Universitas Pelita Harapan
Abstract:
This article review and rethinking any perspective and approach on performing arts with focus to Indonesia performing arts. Cultural changes issues has implicated to any concept and theories who ever used to explanation any performing arts, like historical descriptive, structure-functionalism, contructionism, structuralism, materialism, and post-structuralism or/and post-modernism.
*****
Pelbagai Perspektif dan Pendekatan Awal
Kendati Indonesia adalah negara bahari yang sangat tersohor dengan jalur lalu lintas barang, ide dan manusia, seni pertunjukannya sering dianggap statis. Seni pertunjukan umumnya dipandang mengakar di daerah atau pusat-pusat produksi tertentu, terpatri dalam ikatan-ikatan tak tertembus genre dan berbagai tatanan patronase tradisional, dikungkung oleh larangan-larangan tradisional dan penghormatan terhadap leluhur. Tradisionalisme semacam itu, setidak-tidaknya untuk sebagian, adalah warisan kesarjanaan Belanda yang cenderung melihat seni pertunjukan Indonesia dengan mengasumsikan kepastian dan ketaatan penuh pada aturan-aturan yang tak bisa diganggu gugat. Para penulis seperti Jaap Kunst, Jacob Kats, dan Th. B. van Lelyveld menafsirkan musik, tari, serta teater Jawa dan Bali sebagai kesinambungan masa lalu Indis kuno Indonesia barat. Serta merta mereka menggolongkan persilangan dan pertunjukan modern sebagai penyimpangan dan kemerosotan. Prasangka demikian juga dipegang dan diusung elite kolonial bumiputra, yang pada gilirannya melembagakan wacana tentang pelestarian warisan yang terus memunculkan kecemasan dan strategi-strategi untuk mencegah kemungkinan kehilangan budaya (Cohen, 2007:1).
Berangkat dari apa yang siampaikan Cohen tersebut, pengkajian-pengkajian seni pertunjukan (atau budaya ekspresi) Indonesia lebih cenderung kearah pendekatan deskriptif histories, yaitu menggambarkan situasi social tertentu. Pendekatan-pendekatan seperti ini dapat kita lihat misalnya dalam Holt (2000), Yampolsky (2006) dan berbagai macam penelitian (pendataan seni pertunjukan) yang dilakukan oleh lembaga pemerintah. Khususnya pendekatan-pendekatan yang dipakai oleh instansi pemerintah lebih ke arah pendekatan peta administratif, sehingga konsep tentang puncak-puncak kesenian menjadi tren dalam mengelompokkan jenis-jenis seni pertunjukan. Maka muncullah seni pertunjukan Bali, seni pertunjukan Jawa, Sumatera dan seterusnya. Hal seperti ini juga dapat kita lihat dari penelitian seorang Belanda, Jaap Kunst dalam bukunya Music In Java (1954). Sebuah seni pertunjukan dilihat sebagai sebuah warisan yang memang ada di satu tempat tanpa adanya persilangan dengan bentuk-bentuk seni pertunjukan disekitarnya. Oleh sebab itu pendekatan-pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan dekriptif histories. Namun Cohen (2007:3) mengemukakana bahwa pendekatan seperti ini dalam kadar sedikit atau banyak, sebuah pandangan tentang seni pertunjukan sebagai lahan di mana ambiguitas marak dan makna serta signifikansi selalu terbuka untuk digugat.
Meskipun pemahaman dan pendekatan seperti ini masih tetap ada, namun perubahan-perubahan pendekatan lain juga muncul dengan mempertimbangkan perubahan-perubahan yang terjadi dalam seni pertunjukan tersebut. Lihat misalnya penelitian-penelitian tentang seni pertunjukan yang ditulis oleh mahasiswa pasca sarjana kajian seni pertunjukan (Sudana, 1996; Sudewi, 1996; Sumantri, 1995; Widyastutieningrum, 1994; dsb). Tema-tema utama mereka adalah tentang perubahan dan kontinuitas (change and continuity) pada berbagai bentuk seni pertunjukan local (misalnya Bali, Jawa, dsb). Teori-teori yang mereka kemukakan terkait dengan kesejarahan seni pertunjukan Indonesia adalah teori-teori seperti persilangan, difusi atau persebaran budaya dalam hal yang bersifat polygenesis dan monogenesis. Ini terkait dengan konsep indigenous satu seni pertunjukan berdasarkan asal muasal.
Selain pendekatan deskriptif histories, pendekatan lainnya adalah pendekatan struktur dan fungsi yang diadaptasi dari Malinowsky (1922), Radclife-Brown (1952), hingga strukturalisnya Levistrauss (1963, 1976 ). Pendekatan ini hampir mendominasi beberapa buku/artikel yang membahas tentang seni pertunjukan di Indonesia. Ini dapat kita lihat dari penelitian Irianto (2005), Mas Buki (2004), Soedharsono (1986, 1989/1990, 1998, 2002), Sudana (1996), Sudewi (1996), Rai S (2002), Wicaksana (1996 dan 1998), Umeda (1997), dan Suteja (1995). Mereka menggunakan pendekatan fungsi dan struktur yang lebih terfokus, misalnya terkait dengan agama dan kepercayaan, integrasi, estetika, perlambangan dan sebagainya. Pendekatan seperti ini tidak jauh berbeda denan pendekatan-pendekatan yang dilakukan pada tahun-tahun sebelum 80-an oleh peneliti-peneliti seni pertunjukan dari luar Indonesia, misalnya (Kurath, 1959, 1960; Merriam, 1964; Nettle, 1965; Kaepller, 1978), yang memfokuskan peneltian pada seni-seni pertunjukan Asia dan Afrika dengan kategori (non western, non industrial field, dan non literate soieties). Penelitian-penelitian mereka difokuskan pada fungsi-fungsi dan struktur seni pertunjukan bagi masyarakat pendukungnya (Kurath, 1959). Namun hingaa saat ini juga pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam peneltian seni pertunjukan masih banyak dilakukan Bahkan era tahun 80-an hingga 90-an juga pendekatan ini masih banyak ditemukan. Meriam (1964) mengemukakan sedikitnya ada sepuluh fungsi dan penggunaan (used and function) musik (seni pertunjukan), yaitu (1) fungsi pengungkapan estetis; (2) fungsi pengungkapan emosional; (3) fungsi hiburan; (4) fungsi perlambangan; (5) fungsi komunikasi; (6) fungsi terkait dengan reaksi jasmani; (7) fungsi yang berkaitan dengan norma-norma social; (8) fungsi pengesahan lembaga social; (9) fungsi kesinambungan kebudayaan; dan (10) fungsi pengintegrasian masyarakat. Selain itu, Sach (1963) juga mengungkapkan beberapa fungsi utama seni pertunjukan, khususnya tari yaitu (1) untuk tujuan-tujuan magis: dan (2) sebagai tontonan. Sementara Kurath (1960) juga mengemukakan setidaknya ada 14 fungsi seni pertunjukan (tari) dalam kehidupan manusia, yaitu (1) fungsi untuk inisiasi kedewasaan; (2) fungsi percintaan; (3) fungsi persahabatan; (4) fungsi perkawinan; (5) fungsi pekerjaan; (6) fungsi pertanian; (7) fungsi perburuan; (8) fungsi perbintangan; (9) fungsi menirukan binatang; (10) fungsi menirukan perang; (11) fungsi penyembuhan; (12) fungsi kematian; (13) fungsi kerasukan; dan (14) fungsi lawakan atau jenaka. Demikian juga dengan Shaoy (1971) mengemukakan ada enam fungsi tari, yaitu (1) sebagai refleksi dan organisasi social; (2) sebagai sarana ekspresi untuk ritual sekler dan keagamaan; (3) sebagai aktivitas reaksi atau hiburan; (4) sebagai ungkapan serta pengendoran psikologis; (5) sebagai refleksi ungkapan estetis; dan (6) sebagai refleksi dari kegiatan ekonomi.
