Nanang Saptono
Pendahuluan
Kawasan Lampung pada umumnya secara geografis dialiri empat sungai besar yaitu Way Semangka, Way Sekampung, Way Seputih, dan Way Tulangbawang. Di sepanjang daerah aliran sungai tersebut banyak ditemukan situs-situs pemukiman dalam bentuk benteng tanah. Tulangbawang merupakan salah satu lokasi yang banyak disebut dalam sumber sejarah, khususnya berita asing. Di dalam kitab sejarah dinasti Liang terdapat keterangan bahwa antara tahun 430 – 475 datang di Cina beberapa kali utusan dari To-lang P’o-hwang. Menurut G. Ferrand lafal To-lang P’o-hwang dalam dialek Cina dapat disamakan dengan Tulangbawang. R.M.Ng. Poerbatjaraka juga berpendapat bahwa To-lang P’o-hwang yang disebut dalam sejarah dinasti Liang, merupakan sebuah kerajaan di daerah aliran sungai Tulangbawang, Lampung. Kerajaan ini pada suatu saat ditaklukkan oleh kerajaan lain. Dugaan ini didasarkan pada kenyataan bahwa berita Cina hanya sekali saja menyebut kerajaan ini (Sumadio, 1990: 79). Tomé Pires, pengembara dari Portugis, dalam perjalanannya mencari rempah-rempah di kepulauan Nusantara pada tahun 1512–1515 juga menyebut-nyebut Tulangbawang (Cortesão, 1967: 171). Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian permukiman di Tulangbawang secara intens terus dilakukan.
Penelitian yang telah dilaksanakan secara keseluruhan berhasil mendata sejumlah situs pemukiman kuna. Beberapa situs yang telah didata dapat dikelompokkan dalam tiga kawasan yaitu kawasan Way Kiri, kawasan Menggala, dan kawasan Way Tulangbawang. Situs-situs di kawasan Way Kiri antara lain situs Bumiagung Tua, Karta Talang, Benteng Sabut, Gedongratu Tua, Kramat Gemol, Benteng Prajurit Putinggelang, Jung Belabuh, Bakung Nyelai, dan Pagardewa. Situs-situs di kawasan Menggala selain struktur kota tua Menggala yaitu situs Kampung Tua dan Bakung. Sedangkan situs-situs di kawasan Way Tulangbawang adalah situs Gunung Tapa, Gedong Meneng, Dente, dan Teladas. Selain situs-situs tersebut juga telah didata situs Batu Putih yang terdapat di tepi Way Kanan Desa Gunung Terang dan situs Benteng Minak Temenggung di hulu Way Tulangbawang, Desa Penumangan. Masyarakat Tulangbawang, bukan pendatang, hingga sekarang masih mempunyai ikatan emosional dengan situs-situs yang ada dalam bentuk tradisi lisan. Kelompok masyarakat tertentu memiliki hubungan kekerabatan dengan tokoh-tokoh pendukung situs.
Secara umum masyarakat Lampung sekarang ini terdiri dari 9 klan besar yang masing-masing mempunyai bahasa sendiri secara umum dapat disebut sebagai Bahasa Lampung. Dari 9 klan tersebut terbagi dalam dua sistem adat yaitu 5 klan termasuk dalam sistem adat sei batin dan 4 klan termasuk dalam sistem adat papadun (Sitorus, 1996: 18 – 20).
Masyarakat beradat seibatin umumnya mendiami daerah pesisir. Oleh karena itu sistem adat ini juga disebut peminggir. Termasuk masyarakat Seibatin adalah Melinting/Rajabasa di daerah Labuan Maringgai dan Kalianda; Teluk di Telukbetung; Semangka di daerah Cukuh Balak, Talang Padang, Kota Agung, dan Wonosobo; Sekalaberak di daerah Liwa, Kenali, Pesisir Tengah, Pesisir Utara, dan Pesisir Selatan; serta Ranau di daerah Komering dan Kayu Agung.
Masyarakat beradat pepadun mendiami daerah pedalaman seperti Abung, Sungkai, Tulangbawang, dan Pubian. Secara kekerabatan masyarakat dengan sistem adat pepadun terdiri dari empat klan besar yang masing-masing terbagi lagi dalam beberapa kelompok kerabat (marga) yang disebut buay. Empat klan besar tersebut adalah Abung Siwo Megou, Megou Pak Tulangbawang, Buay Lima Way Kanan/Sungkai, dan Pubian Telu Suku. Klan Tulangbawang terdiri dari 4 Marga yaitu Buay Bulan, Tegamoan, Suay Umpu, dan Aji.
Secara makro situs-situs pemukiman di Tulangbawang menempati areal pada sekitar danau/rawa dan di sepanjang sungai. Antar situs-situs tersebut dihubungkan oleh aliran sungai. Pola penempatan terdiri dua macam yaitu di tepi sungai dan pada (atau dekat) pertemuan dua sungai. Situs-situs pemukiman tersebut ada yang dilengkapi benteng tanah ada juga yang tidak dilengkapi benteng tanah. Berdasarkan analisis pertanggalan melalui temuan keramik dapat diketahui bahwa pemukiman yang tidak berbenteng lebih muda bila dibandingkan dengan pemukiman yang berbenteng. Unsur yang ada pada masing-masing situs selain benteng tanah adalah makam (keramat) tokoh (Saptono, 2000: 129 – 160).
Berdasarkan pertimbangan keletakan secara geografis dan tradisi lisan yang ada, berikut ini diulas hubungan fungsional antara situs Benteng Sabut, Benteng Prajurit Putinggelang, dan Keramat Gemol dalam pola tata ruang makro. Benteng Sabut dalam tradisi lisan dihubungkan dengan tokoh Minak Kemala Kota dan Minak Ratu Guruh Malay, Benteng Prajurit Putinggelang dihubungkan dengan tokoh Prajurit Putinggelang, dan Keramat Gemol dihubungkan dengan Minak Indah. Ketiga tokoh tersebut merupakan moyang masyarakat yang sekarang tinggal di Kampung Gunungkatun (Marga Buay Bulan) dan Panaragan (Marga Tegamoan), Tulangbawang.
