohon tebu.

Pimpinan Proyek Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur sekaligus Ketua Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Jawa Timur, Prapto Saptono, mengatakan, kawasan Candi Gentong II tersebut masih dalam proses penelitian, hanya saja penelitian terhenti karena keterbatasan dana sekitar tiga tahun lalu.

"Sebenarnya, kawasan itu masih bisa dikembangkan dengan dana ekskavasi atau penelitian cukup selama 2-3 tahun karena temuannya tidak sepadat di Candi Gentong I," ujar Prapto. Adapun di Candi Gentong pertama, ekskavasi di sepanjang batas-batas candi tersebut sudah mencukupi.

Lain lagi ceritanya dengan Candi Menakjinggo. Candi ini memiliki perbedaan dengan bangunan Majapahit lain yang sebagian besar terbuat dari material batu bata. Diduga, Candi Menakjinggo terdiri atas campuran material batu bata dan batu andesit.

Seiring dengan waktu, batu bata candi lapuk dan rusak, sedangkan batu andesit dapat bertahan lebih baik. Dengan kondisinya sekarang, sangat sulit untuk memugar kembali Candi Menakjinggo.

"Sebagian sudah ada yang diselamatkan ke Balai Penyelamatan Arca. Namun, agar pengunjung yang datang ke lapangan tidak kecewa, masih ada sebagian batu yang masih dibiarkan di lokasi penemuan. Kondisi ini dikhawatirkan rawan pencurian. Bahkan, pernah ada yang mau membelinya, seperti pisang goreng saja," ujarnya.

Bahkan, Prapto mengatakan, ancaman kehancuran juga menghantui sebagian bangunan yang sudah selesai dipugar, seperti Candi Tikus dan Candi Brahu. Batu bata tambahan yang digunakan ketika pemugaran mulai hancur dan kalah kuat dengan batu kunonya sendiri sehingga dikhawatirkan bangunan tersebut akan rusak perlahan-lahan.

TERHENTINYA pemugaran dan terbatasnya upaya perawatan terhadap situs di Trowulan, dikatakan Umiyati, tidak terlepas dari minimnya dana untuk penelitian, pemugaran, dan perawatan. Terlebih lagi dengan dilandanya krisis moneter beberapa tahun silam. Reformasi lima tahun belakangan belum banyak berimbas kepada situs-situs peninggalan bersejarah ketika soal politik dan ekonomi menuntut penanganan lebih.

Untuk tahun ini, misalnya, dana yang telah setujui hanya untuk pembuatan cungkup di Sumur Upas. Sebagai gambaran, dari jumlah dana yang diajukan, tidak lebih dari sepuluh persennya yang dikabulkan.

Sempat pula ada proyek khusus Majapahit, di samping proyek pemugaran purbakala Jawa Timur lainnya. Dibuatkan rencana induk pada tahun 1986 dengan landasan konsep Pelestarian dan Pengembangan Situs Arkeologi Bekas Kota Kerajaan Majapahit.

Kawasan Trowulan dibagi menjadi tujuh sel dengan setiap sel terdapat sejumlah bangunan sesuai dengan kedekatan letaknya.

Ia mengatakan, dari rencana induk tahun 1986 itu, beberapa kawasan sudah memiliki visi pengembangan lingkungan situs ke arah sebagai daya tarik obyek wisata.

Masing-masing sel akan dihubungkan dengan jalur sel khusus. Dengan demikian, begitu masuk ke sel utama, pengunjung akan lebih mudah mengunjungi sel-sel lainnya.

Hal ini mengingat luasnya sebaran situs bekas kota Kerajaan Majapahit di Trowulan. Jarak terdekat antarsitus sekitar satu kilometer, sedangkan yang terjauh mencapai 10 kilometer.

Akan tetapi, pengembangan lingkungan kawasan situs itu masih jauh dari harapan. Umiyati mengungkapkan, pelaksanaan rencana induk itu tidak sampai sepuluh persen yang berhasil diwujudkan.

