Peninggalan Arkeologi Keraton Kesepuhan Cirebon



Peninggalan arkeologis di daerah Cirebon cukup banyak jenis ragamnya, meliputi benda-benda bergerak dan tidak bergerak antara lain peninggalan Kompleks Keraton, kebudayaan Islam seperti makam dan masjid.

Pada umumnya peninggalan seni bangunan Kesulatanan Cirebon meniru seni bangunan yang berkembang pada masa Majapahit (Jawa Timur). Namun demikian sesungguhnya persamaan-persamaan seni bangunan Cirebon dengan Majaphit bukan peniruan semata-mata, melainkan dipengaruhi atau dilatarbelakangi alam pikiran lama yang hidup dan berkembang pada masa pra-Islam yang mendapat dukungan Kesultanan Cirebon.

Alun-alun
Semenjak zaman Sunan Gunung Jati, Alun-alun depan Keraton yang dinamai Sangkala Buwana, ditengah-tengahnya tumbuh sepasang beringin jenggot. Namun, semenjak tahun 1930 beringin itu sudah tidak ada lagi.

Dahulu pada zaman Sunan Gunung Jati, Alun-alun fungsikan untuk rapat akbar, apel besar, latihan baris berbaris para prajurit juga dipakai latihan perang-perangan oleh prajurit, dan Alun-alun ini juga difungsikan untuk pentas perayaan negara.

Masjid Agung
Masjid ini dibangun oleh para Dewan Waliyullah pada tahun 1500 Masehi, yang dinamai Sang Ciptarasa. Sang artinya adalah Keagungan, Cipta adalah dibangun, dan rasa adalah kegunaan. Arti lengkapnya adalah besarnya bangunan gunakanlah untuk musholah, dan kegiatan Islamiyah.

Keraton Kasepuhan
Keraton Kasepuhan merupakan kelanjutan atau perkembangan dari Keraton Pakungwati Cirebon, mulai pemekaran Keraton pada tahun 1529 Masehi. Penambahan bangunan-bangunan Keraton kasepuhan dibangun oleh cicit Sunan Gunung Jati yang bernama Pangeran Mas Muhammad Arifin.

Dari Sunan Gunung Jati langsung ke cicit, hal ini dikarenakan sewaktu Sunan Gunung Jati naik tahta, putranya meninggal dunia begitu pula cucunya, maka dari itu cicitnyalah yang membangun Keraton Kasepuhan.

Sebelum Keraton Kasepuhan berdiri, terlebih dahulu berdiri Keraton Pakungwati yang dibangun oleh Pangeran Cakrabuana atau Haji Abdullah Iman pada tahun 1452 Masehi

Nama Keraton Pakungwati diambil dari nama Permeisuri atau istri Sunan Gunung Jati, yang bernama Nyai Mas ratu Pakungwati

Setelah berdirinya Keraton Kanoman yang dibangun pada tahun 1675 Masehi. Maka, Keraton Pakungwati tersebut diganti namanya, menjadi Keraton Kasepuhan, yang berarti sebagai tempat yang paling tua.

Panca Ratna
Dahulu Panca Ratna fungsinya untuk tempat seba (menghadap) para penggede desa (kampung) yang diterima oleh Demang (Wedana Keraton). Sekarang Panca ratna sudah tidak difungsikan lagi.

Panca Niti
Bangunan ini berfungsi sebagai tempat perwira yang sedang melatih prajurit melakukan perang-perangan, tempat pengistirahatan setelah berbaris, tempat jaksa yang akan menonton hukuman mati para terdakwa, dan tempat petugas yang sedang mengatur tontonan yang diadakan oleh negara..

Kali Sipadu
Kali Sipadu berfungsi sebagai pembatas antara umum dan penghuni Keraton Kasepuhan.

Jembatan Pangrawit (Kreteg Pangrawit)
Di atas Kali Sipadu ada jembatan menuju Keraton yang dinamai Jembatan Pangrawit (Kreteg Pangrawit) diambil dari kata Kreteg, yang artinya perasaan, dan rawit yang artinya lembut (halus).

Lapangan Giyanti
Lapangan Giyanti. Dahulunya berfungsi untuk taman, taman ini dibangun oleh Pangeran Arya Carbon Kararangen atau Pangeran Giyanti.

