Memegang teguh ajaran leluhur kadang kala membuat kehidupan manusia menjadi lebih tenteram dan damai. Bahkan, ajaran tersebut menjadi pandangan hidup bagi para penganutnya. Sosok masyarakat seperti itu masih terjadi di sebuah dusun yang bernama Kampung Dukuh. Sebuah kampung yang berjarak 80 kilometer sebelah selatan Kabupaten Garut, Jawa Barat, atau tepatnya berlokasi di Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet. Di kampung adat tersebut, masyarakatnya menjalani kehidupan dengan penuh kesederhanaan sesuai dengan ajaran leluhur. Kehidupan dusun yang dibangun seorang penyebar agama Islam Syekh Abdul Djalil pada Abad 17 lebih mengisolasikan diri dari dunia modern. Sesuai dengan nama kampungnya dukuh yang berarti kukuh dengan pendirian.
Penduduk yang mayoritas memeluk agama Islam itu menganggap hidup ini adalah sebuah alur cerita yang dilakukan sesuai dengan agama dan mitos tradisi. Mereka menganggap hidup ini hanyalah sebuah persinggahan sementara. Itulah sebabnya, semua yang ada di dalam kehidupan dianggap milik Sang Khalik. Sedangkan manusia tak boleh memiliki. Bahkan, mereka menganggap emas itu tak lebih berharga ketimbang pasir. Karena itu, mereka menganggap hidup ini hanyalah sebuah ibadah. Mereka tak mau menerima bantuan dari luar kecuali untuk membangun tempat ibadah. Kebanyakan para penduduknya hidup dengan bercocok tanam dan memelihara ikan. Biasanya, para ibu-ibu hanya berkutat di dapur saja. Mereka bertugas sebagai juru masak keluarga. Sementara para anak gadis mereka lebih banyak mengisi kegiatannya dengan belajar berbagai keterampilan. Sedangkan anak-anak mengisi kegiatan sehari-hari dengan bermain, belajar agama atau mengikuti orang tua ke sawah.
Kampung Dukuh, sebuah dusun yang dibagi dalam tiga wilayah dan masing-masing hanya dibatasi pagar bambu. Pertama, Kampung Dukuh Atas, yakni sebuah wilayah yang dikeliling sebuah hutan yang dianggap sebagai daerah larangan. Di dalam hutan tersebut terdapat makam Syekh Abdul Djalil. Tumbuhan yang ada di sana dilarang untuk ditebang. Soalnya, bila dilanggar akan mendatangkan petaka. Hal ini pernah dialami Soleha, seorang penduduk. Kala itu Soleha membeli kayu dari seseorang untuk membangun rumah. Setelah rumahnya selesai dibangun dan kehidupan Soleha mulai mapan, barulah ia mendapat petaka. Soleha menderita sakit yang tak dapat diobati. Ternyata, sebab musabab penyakit pria tersebut diduga akibat menggunakan kayu curian dari hutan larangan tersebut. "Saya tak tahu kalau kayu itu berasal dari hutan larangan," kata Soleha.
Namun, petaka yang menimpa Soleha itu tak dialami penduduk di wilayah lainnya, yaitu Kampung Dukuh Dalam. Pasalnya, mereka lebih kuat memegang ajaran leluhur. Sedangkan wilayah terakhir adalah Kampung Dukuh Luar. Dan masyarakat di wilayah tersebut sedikit banyaknya telah menerima pengaruh dari dunia modern. Hal ini terlihat pada bentuk peralatan atau perkakas rumah mereka. Tak sedikit juga dari penduduk wilayah paling luar Kampung Dukuh ini yang bekerja di luar daerah mereka.
Kendati hidup dengan kesederhanaan dan perpegang teguh pada ajaran leluhur bukan berarti tak pernah terjadi konflik. Biasanya konflik itu terjadi antara golongan muda dan tua. Kebanyakan golongan muda menganggap perubahan di daerah mereka terlalu lambat. Itulah sebabnya, mereka menginginkan suatu perubahan dengan menerima kehidupan modern tanpa meninggalkan ajaran leluhur. "Biar bagaimana juga adat tetap dipertahankan," ucap Saepudin, seorang pemuda setempat. Sedangkan dari pihak golongan tua, mereka menganggap dengan menerima suatu perubahan dari dunia luar akan mengikis dasar-dasar ajaran leluhur mereka. Setidaknya, dengan menerima perubahan akan mengurangi arti dasar kehidupan yang telah dijalani selama berabad-abad. Kendati begitu, konflik yang ada hanya berskala kecil dan tak sempat menimbulkan perpecahan di kalangan masyarakat Kampung Dukuh.
Hal itu dibenarkan Lukman, seorang juru kunci atau kuncen makam Syekh Abdul Djalil. Dia mengatakan bahwa penyelesaian semua permasalahan di wilayah Kampung Dukuh harus berdasarkan ajaran leluhur. Memang, setiap penghuni Kampung Dukuh harus mematuhi segala ujaran maupun petuah yang disampaikan Lukman. Itu tak aneh, soalnya dia dianggap sebagai benteng terakhir tradisi di wilayah tersebut. Dengan kata lain, pemegang ajaran leluhur tertinggi berada di pundak Lukman. Pria yang kesehariannya tak memakai alas kaki ini bertugas sebagai pemimpin peziarah makam Syekh Abdul. Dia kerap kali datang pada setiap Sabtu. Lukman juga bertugas sebagai pemegang Kitab Uga. Kitab yang bertuliskan Arab-Cirebonan ini berisikan sesuatu pedoman masyarakat setempat untuk melihat masa depan. Misalnya, memperingatkan masyarakat akan sesuatu yang bakal terjadi. Lantaran itulah, masyarakat setempat meyakini suatu saat nanti akan hadir seorang penyelamat yang dapat membawa kesejahteraan. Masyarakat setempat menyebutnya dengan Imam Al-Mahdi.
Sumber : http://berita.liputan6.com
Photo : http://2.bp.blogspot.com