Demikian pendekatan-pendekatan fungsi seni pertunjukan ini telah banyak dilakukan, dan di Indonesia juga pendekatan-pendekatan seperti ini sangat banyak sekali. Lihat misalnya tesis magister kajian seni pertunjukan di beberapa perguruan tinggi seni di Indonesia. Pendekatan struktur fungsi ini juga menjadi pendekatan yang banyak dilakukan oleh peneliti Indonesia. Atmadibrata (1978) misalnya mengemukakan fungsi tari (seni pertunjukan) tidak hanya gerak fisik indah berirama yang tampil di atas pentas serta dilakukan oleh sekelompok penari dan diterima oleh penikmat. Soedharsono (2002) mengelompokkan seni pertunjukan Indonesia dalam pendekatan fungsi, yang membagi seni pertunjukan Indonesia menjadi 3 kategori, yaitu (1) sebagai sarana ritual; (2) sebagai hiburan pribadi; dan (3) presentasi estetis. Pendekatan ini tidak jauh berbeda dengan pendekatan-pendekatan yang dilakukan oleh para etnomusikolog awal seperti Meriam (1964) yang terkenal dengan istilah used and function-nya, dimana ia menekankan pengkajian dari musik [seni pertunjukan] dari sisi fungsi dan pengunaannya bagi masyarakat pendukungnya. Soedharsono (2002) lebih memperkecil fungsi seni pertunjukan itu sendiri menjadi tiga. Namun bila kita lihat dari segi fungsi-fungsinya itu sendiri sering sekali tumpang tindih, misalnya fungsi sarana ritual jika dilihat juga mempunyai fungsi estetis. Dan demikian juga dengan fungsi hiburan pribadi, fungsi estetis itu sebenarnya tetap muncul. Mungkin lebih fair seperti apa yang dikemukakan oleh Meriam yang membaginya dalam (setidaknya) sepuluh fungsi, bahwa satu seni pertunjukan bisa berfungsi ganda.
Selain pendekatan struktur fungsi, pendekatan lain yang juga dapat dikatakan dominan terhadap seni pertunjukan Indonesia hingga saat ini, adalah antropologi simbolis dan intepretasi kebudayaan dari Clifford Geertz (1973). Bahkan pendekatan ini tidak hanya dipakai dalam mengkaji seni pertunjukan itu sendiri, bahkan pengkajian instrumentasi musik dalam ilmu organologi dan akustika, yang biasa disebut dengan ekstra-musikal. Warna-warna, bentuk, penamaan, dan penanda-penanda tertentu dalam instrument musik difahami lewat simbol-simbol, yang jauh berkembang dari apa yang ditemukan oleh Victor Mahillon, Curt Sach dan Horn von Bostel. Memang kelemahan model simbolis ini sudah banyak dimaklumi, tetapi kedudukan terhormat Geertz sebagai intelektual publik dan peredaran luas tulisan-tulisannya dalam ilmu sosial dan humaniora telah berhasil menjalankan fungsi sebagai modal akademis yang mengesahkan banyak sekali studi tentang budaya ekspresif Indonesia, misalnya Rahayu (2007) yang mendiskusikan pemikiran Geertz dan Talal Asad dalam melihatan kaitan agama dan teater dengan pendekatan simbolisme, yang menyimpulkan bahwa seni pertunjukan dan drama terkait erat dengan agama. Demikian juga penelitian Insecs, yang melakukan penelitian tentang “Jaran Bodhak”, dengan melakukan pendekatan simbolik, identitas, perubahan bentuk, makna dan fungsi sekaligus. Penelitian ini melihat kebudayaan sebagai sistem konsepsi yang digunakan manusia untuk menafsirkan hidup dan menentukan sikap terhadapnya (Geertz, 1992).
Dari Geertz kita dapat memahami, bahwa pertunjukan Tari Barong dan Rangda di Bali bukan sekadar pertunjukan seni teater saja, melainkan sebuah upacara keagamaan, di mana penduduk desa ingin mendapatkan kepastian kembali bahwa para dewa masih ada di pihaknya. Kalau para dewa tidak ada di pihaknya, maka mungkin terjadi pelaku tari tersebut (yang menggunakan keris untuk melukai badannya) mengalami cedera. Karena itu, bagi penduduk desa di Bali, setiap upacara Tari Barong diikuti dengan hati yang berdebar-debar, karena tari ini merupakan sebuah pertanyaan kepada alam gaib dewa-dewa apakah mereka masih berpihak kepada mereka? Jawabannya bisa ya atau tidak.
Menurut para pengikut Geertz, seni pertunjukan dan bentuk-bentuk lain pergelaran budaya (termasuk sabung ayam Bali yang terkenal itu) harus dilihat sebagai jendela-jendela istimewa untuk memahami pandangan dunia dan etos kelompok-kelompok etnis tertentu dengan nilai dan pemahaman, kebiasaan dan norma tersendiri. Antroplog-pengamat didorong untuk “membaca [teks pertunjukan] menurut mereka yang berada di tempat semestinya” (Geertz 1973: 452). Pendekatan ini menekankan batas antara pengamat dan objek pengamatan dan menyebabkan diterimanya klaim-klaim pemilikan nasionalis Indonesia atas budaya Indonesia, menganggap beberapa varian pertunjukan sebagai “kebisingan” tidak penting dalam sebuah teks esensial yang bisa “dibaca” dalam semua pertunjukan oleh pengamat di tempatnya sendiri (Cohen, 2007:2).
Pendekatan lain yang juga banyak dilakukan oleh peneliti seni pertunjukan yang telah diterima luas, yaitu didasarkan pada ideal bi-musikalitas etnomusikolog Mantle Hood (1960). Untuk memahahami sebuah musik seharusnya seorang peneliti harus dapat memahami secara mendalam dengan cara harus juga dapat memainkannya (memproduksi bunyi sesuai dengan konsep musik itu sendiri). Inilah yang disebut bi-musikalitas. Mantle Hood merupakan murid Jaap Kunst (yang pernah meneliti musik Jawa, Kunst, 1954), yang terdorong untuk belajar memainkan musik gamelan Jawa klasik guna memahami produksi musik dari sudut pandang orang dalam. Dalam sebuah esai klasik, Hood menyamakan proses belajar memahami dan memproduksi sebuah musik baru dengan mempelajari sebuah bahasa baru, tujuannya adalah penguasaan bi-musikalitas seperti dalam bilingualisme (Hood 1960). Pemahaman orang-dalam tentang penampilan musikal memungkinkan diperolehnya paparan lebih akurat tentang proses musikal, prinsip-prinsip improvisasi dan permainan kelompok, juga menyediakan penghargaan baru bagi keterampilan teknis dan kepiawaian artistik para seniman empu (Cohen, 2007).
Pendekatan Mantle Hood terebut banyak dilakkan oleh penelitian-penelitian etnomusikologi. Seorang peneliti yang ingin meneliti musik tertentu, ia belajar memainkan alat musik tersebut. Hal ini terkait dengan masalah rasa untuk memahami, yang pada akhirnya ia dapat menemukan rasa musikalitasnya, baik secara teknis, menjalin hubungan dengan sesame pemain dalam satu ensambel musik, harmoni tradisional, dan berbagai hal yang terkait dengan peran sebagai pemain instrument musik dalam sebuah kebudayaan. Namun bagaimanapun juga, pendekatan ini tentunya mempunyai kelemahan-kelemahan juga. Metafora ini juga banyak dijadikan topic diskusi dan kritik.
Cohen (2007) berpendapat bahwa paruh pertama abad ke-20 menandai titik puncak pemanfaatan citra Jawa dan Bali oleh kalangan Orientalis di pentas internasional. Oleh sebab itu seni-seni pertunjukan Indonesia yang dikenal adalah Jawa dan Bali. Kesenian Jawa dan Bali difahami sebagai kesenian yang di luhung (hi culture). Disini jelas muncul superioritas budaya (kesenian). Lebih jauh Cohen mengatakan pementasan Jawa berbeda dari pemanfaatan pra-abad ke-20 itu di mana karakter Jawa diwujudkan dan dihayati di panggung maupun di luar panggung. Orang Indonesia, Eurasia, Eropa, dan Asia non-Indonesia (termasuk seniman Jepang dan India) terlibat dalam kegiatan ini. Era ini berakhir dengan kemerdekaan Indonesia, ketika negara Indonesia memperoleh hak eksklusif untuk memantau penampilan konstituen-konstituen etnisnya di luar negeri melalui misi dan diplomasi kebudayaan. Neil Sorrell mempertanyakan pemanfaatan, oleh para komponis Euro-Amerika, model-model Jawa ketika menciptakan karya untuk gamelan, karena hal itu sering menimbulkan kesalahpahaman serius menyangkut konsep-konsep musikal yang berbeda secara fundamental, misalnya intonasi. Lebih baik membiarkan aksen lokal muncul tanpa berusaha “meniru identitas dari tempat lain,” dan dia memelopori proses pelokalan ini dengan mendiskusikan Misa Gongso, yang dia gubah untuk khalayak York berdasarkan Gamelan Sekar dan mempergelarkannya di Katedral York pada tahun 2005.