Sitih Inggil
Sitih Inggil merupakan bangunan yang ada di depan Keraton. Di tempat ini ada beberapa bangunan berupa dinding beratap sirap. Sebelum memasuki Sitih Inggil terlebih dahulu memasuki sebuah gapura. Di gapura ini terdapat sebuah gambar seekor banteng, sebagai candra sekala yang menunjukan tanda pembuatan, yang berbunyi Kuta Bata Tinata Banteng, yang artinya Kuta adalah 1 (satu), Bata jumlahnya 3 (tiga), Tinata jumlahnya 4 (empat), dan Banteng jumlahnya 7 (tujuh). Jadi Candrasekala tersebut mengandung arti 1347 caka. Artinya Sitih Inggil ini didirikan pada tahun 1347 atau 1425.

Secara harfiahnya, Siti Inggil adalah “Siti“ berarti tanah, sedangkan “ Inggil” adalah tinggi. Siti Inggil dikelilingi tembok bata merah berupa Candi Bentar. Candi artinya “tumpukan”, Bentar artinya “Bata”. Tiap pilar di atasnya ada Candi Laras, arti dari Candi Laras ialah “tumpukan yang sesuai”. Artinya peraturan itu harus sesuai dengan ketetuan hukum.

Di Siti Inggil terdapat lima buah bangunan seperti, Mande Pendawa Lima bertiang lima, melambangkan “Rukun Islam” sedangkan fungsinya untuk duduk pengawal Raja.

Mande Malang Semirang atau Balai Jajar, tiang tengahnya yang berukir ada enam buah melambangkan “Rukun Iman”, jumlah seluruh tiang ada 20, ini melambangkan sifat 20 “sifat ke Tuhanan. Fungsi Malang Semirang, khusus untuk tempat duduk Raja bila melihat acara di alun-alun, juga untuk melihat bila sedang mengadili terdakwa.

Mande Semar kinandu, yaitu atap bangunan empat persegi dan pada puncaknya berbentuk limas, bertiang dua yang di ambil dari dua kalimah sahadat. Bangunan ini merupakan bangunan terbuka, menurut tradisi bangunan ini bangunan tempat duduk penasehat raja.

Mande Karesmen artinya “bangunan kesenian”, fungsinya untuk tempat menyembunyikan Gamelan Sekaten pada tanggal 1 Shawal dan 10 Dzulhijah waktunya ba’da shalat Idul Fitri. Jelasnya untuk tempat menyembunyikan gamelan yang dianggap sopan dan diperbolehlan oleh para Muthabiin di masa dahulu.

Balai yang lainnya adalah Mande pengiring yang letaknya masih berdekatan dengan balai semirang, Balai ini fungsinya sebagai tempat duduk Prajurit pengiring Raja. Juga digunakan untuk tempat Hakim menyidang terdakwa yang dituntut hukuman mati oleh Jaksa.

Di sebelah selatan Mande Pengiring terdapat dua buah batu yang diberi nama “Lingga dan Yoni”, benda ini sebagai simbol Adam dan Hawa.

Di Siti Inggil ditanami pohon Tanjung,, yaitu lambang Nanjung dalam bertahta. Ada pepatah “jadi raja harus mengetahui penderitaan rakyatnya”. Di halaman depan Siti Inggil ditanam pohon sawo kecik, arti dari sawo kecik ialah “becik atau baik”, artinya “diharapkan manusia itu berkelakuan baik dan benar.

Di halaman Siti Inggil juga terdapat meja batu dari Kalingga dan bangku batu dari Gujarat, yang dibawa oleh Dr. Raffles (orang Inggris yang hobi sejarah dunia) yang kemudian menyusun Sejarah Indonesia. Hasil penyusunannya kemudian diajarkan di sekolah-sekolah masa Kolonial Belanda di tahun 1934 – 1938 namun tidak merubah bentuknya.

Gerbang Pengada
Gerbang Pengada, yang dahulunya berdaun pintu kayu sroja dan dijaga oleh dua orang anggota laskar tombak. Apabila gerbang Pengada ditutup, orang-orang yang keluar masuk halaman Keraton harus melalui pintu yang terletak di sebelah timur Gerbang Pengada, yang dinamakan Gerbang Lonceng. Dahulunya pada gerbang ini dipasang sebuah lonceng yang dibunyikan sebagai petunjuk waktu. Sekarang loncengnya sudah tidak ada lagi.

Sebelah selatan Siti Inggil berdiri sebuah bangunan menghadap ke barat dinamai Pengada atau “Kubeng” artinya keliling. Pengada fungsinya untuk kantor para pejabat dalem yaitu Demang, Camat, Lurah, Laskar dan kaum dalem. Yang bertanggung jawab atas kelancaran tugas ini adalah Mas Demang. Di depan bangunan ini terdapat pohon kepel, maknanya mengepalnya lima buah jari menjadi satu, artinya lima aparaur yang menjalankan tugas di tempat ini harus bersatu.