Gambaran Situs
a. Benteng Sabut
Situs Benteng Sabut secara geografis berada pada kelokan sungai utama (Way Kiri) pada posisi 4°30’20” LS dan 105°00’21” BT, secara administratif termasuk wilayah Kampung Gunungkatun. Way Kiri mengalir di sebelah tenggara hingga timur situs. Di sebelah barat situs terdapat aliran Way Pikuk. Sungai ini berhulu pada bukit kecil di sebelah utara situs, kemudian berkelok-kelok ke arah tenggara hingga timur dan bermuara di Way Kiri di sebelah selatan Benteng Sabut. Di sebelah selatan muara Way Pikuk terdapat muara Way Papan. Sungai ini mengalir dari arah barat daya. Di sekitar Benteng Sabut terdapat beberapa rawa (bawang) antara lain Bawang Kelapo terdapat di sebelah barat dan Bawang Petahi di sebelah timur laut benteng. Lokasi Benteng Sabut oleh masyarakat setempat juga dikenal dengan sebutan Bujung Menggalou.
Data arkeologis yang terdapat di situs Benteng Sabut berupa fetur parit (cekungan), benteng dan tanggul (gundukan tanah), makam kuna, serta sebaran artefak. Parit pada bagian dekat Way Kiri berpola segi lima. Pada sisi dalam parit terdapat benteng. Benteng dan parit ini pada sisi barat bermula dari tepi Way Kiri ke arah barat laut sepanjang 110 m hingga sudut barat daya. Benteng dan parit kemudian belok ke arah utara agak ke timur hingga sepanjang 70 m yang merupakan pertengahan sisi barat laut benteng dan parit, selanjutnya agak berbelok ke arah timur hingga mencapai jarak 70 m yang juga merupakan sudut timur laut. Pada sudut ini parit ada yang ke arah barat laut sepanjang 20 m hingga ke Bawang Petahi, dan juga ada yang ke arah tenggara sejauh 110 m hingga Way Kiri. Parit pada bagian ini lebarnya berkisar antara 5 hingga 7 m dengan kedalaman berkisar 0,5 hingga 1,5 m. Lahan bagian ini merupakan inti pemukiman yang luasnya sekitar 1,4 hektar.
Data artefaktual yang pernah ditemukan di bagian ini berupa fragmen keramik, fragmen tembikar, serpih obsidian, kerak besi, paku, fragmen wadah perunggu, dan manik-manik. Fragmen tembikar ada yang berhias. Selain itu terdapat beberapa benda arkeologis berupa gandik, fragmen pipisan. Fragmen tembikar yang merupakan bagian dari kibu (kendi). Benda tembikar utuh berbentuk gacuk, tatap, dan cangkir.
Di sebelah barat laut bagian inti pemukiman berjarak sekitar 50 m terdapat parit membentang arah timur laut – barat daya. Pada Ujung timur laut bermula dari Bawang Petahi ke arah barat daya sejauh 150 m. Parit ini pada ujung barat daya lebarnya 12 m, sedangkan pada ujung timur laut lebarnya 7 m. Kedalam berkisar 1 – 1,5 m. Di ujung barat daya parit belok ke arah tenggara sepanjang 55 m dan selanjutnya tidak tampak lagi jejak-jejaknya. Parit yang membentang arah timur laut – barat daya kemudian belok ke arah tenggara ini membentuk lahan berpola segi empat dengan luas sekitar 0,7 hektar. Di tengah lahan ini terdapat fetur tumulus berdiameter sekitar 3 m tinggi 0,7 m. Di tempat ini pada sekitar tahun 1980 pernah ditemukan guci.
Di sebelah barat daya benteng, pada seberang Way Pikuk terdapat dua fetur tanggul. Fetur tanggul pertama terdapat di sebelah barat daya parit luar sisi barat laut. Dari ujung Way Pikuk tanggul tersebut membujur ke arah barat sepanjang 20 m kemudian belok ke arah barat daya hingga selatan sepanjang 30 m. Lebar tanggul sekitar 4 m dengan ketinggian sekitar 0,5 m. Tanggul kedua terletak di sebelah barat daya lahan benteng. Tanggul tersebut membujur arah timur laut – tenggara sepanjang 30 m. Lebar tanggul 8 m dengan ketinggian 1,5 – 2 m.
Pada bagian luar sudut tenggara benteng, di tepi Way Kiri terdapat fetur makam kuna. Menurut keterangan masyarakat tokoh yang dimakamkan adalah Minak Sendang Belawan. Keadaan makam sedikit lebih tinggi dari lahan sekitar tetapi tidak menggunduk, tidak dilengkapi nisan. Orientasi makam relatif ke arah utara – selatan (N 350° E). Lebar makam 2,16 m dan panjangnya 3,8 m.
b. Benteng Prajurit Putinggelang
Situs Benteng Prajurit Putinggelang berada di hulu Way Gemol pada posisi 04°28’52,6” LS dan 105°01’54,4” BT, secara administratif termasuk wilayah Kampung Panaragan. Wilayah itu juga dinamakan Umbul Lebung. Posisi benteng berada pada pertemuan antara Tulung Pasik dengan Way Gemol. Tulung Pasik berhulu pada bukit kecil (hulu Way Pikuk) sebelah barat daya situs mengalir menuju arah timur laut dan bertemu dengan Way Gemol. Aliran Tulung Pasik ini sebagai batas alam benteng sisi barat laut. Way Gemol mengalir dari arah barat laut, pada pertemuan dengan Tulung Pasik kemudian berbelok ke arah timur sejauh 100 m, kemudian berbelok ke arah selatan sejauh 100 m kemudian berbelok ke arah tenggara. Sejauh 50 m terdapat pertemuan dengan Capang Turus yang merupakan sungai musiman. Capang Turus membentang arah barat – timur. Aliran Way Gemol menjadi batas alam benteng sisi utara dan timur. Fetur benteng membentang dari Capang Turus (50 m sebelah barat pertemuan antara Way Gemol dengan Capang Turus) ke arah barat laut sepanjang 95 m. Bila ditarik garis lurus akan sampai di Tulung Pasik. Jarak antara ujung barat laut benteng dengan Tulung Pasik sekitar 35 m. Luas lahan yang berada di dalam benteng sekitar 1,625 hektar.