Dalam “Indonesia and the Malay World”, artikel Alessandra Lopez y Royo (2007) berfokus pada dua balet, The Prince of Pagodas yang diciptakan Cranko pada 1957 dan dipentaskan ulang oleh MacMillan pada 1989 serta Gong karya Morris yang dipentaskan pertama kali tahun 2002. Melalui sebuah diskusi tentang karya-karya tari itu berikut musiknya, masing-masing oleh Benjamin Britten dan Colin McPhee, Royo meninjau ulang makna-makna yang saling bertentangan dari pengaruh dan pemanfaatan kultural, serta makna transformasi dan terjemahan. Dengan tinjauan itu Royo memunculkan tarik ulur identitas seksual lewat penggunaan gamelan sebagai indikator gay di kalangan komponis Amerika Utara abad ke-20, dalam deretan yang dimulai dari McPhee hingga Lou Harrison serta para penggubah terkemudian, dan di dalamnya nampaknya terdapat komponis Inggris Britten mengingat kedekatan hubungannya dengan McPhee.
Dalam buku yang sama, Michael Bodden (2007) menerapkan sebuah perspektif sosiologis untuk mengkaji sejarah pasca-kolonial teater seni nasional Indonesia. Dia menganalisis pemanfaatan modern tradisi sebagai “sumber daya langka” (cf. Appadurai 1981) yang dinegosiasikan dalam berbagai pertentangan antara para birokrat kebudayaan dan pejabat pemerintah berlatar belakang aristokrat dengan seniman-seniman berkecenderungan populis. Sementara agen-agen negara memperlakukan tradisi sebagai sesuatu yang statis dan tertata, para seniman merayakan kualitas tak terbelenggu dan multivokal seni rakyat.
Barbara Hatley (2007) menawarkan studi kasus grup teater Indonesia kontemporer, Teater Garasi, yang secara eksplisit menggeluti isu-isu identitas yang bertentangan – apa artinya menjadi benar-benar Jawa pada suatu waktu ketika pengertian “kejawaan” digugat.
Mark Hobart (2007) mengangkat serangkaian pertanyaan penting berkenaan dengan bagaimana pertunjukan tari Bali sejauh ini disalahpahami, sebagai sebuah entitas yang sepenuhnya ahistoris, terserap dalam masa lalu prakolonial imajiner. Mengapa kita tidak mencoba mengkontekstualkan dan menghistoriskan itu dengan meletakkannya bersama seni pertunjukan India, Cina dan Jepang, menggeluti studi kritis seni pertunjukan lintas budaya, modernitas dan pasca-kolonialitas? Ulasan-ulasan lugasnya tentang bagaimana warisan seni pertunjukan Bali dikonstruksi oleh orang luar dengan bantuan orang-orang Bali sendiri tidak cuma relevan bagi Bali melainkan juga bagi seni pertunjukan Asia seumumnya, menunjukkan perlunya menyegarkan penelitian pada abad ke-21.
Margaret Coldiron membahas sebuah pertunjukan mutakhir di mana anasir teatrikal Indonesia dan Yunani klasik dipadu dan dijajarkan. Dia menyajikan kasus bagi model yang lebih dinamis produksi teatrikal lintas budaya di mana budaya-budaya sumber dan sasaran berdampingan dalam keseimbangan dinamis.
Laura Noszlopy mengeksplorasi perubahan-perubahan dalam cara memandang agensi seniman pertunjukan Bali, ketika bidang kerja mereka menjadi lebih profesional. Dia berpendapat bahwa sekalipun ada sejarah impresario dalam bisnis seni pertunjukan Bali, “kerja lepas” merupakan modus operandi baru bagi banyak seniman kontemporer (Cohen, 2007).
Selain pendekatan tersebut di atas, pada pengkajian seni pertunjukan Indonesia telah dilakukan juga pendekatan-pendekatan post strukturalis dengan tema-tema khusus seperti globalisasi, gender, perempuan, kapitalisme, managemen, identitas, multikultural dan sebagainya. Hal ini banyak terinpirasi dari tulisan-tulisan Gidden (1971, 1976, 1991, 1992) dengan mengangkat tema-tema tentang ide, strukturasi, hubungan antara mikro dan makro, self-Identity, modernitas, hingga jalan ketiga (the third ways)-nya. Kleden-Probonegoro (2002) misalnya menulis tentang identitas etnik melalui seni pertunjukan. Kajian yang ia gunakan adalah pendekatan dengan menggunakan buku-buku posmo seperti Derrida (2002), Friedman (1994). Ia melihat seni pertunjukan sebagai hubungan antara tanda (signified) dengan yang ditandai (signifier). Ia mengkaji satu alat musik di NTB, gendang beleq (gendang besar) yang diperlakukan sebagai suatu tanda budaya (Kleden-Probonegoro, 2002:6), dengan persoalan yang diajukan adalah bagaimana proses penandaan yang dapat menunjukkan suatu represesntasi dimana pertarungan makna itu terjadi. Menurut dia, dari pemaknaan itulah dapat ditandai munculnya identitas suatu kelompok etnik di Pulau Lombok. Ada beberapa penelitian Kleden seperti ini dengan focus pada beberapa seni pertunjukan di Indonesia seperti topeng betawi, seni pertunjukan Kalimantan dan sebagainya.
Melihat berbagai pendekatan dan kajian tentang seni pertunjukan Indonesia tersebut Cohen (2007:4) melihat bahwa seni pertunjukan Indonesia di berbagai daerah adalah sebuah proses yang terletak di antara lokal, supralokal dan global – yang harus dinegosiasikan di kalangan seniman, agen-agen budaya, krisiti, penonton, dan para peserta lain di arena budaya. Pendapat Cohen tersebut sebenarnya didasari karena ia melihat seni pertunjukan dalam konteks globalisasi.
Isu-isu yang terkait dengan Globalisasi
Perkembangan teknologi komunikasi dan mekanisme pasar budaya kapitalisme menyebabkan produksi, penyebaran, dan pemasaran barang-barang budaya atau seni pertunjukan menjadi sulit dikontrol dalam batas negara-bangsa. Globalisasi korporat, atau sering disebut juga dengan globalisasi "atas" merupakan transnasionalisasi ideologi kapitalisme negara-negara maju yang mengeroposi ketahanan-ketahanan lokal negara-negara dunia ketiga. Tesis homogenisasi budaya menyatakan bahwa globalisasi kapitalisme konsumen menghilangkan keragaman budaya. Tesis ini menekankan pada pertumbuhan ‘kesamaan’ dan dugaan akan hilangnya otonomi budaya yang dikonsepsikan sebagai bentuk imperalisme budaya. Argumen ini berkisar antara dominasi suatu kebudayaan atas kebudayaan lain, yang biasanya disebut dalam konteks nasional (Barker, 2004: 117).