Kemadungan
Gedung Kemandungan. Gedung ini untuk penyimpanan senjata (alat perang). Sebelah selatannya ada sumur yang dinamai Sumur Kemandungan untuk mencuci senjata (alat perang) Pada setiap tanggal 1 sampai dengan 10 Muharam. Sekarang Gedung Kemandungan sudah tidak ada dan senjatanya dipndahkan ke Gedung Museum.

Langgar Agung
Langgar Agung atau Musholah, berfungsi sebagai tempat sholat orang-orang Dalem, sholat taraweh, sholat Iedul Fitri dan Iedul Adha Sultan Sepuh, keluarga Sultan, dan Kerabat Sultan.

Dalam pelaksanaan Upacara Panjang jimat, Langgar Agung ini digunakan sebagai tempat melaksanakan upacara tersebut. Ada beberapa acara yang dilaksanakan di Langgar Agung ini, antara lain “Bubur Slabuk” yang dilaksanakan pada tanggal 10 Muharam, “Apem” dilaksanakan pada tanggal 15 Shafar, “Mauludan” tanggal 12 Rabi’ul awal yang dilasanakan pada puasa Ramadhan, selamatan lebaran tanggal 1 Shawal, “shawalan” tanggal 8, lebaran tanggal 10, dan Iedul Qurban Dzulhijah.

Di depan Langgar agung, terdapat gardu tempat bedug. Bedug tersebut diberi nama “Sang Magiri”

Gerbang Gledegan
Menurut cerita, pada masa Sultan nama gledegan diambil dari suara petugas gapura yang menggledek, apabila ada seorang pengunjung atau tamu yang akan berkunjung ke Sultan. Sehingga suara petugas gapura yang menggledek tersebut diambil untuk nama gapura ini.

Taman Bunderan Dewan Daru
Taman Bunderan Dewan daru adalah sebuah taman yang berbentuk lingkaran. Halaman ini dibuat dari plansoen, dan rolaknya batu cadas. Tepi dari pada bunderan tersebut, ditanami pohon dewan daru, yang jumlahnya delapan batang, ini mengandung falsafah bahwa bunderan artinya bulat, maksudnya sepakat. Di bunderan ini terdapat Candi atau Patung lembu kecil. Patung ini dilambangkan Hindu, sedangkan pohon soka sebagai lambang suka, atau hidup bersuka hati. Meja yang ada di dekatnya atau biasa disebut plang batu, dan patung dua macan putih sebagai lambang peringatan, bahwa Cirebon adalah penerus Kerajaan Pajajaran.

Sunan Gunung Jati, merupakan Raja I di Keraton Cirebon yang merupakan cucu Prabu Siliwangi. Bahkan Cirebon merupakan akhir dari Pajajaran. Di sebelah selatan bunderan ada sekelompok pot bunga yang di tengahnya ada tugu manunggal pendek, tugu ini dilambangkan sebagai kepercayaan Islam. Sedangkan dua buah Meriam yang melengkapi bunderan ini sebagai hadiah dari Prabu Kabunangka Pakwan.

Lunjuk
Sebelah barat tugu Manunggal berdiri sebuah bangunan yang disebut Lunjuk yang artinya Petunjuk, fungsinya untuk tempat staf harian yang tugasnya melayani tamu yang mau menghadap Raja

Sri Manganti
Tugu Sri Manganti, “Sri” Raja “Manganti” menunggu. Artinya, tempat menunggu keputusan Raja setelah melapor di Lunjuk.

Kuncung dan Kutagara wadasan
Kuncung (poni), atau disebut juga Gapura Kutagara Wadasan, fungsinya untuk tempat parkir kendaraan Raja/Sultan, dibangun pada tahun 1678 oleh Sultan Sepuh I, Kuncung bergerbang putih dibuat mengandung seni khas Cirebon, bawahnya berukir wadasan yang melambangkan “manusia hidup harus mempunyai pondasi yang kuat”, atas berukir Mega Mendungan yang melambangkan “Jika sudah menjadi Pimpinan atau Raja harus bisa mengayomi bawahannya dan rakyatnya”.

Jinem Pangrawit
Jinem Pangrawit. Jinem berarti tempat, sedangkan Pangrawit berasal dara kata rawit (kecil) yang artinya halus. Apabila diterjemaahkan secara keseluruhan, mengandung arti bahwa yang berkunjung ke Keraton Kasepuhan, tujuannya bagus-bagus. Jinem Pangrawit merupakan ruangan paling depan yang ditempati wakil sultan untuk menerima tamu, khususnya tamu-tamu pejabat.