Pengamatan pada fetur benteng dan parit mendapatkan gambaran bahwa benteng berada di sisi dalam, yaitu sebelah timur laut parit. Lebar parit berkisar 4 m dengan kedalaman berkisar 1 hingga 1,5 m. Lebar benteng berkisar 2 m. Dengan ketinggian yang tersisa berkisar 0,5 m (diukur dari permukaan tanah, bukan dari dasar parit). Pada pertengahan benteng dan parit terdapat pendangkalan parit selebar 5 m. Bagian ini menunjukkan jalan keluar masuk benteng. Data artefaktual belum ditemukan karena kondisi lahan sangat lebat oleh semak belukar dan bambu.
c. Keramat Gemol
Situs Kramat Gemol berada pada kelokan sungai di sebelah barat Way Kiri. Di sebelah timur situs merupakan pertemuan antara Way Kiri dengan Way Gemol. Way Gemol yang merupakan anak sungai Way Kiri mengalir di sebelah tenggara situs. Secara geografis situs Kramat Gemol berada pada posisi 4°29’14” LS dan 105°02’15” BT, secara administratif termasuk dalam wilayah Kampung Panaragan.
Kondisi lahan di dalam areal benteng pada sisi tenggara tidak terurus sehingga banyak ditumbuhi semak-semak dan ilalang, sedangkan pada sisi lainnya merupakan kebun singkong. Di luar areal benteng juga dimanfaatkan untuk kebun singkong. Di luar benteng sebelah barat daya berjarak sekitar 200 m terdapat kebun karet. Pada sekeliling areal situs berjarak antara 200 – 500 m terdapat semacam lembah. Di sebelah selatan benteng, lembah bermula dari Way Kiri (sebelah tenggara) memutar ke arah selatan hingga barat daya dan berakhir di sebelah barat benteng. Lembah ini disebut kandungan Badak. Di sebelah utara benteng, lembah juga bermula dari Way Kiri memutar ke arah barat laut hingga ke arah barat. Lembah ini disebut kandungan Minak Muli.
Luas lahan inti situs sekitar 0,75 ha. Benteng pada sisi barat daya sepanjang sekitar 85 m. Di luar benteng terdapat parit. Bila diukur dari dasar parit, tinggi benteng yang tersisa sekarang sekitar 1,5 m. Lebar parit pada bagian dekat sungai (sudut tenggara) berkisar 5 m. Ke arah barat laut parit ini semakin melebar, dan pada sudut barat lebarnya 9 m. Benteng maupun parit kemudian berbelok ke arah timur laut sepanjang sekitar 20 m. Pada ujung ini lebar parit kembali menyempit yaitu sekitar 3,5 m. Parit dan benteng berakhir pada tanah datar selebar 10 m, kemudian berlanjut lagi sepanjang sekitar 32 m. Dengan terputusnya benteng dan parit pada sisi ini seakan-akan membentuk “jalan” ke wilayah dalam benteng. Pada ujung “jalan” tersebut kedalaman parit berkisar 1,5 m. Pada ujung timur laut, parit dan benteng berakhir pada suatu lembah yang semakin ke arah utara dan barat semakin curam. Lembah ini ke arah barat menyatu dengan kandungan Minak Muli. Benteng sisi timur laut, pada ujung barat laut berada pada tepian lembah yang menyatu dengan kandungan Minak Muli tersebut. Ujung benteng ini bila ditarik garis lurus ke arah ujung timur laut benteng sisi barat laut berjarak 35 m.
Konstruksi benteng sisi timur laut berbeda dengan sisi yang lain. Pada sisi ini, benteng yang berupa gundukan tanah terdapat pada dua bagian yaitu sebelah dalam dan luar. Sehingga parit yang ada berada di antara dua benteng. Parit tersebut lebarnya sekitar 10 m, dengan panjang dari ujung barat laut hingga tenggara sekitar 80 m. Pada pertengahan sisi juga terdapat semacam “jalan”. Namun pada “jalan” tersebut yang terpotong hanya bentengnya saja, keadaan parit tetap cekung.
Data artefaktual yang pernah ditemukan antara lain fragmen keramik, tembikar, dan batu berupa tatal rijang. Pada tepi sungai, sisi luar sebelah selatan benteng terdapat makam Minak Indah. Makam berada di dalam cungkup bangunan permanen berdinding tembok bata dengan lantai keramik. Di sekeliling halaman cungkup dilengkapi pagar tembok bata. Bangunan ini merupakan hasil renovasi tahun 2001 yang semula berupa cungkup sederhana. Makam ditandai dua buah batu sebagai nisan. Di dalam cungkup masih tersimpan pipisan batu dalam keadaan pecah menjadi tiga bagian. Secara utuh pipisan batu berbentuk dasar segi empat berukuran panjang 48 cm, lebar 21 cm, tinggi 12 cm. Pada kedua sisi bagian lebar berbentuk kurawal. Bagian tengah sisi atas (dataran penghalus) terdapat cekungan.
Sejarah Dan Legenda
a. Minak Kemala Kota dan Minak Ratu Guruh Malay
Minak Kemala Kota dalam tradisi lisan masyarakat dikatakan sebagai pendiri Benteng Sabut. Minak Kemala Kota mempunyai tiga keturunan yaitu Tuan Riou Nyembang Luih, Namo, dan Bulan. Namo menikah dengan Moyang Runjung. Pernikahan antara Moyang Runjung dengan Putri Minak Kemala Kota bernama Namo[1] selanjutnya menurunkan tokoh-tokoh Marga Tegamoan yaitu Tuan Rio Mangkubumi yang berkedudukan di Pagardewa, Tuan Rio Tengah yang berkedudukan di Meriksa (Menggala), dan Tuan Rio Sanaah yang berkedudukan di Panaragan. Hilman Hadikusuma menerangkan bahwa Runjung adalah anak Minak Sebala Kuwang. Runjung menikah dengan Senama, yaitu anak Putri Bulan saudara Ratu Dipuncak. Dari perkawinan ini menurunkan Tuan Riyo Mangkubumi, Tuan Riyo Tengah, dan Tuan Riyo Sanak (Hadikusuma, 1989: 47).