Kritik Barker tersebut ada benarnya apabila dikomparasikan dengan kondisi tereduksinya keberagaman kesenian dan budaya lokal Indonesia di tengah-tengah masyarakatnya sendiri. Kontinuitas dan keseriusan para pemegang modal untuk masuk ke dalam industri media dan juga pemegang kebijakan telah mengakibatkan berubahnya selera estetik ataupun pola konsumsi wong ndeso terhadap produk mereka sendiri Budi Sutiono (2003: 205 dalam Setiawan, 2007) mengutip Barbara Hartley menegaskan: Imposisi kekuatan media massa berakibat terjadinya penyeragaman pemikiran dan ekspresi, surutnya perbedaan-perbedaan, hilangnya bentuk ekspresi lokal. Bentuk-bentuk seni dan kerajinan dari desa yang dianggap rendah terus mengalami penghilangan akibat serangan gencar media dan barang-barang yang diproduksi massal. Kaum miskin secara ekonomis dan kultural menjadi konsumen ketimbang produsen atas hiburan dan wawasan budaya milik mereka[2]
Kapitalisme
Tidak dapat dipungkiri, bahwa globalisasi membawa pengaruh yang sangt besar sekali bagi Seni Pertunjukan. Pengaruh-pengaruh ini tidak hanya pada kontens seninya, tetapi pada hal-hal yang trkait dengan estetika. Kesenian-kesenian tradisional mengalami perubahan yang sangat cepat. Pemanfaatan ruang-ruang sebagai tempat pergelaran seni pertunjukanpun mengalami perubahan. Seni pertunjukan serta merta tidak lagi dipandang sebagai fungsi-fungsi upacara kepercayaan, estetis, hiburan, pengintegrasian masyarakat. Tetapi ia terkait dengan berbagai nilai-nilai komersil. Artinya perubahan terjadi tidak saja dalam cara, tetapi perubahan itu sendiri telah memasuki ranah nilai. Seni pertunjukan terkait dengan uang. Oleh sebab itu ia perlu di kelola (menej). Oleh sebab itu manajemen seni pertunjukan muncul tidak hanya pada seni-seni modern saja, tetapi juga telah merambah pada seni-seni pertunjukan‘tradisional’. (lih. Kelola.org. salah satu lembaga yang mengangkat tentang manajemen seni pertunjukan). Demikian juga di perguruan-perguruan tinggi seni juga, telah banyak dibuka mata kuliah manajemen seni pertunjukan. Dalam manejeman seni pertunjukan seni pertunjukan dijadikan sebagai komoditi, maka ia perlu dinegosiasikan. Ia perlu dilindungi secara hokum. Oleh sebab itu seni pertunjukan dewasa ini menjadi isu penting terkait dengan masalah perundang-undangan ekspresi budaya dan hak cipta. Hak cipta dan ekonomi kreatif adalah isu global. Dimana kepentingan-kepentingan indigenous people sebagai ‘pemilik asli’ satu kebudayaan perlu mendapatkan keuntungan secara materi atas penggunaan seni pertunjukan yang di claim sebagai asli seni pertunjukan sat kebudayaan tertentu. Hal ini tentunya menumbuh suburkan industri budaya kapitalisme dengan budaya pementasan (showbiz). Kesenian-kesenian Bali tidak lagi dipahami sebagai bagian upacara, tetapi banyak jenis-jenis seni pertunjukan dikelola sehingga mempunyai nilai jual. Sehingga ia mampu menyumbangkan uang kepada ‘pemilik’ atau pemainnya. Tingkat-tingkat pertunjukan pun diatur dengan mempertimbangkan nilai-nilai ekonomi semata, baik pertunjukan yang bersifat individu, kelompok, tingkat local, internasional. Penelitian-peneltian dan pengkajian dengan tema-tema seperti ini pun telah ada dalam seni pertunjukan Indonesia. Misalnya bagaimana kapitalisme seni pertunjukan terkait dengan pariwisata, misalnya Hutajulu (1997), Soedharsono (1986, 1999), Devung (1997), Larasati (1997), Lathief (1997), Rahzen (1997) dan sebagainya. Dari penelitian mereka kita bias lihat akibat pengaruh globalisasi ini banyak seni pertunjukan yang merubah bentuk untuk tujuan-tujuan kapitalisme, atau bahkan banyak yang mati (lih. Suartaya, 2007). Perkembangan ini jugalah yang kemudian memunculkan perlindungan terhadap ekpresi budaya (seni pertunjukan).
Multikultural
Multikultural
Multikultural dengan penekanan pada Identitas, yaitu yang membedakan satu dengan yang lainnya. Isu-isu seperti ini misalnya dapat kita lihat dalam tulisan Ninuk Kleden dalam tulisannya “Cokek: Multicultural Challenge to Indonesia’s Cultural Politics”, yang ingin mengemukakan akibat modernitas atau globalisasi yang membuat sebuah seni pertunjukan menjadi marginal terkait dengan identitasnya sendiri. Oleh sebab itu, multikulturalisme menyarankan tiga hal penting. Pertama, pendukung sebuah kebudayaan, walaupun banyak dipengaruhi kebudayaannya, ternyata tidak dapat menutup diri dari kebudayaan lain di luar yang difahaminya. Kedua, kendati setiap kebudayaan dapat menyediakan sistem makna bagi para pendukungnya, sistem makna tersebut tentulah tidaklah sempurna dan tidak serta merta dapat mendukung segala aspek pemaknaan yang dihadapinya dari kurun ke kurun dan senantiasa ada kebutuhan untuk menengok sistem pemaknaan lain. Ketiga, meskipun sebuah kebudayaan memiliki self determination, ia tidak luput dari asimilasi dan pengaruh. Dengan kata lain, multikulturalisme terbentuk karena ada keinginan untuk saling “membaca”, membuka diri, membangun kerjasama dan kemitraan tanpa harus mendominasi satu sama lain. Sebenarnya isu-isu multicultural ini juga menjadi perhatian di kalangan seni pertunjukan di Indonesia. Ini dapat kita lihat dari tema-tema ini yang diangkat dalam Art Summit pada tahun-tahun 2000.
Politik
Politik
Kesenian meskipun ia sebagai ladang ekspresif bagi kalangan seniman, tetapi kesenian juga sering dimanfaatkan oleh berbagai agen untuk merekonstruksikan kekuasaan melalui perubahan. Seni pertunjukan dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan yang terkait dengan politik praktis maupun politik kesukubangsaan. Oleh sebab itu bahasan-bahasannya terkait dengan bentuk ekspresi yang berhubungan dengan masalah ideology di balik penciptaan dan produksi sebuah seni pertunjukan. Ketoprak di Jawa misalnya, dengan memanfaatkan TV, maka ia diproduksi tidak hanya dalam konteks ke-Jawa-an (sebagai pendukung seni pertunjukan tersebut), tetapi juga dalam konteks industri budaya (cultural industry) yang membayangkan pemirsa dari berbagai suku bangsa. Ketoprak tidak dibwakan lagi dalam bahasa Jawa, tetapi dengan menggunakan bahasa Indonesia. Sehingga seni pertunjukan tersebut memiliki diversitas makna dan intepretasi tentang prilaku manusia yang diasumsikan dapat dinikmati bersama. Namun dalam hal-hal tertentu bahasa-bahasa Jawa masih disisipkan dalam pertunjukan mereka, sehingga dari politik kebudayaan, bahasa Jawa menjadi dapat dimaknai, atau dapat diterima sebagai bahasa bersama dalam berkomunikasi. Demikian juga ketika wayang tidak hanya sebagai ekspresi yang terkait dengan estetika, tetapi ia juga telah pernah terkait dengan jargon-jargon politik (kampanye), yang ‘dibelokkan’ untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Isu-isu seperti ini tidak hanya di Indonesia, tetapi mengglobal, artinya pengaruh mempengaruhi antar budaya seolah-olah menunjukkan suatu ajang adu kekuatan budaya. Kekuatan budaya disini tidak hanya terkait dengan masalah ‘penerimaan’ sebuah budaya bagi budaya lainnya, tetapi lebih berimplikasi terhadap berbagai kepentingan politik kebudayaan itu sendiri dan kepentingan-kepentingan di sekitar pemilik budaya itu sendiri, misalnya ekonomi.
Identitas
Identitas
Seni pertunjukan dapat dipahami sebagai penanda identitas dari masyarakat pendukungnya. Seni pertunjukan dipandang tidak hanya sebagai ekspresi estetis, tetapi ia juga dapat dipahami sebagai tanda. Kleden-Probonegoro (2002) misalnya mengkaji bagaimana sebuah instrument musik gendang beleq pada suku Sasak di NTB terkait sebagai penanda identitas etnik. Artinya meskipun dalam konteks perubahan yang terjadi seni pertunjukan masih dapat dijadikan penanda jika ia disadari sebagai bentuk seni pertunjukan ‘asli’ pada satu kebudayaan tertentu.