Pintu Buk Bacem
Kayunya dibacem dulu (direndam dengan diberi ramuan). Pintu ini disebut Pintu Buk Bacem.

Gajah Nguling
Bangunan ini terdapat beberapa tiang yang artinya gajah yang sedang menguap. Dalam pelaksanaan Upacara Panjang Jimat, tempat ini digunakan sebagai penerimaan tamu. Yang menempati Bangsal Pringgandani dan Bangsal Prabayaksa. Secara simbolisme, gajah menguap belalainya membengkok atau serong. Jadi ruangan ini dibuat menyerupai belalai gajah dan berfungsi untuk menghubungkan antara ruangan depan dengan ruangan dalam. Dibuatnya bangunan ini mengandung satu falsafah, yang artinya bahwa kita hidup harus irit dan tidak boleh boros.

Bangsal Pringgandani
Bangsal ini berfungsi sebagai tempat menerima tamu. Dalam penerimaan tamu, ada tata cara tertentu yang berlaku di Keraton Kasepuhan. Misalnya tamunya pejabat penerimaan akan dilakukan lewat depan. Apabila tamunya masih famili Keraton, penerimaan dilakukan dari samping, dan ditempatkan di ruang Dalem Arum. Kalau tamunya dari masyarakat akan diterima dari samping dan ditempatkan di ruang belakang yang dinamakan Pungkuran. Pada masa Kesultanan, di Keraton Kasepuhan ada semacam klasifikasi. Apabila masyarakat ingin menghadap Sultan, Sultan tidak menemui secara langsung, tetapi masyarakat tersebut diterima oleh Demang.

Langgar Alit
Langgar Alit dahulunnya digunakan khusus untuk keluarga Sultan. Pada masa-masa sekarang, Langgar Alit dapat dipakai oleh siapa saja. Kegiatan yang dilaksanakan di Langgar Alit, antara lain Bulan Puasa digunakan untuk Tadarusan, syukuran khataman I yang pelaksanaannya dilakukan pada tanggal 15 Ramadhan, Peringatan Nuzulul Qur’an yang jatuh tanggal 17 Ramadhan, syukuran maleman tanggal 29 Ramadhan dan syukuran Qur’an jatuh pada tanggal 30 Ramdhan.

Jinem Arum
Jinem Arum. Jinem yang artinya tempat, sedangkan Arum diambil dari kata harum. Dahulu bangunan ini berfungsi sebagai ruang tunggu famili Sultan. Pada masa Kesultanan, ruang untuk putra sultan, dan ruang Sultan terpisah. Apabila anak Sultan ingin bertemu ayahandanya, putra tersebut harus melapor. Untuk menunggu keputusan, putra sultan menunggu di ruangan Jinem Arum .

Gedung Keputran
Kaputran, fungsinya untuk tempat tinggal putra Sultan laki-laki yang belum menikah.

Bangsal Prabayaksa
Bangsal Prabayaksa didirikan tahun 1682 Masehi oleh Sultah sepuh I. Arti dari kata Prabayaksa adalah, Praba “sayap” sedangkan yaksa “besar” artinya, Sultan melindungi rakyat dengan kedua tangannya yang besar seperti induk ayam melindungi anaknya dengan kedua sayapnya. Yang dimaksud di sini besar kekuasaannya.

Bangsal ini berfungsi sebagai tempat sidang Menteri Negara Dalem Kasepuhan. Di amping itu juga sebagai tempat musyawarah dalam kegiatan Keraton. Di Bangsal ini terdapat meja kursi bercat kuning muda dibuattahun 1738 Masehi, juga lampu kristal dari Prancis tahun 1738 dan lampu bermotif prasman dari VOC tahun 1745 Masehi, di tembok Bangsal terpasang tegel-tegel porselen berwarna biru cokla dari VOC, tegel coklat gambarnya mengandung cerita dari injil juga piring-piring keramik dari Cina dinasti Han Beu Tjie tahun 1424 Masehi tiga buah lukisan dari Belanda dan satu buah dari Jerman tahun 1745 Masehi. Ditembok Bangsal Prabayaksa terdapat empat buah relief karya pangeran Arya carbon Kararangen tahun 1710 Masehi (adik Sultan Sepuh I). Relief ini diberi nama Kembang Kanigaran artinya, Lambang Kenegaraan yang dimaksud, Sri Sultan dalam memegang tampuk kenegaraan harus welas asih pada rakyatnya. Juga terdapat beberapa tiang, di mana tiang tersebut memberi simbul bahwa di Keraton Kasepuhan mengambarkan akan adanya tiga periode agama yaitu Hindu, Budha, Kristen dan Islam. Pada tiang tersebut, terdapat hiasan yang bernama Kluwen yaitu menyerupai daun kluweni yang kering.