Marwansyah Warganegara menerangkan (1975: 10), Moyang Runjung dikenal sebagai tokoh yang selalu berpindah-pindah dan terakhir menetap di Tulangbawang. Setiap kali mukim di suatu daerah Moyang Runjung mendirikan perkampungan dengan diberi nama Pagardewa. Kampung-kampung yang telah didirikan antara lain Pagardewa di Sukau, Pagardewa di Bukit Pesagi, Pagardewa di daerah Lahat, Pagardewa di daerah Ogan Komering Ilir, dan terakhir Pagardewa di Tulangbawang. Selanjutnya Marwansyah (1989: 11) menerangkan, Moyang Runjung yang juga disebut Umpu Runjung, adalah anak Sang Balik Kuang. Ketika berkedudukan di Bukit Pesagi, Umpu Runjung menikah dengan Putri Bulan Purnama anak Raja Sengara dengan Puteri Indra Bulan. Atas perkawinannya ini kemudian bergelar Minak Tabu Gayou. Sebelum menikah dengan Putri Bulan, pernah menikah dengan Putri Nuban anak Ratu Dipuncak.
Putri Minak Kemala Kota lainnya, bernama Bulan yang menikah dengan Minak Trio Deso menurunkan Minak Penatih Toho, selanjutnya menurunkan Minak Semelasem, dan selanjutnya menurunkan Minak Paduka. Hilman Hadikusuma (1989: 10) menyebutkan bahwa istri Minak Semelasem adalah putri Minak Sutan dari Buay Bulan Udik. Perkawinan antara Minak Semelasem dengan putri Minak Sutan berlangsung sekitar tahun 1632 (Warganegara, 1975: 17). Minak Paduka anak Minak Semelasem adalah tokoh yang membangun kampung Bumi Agung Marga.
Pada masa Minak Kemala Kota bersemayam di Benteng Sabut, terjadi peristiwa konfrontasi dengan orang-orang Bugis. Ketika itu orang-orang Bugis berkedudukan di Umbul Petay (Petou), sebelah timur Benteng Sabut. Dalam mengatasi peristiwa ini, Minak Kemala Kota minta bantuan Minak Trio Deso, yang juga menantunya yaitu suami putri Bulan. Tampaknya Minak Trio Deso tidak mau meninggalkan peran saudaranya yang lain. Moyang Runjung yang juga menantu Minak Kemala Kota, yaitu suami Namo dilibatkan dalam mengatasi ancaman orang-orang Bugis.
Minak Kemala Kota dengan Runjung mengatur siasat. Di Benteng Sabut dibuat suatu rumah yang bagus. Di dalam rumah tersebut disajikan berbagai macam kue yang lezat. Ketika sudah siap, Runjung minta dipukul. Minak Kemala Kota pura-pura memukul Runjung. Padahal dipukul sebenarnya pelepah pinang. Bersamaan dengan dipukulnya pelepah pinang, Moyang Runjung menceburkan diri di sungai dan menghanyutkan badan sambil berteriak-teriak minta tolong.
Moyang Runjung hanyut hingga di Umbul Petay dan ditolong oleh orang-orang Bugis. Dari Moyang Runjung, Bugis memperoleh keterangan bahwa Minak Kemala Kota dan orang-orang yang berdiam di Benteng Sabut sangat bengis dan tidak mempunyai perikemanusiaan. Oleh karena itu orang-orang di Benteng Sabut pantas diserang. Moyang Runjung bersama-sama orang-orang Bugis menyerang Benteng Sabut. Sesampainya di Benteng Sabut hanya didapati rumah kosong lengkap dengan hidangan.
Mendapati hal itu, orang-orang Bugis mengira bahwa orang-orang Benteng Sabut ketakutan. Orang-orang Bugis kemudian berpesta pora memakan kue yang tersedia di dalam rumah. Karena kekenyangan, seluruh orang Bugis tertidur. Pada saat itulah Minak Kemala Kota, Moyang Runjung, Minak Trio Deso membakar habis orang-orang Bugis.
Anak Minak Kemala Kota yang bernama Tuan Riou Nyembang Luih menurunkan Minak Kemalo Puto, dan selanjutnya menurunkan Minak Sendang Belawan. Minak Sendang Belawan mempunyai lima keturunan, tiga laki-laki dan dua perempuan. Tiga putra laki-laki tersebut adalah Minak Riou Bacau, Minak Riou Mas, dan Minak Temenggung. Pada masa ini pemukiman pindah ke Karta Talang. Ketiga putra Minak Sendang Belawan merencanakan membuka Olok (lubuk = Mel., kedung = Jw) Ibul untuk dijadikan perkampungan. Namun rencana tersebut belum pernah terwujud.
Mengenai tokoh Minak Ratu Guruh Malay, tradisi lisan masyarakat mengatakan bahwa tokoh ini merupakan pendatang. Minak Ratu Guruh Malay datang di Tulangbawang (Bujung Menggalou) pada masa Minak Rio Bacou.[2] Legenda mengenai kedatangan Minak Ratu Guruh Malay dihubungkan dengan beberapa lokasi di sekitar Gunungkatun. Maksud kedatangan Ratu Guruh Malay menemui penguasa Benteng Sabut adalah untuk kilui urik (minta hidup). Penguasa Benteng Sabut (Bujung Menggalou) ketika itu sedang mengail ikan. Minak Ratu Guruh Malay kemudian diajak menyusuri sungai. Sungai itu kemudian disebut Way Nurik. Ketika perjalanan agak jauh Ratu Guruh Malay mengatakan payah. Di lokasi itu terdapat bawang (rawa) yang kemudian dinamakan bawang payah. Dari sini perjalanan kembali ke muara lalu ke arah hilir Way Kiri. Akhirnya Minak Ratu Guruh Malay diberi lokasi di Bujung Malay.