Gender
Gender
Isu-isu gender yang mengglobal di dunia juga menjadi perhatian penelitian-penelitian seni pertunjukan dan yang menjadi centre of pointnya adalah kaum perempuan. Pengkajian dengan melakukan pendekatan gender ini ingin melihat bagaimana perempuan dalam seni pertunjukan. Suanda (2004) misalnya melihat bagaimana seorang perempuan Sawitri (penari topeng Cirebon) sebagai perempuan yang konsisten mempertahankan akar seni topeng dengan pendekatan biografi. Dalam tulisannya tersebut digambarkan bagaimana pemahaman ‘umum’ tentang perempuan dalam seni pertunjukan tanpa mengetahui esensi dari seni pertunjukan itu sendiri. Demikian juga dengan Nugroho (2004) yang meneliti tentang perempuan Suharni Sabdowati (seorang Dalang Wanita). Nugroho mengetengahkan pendekatan isu gender dalam norma-norma seni pertunjukan, dimana dalang dalam pertunjukan wayang di Jawa biasanya dilakukan oleh kaum pria. Dalam tulisan ini dimulai dengan pertanyaan-pertanyaan apa motivasinya menekuni dunia pedalangan, bagaimana ia menempatkan seni pedalangan dalam kehidupannya, bagaimana ia menghadapi persaingan dalam berkreasi dan menarik perhatian masyarakat pemerhati pakeliran, bagaimana kontribusi suharni di kalangan seniman dan masyarakat pada umumnya, dan baaimana tanggapan masyarakat terhadap eksistensi suharni sebagai dalang wanita. Demikian juga dengan penelitian Caturwati (2004) dengan mengangkat tema serupa, yaitu seorang Titim Fatimah (dalang perempuan pada Wayang Golek Jawa Barat). Wicaksana (2004), Sanre (2004), Hutajulu (2004), dan Suryatna (2004) yang mengangkat isu gender dalam seni pertunjukan. Perempuan dalam seni pertunjukan lebih sering dilihat sebagai bagian seni pertunjukan (pelaku) daripada peran mereka sebagai perempuan. Peran yang dimaksud disini adalah peran utama yang menentukan, karena dalam seni pertunjukan di Indonesia peran utama didominasi oleh kaum pria. Jarang sekali kita temukan perempuan bermain alat musik Batak, bermain Ganrang Pakanjaran Makassar dan sebagainya. Perempuan lebih difahami sebagai pesona keindahan yang subordinat. Padahal sebenarnya dalam beberapa seni pertunjukan peran mereka dapat dikatakan sangat strategis, misalnya pada kesenian tayub, bajidoran, tledek, jaipongan, ronggeng, tledek, dombret, cokek dan lain sebagainya. Kehadiran perempuan dalam seni pertunjukan tersebut dapat dikatakan magnet.
Beberapa Etnografi tentang Seni Pertunjukan
Dalam penelitian etnografi Irianto (2005) tentang “Tayub, Antara Realitas dan Sensualitas: Erotika Petani Jawa memuja Dewi” berangkat dari pertanyaan Mengapa Tayub tetap hidup dan berkembang padahal ia telah mengalami perubahan fungsi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut ia melalkukan identifikasi, pemahaman dan penjelasan dalam sejumlah hipotesis. Salah satunya adalah perubahan fungsi Tayub akibat adanya perubahan kondisi perekonomian masyarakat pendukungnya. Yang ia maksudkan dengan masyarakat pendukungnya itu adalah menyangkut seniman dan dan masyarakat petani pedesaan Jawa yang melatar belakangi tayub (penyelenggara atau partisipan). Dengan kata lain ia mengemukakan bahwa masyarakat pendukung tayub adalah komunitas tayub (Irianto: 2005:6).
Beberapa Etnografi tentang Seni Pertunjukan
Dalam penelitian etnografi Irianto (2005) tentang “Tayub, Antara Realitas dan Sensualitas: Erotika Petani Jawa memuja Dewi” berangkat dari pertanyaan Mengapa Tayub tetap hidup dan berkembang padahal ia telah mengalami perubahan fungsi? Untuk menjawab pertanyaan tersebut ia melalkukan identifikasi, pemahaman dan penjelasan dalam sejumlah hipotesis. Salah satunya adalah perubahan fungsi Tayub akibat adanya perubahan kondisi perekonomian masyarakat pendukungnya. Yang ia maksudkan dengan masyarakat pendukungnya itu adalah menyangkut seniman dan dan masyarakat petani pedesaan Jawa yang melatar belakangi tayub (penyelenggara atau partisipan). Dengan kata lain ia mengemukakan bahwa masyarakat pendukung tayub adalah komunitas tayub (Irianto: 2005:6).
Pada akhir tulisan ia mengemukakan bahwa kesenian (tayub) merupakan kebutuhan integratif manusia dalam rangka meningkatkan dan melangsungkan taraf hidup, namun keberadaannya sebagai salah satu unsure kebudayaan sangat terikat oleh lingkungannya. Lingkungan secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi bentuk dan pengungkapan kesenian tersebut. Dalam pembahasannya ada dua hal penting yang dikemukakan yaitu keberadaan tayub itu sendiri sebagai kesenian rakyat dan sisi lain adalah masyarakat yang melatarbelakangi kesenian tersebut, yaitu petani Jawa.
Kembali kepada pertanyaan penelitian, sebenarnya yang ia jelaskan terkait dengan data-data yang dikemukakan adalah tentang perubahan fungsi dalam kesenian tayub. Dan perubahan itu sendirilah sebenarnya jawaban ‘mengapa’ tayub tetap hidup dan berkembang, termasuk perubahan fungsinya. Fungsi tayub dalam tulisan tersebut adalah berfungsi sebagai bagian dari upacara dan ritual; pertunjukan tayub menjadi salah satu media untuk bersukaria bagi masyarakat dalam mengisi waktu luang; pertunjukan tayub dianggap sebagai salah satu media yang mampu mengangkat status social seseorang dalam lingkungan tersebut; dan pertunjukan tayub oleh masyarakat pendukungnya dianggap sebagai kebesaran. Dari hal ini sebenarnya pertanyaan penelitiannya sendiri belum terjawab secara sistematis. Yaitu kata mengapa tersebut, yang seharusnya diuraikan dalam eksplanasi. Artinya mesekipun pertanyaan penelitiannya hanya satu saja, tetapi implikasinya sangat luas dalam eksplanasi (Bnd. Creswell, 1994).
Penelitian Sugeng Nugroho (2004) tentang “Nyi Suharni Sabdowati: Dalang Wanita Duplikat Nartosabdo” yang mengetengahkan pendekatan isu gender, dimana dalam budaya seni pertunjukan wayang di Jawa biasanhya dilakoni oleh kaum pria. Sebagai pertanyaan penelitian ia mengemukakan beberapa pertanyaan, yaitu: (1) apa motivasinya menekuni dunia pedalangan; (2) bagaimana ia menempatkan seni pedalangan dalam kehidupannya; (3) bagaimana ia menghadapi persaingan dalam berkreasi dan menarik perhatian masyarakat pemerhati pakeliran; (4) bagaimana kontribusi suharni di kalangan seniman dan masyarakat pada umumnya; dan (5) bagaimana tanggapan masyarakat terhadap eksistensi suharni sebagai dalang wanita.
Menurut Creswell pertanyaan penelitian itu hendaknya dirumuskan singkat dan cukup satu saja, dan derivasinya bias dua pertanyaan. Menurut saya apa yang dikemukakan oleh Nugroho (2004) tersebut adalah terlalu luas untuk dikaji, dan kurang focus. Ini dapat kita lihat dari hasil penelitiannya yang lebih menekankan hanya pada perjalanan hidup sang tokoh dengan berbagai persoalan seni pertunjukan yang bersinggungan dengannya sebagai perempuan. Artinya pertanyaan-pertanyaan penelitian yang ia kemukakan kurang menggigit dan tidak lebih hanya sebagai panduan dalam wawancara mendalam saja. Padahal jika satu per satu pertanayaan-pertanyaan tersebut ingin dijawan dengan melakukan berbagai pendekatan yang ada akan cukup menarik dalam merepresentasikan perempuan dalam seni pertunjukan. Namun dalam tulisannya, pertanyaan-pertanyaan tersebut dijadikan menjadi sub-sub judul dalam eksplanasi, sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dijawa secara mendalam.