Investor juga telah diundang turut andil. Terhitung sudah ada tiga investor yang tertarik sejak tahun 1999, namun belum ada kabar lanjutannya. Mungkin, kata Umiyati, kemunculan Majapahit dianggap belum tampak sepenuhnya.

"Sekarang, kita tidak bisa berkutik karena dananya kecil. Untuk proyek Jawa Timur, prioritas adalah pembuatan cungkup bagi kawasan Candi Kedaton dan pemugaran sejumlah candi di lokasi lain, kalau ini sudah terlaksana. Semoga tidak ada yang bilang kondisi situs peninggalan sejarah ini mencemaskan," ujar Umiyati.

PUING-puing peninggalan kawasan bekas kota Kerajaan Majapahit bukan sekadar batu yang membisu, tetapi merupakan pintu untuk menengok kejayaan dan pelajaran hidup dari kegemilangan masa lalu. Sekitar 700 tahun silam sejak Majapahit berdiri.

Titik tolak munculnya Kerajaan Majapahit diperhitungkan antara lain setelah Raden Wijaya (Kertarajasa Jayawardhana) naik takhta pada 1294 Masehi.

Masa kejayaan kerajaan itu dicapai pada masa pemerintahan Hayam Wuruk (Sri Rajasanagara) bersama Patih Hamangkubhumi Gadjah Mada. Pada masa keemasan itu, Gadjah Mada melontarkan Sumpah Palapa-nya yang berhasil menyatukan seluruh wilayah Nusantara dalam satu panji-panji Majapahit.

Setelah itu, pengaruh kekuasaan dan kerja sama Majapahit meluas sampai ke luar Nusantara, misalnya dengan negara-negara kecil di Malaya, Siam, Singapura, Campa (Thailand Selatan), Kamboja, India, dan Cina.

Kapan runtuhnya Majapahit? Tidak ada sumber tertulis yang dapat memberikan jawaban tepat tentang keruntuhan Majapahit. Babad Tanah Jawi menyebutkan Kerajaan Majapahit runtuh karena serangan Kerajaan Islam Demak pada 1478 Masehi.

Sementara itu, prasasti-prasasti dan berita-berita asing memberi rambu-rambu runtuhnya Kerajaan Majapahit terjadi pada awal abad XVI Masehi.

Serat Kanda dan serat Darmogandul hanya memberitakan samar-samar tentang penaklukan Majapahit oleh Demak. Pada tahun 1478 Masehi, Bhre Kertabhumi gugur di Keraton Majapahit karena serangan dari Dyah Ranawijaya, anak Bhre Pandan Salas. Tahun itulah yang dijadikan pertanda hilangnya Majapahit, sirna ilang kertaning bumi.

Setidaknya ada beberapa "pusaka" penting yang diwariskan Kerajaan Majapahit. Sebut saja semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka tunggal ika tan hana dharmma mangrva diungkapkan oleh cendekiawan keagamaan Majapahit, Mpu Tantular, dalam salah satu kakawin ciptaannya yang berjudul Purudasanta atau lebih dikenal dengan nama Sutasoma.

Ungkapan itu merupakan rumusan dari suatu konsep keagamaan baru. Masalah keagamaan yang rupanya tetap dirasakan aktual pada saat itu adalah hubungan antara agama Hindu Saiwa dan agama Buddha Mahayana. Sejak masa kerajaan kuno di Jawa Tengah sebenarnya kedua agama itu telah hidup berdampingan. Namun, masih tampak jelas bahwa keduanya terpisah satu sama lain.

Bhinneka tunggal ika merupakan rumusan tegas penyamaan antara suatu konsep kebenaran agama Buddha dan konsep kebenaran agama Saiwa.

Pemerintah Kabupaten Mojokerto jelas melihat peninggalan Majapahit sebagai sebuah aset yang luar biasa dan dapat dikembangkan untuk menggembungkan pendapatan asli daerah (PAD) dari sektor pariwisata.