Makam Minak Ratu Guruh Malay berada di Lubuk Lasek, Kampung Pekurun Komering, Lampung Utara. Lokasi makam ini sekarang tergusur proyek Dam Way Rarem, beberapa makam moyang yang ada telah dipindahkan. Keberadaan makam Minak Ratu Guruh Malay berhubungan dengan sebutan Way Rarem oleh masyarakat Abung. Rarem dalam bahasa Lampung berarti hilir. Karena di lokasi itu terdapat makam moyang dari hilir (rarem) maka sungainya disebut Way Rarem yang menunjukkan berada di bawah kekuasaan orang hilir. Oleh masyarakat Tulangbawang, Way Rarem disebut Way Kiri.
Minak Ratu Guruh Malay menurunkan Minak Ratu Joyosurou dan Minak Kemala Adam Gelar Radin Cosingo Diro. Minak Ratu Joyosurou mempunyai keturunan Minak Ratu Junjungan, Junjungan Tegi Nyawou, dan Junjungan Rio Kambang. Dalam kerabat ini terdapat cerita mengenai pindahnya Minak Ratu Junjungan ke Gedongratu.
Pindahnya Minak Ratu Junjungan ke Gedongratu karena ketika akan naik pepadun, adik-adiknya mohon agar Minak Ratu Junjungan mengayau telinga orang untuk persyaratan adat. Namun ketika Minak Ratu Junjungan kembali dengan membawa telinga orang, terdengar bahwa adik-adiknya sudah melaksanakan gawi adat naik pepadun. Minak Ratu Junjungan merasa disisihkan dari keluarganya. Oleh sebab itu Minak Ratu Junjungan tidak mau kembali ke Gunungkatun Malay kemudian membuka pemukiman baru di Bujung Kayu Tabu yang kemudian dinamakan Gedongratu. Minak Ratu Junjungan selanjutnya menurunkan Suku Ruang Tengah di Gedongratu.
Minak Kemala Adam menurunkan Minak Muttah (Marentah) Dibumi. Diceritakan Minak Muttah Dibumi mempunyai tujuh orang prajurit (Pejurit Piteu). Catatan Marwansyah Warganegara (1975: 4) menyebutkan bahwa Pejurit Piteu tersebut adalah prajurit Majapahit yang menetap di Tulangbawang. Pada zaman Palembang diperintah Adipati Aria Damar, banyak prajurit Majapahit yang dikirim ke Palembang untuk memerangi perompak Cina di Sungai Musi. Ketika para prajurit ini ditarik kembali ke Majapahit, sebagian memilih menetap di Tulangbawang (Benteng Sabut, Bujung Menggalou). Prajurit-prajurit ini tidak semuanya berasal dari Majapahit (Jawa Timur) tetapi sebagian berasal dari Melayu Lingga dan Banten.
Lima orang dari ketujuh prajurit diketahui kedudukannya. Prajurit Prajurit Tejang Buwok (Panjang Rambut) berkedudukan di Gunungkatun Malay, Prajurit Macak Padan berkedudukan di Karta, Prajurit Tegi Balang berkedudukan di Negeri Ujungkarang, Prajurit Ngelah Kelah berkedudukan di Sukadana, dan Prajurit Putinggelang berkedudukan di Panaragan. Dua prajurit yang lain yaitu Prajurit Tegi Nyawou dan Prajurit Mas Kecacap belum diketahui berkedudukan di mana.
b. Prajurit Putinggelang
Tokoh Prajurit Putinggelang juga diceritakan sebagai tokoh pendatang di Tulangbawang. Prajurit Putinggelang merupakan salah satu dari tujuh prajurit (pejurit piteu) Majapahit yang menetap di Tulangbawang (Warganegara, 1975: 4). Dalam tradisi lisan masyarakat, Prajurit Putinggelang mempunyai keterkaitan dengan beberapa kerabat. Terhadap masyarakat Buay Bulan, Prajurit Putinggelang berkaitan dengan Minak Muttah Dibumi, sedangkan dengan masyarakat Tegamoan berkaitan dengan Tuan Riou Sanaah. Kedudukan Prajurit Putinggelang sendiri di Panaragan menurunkan Suku Tepuk Gabou, termasuk dalam marga Tegamoan. Suku Tepuk Gabou terdiri dari Bilik Darat yang berkedudukan di Umbul Lebung dan Bilik Way yang berada di Umbul Tulung Sawo Lebou.
Terdapat beberapa peristiwa sejarah/legenda mengenai Prajurit Putinggelang. Kaitannya dengan Minak Muttah Dibumi terdapat dalam cerita mengenai peristiwa Benteng sabut dengan Gunungterang. Cerita tersebut terdapat dua versi yang pada intinya sama.
Satu versi menceritakan bahwa Gunung Terang ketika diperintah oleh Minak Semarakana diserang oleh orang-orang Bugis. Untuk mengatasi hal itu Minak Muttah Dibumi dimintai bantuan. Bersama-sama Prajurit Putinggelang berangkat membantu Gunung Terang. Dalam perjalanan Minak Muttah Dibumi dan Prajurit Putinggelang bertemu Prajurit Tejang Buwok (Prajurit Panjang Rambut). Prajurit Tejang Buwok bermaksud ikut berperang namun ditinggal. Dalam pertempuran Prajurit Putinggelang memegang senjata payan Ramik Tangis.[3] Orang-orang Bugis dapat dikalahkan dan kepalanya dipenggal. Ketika kepalanya akan diambil, kepala tersebut hilang. Prajurit Putinggelang tidak mau pulang tanpa membawa kepala. Sebagai gantinya Prajurit Putinggelang mencari sembilan kepala orang Bugis lainnya.