Penelitian Sumandiyo Hadi (2006) Seni dalam Ritual Agama, mengangkat masalah pembentukan symbol ekspresif (seni) dalam ritual agama yang disebut dengan upacara atau perayaan liturgy ekaristi bagi gereja Katolik sebgai pengalaman keagamaan dan sekaligus pengalaman estetis, yang dapat dikembangkan dan ditransformasikan ke dalam berbagai symbol. Dalam pernyataannya yang lain disebutkan bahwa liturgy yang sarat dengan berbagai symbol gerakan, bunyi-bunyian dan berbagai macam ucapan verbal yang bersifat seremonial merupakan difahamai sebagai symbol ekspresif. Dari kenyataan realitas social yang dapat diamati, bahwa hubungan antara symbol keagamaan dan berbagai macam symbol ekspresif yang terwujud secara harmonis, merupakan suatu cara yang sesuai, cocok atau serasi untuk mengungkapkan perayaan liturgy sebagai upacara keselamatan manusia (Hadi, 2006:ix).
Pembentukan berbagai macam symbol ekspresif yang telah disesuaikan dengan sosio-kultural masyarakat tidak mengurangi atau menyimpang kaidah agama; dengan pembentukan symbol ekspresif, justru dapat menambah mutu atau semangat kesadaran beragama atau religiuitas. Dari problema itulah maka problem atau masalah penelitiannya dirumuskan dengan beberapa pertanyaan, yaitu (1) bagaimana system pelembagaan agama khususnya yang berkaitan dengan bentuk ritualnya; (2) bagaimana hubungan symbol konstitutif dan symbol ekspresif menjadi satu system yang korelatif-integratif-dinamis, atau hakikatnya menanyakan (3) apakah pembentukan symbol seni dalam ritual dapat meningkatkan kesadaran religiusitas, maupun sebaliknya ritual agama dapat mengembangkan dorongan esetetis (seni)?; (4) bagaiamana pemahaman masyarakat terhadap kesenian, terutama dalam ritual agama; (5) mengapa terjadi deferensiasi dan inkulturasi pembentukan symbol ekspresif dalam ritual agama. Pertanyaan-pertanyaan tersebut dibangun dengan asumsi bahwa orang Jawa itu (khususnya masyarakat pedesaan), dipat dikatakan sebagai masyarakat yang sosio-religius. Kepercayaan atau agama selalu menjiwai berbagai aspek kehidupan masyarakat, baik yang menyangkut system budaya maupun system sosialnya. (Hadi, 2005:15-16). Selain pertanyaan-pertanyaan tersebut, ia masih mengemukakan berbagai pertanyaan tentang bagaimana pembentukan symbol dan bagaimana hubungan symbol konstitutif (agama) dam simbol ekspresif (seni).
Dari pertanyaan-pertanyaan dan asumsi tersebut ia menjelaskan berbagai pemahaman symbol-simbol tersebut dalam konteks kepercayaan (agama). Oleh sebab itu ia menampatkan agama sebagai konstitutif dan mengkaitkannya dengan berbagai teori-teori sistem, sibernetika, fungsional, aksi, kewenangan dari Weber (1964), sosiologi budaya dari Williams (1981). Demikian teori-teori tersebut diaplikasikan dalam eksplanasi, termsuk teori tentang fungsionalisme tersebut ia menjelaskan fungsi-fungsi seni dan agama, yaitu fungsi social dan ritual.
Saya melihat buku ini membahas tentang seni dan ritual agama dalam berbagai perspektif, teori. Sehingga tulisan ini memuat beberapa kajian yang sebenarmnya pendekatannya berbeda-beda. Tapi terus terang saya belum membaca secara lengkap, sehingga tulisan ini mungkin saja dapat mengalami pertentangan teori. Karena masing-masing teori memiliki pendekatan dan kajiannya masing-masing. Namun dari segi data ia berhasil mengemukakan data-data di lapangan dengan metode kwalitatif.
Kleden-Probonegoro (2002) dalam “Membaca Politik Identitas Melalui Seni Pertunjukan” menulis tentang identitas etnik melalui seni pertunjukan. Ia berangkat dari pandangan Saussurian yang ditolak oleh Derrida (2002), yang mengatakan bahwa makna tergantung pada the act of signifying. Dengan kata lain proses signifikasi harus menempati posisi utama dalam hubungan antara tanda dan penanda. Berangkat dari tulisan tersebut difahamai bahwa tulisan bukan sekedar literal photographic atau inskripsi yang bersifat idoegrafik saja, tapi merupakan suatu totalitas termasuk kemampuannya untuk melampaui apa yang bias ditunjuk secara fisik yang oleh Derrida disebut sebagai cybernetic program, yang mencakup konsep jiwa, konsep hidup, nilai, pilihan dan memori (Kleden-Probonegoro, 2002: 6-7).
Berdasarkan pandangan tersebutlah, Kleden memperlakukan seni pertunjukan sebagai sebuah tulisan yang merupakan totalitas. Jadi represntasi identitas dalam hal ini identitas etnik muncul dari hubungan antara tanda dengn penanda, bukan merupakan hubungan yang linear dan bukan merupakan hubungan yang bersifat final. Ia juga mengutip pendapat Friedman (1994), yaitu pentingnya proses representasi untuk menafsirkan makna. Ia melihat seni pertunjukan sebagai hubungan antara tanda (signified) dengan yang ditandai (signifier). Ia mengkaji satu alat musik di NTB, gendang beleq (gendang besar) yang diperlakukan sebagai suatu tanda budaya (Kleden-Probonegoro, 2002:6), dengan persoalan yang diajukan adalah bagaimana proses penandaan yang dapat menunjukkan suatu representasi dimana pertarungan makna itu terjadi.
Berangkat dari pertanyaan permasalahan tersebut dalam eksplanasinya didukung oleh data-data tentang pengelompok etnik di di NTB (suku asli Sasak dan ada beberapa suku lainnya), kesenian sebagai tanda, deskripsi singkat tentang gendang beleq, wacana gendang beleq beserta tampilan sekarang dianalisis dalam konteks identitas dan representasi. Dia berkesimpulan yang ia kemukakan bahwa andaikan gendang beleq merupakan milik orang Sasak ‘asli’ yang tidak terpengaruh oleh Bali, maka kesenian itu dapat berperan sebagai penanda bagi identitas Sasak.Sebagai dentitas, gendang beleq adalah wadah untuk pertarungan penafsiran makna. Pada gendang beleq sebagai representasi Sasak, semakin kuat dengan dengan campur tangan pariwisata yang sering memunculkan gendang beleq dalam bentuk yang tidak biasa dilakukan dalam tradisi, yaitu untuki menarik wisatawan di Senggigi, untuk menyambut tamu, meredam demonstrasi dan acara budaya NTB di Jakarta.
Penelitian Robert Martin Dumas tentang “Teater Abdul Muluk in Zuid-Sumatera op de drempel van een Nieuw Tijdperk” (2000) adalah salah satu penelitian seni pertunjukan dengan pendekatan deskriptif histories dengan melihat berbagai perubahan-perubahan genre yang terjadi dalam kurun waktu. Artinya ia berangkat dari pertanyaan penelitian bagaimana perubahan yang terjadi dalam teater Abdulmuluk tersebut. Dia membahas tentang sejarah asal mula perkembangan teater Abdulmuluk, wilayah apresiasinya di Sumatera, dan juga berbagai perubahan yang terjadi dalam genre ini.
