KabarIndonesia - Di Jalan Terusan Laswi Kota Bandung terdapat sebuah rumah makan Sunda Bumbu Desa. Dalam ruangan makan dipajang beberapa potret besar-besar mengenai Kampung Dukuh, baik tentang bentuk perumahan, budaya masyarakat, dan lain-lain. Tidak ada yang bisa menjelaskan, termasuk pelayan restoran, yang bisa menerangkan kenapa potret-potret tersebut dipajang di sana. Apalagi sewaktu ditanya di mana lokasi kampung Dukuh itu berada serta apa keunikan dan keanehan dari kampung ini, sehingga dipajang di ruangan rumah makan Bumbu Desa.
Tahun 1988, penulis secara tak sengaja pernah datang ketempat ini, karena adanya acara pertemuan dengan para petugas dan penyuluh pertanian di wilayah Cikelet. Tempat pertemuan memang tidak jauh dari kampung Dukuh. Setelah tanya sana tanya sini, penulis tertarik juga terhadap keunikan budaya situs budaya ini.
Akhir-akhir ini lebih tertarik lagi setelah mengetahui bahwa kampung Dukuh ini merupakan salah satu aset budaya tradisional di Kabupaten Garut yang perlu dilestarikan keberadaannya. Apalagi setelah gencarnya upaya pemerintah dalam menyukseskan kunjungan wisata yang dikenal dengan moto “Visit Year 2008”.
Informasi kampung Dukuh saya temukan dari beberapa referensi antara lain dari buku Seputar Garut buah karya Darpan dan Budi Suhardiman (Komunitas Srimanganti, 2007). Data dan informasi mengenai kampung Dukuh ini, kemudian saya paparkan dalam tulisan berikut ini. Mudah-mudahan ada manfaatnya bagi yang berminat menelusurinya lebih lanjut.
Ada beberapa kampung adat di wilayah Kabupaten Garut. Satu di antaranya dan yang paling besar adalah Kampung Dukuh. Seperti di kampung-kampung adat lain, masyarakat di Kampung Dukuh sangat teguh memegang adat dan tradisi leluhurnya. Di kampung ini, penghuninya hidup jauh dari kemewahan dan menerapkan pola hidup sederhana seperti diwariskan oleh leluhurnya dari generasi ke generasi. Oleh karena itu jangan aneh jika di kampung ini tidak ditemukan jaringan listrik dan alat-alat elektronik seperti radio dan televisi.
Kampung Dukuh terletak di Desa Ciroyom, Kecamatan Cikelet, kabupaten Garut. Dari Kota Garut jaraknya sekitar 100 km. Dari kejauhan kita bisa melihat perbedaan kampung ini dengan kampung-kampung lain secara menyolok. Terutama karena rumah-rumah di Kampung Dukuh bentuknya sangat khas dan bergaya tradisional. Semua rumah melintang ke Barat, beratap ijuk atau ilalang, serta berlantai palupuh. Penghuninya dilarang menyimpan barang mewah. Bahkan ranjang pun tak diperbolehkan. Jika tidur, cukup beralaskan tikar.
Konon tradisi ini sudah menjadi amanat turun temurun dari karuhun. Ada tiga pacaduan (larangan) di kampung adat ini, yakni pacaduan kampung (larangan kampung), pacaduan makom (larangan makam), dan pacaduan leuweung (larangan hutan). Larangan kampung mengatur bentuk rumah dan isinya. Larangan Makam mengatur tata cara ziarah ke makam keramat. Sementara larangan hutan mengatur pemeliharaan dan pelestarian hutan di lingkunan sekitar makam keramat.
Apa yang disebut makam keramat adalah makam leluhur masyarakat Kampung Dukuh yang dikenal dengan nama Syeh Abdul Jalil. Tokoh ini sebenarnya berasal dari Sumedang. Ketika tatar Sunda dikuasai Mataram Jawa pada abad ke-17, Syeh Abdul Jalil menjabat sebagai Penghulu di Kabupaten Sumedang. Sementara bupati atau dalem yang saat itu berkuasa di Sumedang adalah Rangga Gempol.
Sejarah mencatat, ketika Syeh Abdul Jalil berangkat ke Mekah untuk menunaikan ibadah haji, datanglah dua utusan dari Kesultanan Banten ke Sumedang. Utusan itu membawa pesan dari Sultan Banten agar Dalem Sumedang takluk kepada Banten, bukan kepada Mataram.
Permintaan itu ditolak Rangga Gempol. Bahkan kedua utusan itu kemudian diusir dari Sumedang. Ketika utusan sudah pulang, timbul kekhawatiran di hati Rangga Gempol akan adanya serangan dari Banten akibat dari penolakannya. Maka, ia kemudian memerintahkan membunuh kedua utusan itu sebelum mereka kembali di Banten. Peristiwa ini sangat dirahasiakan, terutama kepada Syeh Abdul Jalil.
Sekembalinya dari Mekah, Syeh tidak menaruh curiga apapun mengenai hubungan Banten dan Sumedang. Namun kabar tentang pembunuhan terhadap utusan Banten akhirnya bocor juga dan sampai pada Syeh. Sebagai penghulu yang mengurusi soal-soal yang berkaitan dengan agama ia sangat terpukul dan marah. Ia menganggap Rangga Gempol telah berlaku culas.
Syeh kemudian melepaskan jabatannya dan pergi dari Sumedang menuju ke wilayah Garut selatan. Pada akhirnya, Syeh sampai pada sebuah tempat dan mendirikan pemukiman yang kini dikenal sebagai Kampung Dukuh.
Kepada anak cucunya Syeh mengajarkan hidup sederhana dan berpegang teguh pada ajaran Islam. Apa yang diajarkan Syeh Abdul Jalil, hingga sekarang pun masih dipegang teguh dan dijalankan keturunannya.
Setelah wafat, beliau dimakamkan di Kampung Dukuh dan makamnya sangat dikeramatkan. Tidak sembarang orang bisa memasukinya. Hanya pada hari Sabtu saja makam itu dibuka dan bisa dikunjungi. Hutan yang rimbun di sekitar makam pun, dilarang untuk ditebang apalagi dirusak.
Jika waktu sholat tiba, mesjid di Kampung Dukuh selalu penuh oleh jemaah. Lingkungan kampung juga sungat nyaman dan tentram. Sayang, pada Selasa dini hari, tanggal 4 Oktoher 2006. bertepatan dengan bulan Ramadhan, Kampung Dukuh terbakar. Peristiwa kebakaran ini tidak hanya menghanguskan sebagian besar rumah-rumah penduduk, tetapi juga menghancurkan benda-benda yang dianggap pusaka Kampung Dukuh.
Untuk mengembalikan Kampung Dukuh sebagai aset budaya, Pemda Garut berusaha membangun kembali kampung adat ini seperti sedia kala, agar Kampung Naga dapat dilestarikan sebagai salah satu objek wisata budaya di kabupaten Garut. (*)
Sumber : http://www.kabarindonesia.com
Photo : http://media.photobucket.com