Versi lain menceritakan peperangan yang berkaitan dengan payan Ramik Tangis adalah peperangan antara Minak Muttah Dibumi dan Prajurit Putinggelang melawan Raja Gunung Terang. Minak Muttah Dibumi dan Prajurit Putinggelang sebelum berangkat perang berikhtiar di Keramat Munggu. Dalam ikhtiar tersebut memperoleh senjata payan Ramik Tangis. Ketika berangkat bertemu dengan Prajurit Tejang Buwok di Keramat Gemol. Prajurit Tejang Buwok karena tidak diajak sakit hati lalu terbang dan tidak kembali. Peperangan melawan Raja Gunung Terang terjadi di depan sesat Gunung Terang. Raja Gunung Terang berhasil ditombak Prajurit Putinggelang dengan payan Ramik Tangis. Ketika kepala Raja Gunung Terang akan dipenggal untuk bukti kemenangan, hilang. Prajurit Putinggelang mendapat ganti seorang putri. Putri tersebut akhirnya tinggal di Panaragan.
Terhadap masyarakat Panaragan (marga Tegamoan), Prajurit Putinggelang diceritakan sebagai anak angkat Tuan Rio Sanaah. Tuan Riou Sanaah mempunyai anak Minak Indah, Minak Raja Ratu, Minak Mekedom, dan Minak Sang Menteri. Tokoh Prajurit Putinggelang dalam tradisi lisan masyarakat Panaragan banyak berhubungan dengan tokoh Minak Indah.
c. Minak Indah
Tokoh Minak Indah bagi masyarakat Panaragan berkaitan erat dengan situs Kramat Gemol. Dalam tradisi lisan Minak Indah mempunyai saudara angkat salah satu diantaranya adalah Prajurit Putinggelang. Selanjutnya masyarakat menceritakan bahwa pernah terjadi perselisihan antara Minak Indah dengan Minak Triodeso dari Abung Siwo Mego. Minak Triodeso sulit mengalahkan Minak Indah karena selain kesaktiannya, persatuan kerabat Minak Indah yang di antaranya meliputi Minak Sang Menteri, Minak Raja Malaka, dan Prajurit Putinggelang sangat kuat. Minak Triodeso dapat mengalahkan Minak Indah setelah mendapat informasi kelemahan Minak Indah dari istri Minak Indah sendiri. Diceritakan bahwa Minak Indah hanya dapat dibunuh dengan menggunakan bambu yang tumbuh di atas gundukan tanah (benteng). Akhirnya Minak Indah dapat dikalahkan dan kepalanya dipenggal lalu dibawa ke Abung untuk dipestakan.
Sumber lain menyebutkan bahwa Minak Indah berselisih dengan Abung Siwo Megou dan Pubian Telu Suku. Perselisihan ini terjadi karena Minak Indah yang merasa sakti menjadi sombong dan melanggar adat. Ketika ada orang yang akan meminang anaknya, Minak Indah mengajukan syarat kepada peminang anaknya harus menyerahkan emas seberat badan gadis yang akan dipinang tersebut.
Minak Indah dapat dikalahkan oleh Minak Naga Ngumbang hulubalang Minak Serappo Kiyo dari Terbanggi. Minak Indah dibunuh dengan menggunakan tombak Subang Gading, Penuang, dan Kayas Ibung Ngelamang Batu. Senjata Kayas Ibung Ngelamang Batu adalah kepunyaan Minak Paduka (Abung Nunyai). Semua orang laki-laki dewasa di Kampung Panaragan habis terbunuh. Anak gadis Minak Indah yang berjumlah tujuh orang diambil oleh orang Kotabumi, Buyut, Surabaya, Mataram, Terbanggi, Bumi Aji, dan Lingai. Perayaan menyambut kemenangan terhadap Minak Indah berlangsung di Kotabumi Tua di pinggir Way Pengubuan. Perayaan ini dihadiri 18 kebuayan. Kedelapan belas kebuayan itu menetapkan bahwa adat Lampung tidak bisa diubah lagi, kecuali ada hal-hal yang di luar ketentuan.
Kebuayan yang menghadiri perayaan tersebut adalah Buay Unyai, Buay Unyi, Buay Subing, Buay Uban, Buay Bulan, Buay Beliyuk, Buay Kunang, Buay Selagai, Buay Anak Tuho, Buay Nyerupai Way Seputih, Suku Meyerakat, Suku Tumbo Pupus, Suku Buku Jadi, Sumbai Perejo, Sumbai Pemuko, Sumbai Bahuga, Sumbai Tegamoan, dan Sumbai Suay Umpu (Soebing, 1988: 22).
O. Agus Chandra dalam artikelnya berjudul “Keramat Gemol Tunggu Perhatian” yang dimuat di harian Lampung Pos, Minggu 20 Februari 2000, menyebutkan bahwa kekalahan Minak Indah menyebabkan Minak Raja Malaka dan Prajurit Putinggelang membalasnya dan berhasil kembali membawa kepala Minak Indah. Kepala tersebut kemudian dimakamkan di dekat benteng yang sekarang dikenal sebagai Keramat Gemol. Diceritakan pula oleh masyarakat, Minak Raja Malaka dan Prajurit Putinggelang sebelum mengambil kepala Minak Indah, terlibat adu kesaktian untuk menentukan siapa yang pantas untuk merebut kepala Minak Indah. Namun ternyata keduanya sama-sama sakti. Akhirnya mereka berdua berangkat mengambil kepala Minak Indah.
Hubungan Fungsional
Tradisi lisan menyatakan bahwa antara Benteng Sabut, Benteng Prajurit Putinggelang, dan Keramat Gemol terdapat hubungan kekerabatan. Antara Minak Kemala Kota dan Minak Indah tidak ada hubungan kekerabatan, namun dengan adanya tokoh Prajurit Putinggelang hubungan kekerabatan tersebut terjalin. Peran Prajurit Putinggelang baik bagi kerabat Minak Kemala Kota maupun kerabat Minak Indah adalah berkaitan dengan masalah pertahanan dan keamanan. Terhadap kerabat Minak Kemala Kota misalnya terlihat dari peristiwa peperangan antara Benteng Sabut dengan Gunung Terang. Sedangkan dengan kerabat Minak Indah kaitannya dengan peperangan untuk mempertahankan kedaulatan Keramat Gemol atas intervensi Abung.