Pengembangan kawasan situs Majapahit rupanya juga sudah mulai dipikirkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur. Pada awal tahun 2003, Badan Perencana Pembangunan Provinsi Jawa Timur bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada telah mengeluarkan Laporan Akhir Perencanaan dan Pengembangan Kawasan Majapahit sebagai Pusat Budaya dan Pariwisata di Jawa Timur. (Indira Permanasari)

Pusat Kerajaan Majapahit
TENGAH malam lewat sedikit. Kabut tebal menyelimuti kawasan Trowulan, Mojokerto, Jawa Timur. Cahaya lampu kendaraan hanya mampu menerangi ruas jalan yang sepi sejauh satu meter ke depan. Sesekali para peronda lewat. Selebihnya hanya suara jangkrik bersahutan. Penerangan yang minim membuat daerah itu terasa seram.

N>small 2 small 0<, di salah sudut desa tersebut, tepatnya di Desa Sentonorejo, Kecamatan Trowulan, tempat Candi Kedaton berada, arah jarum jam seakan tiada berarti.

Di area yang berbatasan langsung dengan sawah milik penduduk tersebut, terlihat sebuah kaki bangunan candi, mirip panggung. Terdapat pula area galian sedalam dua meter berliku-liku menyerupai labirin. Area itu merupakan sisa bangunan yang belum jelas bentuknya dan sedang diekskavasi.

Di tengah sisa bangunan itu ada sebuah sumur kuno, tertutup batu besar. Masyarakat setempat menyebutnya Sumur Upas.

Di pos jaga kawasan Candi Kedaton, tiga pria asyik bercakap-cakap sambil mengisap tembakau, mengusir dinginnya malam. "Kami sedang menunggu waktu yang tepat untuk turun. Kata penanggalan, waktu turunnya wangsit sekitar pukul 12.15-03.00 dini hari," ujar Kasedan (60), warga Jombang.

Kasedan bukan sedang meronda saat itu, melainkan berniat untuk tirakatan. Ia tidak sendiri. Ada pula Mohammad Dasyim (50), asal Malang, yang memakai pakaian hitam-hitam. Lengkap dengan sebuah belangkon bertengger di kepala. Kedua pria tersebut telah berniat untuk mendapatkan wangsit di tempat sepi itu.

Di sudut liku-liku galian itu terdapat sebuah ruang bawah tanah berukuran 1 x 1 meter. Di sana mereka akan bersemedi. Kamar kecil tersebut dipercayai sebagai tempat petilasan Damar Wulan, salah satu tokoh Majapahit di dalam babad.

"Di sana Damar Wulan selalu mendapat wangsit. Saya sendiri sudah beberapa kali ke sana. Kalau dapat wangsit, suasana di dalam kamar tersebut seperti di tanah lapang dan ada cahaya bertebaran," demikian Kasedan menceritakan pengalaman spiritualnya.

Tidak mengherankan jika kemudian tempat itu menjadi ramai dikunjungi para mereka yang hobi menyepi. Bokor berisi sisa taburan bunga dan batang hio kerap bertebaran di "lubang" itu.

Yang datang ke sana juga beragam niatnya. Mulai dari enteng jodoh, ngelmu, sampai ingin menjadi kaya. Pengunjung paling ramai pada malam Jumat legi. Dasyim mengatakan, ia kerap bertirakat di tempat spiritual yang bertebaran di Jawa. Akan tetapi, petilasan Damar Wulan termasuk yang sering dikunjunginya dan terbilang istimewa.

Puing-puing peninggalan Majapahit mempunyai daya tarik tersendiri bagi sebagian orang, seperti Dasyim dan rekannya. Seperti tempat lain yang dikeramatkan, di tempat tersebut tumbuh aktivitas di tengah malam, melekan ngarep berkah. Begitu istilahnya. Trowulan yang bekas ibu kota Kerajaan Majapahit itu menjadi begitu istimewa lantaran kebesaran dan kejayaannya di masa lalu. Yang menjadi favorit adalah tempat yang umumnya diduga terkait dengan bekas keraton yang merupakan pusat Kerajaan Majapahit. Padahal, lokasi pasti Keraton Majapahit di Trowulan masih menjadi tanda tanya.