Pendekatan yang dipakai Dumas (2000) adalah dengan menceritakan pengalaman-pengalamannya ketika bersentuhan dengan kajiannya (Teater Abdulmuluk), yaitu pengalaman selama melakukan riset di Sumatera Selatan yaitu dengan cara observasi partisipasi, termasuk Bangka Belitung. Kemudian ia membanding-bandingkannya juga dengan beberapa jenis teater yang ada di sekitarnya seperti Bangsawan (Melayu). Dari cara penelitiannya ia berpendapat bahwa pendekatan partisipasi observasi dinilai cocok diterapkan untuk penelitian antropologi tentang teater rakyat. Seorang peneliti harus mampu masuk ke dalam (sebuah) rombongan teater untuk mengamati penampil maupun masyarakat pendukungnya dari dalam. Selain partisipasi observasi, dalam analisisnya ia menggunakan beberpa disiplin ilmu (interdisiplin) yaitu musik, sastra, bahasa, etnomusikologi, antropologi dan sosiologi.
Dari data-data tentang sejarah teater di dunia Melayu dikaitkan dengan teater Abdulmuluk sendiri di Palembang berdasarkan data-data tertulis dan hasil penelitian lapangan, ia mengatakan bahwa secara sejarah teater itu muncul sekitar tahun 1895 yang idenya muncul dari teater Bangsawan yang telah muncul sebelumnya pada masayarakat Melayu. Kemudian ia membandingkan kedua teater tersebut dengan menganalisis naskah-naskah yang digunakan oleh kedua genre teater tersebut. Ia hanya melakukan analisis histories berdasarkan manuskrip hingga seni pertunjukan.
Penelitian Devung (1997) pada Seni Pertunjukan di dataran tinggi Mahakam menjelaskan tentang situasi seni pertunjukan pada masa sekarang dengan melihat factor-faktor apa yang memberi kontribusi terhadap situasi seni pertunjukan tersebut, serta mendiskusikan beberapa isu seni pertunjukan saat ini, dan mengajukan beberapa prospek yang mungkin dan potensial di masa mendatang bagi seni pertunjukan disana. Ia mengaitkannya dengan perkembangan turisme, dan pengaruhnya terhadap konservasi lingkungan di daerah dataran tinggi Mahakam (Devung, 1997: 35-36).
Seni pertunjukan di kebanyakan kebudayaan biasanya sangat berkaitan dengan musik, tari, drama dan upacara (Keesing, 1958:356). Fenomena seperti ini dijelaskan pada seni pertunjukan yang terdapat di dataran tinggi Mahakam, seperti hudo’, dangday, belian, atau pertunjukan ngugu tautn. Di masa lalu seni pertunjukan kebanyakan terkait dengan ritual religius local yang terkait dengan agrikultur, siklus kehidupan dan upacara pengobatan. Seiring dengan perubahan yang telah terjadi dalam beberapa aspek ke’tradisionalan’ seni pertunjukan maka ia mengemukakan pertanyaan penelitian apa yang telah terjadi pada seni pertunjukan tradisional sebagai akibat perubahan kepercayaan religius dan pola hidup dalam beberapa dekade ini? Pertanyaan ini diarahkan pada beragam praktek di masa lalu, situasi masa kini, dan prospek masa depan dari seni pertunjukan tradisional (Devung, 1997:36).
Jika dilihat dari pertanyaan penelitian yang dikemukakan Devung, menurut saya kurang didukung oleh data yang cukup. Dia hanya menulis refleksi singakt tentang beberapa jenis seni pertunjukan di Mahakam dan menggambarkan situasi sekarang dan prospek masa depan. Artinya pembahasannya kurang mendalam, karena ia hanya melihat perubahan seni pertunjukan tersebut dari tampilan luar yang terkait dengan komoditi pariwisata. Padahal jika dikaitkan dengan pertanyaan penelitiannya seharusnya penjelasannya lebih terfukus kepada perubahan religus dan pola hidup.
Penelitian yang lain misalnya adalah Hutajulu (2002) yang meneliti “Isu Gender dalam Opera Batak: Teks dan Konteks”. Dia berangkat dari pemikiran Koskoff (1987:15) yang mengatakan bahwa ideologi gender, kekuasaan sosial dan pertunjukan adalah saling terkait. Dari pendapat itu ia berhipotesis bahwa pertunjukan musik mempunyai potensi sebagai alat komunikasi antar gender, yang mempunyai power sebagai usaha untuk melakukan kritik, negosiasi, atau menantang otoritas social yang terjadi dalam satu kebudayaan tertentu. Selain itu ia juga berangkat dari Roberston (1987) dan Peterson (1987) yang mengatakan seni pertunjukan (musik) mempunyai kekuatan untuk menjembatani (mediate) komunikasi antar gender.
Dalam tulisannya ini (meskipun tidak tersurat) namun dapat difahami bahwa yang dia maksud sebagai teks adalah opera batak, yaitu lagu-lagunya yang secara spesifik berkaitan dengan fenomena gender dan perempuan pada masyarakat Batak Toba. Namun isu gender yang dikemukakan dalam tulisan ini adalah sebatas inspirasi bagi para kaum laki-laki dalam menciptakan lagu-lagu yang dipakai dalam opera tersebut (132 lagu). Lagu-lagu opera sering sekali diciptakan setelah mendengar keluhan dari pemain perempuan opera batak atau penonton/anggota yang mengadukan problema serta pengalaman hidupnya. Namun jika dikaji secara menyeluruh dari lagu-lagu terebut ia menunjukkan fenomena ketidaksetaraan gender dan status perempuan yang subordinate di masa-masa gemilang dimana opera batak berkembang.
Penelitian lain seperti Kuswarsantyo (1997) yang meneliti tentang “Pertunjukan Ramayana di Panggung Terbuka Prambanan: Antara Rutinitas, Upaya Preservasi dan Peningkatan Komoditi” secara jelas ingin meneliti bagaimana sebuah seni pertunjukan sebagai komoditi. Kesenian komoditi yang ia maksudkan adalah kesenian atau kegiatan pentas kemasan wisata yang terdapat di berbagai sudut di Yogyakarta, salah satunya adalah di Candi Prambanan (Kuswarsantyo, 1997:87).
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson, Paul, at al (ed),
2001 Handbook of Etnography, Thousand Oaks-London-New Delhi: Sage Publications.
Awuy, Tommy F.
2003 Sisi Indah Kehidupan: Pemikiran Seni dan Kritik Teater, Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
2004 Tiga Jejak Seni Pertunjukan Indonesia, Jakarta: MSPI.
Blum, Stephen (ed), et al.
1993 Ethnomusicology and Modern Music History, Urbana and Chicago: University of Illinois Press.
Bungin, Burhan,
2007 Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial Lainnya, Jakarta: Penerbit Kencana.
Brandon, J.R.
1970 Theatre in South Asia, Cambridge Massachusetts: Harvard University Press.
Brook, Peter
2002 Percikan Pemikiran tentang Teater, Film dan Opera, Yoryakarta: Penerbit Arti.
Bustami, A. L.
2003 “Ketika Aurat Dikuasai Surat” dalam Srintil Juli 2003.
Caturwati, Endang
2005 “Titim Fatimah: Sinden Ternama di Jawa Barat” dalam Wanita dalam Seni Pertunjukan (Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia) tahun XII-2003/2004.
Cohen, Mattew Isaac, et al.
2006 Seni Pertunjukan Indonesia” dalam Indonesia and the Malay World,Volume 35, Issue 101, Maret 2007, terj. Noor Cholis.
Dahana, Radhar Panca
2001 Ideologi Politik dan Teater Modern Indonesia, Magelang: Yayasan Indonesiatera.
Denzin, Norman K/Lincoln, Yvonna S (editors),
1994 Handbook of Qualitatif Research, SAGE Publications.
Devung, G. Simon
1997 “Seni Pertunjukan Tradisional di Dataran Tinggi Mahakam: Situasi Masa Kini dan Prospek Masa Depan”, dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, Th. VIII-1997.
Dibya, I Wayan, et al.
2006 Tari Komunal, Jakarta: LPSN.
Dumas, Robert Martin
2000 Teater Abdul Muluk in Zuid-Sumatera op de drempel van een Nieuw Tijdperk, Disertasi, Leiden University.
Ekadjati, Edi S.