Berkaitan dengan hubungan kekerabatan tampaknya ada korelasi dengan sistem penempatan pemukiman. Untuk mengulas hal tersebut harus dilihat sebagaimana pemukiman dalam tata ruang makro. Pada intinya akan dilihat hubungan antar situs yang meliputi beberapa komunitas. Ada beberapa pokok permasalahan yang perlu diperhatikan dalam mengkaji hubungan antar situs yaitu struktur sosial, ekonomi, dan kemampuan teknologi (Mundardjito, 1990: 23). Hubungan fungsional antar situs terjadi karena adanya pertukaran, baik pertukaran barang maupun informasi. Colin Renfrew dan Paul Bahn (1991: 310) serta Bugie Kusumohartono (1995: 105) mengacu pada Karl Polanyi menyatakan terdapat tiga model pertukaran yaitu reciprocity (timbal balik), redistribution (pembagian kembali), dan market exchange (pertukaran pasar). Pertukaran reciprocity adalah kewajiban memberi dan menerima di antara individu yang berbeda hubungan sosialnya. Pertukaran redistribution berkaitan dengan kewajiban membayarkan barang dan jasa kepada pemuka masyarakat, yang kemudian membagikan sebagian perolehannya untuk kepentingan umum atau hadiah. Sedangkan model market exchange, para pelakunya tidak memiliki ikatan sosial tertentu yang mewajibkan mereka untuk melakukan pertukaran dan dimungkinkan adanya tawar menawar di dalamnya.
Bila diperhatikan dari aspek keletakan geografisnya, antara situs Benteng Sabut, Benteng Prajurit Putinggelang, dan Keramat Gemol dihubungkan oleh suatu sistem aliran sungai. Antara Benteng Sabut dengan Keramat Gemol terhubung oleh Way Kiri yang merupakan prasarana transportasi utama. Benteng Sabut dengan Benteng Prajurit Putinggelang terhubungkan oleh Way Pikuk kemudian dilanjutkan melalui Tulung Pasik. Sedangkan akses yang menyatukan Benteng Prajurit Putinggelang dengan Keramat Gemol adalah Way Gemol. Dari hal itu terlihat adanya pola hubungan yang membentuk “kawasan segitiga”. Benteng Sabut berada pada daerah hulu, Keramat Gemol pada kawasan hilir, sedangkan Benteng Prajurit Putinggelang pada kawasan pedalaman.
Pola semacam itu menunjukkan adanya perencanaan dalam penentuan lokasi pemukiman. Keletakan pemukiman Prajurit Putinggelang di pedalaman sangat beralasan. Bila dikaitkan dengan tradisi lisan penempatan pemukiman Prajurit Putinggelang terlihat ada model pertukaran redistribution. Prajurit Putinggelang sebagai pendatang, memberikan jasa (keprajuritan) kepada penguasa setempat, baik penguasa Sabut maupun Gemol. Dari penguasa Prajurit Putinggelang di antaranya mendapatkan wilayah.
Di wilayah yang dikuasai Prajurit Putinggelang (Umbul Lebung) banyak terdapat lebung ¾ semacam rawa yang dijadikan untuk menjebak ikan ¾ yang merupakan sumber daya penting bagi kehidupan baik di Gemol, Sabut, maupun Umbul Lebung sendiri. Sebagai wilayah penting tentunya tidak dapat diabaikan begitu saja. Pemilihan lokasi pemukiman di wilayah ini dapat berfungsi ganda yaitu bagi keamanan kawasan dan bagi kemudahan dalam pengelolaan wilayah. Dalam hal pengelolaan wilayah tampaknya Prajurit Putinggelang sebagai pemegang hak atas wilayah Lebung. Pemilihan lokasi ini tampaknya merupakan suatu keputusan yang diambil Prajurit Putinggelang sendiri. Hal ini ada kaitannya dengan tidak adanya hubungan antara Gemol dan Sabut. Dengan demikian tidak mungkin bila penentuan lokasi pemukiman Prajurit Putinggelang atas ketentuan dari Sabut atau Gemol, tetapi ada semacam perkenan dari Sabut atau Gemol. Sementara itu Prajurit Putinggelang yang menguasai Umbul Lebung mempunyai hubungan penting baik terhadap Sabut maupun Gemol.
Keadaan kawasan Tulangbawang sebagaimana yang dituturkan tradisi lisan, pernah mengalami masa suram, terutama kawasan pesisir menjadi tempat sarang perompak dan bajak laut dari negeri Cina, Johor, Riau, dan Bugis. Kondisi semacam ini menjadikan masyarakat porak poranda, banyak kampung yang pindah lokasi (Warganegara, 1975: 4). Dikaitkan dengan pola pertahanan terhadap gangguan dari luar, sesuai dengan kondisi pada waktu itu, lokasi Benteng Prajurit Putinggelang di Lebung sangat strategis. Gemol merupakan pertahanan pertama bagi “kawasan segitiga”. Rancangbangun benteng di Gemol menunjukkan bahwa arah ke hilir diperkuat dengan benteng ganda. Dari sini terlihat bahwa bila Gemol mendapat serangan, Lebung dapat dijadikan lokasi alternatif untuk bertahan. Bila gangguan mencapai Sabut, Lebung berfungsi untuk menyusun kekuatan.
Kajian dari sektor ekonomi, dapat dilihat ragam aktivitas masyarakat berdasarkan artefak yang terdapat pada masing-masing situs. Di Gemol artefak yang ditemukan menunjukkan aktivitas kehidupan sehari-hari. Pola matapencaharian memperlihatkan pada sektor bercocok tanam serta budidaya dan perburuan khususnya ikan. Adanya keramik asing menunjukkan sektor perdagangan juga merupakan aktivitas yang sudah maju. Artefak yang ditemukan di Benteng Sabut menunjukkan aktivitas yang sedikit lebih beragam. Di sini indikator aktivitas industri logam ditemukan berupa kerak besi.