Antara Bansal Prabayaksa dan bangsal Agung, terdapat jalan undak/jalan naik menuju ke Bangsal Agung. Di kanan kiri jalan undak tersebut terdapat bunga tanjung berwarna merah. Diartikan bahwa bunga tanjung tidak akan pernah layu. Dalam pelaksanaan Upacara Panjang jimat, Bangsal ini berfungsi sebagai tempat duduk Sultan dan Raden Ayu beserta kerabat Keraton, serta tempat duduk para tamu agung.

Gedung Keputren
Kaputren, fungsinya untuk tempat tinggal putra Sultan perempuan yang belum menikah.

Dalem Arum
Sebelah timur Rellef terdapat pintu menuju ruangan yang disebut Dalem Arum atau Kedaton yang fungsinya untuk tempat tinggal Sultan dan keluarganya turun temurun hingga sekarang, masyarakat umum tidak diperbolehkan masuk.

Bangsal Agung Panembahan
Bangsal Agung Panembahan diambil dari sebutan raja yaitu Panembahan Bangsal ini dahulunya sebagai tempat singasana. Di belakang singasana terdapat tempat tidur. Tempat tidur ini tidak digunakan untuk tidur malam, melainkan hanya digunakan untuk istirahat pada waktu siang hari. Sekarang Bangsal ini dinamakan Bangsal Agung. Di tengah Bangsal Agung terdapat sebuah batu kursi singasana gusti Panembahan. Di kanan-kiri singasana terdapat kursi-kursi untuk permeisuri atau putra mahkota apabila turut hadir. Bangsal ini dinyatakan tertutup bagi pengunjung, yang ingin melihat lebih dekat tentang bangsal ini harus ada izin secara khusus daru sultan. Sekarang bangsal ini digunakan sebagai tempat sesaji pada Upacara Panjang Jimat, selamatan Mauludan. Pada dinding Bangsal ini terdapat beberapa hiasan, di antaranya piring Cina. Piring ini dibawa oleh istri Sunan Gunung Jati dari cina yang bernama Putri Ong Tien Nio. Di samping piring dari Cina, terdapat pula tegel-tegel porselin berwarna biru dan coklat, diperkirakan tegel-tegel ini adalah dibawa dari negeri Belanda pada tahun 1745 Masehi, di mana tahun-tahun itu pemerintah Belanda pernah menjalin hubungan dengan Cirebon. Pada dinding Bangsal ini juga terdapat sebuah relief yang berbunyi Dandang Wulung Manuk Kaduwung Membangun Kanegaran, artinya mengharapkan kasihsayang dari raja untuk rakyatnya. Apabila bunya relief tersebut dibaca satu persatu akan berbunyi sebagai berikut. Gambar burung adalah Dandang Wulung Manuk Kaduwung, dalam pribahasa Jawa Cirebon artinya “ngareoaken pemulunganing wong”, artinya mengharapkan pemberian orang. Bunganya bunga teratai hidunya di air, kalau berbunga bunganya mencuat ke atas, ini mengandung makna bahwa raja selalu berada di atas. Buahnya buah delima dab buah manggis. Buah delima diambil dari rukun Islam , sedang buah manggis diambil dari pribahasa Jawa Cirebon yang berbunyi aja menguras aja inggis, maksudnya jangan ragu dan jangan gentar. Buah manggis juga dilambangkan sebagai kejujuran. Karena pada buah manggis di bagian bawahnya terdapat kembang-kembang yang menandakan isi dari pada buah manggis tersebut. Misalnya buah manggis kembang-kembangnya ada empat, ini berarti isi buah manggis tersebut jumlahnya empat. Maksudnya isi dan kembang-kembang menunjukkan kesamaan, dan kesamaan ini dilambangkan bahwa ucapan dan hati raja harus ada kesamaan.

Pungkuran
Pungkuran atau Buritan karena letaknya paling belakang, fungsinya untuk tempat sesaji sarana Maulud Nabi Muhammad SAW.

Dapur Maulud
Dapur Maulud. Maksud diberi nama Dapur Maulud karena digunakannya tidak setiap hari, Dapur Maulud ini digunakan setahun sekali itu pun kalau ada acara selamatan Maulud Nabi.

Sumber : Argadikusumah Nurmas E, 1998, Baluarti Kraton Kasepuhan Cirebon

Photo :
http://www.cirebonarts.com