Minat Buku dan Negeri para Penulis.

Oleh Bambang Irawan

BUKU adalah jendela dunia. Ungkapan bernada klise, tapi belum sepenuhnya disadari. Entah karena deraan krisis ekonomi yang masih menyelimuti bangsa ini, sehingga buku belum menjadi kebutuhan yang diperhitungkan atau belum menjadi skala prioritas. Justru yang berkembang adalah anggapan umum, bisa makan tiga kali sehari saja sudah untung.

Kondisi seperti itu disadari sepenuhnya oleh Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) atau pihak-pihak yang peduli terhadap pentingnya buku. Malahan UNESCO, salah satu badan di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) melaporkan, Indonesia pada tahun 1973 mengalami book starvation (paceklik buku). Saat itu, Indonesia tidak menerbitkan satu judul buku pun. Sementara di luar tahun itu, produksi buku di Indonesia berkisar 10.000 judul.

Berbeda dengan negara lain. Jepang contohnya, setiap tahunnya menerbitkan 60.000 judul buku, sementara Inggris jauh lebih besar lagi mencapai 110.155 judul buku. Fenomena tersebut baru ditinjau dari sisi judul buku, belum dilihat dari sisi oplah (jumlah tiras buku yang diterbitkan). Seharusnya, penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta, produksi bukunya lebih besar ketimbang negeri tetangga, termasuk Jepang dan Inggris.

Banyak faktor, mengapa produksi judul dan jumlah buku di Indonesia terbilang rendah. Selain karena daya beli masyarakat, ternyata faktor reading habit (kebiasaan membaca) sangat menentukan. Berdasarkan data, minat baca masyarakat Indonesia untuk kawasan Asia Tenggara saja menduduki peringkat keempat, setelah Malaysia, Thailand, dan Singapura.

Boleh jadi, rendahnya kebiasaan membaca tersebut, erat kaitannya dengan pendapatan per kapita bangsa ini, yang lebih rendah dari keempat negara tetangga. Pendapatan per kapita warga Singapura pada tahun 2002 sebesar 24.000 dolar AS, Thailand 6.900 dolar AS, Malaysia 9.300 dolar AS, sementara Indonesia hanya 3.100 dolar AS. Tentu, tidak sedikit dari masyarakat kita yang berpenghasilan cukup tinggi. Namun, seiring dengan meningkatnya pendapatan, bermunculan kebutuhan baru yang sifatnya komplementer, sehingga membeli buku menjadi prioritas entah keberapa atau mungkin tidak masuk dalam hitungan.

Penulis tak sependapat jika dikatakan rendahnya minat membeli buku akibat rendahnya daya beli. Tak jarang penerbit mengeluarkan buku-buku tipis dengan harga murah, memakai kertas biasa, dan dicetak tidak luks, tetapi sambutan pasar kurang bagus. Malah sebaliknya, buku-buku luks dengan harga sampai puluhan ribu, pemasarannya cukup baik dan mengalami berkali-kali cetak ulang.

Penulis meyakini apabila buku dikarang oleh penulis berkualitas dan ditangani serius, hasilnya akan baik. Masyarakat sudah tidak memikirkan soal harga apabila melihat buku-buku berkualitas baik apalagi dibuat oleh penulis terkenal. Meski untuk ukuran Indonesia buku dikatakan best seller bila terjual 5.000 eksemplar untuk masa setahun.

Negeri para Penulis
Kalau Kartini menulis pergulatan pemikirannya dalam bentuk surat dan dikirimkan ke 12 korespondesinya di Belanda. Sjahrir menulis renungan-renungannya dan dikirimkan kepada istrinya Maria Duchateau di Belanda. Surat-surat inilah yang kemudian terbit dalam bentuk buku dengan judul Indonesische Overpeinzingen (dalam edisi Indonesia berjudul Rantau dan Perjuangan). Inilah renungan kebudayaan paling cemerlang yang pernah ditulis oleh seorang anak bangsa. Buku ini menunjukkan keluasan erudisi seorang Sjahrir. Ia mampu meletakkan setiap pokok gagasan dalam konteks alur perkembangan sejarah intelektual dunia.

Sjahrir mampu menjelaskan hubungan antara satu filsuf dengan filsuf yang lain, dari Johan Huizinga, Dante, Dostoyevski, Benedotte Croce hingga Nietzche. Tidak adil kalau saya tidak menyebut nama Tan Malaka sebagai yang termasuk penulis kawakan yang dimiliki bangsa ini. Bahkan bagi saya ia harus berada dalam deretan teratas. Ketangguhannya dalam menulis benar-benar telah teruji. Produktivitas dan staminanya betul-betul tanpa tanding. Penjara, pengasingan, pembuangan dan penyakit akut tak akan pernah mampu membuatnya berhenti menulis. Hanya kematian yang bisa menghentikannya menulis.

Coba anda bayangkan, di tengah situasi yang begitu berbahaya pada masa kekuasaan Jepang, Tan Malaka masih mampu menerbitkan sebuah buku dahsyat berjudul Madilog. Tan Malaka menulis Madilog dalam situasi yang sangat terbatas, tanpa referensi, seluruh kutipan diambil dari ingatannya belaka, dengan bahan tulis yang terbatas dalam persembunyiaannya, memaksanya menulis Madilog dengan huruf-huruf yang sangat kecil.

Di penjara itulah Tan Malaka, di antaranya, menulis From Jail to Jail atau Dari Penjara ke Penjara. Hanya peluru tentara Republiklah yang kemudian menghentikan aktivitas menulis Tan Malaka. Soekarno sebagai Presiden pertama republik inipun tidak pernah bisa lepas dari kerja-kerja intelektual, membaca dan menulis. Meski negara yang dipimpinnya tengah mengalami kondisi politik dan ekonomi yang porak-poranda, ia masih sempat juga menulis dan menerbitkan buku Sarinah, Kewadjiban Wanita dalam Perdjoangan Republik Indonesia 1947.

Karenanya, tidak berlebihan jika menyebut Negara ini dibangun dan diperjuangkan oleh orang-orang yang memiliki kecintaan terhadap buku yang melimpah. Tradisi cinta buku tidak bolehlah mati. Dan yang paling bertanggung jawab adalah orang-orang melek huruf di negeri ini. Meskipun dihantui data angka buta aksara mencapai 18,1 juta dan minat baca masyarakat yang bahkan lebih rendah dari Vietnam. Kita tidak bolehlah pesimis. Sebab bukankah kita patut berbangga pada Presiden SBY yang melanjutkan tradisi cinta buku orang-orang besar terdahulu di negeri ini. Setidaknya beliau telah meluncurkan buku yang memuat kumpulan pidato dan pernyataannya, berjudul Indonesia on the Move.

Membaca adalah investasi, solusi, dan dapat mengubah nasib dan masa depan, pesan SBY dalam bukunya itu. Dan terakhir, masih teringat jelas dalam ingatan penulis melalui kutipan Hernowo mengatakan, buku telah membuktikan kepada dunia bahwa dirinya mampu membuat peradaban dapat bertahan dalam kebaikan atau, bahkan terus meningkat menjadi sesuatu yang lebih baik. Selamat Hari Buku Nasional.***

Bambang Irawan, anggota BEM Bidang Infokom F-DIK UIN Suska Riau.