Kliningan Bajidoran, Pembaruan ”Tepak Kendang”

Oleh Soni Farid Maulana

Semula seperangkat gamelan dalam pertunjukan seni tradisional kliningan bajidoran ditabuh secara perlahan. Pada saat demikian, masuk penari perempuan (ronggeng) memberi hormat kepada penonton. Setelah itu, ia membuka tarian dengan gerak perlahan, sebelum meningkat ke tempo yang lebih cepat, yang kecepatannya diintroduksi oleh tepak kendang.

Tak lama berselang, para bajidor (penari laki-laki) yang suka menghambur-hamburkan uang masuk ke pakalangan. Mereka menari jaipong atau apa pun namanya bersama ronggeng yang memikat hatinya. Liukan dan gerakan tari mereka adakalanya diselaraskan pula dengan lagu yang dibawakan oleh sinden. Sang ronggeng dan bajidor menari dalam "ruang main" yang berbeda. Sang ronggeng di atas panggung, sedangkan bajidor di atas lantai.

Pertunjukan tersebut digelar dalam rangka Dies Natalis ke-50 Universitas Padjadjaran (Unpad) di Graha Sanusi Hardjadinata Unpad, Jln. Dipati Ukur No. 35 Bandung, Kamis malam (6/9). Grup yang tampil dalam kesempatan itu adalah Kliningan-Bajidoran Namin, pimpinan Mang Namin. Grup ini merupakan grup terkenal saat ini di Karawang, Jawa Barat.

Melihat gelagat dari apa yang digelar di tempat tersebut, tampaknya anak-anak muda menyukai pertunjukan yang ada kalanya dibilang kampungan. Mereka ramai-ramai ngengklak. Sebagian dari mahasiswa lelaki dan juga perempuan, lebih mendekat ke arah panggung, pegang tangan ronggeng sambil menari, dan bagi-bagi uang. Dalam konteks itulah imbit (pinggul) sang ronggeng yang keplok cendol itu dimainkan sesuai dengan irama dari waditra(alat musik) yang mengentak, lebih asyik daripada musik rock.

Sungguh pertunjukan itu tidak kampungan. Pertunjukan itu penuh dengan teknik olah tubuh dan kelenturan tubuh dalam mengkreasi sebuah tarian. Tanpa mempunyai dasar-dasar tari, sangat tidak mungkin sang bajidor maupun sang ronggeng bisa tampil memikat. Dalam konteks ini, tarian humor dari sang bajidor adakalanya diperlihatkan pula oleh Abah Ukat dan Lili Suparli. Bila para bajidor suka dengan iringan musik yang membuat dirinya menari, uang pun dengan mudah keluar dari kocek sang bajidor. Uang mengalir tidak hanya diberikan kepada ronggeng, tetapi juga pada awak pentas lainnya. Uang yang terkumpul disimpan oleh bandar, yang di akhir acara diberikan kepada seluruh awak pentas dan ronggeng; dengan pembagian yang adil menurut cara mereka.

**

SAAT ini pertunjukan kliningan bajidoran yang ada di Karawang, Subang, Sumedang, dan beberapa kota lainnya di kawasan pantai utara, katanya pertumbuhannya terancam oleh pertunjukan organ tunggal. Berkait dengan itu, demi menjaga esksistensi pertunjukan kliningan bajidoran di hati masyarakatnya, mau tidak mau grup-grup tersebut harus melakukan revitalisasi dalam bentuk penampilan musiknya.

"Apa yang dikreasi Mang Namim sebagai penabuh kendang dalam kelompok tersebut telah mampu menampilkan kreasi-kreasi baru sehingga membuat orang asyik bajidoran. Daya kreasi semacam ini menarik untuk dicermati," ujar Lili Suparli, dalam acara diskusi "Ngaguar Bajidoran" yang digelar dalam sebuah acara diskusi pada siang harinya di tempat yang sama. Tampil sebagai pembicara lainnya Drs. Bucky Wibawa, M.Si., Ismet Ruchimat, Mang Namin, dan Abah Ukat salah seorang bajidor dari Karawang.

Lili mengungkapkan, bajidoran asli memang lain dengan jaipong, yang merupakan puncak daya kreativitas karawitan Sunda di akhir abad ke-20. Namun demikian, di dalam kliningan bajidoran unsur-unsur jaipong bisa ditemukan.

Sementara itu, Prof. Dr. Ganjar Kurnia, D.E.A., yang mengaku mabuk kepayangan dengan seni kliningan bajidoran mengatakan, bila dilihat dari unsur-unsurnya, baik dari struktur musik maupun kebebasan para bajidor dan ronggeng dalam menari, jenis kesenian itu bisa dianggap sebagai genre baru dalam karawitan Sunda.

Berkait dengan itu pula Ismet Ruchimat, mengatakan, bila dilihat dari unsur-unsur semacam itu kliningan bajidoran memang lain dengan jaipong. "Kang Gugum sendiri mengatakan demikian. Jaipong yang diciptakannya bersumber pada tepak kendang silat yang dikreasi dalam bentuk baru," ujar Ismet. Ia sepakat dengan Lili Suparli, bahwa seni jaipong adalah puncak dari daya kreativitas karawitan Sunda di akhir abad-20.

Pendapat Ismet dan Lili dengan tegas ditolak oleh Bucky, yang tengah menyelesaikan tesis S-3 tentang kliningan bajidoran. "Apa yang dikreasi Gugum merupakan sebuah momen tertentu dalam perkembangan dan pertumbuhan karawitan Sunda. Jika ia disebut puncak, harus ada batu ujinya. Nah, berkait dengan kliningan bajidoran, kesenian tersebut memang harus dilihat sebagai genre baru yang kini mulai bangkit lagi dengan daya kreasi yang tidak bisa dianggap sepele. Misalnya, apa yang dikreasi oleh Mang Namin dengan tepak kendangnya yang cepat, yang membuat orang ingin turun ka pakalangan," kata Bucky.

Begitulah, kliningan bajidoran telah hadir lagi dalam bentuk yang baru yang dikreasi oleh para senimannya dari generasi ke generasi. Mang Namin sendiri mengatakan, tantangan terberat saat ini untuk menyebarkan kliningan bajidoran ke masyarakat luas adalah karena masih adanya anggapan bahwa kesenian ini sering menguras kocek para bajidor, yang entah terpikat oleh sinden, ronggeng, atau oleh tepak kendang yang membuat si bajidor asyik menari.

Apa yang dinamakan bajidoran, papar Bucky Wibawa bisa terjadi bila di dalamnya ada tiga unsur. Pertama, ada yang mengundang. Kedua, ada sinden/ronggeng/nayaga, dan ketiga ada bajidor. Jika salah satu unsur tidak ada, apa yang disebut bajidoran itu tidak ada pula. "Dalam konteks itulah bajidoran harus dilihat," ujar Bucky Wibawa.

Malam semakin beranjak tua. Para bajidor tampak asyik menari bersama ronggeng di Graha Sanusi Hardjadinata Unpad. "Seni tradisi memang harus dilestarikan. Hanya inilah yang bisa kita banggakan ke luar negeri," ujar Mas Nanu Muda, pakar bajidoran yang hadir dalam kesempatan cukup langka itu

Sumber : http://mymok.multiply.com