Dilihat dari aspek keletakan geografisnya tergambar pola hubungan fungsional dendriticmarket exchange. Menurut asumsi Bennet Bronson, di daerah muara sungai akan ditemui pusat perdagangan. Di wilayah hulu, pada muara di mana sungai induk dimasuki dan ditemui anak sungai, akan ditemukan permukiman tingkat dua dan selanjutnya tingkat tiga. Di daerah paling hulu, di atas bentangan sungai terakhir yang dapat dilalui dengan alat angkutan air, akan ditemukan kelompok peramu yang bermatapencaharian mengumpulkan hasil hutan. Barang-barang komoditi ini disalurkan melalui permukiman tingkat tiga dan dua yang akhirnya sampai ke pusat perdagangan di daerah muara (Miksic, 1984: 10). Dihubungkan dengan pola pertukaran model market exchange dan pola dendritic model Bronson. Model ini menggambarkan pola pemukiman mengikuti aliran sungai, dan membentuk sistem jaringan pertukaran barang model model Bronson, tampak bahwa Gemol berperan sebagai transito. Pemukiman di Sabut dapat dikatakan sebagai pusat pemukiman di “kawasan segitiga”. Dalam hal ini peranan Umbul Lebung dapat sebagai kawasan industri hulu yang berperan menghasilkan barang-barang komoditas hasil hutan dan budidaya baik perkebunan maupun perikanan. Barang-barang komoditas yang dihasilkan Lebung dapat disalurkan ke Sabut atau ke Gemol.
Simpulan
Antara situs Benteng Sabut, Benteng Prajurit Putinggelang, dan Keramat Gemol terdapat hubungan kekerabatan yang dijalin oleh tokoh-tokoh utama (penguasa). Seiring dengan hubungan kekerabatan tersebut antara situs Benteng Sabut, Benteng Prajurit Putinggelang, dan Keramat Gemol terdapat hubungan fungsional yang berkaitan dengan sektor pertahanan dan ekonomi.
Pada sektor pertahanan peranan Benteng Prajurit Putinggelang sebagai lokasi alternatif pertahanan dan menyusun kekuatan bagi keamanan “kawasan segitiga”. Fungsi ini berkaitan dengan posisi penguasa (Prajurit Putinggelang) dalam kekerabatan baik pada kerabat Sabut maupun Gemol. Berkaitan dengan sektor ekonomi, khususnya perdagangan, Gemol sebagai tempat penimbunan barang-barang komoditi bagi “kawasan segitiga”, Sabut sebagai daerah industri dan Lebung (Benteng Prajurit Putinggelang) sebagai daerah industri hulu.
[1] Dalam catatan Marwansyah Warganegara, 1975, “Masyarakat dan Adat Budaya Tulang Bawang”, dinyatakan bahwa Namo (Sinamou) telah memeluk Islam dan dikenal dengan nama Siti Aminah.
[2] Beberapa tokoh masyarakat menyatakan pada masa Minak Kemala Kota.
[3] Senjata tombak (payan) Ramik Tangis sekarang disimpan keluarga Bapak Edi Gelar Pangeran Raja Tunggal (Gunungkatun).
Kepustakaan
Cortesão, Armando
1967 The Suma Oriental of Tomé Pires. Nendelnd iechtenstein: Kraus Reprin Limited.
Hadikusuma, Hilman
1989 Masyarakat dan Adat Budaya Lampung. Bandung: Mandar Maju.
Kusumohartono, Bugie
1995 “Model Pertukaran Pada Masyarakat Nusantara Kuna: Kajian (Pengujian) Arkeologis”. Dalam Manusia Dalam Ruang: Studi Kawasan Dalam Arkeologi. Berkala Arkeologi, Tahun XV, Edisi Khusus, 1995. Yogyakarta: Balai Arkeologi Yogyakarta. Hlm. 105 – 110.
Miksic, John N
1984 “Penganalisaan Wilayah dan Pertumbuhan Kebudayaan Tinggi di Sumatra Selatan”. Dalam Berkala Arkeologi V (1) Maret 1984. Balai Arkeologi Yogyakarta. Hlm. 9 – 24.
Mundardjito
1990 “Metode Penelitian Permukiman Arkeologi”. Dalam Monumen Karya Persembahan Untuk Prof. Dr. R. Soekmono, Lembaran Sastra, Seri Penerbitan Ilmiah No. 11. Edisi Khusus. Depok, Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Hlm. 19 – 31.
Renfrew, Colin and Paul Bahn
1991 Archaeology: Theories, Methods and Practice. London: Thames and Hudson.
Saptono, Nanang
2000 “Pemukiman Pada Masa Awal Islam di Kawasan Way Kiri, Tulangbawang, Lampung”. Dalam Rona Arkeologi: Penampakan Hasil Penelitian dan Pengembangan Arkeologi di Wilayah Jawa Barat, Lampung dan Kalimantan Barat. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia. Hlm. 129 – 150.
Sitorus, M, et all.
1996 Integrasi Nasional Suatu Pendekatan Budaya Masyarakat di Lampung. Bandar Lampung: Kanwil Depdikbud Propinsi Lampung.
Soebing, Abdullah A
1988 Kedatuan di Gunung Keratuan di Muara. Jakarta: Karya Unipress.
Sumadio, Bambang
1990 Jaman Kuna, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Warganegara, Marwansyah
1975 “Masyarakat dan Adat Budaya Tulangbawang”.
Catatan:
Tulisan ini diterbitkan di buku “Jelajah Masa Lalu”, halaman 36 – 40. Editor, Dr. Agus Aris Munandar. Bandung: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Komda Jawa Barat – Banten, 2002.
Sumber : http://arkeologilampung.blogspot.com