>small 2 small 0<>

Kedaton diduga sebagai Keraton Majapahit mengingat kata Jawa kedaton juga berarti istana. Selain itu, di Desa Kedaton pernah ditemukan umpak dan pasak batu. Pasak batu itu diduga tempat tambatan gajah kendaraan Sang Prabu. Di daerah tersebut juga dipercayai tempat berkumpulnya para leluhur pada zaman Kerajaan Majapahit.

Di Desa Kedaton sekarang dibangun Pendopo Agung oleh Komando Daerah Militer (Kodam) VIII Brawijaya karena di kira bekas Keraton Majapahit.

Prof Dr Slamet Muljana dalam bukunya, Pemugaran Persada Sejarah Leluhur Majapahit, mengungkapkan, diduga, Desa Kedaton adalah bekas lapangan yang terbentang di muka benteng barat Keraton Majapahit. Desa Kedaton kemungkinan didirikan setelah keraton musnah.

Sementara pendapat lain yang kebanyakan dianut para arkeolog meyakini kawasan Desa Sentonorejo sebagai bagian lokasi keraton. Sentonorejo diduga adalah perubahan dari kata Santanaraja yang artinya sanak-kadang rajadiraja.

"Berdasarkan penafsiran terhadap kitab Negarakertagama, foto udara, dan ekskavasi, diduga memang letaknya di kawasan Sentonorejo," ujar Kepala Dinas Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Provinsi Jawa Timur Umiyati Nurudin Shuqib.

Dugaan letak keraton di Desa Sentonorejo diperkuat pula dengan temuan situs Sentonorejo. Situs tersebut ditemukan pada tahun 1982 setelah diadakan penelitian didapati peninggalan berupa lantai atau berbentuk ubin segi enam sekitar 1,8 meter di bawah permukaan tanah.

Lantai segi enam ini suatu bentuk yang sangat unik karena belum pernah ditemukan dalam penggalian-penggalian lainnya di situs Trowulan. Biasanya hanya kerakal dan batu bata segi empat.

Diperkirakan susunan lantai kuno ini merupakan peninggalan suatu situs pemukiman kuno yang bercirikan tipe bangunan profan berupa rumah tinggal pada masa Majapahit. Diduga lokasi itu menjadi bagian dari ruang VIP keraton. Lantai segi enam ekskavasi di tahun 1985.

Di kawasan itu juga ditemukan berbagai gerabah yang buatannya sangat halus dibandingkan dengan tempat lain.

Temuan lain yang juga menguatkan adalah adanya situs Candi Kedaton. Candi tersebut terletak di wilayah administrasi Dukuh Kedaton.

Ada beberapa bangunan di sana. Bangunan pertama berada di timur laut (depan pintu masuk) yang merupakan bagian kaki sebuah bangunan. Di depan bangunan tersebut terdapat pula sebuah sumur kuno yang dikenal dengan Sumur Upas. Tidak ada yang berani membuka tutup sumur tersebut lantaran diduga mengeluarkan gas racun (upas). Konon, pernah ada yang nekat mencoba membuka sumur tersebut dan berakhir dengan kematian.

Dilihat dari temuan bentuk struktur, diperkirakan Candi Kedaton ini merupakan kompleks bangunan atau tempat tinggal. Artefak yang pernah ditemukan di sana antara lain fragmen tembikar atau gerabah, arca terakota, arca dari batu andesit, keramik asing, mata uang kepeng, emas, dan kerangka manusia.

Selain itu, di sebelah barat 200 meter dari kompleks Candi Kedaton terdapat peninggalan purbakala berupa umpak-umpak berukuran besar sebanyak dua puluh buah yang tersusun memanjang sejajar dan berorientasi timur-barat.