2007Kebudayaan Sunda Suatu Pendekatan Sejarah (Jilid 1), Bandung: Pusataka Jaya.
2008Kebudayaan Sunda Zaman Pajajaran, Bandung: Pustaka Jaya.
Giddens, Anthony
1991 Modernity and Self-Identity. Self and Society in the Late Modern Age. Cambridge: Cambridge University Press.
Grotowski, Jerzy
2002 Toward Poor Theatre, terj. Max Arifin, Menuju Teater Miskin, Yogyakarta: Arti.
Hadi, Y. Sumandiyo
2006 Seni dalam Ritual Agama, Yogyakarta: Buku Pustaka.
Hammersley, Martyn.
1992 Etnography: Principlein Practice, London – New York: Tavistock Publications.
Hast, Dorothea E., et al.
2002 An Introduction to Music Form a World Music Perspectice: Exploring the World of Music, Pacific Street Films and the Educational Film Centre.
Holt, Claire
2000 Art in Indonesia: Continuities and Change, Itacha, New York, Cornell University Press.
Hutajulu, Rithaony
1997 “Dampak Pariwisata terhadap Upacara Tradisional pada Masyarakat batak Toba” dalam Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia, tahun VIII, 1997.
2003 “Power, Gender, dan Musik Pada Masyarakat Batak Toba: Opera Batak sebagai Wadah Ekspresi Perempuan” dalam Wanita dalam Seni Pertunjukan, Jakarta: MSPI.
Ibrahim, Yusrizal
2004 “Elly Zuarni: Meniti Seni di Tengah Badai” dalam Wanita dalam Seni Pertunjukan, Jakarta: MSPI.
Irianto, A.M.
2005 Tayub, Antara Ritualitas dan Sensualitas, Semarang: Laboratorium Seni dan Kebudayaan Lengko Cilik.
Kaemer, John E.
1993 Music in Human Life: Anthropology Perspective on Music, USA: University of Texas Press, Austin.
Kaeppler, Adrianee L.
1978 “Dance in Anthropology Perspective”’ dalam Annual Review of Anthropology, Vol. 7. (1978).
Kayam, Umar
1981 Seni, Tradisi, Masyarakat, Jakarta: Sinar Harapan.
Kunst, Jaap
1954 Music in Java, Martinus Nijhoff.
Kleden-Probonegoro, Ninuk
2001 “Membaca Politik Identitas Melalui Seni Pertunjukan”, dalam Jurnal ATL No. 8. Vol. 7, Desember 2002 (5-14).
Kurath, G.P. dan Howard, J.H.
1959 “Ponca Dances, Ceremonies and Music”, dalam Ethnomusicology¸3: 1-14, Cited in Meriam, 1964, p. 235.
1960 “Review of Music and Dance of The Tewa Pueblo” dalam Annual Review of Anthropology , Vol. 7, 1978, p. 31-49, published by: Annual Reviews.
Levi-Strauss, C.
1963 Structural Anthropology, Vol. 1. New York: Basic Book.
1976 Structural Anthropology, Vol. 2. New York: Basic Book.
Lubis, Nina H.
2000 Tradisi dan Transformasi Sejarah Sunda, Bandung: Humaniora Utama Press.
Malinowsky, B.
1922 Argonauts of Western Pacific. London: Routledge.
Meriam, Alan P
1964 The Anthropology of Music, USA: Prentice Hall.
Mitter, Shomit
2001 Stanislavsky, Brecht, Grotowski, Brook: Sistem Pelatihan Lakon, Yogyakarta: Arti.
Murgiyanto, Sal
2002 Kritik Tari: Bekal dan Kemampuan Dasar, Jakarta: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia.
Nettl, Bruno and Philip V. Bohlman (ed)
1991 Comparative Musicology and Anthropology of Music, Chicago and London, The University of Chicago Press.
Nugroho, Garin
1998 Kekuasaan dan Hiburan, Jakarta: Bentang Budaya.
Nugroho, Sugeng
2006 “Nyi Suharni Sabdowati: Dalang Wanita Duplikat Nartosabda” dalam Wanita dalam SEni Pertunjukan (Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia), Tahun XII – 2003/2004.
Patton, MQ.
1990. Qualitative Evaluation and Research Methods. Sage Publication.
Newbury Park, California.
Purba, Mauly dan Ben M Pasaribu
2002 Musik popular, Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara.
Radcliffe-Brown, A.R.
1952 Structure and Function in Primitive Society. New York: Free Press.
Rahayu, Lina Meilinawati
2007 “Agama dan Teater: Berdasarkan Pemikiran Clifford Geetz ‘Religion as a Cultural System’ dan Talal Asad ‘The Construction of Religion as an Anthropological Category’”, dalam Ibda, Vol. 5. No. 2, Jul-Des 2007, hl. 181-190.
Rai S, I Wayan dan I Nyoman Sedana
2003 Konsep Sakral dalam Seni Pertunjukan Bali, paper os seminar dan Lokakarya Seni Sakral, 20 – 21 Desember 2004.
Sach, Reinhold dan Peter von Blanckenburg
1990 “Masyarakat Tani dalam Pembangunan” (terj.) dalam Ulrich Planck (ed), Sosiologi Pertanian, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Sanjek, Robert.
1990. Fieldnotes The Making of Antrhopology. Ithaca dan London: Cornell University Press.
Sanre, Roell
2003 “Mak Cida di Tengah Penyimpangan Prinsip Pakarena” dalam Wanita dalam SEni Pertunjukan, Jakarta: MSPI.
Sedyawati, Edi
1981 Pertumbuhan Seni Pertunjukan, Jakarta: Sinar Harapan.
Soedarsono, R.M.
1999 Metodologi Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Jakarta: MSPI.
2004 Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press.
Suanda, Endo
2004 Topeng, Jakarta: Lembaga Pendidikan Seni Nusantara.
Suanda, Toto Amsar
2004 “Sawitri: Maestro Topeng Cirebon” dalam Perempuan dalam Seni Pertunjukan (Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia), Tahun XII – 2003/2004.
Sudana, I Wayan
1996 Drama Tari Caloranang: Sebuah Seni Pertunjukan Ritual Magis di Desa Batubulan, Bali, Thesis S2 Prog. Pengkajian Seni Pertunjukan Univ. Gadjah Mada Yogyakarta, tdk diterbitkan.
Sudewi, Nyoman
1996 Legong Keraton sebagai Seni Pertunjukan: Kontinuitas dan Perubahannya, Tesis S2 Prog. Pengkajian Seni Pertunjukan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, tdk diterbitkan.
Suharto, Ben
1991 “Pengamatan Tari Gambyong Melalui Pendekatan Berlapis Ganda” dalam Seni Pertunjukan Indonesia, Tahun II No. 2, tahun 1991.
Suryatna, Yayat
2005 “Ully Hary Rusdady: Memadukan Alam, Musik Tradisi”, dalam Wanita dalam Seni Pertunjukan, Jakarta: MSPI.
Umeda, Hideharu
1997 “Sapu Leger: Ritual of purification in Bali” dalam
Kikanminzokugaku 76, 96-104 [in Japanese].
Wicaksana, I Dewa Ketut
1996 “Wayang Lemah: Refleksi Nilai Budaya dan Agama” dalam
Mudra 4, 102-116.
1998 “Wayang Sapu Leger: Fungsi dan Maknanya dalam Masyarakat Bali” dalam Mudra 6, 84-126.
2006 “Ni Nyoman Tjandri: Sosok Seniwati Bali” dalam Wanita dalam Seni Pedrtunjukan, (Jurnal Seni Pertunjukan Indonesia), tahun XII-2003/2004.
Yampolsky, Philip (Ed)
2007 Perjalanan Kesenian Indonesia Sejak Kemerdekaan: Perubahan dalam Pelaksanaan, Isi dan Profesi, Jakarta-Singapore: Equinok Publishing – Ford Foundation.
[1] Penulis adalah Ketua Program Studi Musikologi Fakultas Ilmu Seni, Jurusan Seni Musik, Universitas Pelita Harapan, Karawaci – Tangerang.
Sumber : http://xeanexiero.blogspot.com