Slamet Muljana dalam bukunya berupaya menggambarkan keindahan Keraton Majapahit. Ia menuliskan, Keraton Majapahit menghadap ke arah barat. Di muka benteng ada lapangan sangat luas dikelilingi parit berisi air. Digambarkan pula beberapa bangunan kenegaraan, seperti balai agung tempat pertemuan dan balai manguntur atau pendapa agung tempat para pembantu utama menghadap Sang Prabu. Di tengah balai manguntur dilukiskan terdapat rumah kecil dengan takhta tempat duduk raja (balai witana).

Hingga kini, belum dapat dipastikan letak pasti keraton kerajaan tersebut. Bangunan keraton itu diduga terbuat dari kayu sehingga telah lama rusak dan tidak meninggalkan jejak. Misteri Keraton Majapahit pun tetap terjaga. (IPS/LKS)

Antara Konservasi dan Rezeki

RIKAIDAH (32), warga Bejijong Kecamatan Trowulan Mojokerto, Jawa Timur, dengan tidak mengenal lelah mengatur deretan batu bata yang telah dicetaknya di bawah terik sinar matahari. Setelah seminggu, adonan tanah liat tersebut akan mengering dan siap dibakar. Sementara Karnadi (42), suaminya, mencangkuli tanah liat dari cekungan tanah.

Ayunan paculnya menciptakan bekas galian membentuk semacam kolam sedalam satu meteran. Dari keterampilan membuat batu bata, pasangan tersebut menghidupi keluarganya. Entah sadar atau tidak, mereka tengah mencabik- cabik sisa-sisa kemaharajaan Majapahit.

Selain Srikaidah, masih ada ratusan perajin batu bata lain di daerah Trowulan. Sebagian besar berada di area sekitar bangunan peninggalan bersejarah bekas ibu kota Kerajaan Majapahit tersebut.

Sebut saja di Candi Wringin Lawang yang dipercaya sebagai gapura masuk ibu kota Majapahit. Dalam radius tidak sampai sepuluh meter di sekitar candi tampak ratusan linggan atau tumpukan batu bata yang siap dibakar di dalam gubuk obong (tempat pembakaran) beratap daun kelapa dan bercagak bambu.

Kondisi serupa ditemui di sekitar bangunan lain seperti Candi Brahu, Candi Bajang Ratu, dan Candi Gentong. Tak jauh dari gubuk-gubuk itu terhampar ratusan kubangan bekas galian sedalam satu meter. Ketika hujan turun, kubangan itu akan terisi air.

Tampaknya batu bata yang menjadi ciri khas bangunan Majapahit dengan warna merahnya, justru menjadi malapetaka bagi situs kerajaan itu.

Seperti diungkapkan arkeolog sekaligus Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur Drs Winston Mambo SD upaya penggalian batu bata itu telah berlangsung sejak tahun 1950. Berawal dari maraknya perburuan harta karun berbagai benda peninggalan kejayaan Majapahit.

"Hampir di setiap langkah tanah Trowulan ditemukan berbagai artefak, baik berupa terakota maupun keramik, atau temuan lainnya," ujarnya. Umumnya, peninggalan sejarah itu letaknya tidak terlalu dalam, antara 1-1,5 meter saja, sehingga mudah digali.

Dengan berkembangnya pembangunan Kota Surabaya, muncul kebutuhan bubuk semen bata merah. Maka, mulailah batu bata merah yang merupakan pondasi bekas Kota Majapahit menjadi sasaran menguntungkan.

Dikatakan Kepala Dinas Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jatim Umiyati Nurudin Shuqib, batu bata kuno Majapahit memang sangat kuat. Sehingga sangat baik untuk dijadikan semen merah. Batu bata itu ukurannya rata-rata 25x20 sentimeter dan biasanya ada goresan tiga jari menyerupai pelangi (kluwung). Sehingga ada yang menyebutnya batu kluwung.

Kekuatan batu bata dipengaruhi oleh bahan dan proses pembuatannya. Penggunaan kayu jati sebagai bahan pembakar akan menghasilkan batu bata yang lebih kuat ketimbang pembakar dari sekam. Kualitas juga dipengaruhi oleh bahan baku. "Dahulu, memang batu bata daerah Trowulan mengandung tanah liat yang baik," ujarnya.

Dengan keunggulan itu, Mojokerto, kemudian menjadi penyuplai utama semen merah. Konon, sekitar 200 truk mengangkut bubuk bata merah setiap hari dikirim ke Surabaya, Gresik, dan Lamongan.

Seperti diungkapkan salah seorang warga yang tak mau disebut namanya, tadinya ia merupakan penggali untuk peninggalan atau harta karun. Umumnya yang ditemukan adalah keramik kuno Cina.

Lama-kelamaan ia juga mencoba menggali batu bata untuk bahan semen dan sekaligus menjadi juragan yang menyewakan lahan galian ke penduduk yang menginginkannya.

Akibat penggalian tersebut, rusaklah kawasan situs tersebut. Umiyati Nurudin Shuqib mengatakan, kegiatan itu telah menghancurkan lebih dari lima puluh persen struktur bangunan bekas Majapahit. Setidaknya sampai dengan tahun 1996 terdapat 2.400 linggan di kawasan situs Trowulan. (ips)

Warisan Jejak Palsu dari Kubur
MAKAM kuno ternyata tak dapat bersembunyi dari kekuatan tangan-tangan yang ingin mengubahnya. Kelompok makam kuno yang banyak bertebaran di daerah situs bekas Kerajaan Majapahit di Trowulan, Mojokerto, dapat menjadi gambaran betapa kesadaran akan perlindungan benda cagar budaya masih jauh dari harapan.

Dari kubur-kubur itu, kini yang tersisa jejak palsu untuk diwariskan. Sebut saja kawasan situs Siti Inggil di Desa Bejijong, Trowulan. Di area tersebut awalnya hanya terdapat bangunan bata kuno berdenah segi empat yang menghadap ke barat.

Bangunan di bawah rimbunan sebuah pohon beringin besar tersebut diperkirakan sebagai sisa atau kaki dari bangunan sebuah candi. Namun, seperti diungkapkan arkeolog sekaligus Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur, Winston SD Mambo, di awal Orde Baru, tepat di atas bangunan bata kuno tersebut didirikan bangunan makam baru oleh penganut aliran kepercayaan tertentu. Ada sejumlah nisan di atas hamparan tegel yang dikelilingi dinding beton itu.

Masyarakat sekitar mengenal tempat tersebut sebagai makam Raden Wijaya, pendiri Majapahit, bersama istri dan selirnya.

Di sekitar bata kuno itu juga didirikan bangunan-bangunan baru. Salah satunya adalah sebuah altar berdinding keramik. Kabarnya, pembangunan tempat tersebut terkait dengan mantan orang nomor satu di Indonesia. Setiap malam Jumat manis selalu ada yang menyempatkan diri bertirakat di sana memohon berkat. Tidak ada yang tahu lagi seperti apa wujud asli lokasi itu.

Hal serupa ditemui di tempat yang dikenal masyarakat setempat dengan sebutan Makam Putri Campa. Terletak di Dukuh Unguh-Unguhan, Desa Trowulan, di kawasan itu ditemukan nisan yang berangka tahun 1370 Saka atau 1448 Masehi. Makam tersebut dipercayai sebagai kuburan Putri dari Campa yang menikah dengan Raja Majapahit Brawijaya V.

Di sekitar nisan itu terdapat pula kompleks perkuburan yang dianggap sebagai tempat peristirahatan terakhir kerabat kerajaan.

Kemudian, dalam perkembangannya, dibangun tembok keliling dengan tiga pintu gapura di bagian depan. Renovasi terhadap makam tersebut dapat dikatakan megah. Makam terletak di sebuah bangunan bercungkup dari genteng berkualitas baik. Dinding makam dan lantai terbuat dari keramik putih.

"Makam ini dibangun perlahan-lahan. Biasanya, oleh orang yang ingin doanya terkabul. Ada orang yang menyumbang cungkup, lantai, atau pembangunan makam kerabat lain," ujar perempuan juru kunci makam itu.

Ia mengingat ada seorang pengusaha Tionghoa dari Surabaya yang pernah ikut menyumbang. Demikian juga seorang pejabat di sebuah stasiun televisi.

Makam itu, konon, dipercaya sebagai tempat untuk mencari kenaikan pangkat dan kelimpahan rezeki sehingga pada saat tertentu seperti satu Sura, puluhan orang mengunjungi tempat tersebut.

Yang juga telah banyak berubah adalah kompleks Makam Tralaya yang terletak di Dukuh Sidodadi, Desa Sentonorejo.

Tulisan Prof Dr R Soekmono dan Dra Inajati Adrisijanti Romli bertajuk "Peninggalan-peninggalan Purbakala Masa Majapahit" yang terangkum dalam 700 Tahun Majapahit (1293-1993); Suatu Bunga Rampai mengungkapkan, situs Makam Tralaya merupakan salah satu bukti proses masuknya Islam ke tanah Jawa, terutama pada masa Kerajaan Majapahit dengan cara damai. Itu terlihat dari adanya pemakaian huruf Arab dan Jawa kuno pada satu nisan.

Di sana terdapat 44 nisan kuno dari 36 makam. Tidak ada goresan yang menyebutkan nama di nisan. Tulisan Arab yang memenuhi batu nisan di sana lebih banyak melantunkan dakwah, misalnya kutipan Surat Ar-Rahman Ayat 26-27. Lainnya adalah bacaan doa dan kalimat thayibah, kalimat tauhid, kutipan ayat-ayat Al Quran, doa permohonan ampun dan pengagungan Tuhan dengan tanda-tanda sufistik.

SEPERTI diungkapkan arkeolog Drs Dwi Cahyono MHum dari Universitas Negeri Malang (UM), dengan banyak dijadikannya lokasi situs sebagai tempat tirakat, muncul klaim-klaim dari aliran kepercayaan tertentu.

Ada komunitas religius yang getol bercengkerama di Makam Putri Campa. Sebagian lagi di Siti Inggil atau Makam Tralaya. Biasanya pada saat tertentu seperti malam Jumat Legi.

"Terkadang mereka melakukan pembangunan di tempat tirakat tersebut. Itu dilakukan sebagai nazar dengan tujuan memperbaiki dan memperindah tempat itu," ujarnya.

Sayangnya, pemugaran oleh komunitas tertentu yang sebenarnya bertujuan baik tersebut tidak mengembalikan situs pada bentuk aslinya. Kepala Dinas Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Jawa Timur Umiyati Nurudin Shuqib bahkan memandang makam-makam yang telah berubah itu sebagai situs yang rusak.

Ia mengatakan, sejak tahun 1992 sebenarnya telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 tentang Benda-benda Cagar Budaya. Pada Pasal 15 jelas disebutkan larangan untuk merusak benda cagar budaya dan situs serta lingkungannya.

Hal itu dikuatkan dengan larangan untuk mengubah bentuk dan/atau warna serta memugar benda-benda cagar budaya. Dilihat dari sisi hukum, jelas pemugaran tanpa data arkeologis yang jelas dapat terkena sanksi.

Pimpinan Kelompok Budaya Jawa Kuno Asoukkha, Djati Koesoemo, mengatakan, pembangunan yang dilaksanakan tersebut sebenarnya berniat baik, namun sebaiknya tetap dikonsultasikan kepada pemerintah yang bertugas melindungi cagar budaya. Dengan demikian, diketahui sejauh mana pengembangan dapat dilaksanakan dan tidak merusak situs.

"Untuk menyalurkan keinginannya, pengunjung yang merasa doanya terkabul di sana jangan mengutak-utik situs, melainkan dapat membangun fasilitas tambahan yang dibutuhkan. Misalnya, wisma tempat tinggal dan kamar kecil," katanya. (IPS)

Sumber :
http://www.kompas.com