Pertunjukan Prostitusi Belanda

Oleh GANI A JAELANI

Saritem ditutup. Koran-koran ramai memberitakannya. Kita, sebagaimana pemerintah, mungkin berharap prostitusi di Bandung berkurang. Sebab, Saritem yang konon telah lama dijadikan tempat prostitusi dan menjadikan Bandung dikenal dengan pelacurannya telah dibongkar.

Pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab menjadi lebih tenang, tidak akan dipusingkan lagi oleh soal prostitusi, paling tidak pelacuran yang terpusat di Saritem.

Soal prostitusi memang kerap membuat pusing pemerintah. Citra pemerintah sebagai penjaga moral mendapat ujian dalam soal ini. Dulu Wolzogen Kuhr, Wali Kota Bandung (1928-1934), juga pernah dibuat pusing oleh soal ini. Pasalnya, praktik prostitusi di Bandung pada masa dia berdinas mengalami peningkatan. Jumlah pelacur bertambah, rumah-rumah bordil tumbuh subur, dan hampir di setiap hotel terdapat pelayanan seks singkat buat pelancong yang kelelahan.

Sebetulnya pada tahun ia menjabat itu prostitusi bukan soal baru karena jauh sebelumnya juga sudah banyak. Barangkali hal tersebut bisa dirunut sampai akhir abad ke-19, ketika Bandung sebagai sebuah kota baru tumbuh, kalau kita percaya bahwa prostitusi adalah gejala khas perkotaan. Jadi, sebetulnya ia tak punya alasan untuk pusing. Toh, masalah serupa juga dialami para pendahulunya.

Hanya, bagi Pak Wali Kota, mungkin soalnya tak sesederhana itu. Pada masanya, prostitusi lebih dari sekadar urusan pemenuhan kebutuhan seks semata. Persoalannya telah melampaui sekadar urusan laki-laki dan perempuan, tetapi berkaitan dengan kemapanan kekuasaan Belanda di Hindia. Keberadaan mereka, misalnya, membuat para nasionalis mempunyai alasan untuk kumpul-kumpul. Perkara kumpul-kumpul di masa itu merupakan aktivitas subversif. Pemerintah selalu merasa terancam kalau melihat orang-orang pribumi berkumpul. Karena alasan mereka berkumpul untuk membicarakan soal (pemberantasan) prostitusi, itulah kenapa pelacuran pun dianggap sama-sama subversif.

Para penjaja seks itu menjadi semacam pemersatu yang mendorong kaum nasionalis mempunyai agenda bersama: membasmi pelacuran. Bahkan, terkadang mereka menghubungkan pelacuran ini dengan keberadaan kaum penjajah. Penjajahanlah yang telah menyebabkan munculnya pelacuran.

Sebetulnya pemerintah tidak perlu cemas dengan program itu. Toh, tujuan mereka sangat mulia. Bahkan pemerintah kolonial juga harus berbangga. Sebab, dengan mengecam pelacuran, berarti masyarakat sudah beradab. Pemberadaban itu sendiri menjadi sangat mungkin karena bantuan pemerintah kolonial. Selain itu, pekerjaan pemerintah menjadi sedikit terbantu dengan kehadiran kaum nasionalis yang hendak memberantas pelacuran. Pergerakan nasionalis

Akan tetapi, agaknya yang membuat pemerintah menjadi demikian khawatir adalah adanya indikasi keterlibatan langsung para pelacur dalam pergerakan kaum nasionalis. Rumah bordil disinyalir sebagai tempat persembunyian kaum pergerakan yang sedang dikejar-kejar dan sebagai tempat untuk rapat-rapat penting. Para pelacur konon rajin menyumbangkan uang buat organisasi. Selain itu, mereka juga merupakan informan-informan yang paling bisa diandalkan, sebagaimana diungkapkan Soekarno dalam otobiografinya yang dikatakan kepada Cindy Adam.

Kenyataan semacam itu tentu membuat pemerintah khawatir. Kenyataan semacam itu pulalah yang kemudian membuat pemerintah semakin resah dengan kehadiran pelacur. Karena itu, pemerintah pun merasa perlu untuk berperang dengan lebih serius melawan pelacuran.

Pelacuran yang diidentifikasi sebagai sesuatu yang kotor dan tidak tertib tidak bisa dibiarkan lama bertahan di ruang publik. Kekhawatiran itu pun semakin besar saat mereka mengingat radikalisme masyarakat Jawa yang memuncak pada 1926. Para pembuat kebijakan agaknya bersepakat bahwa radikalisme semacam itu tumbuh dari penataan ruang yang tidak tertib. Itulah kenapa sejak 1927 ruang di Hindia harus ditata ulang. Pelacuran yang identik dengan keburukan harus disingkirkan.

Wajar saja pada 1932 Dewan Gemeente Bandung mengeluarkan peraturan tentang pelacuran. Peraturan ini merupakan pengganti peraturan yang sebelumnya dirasa masih terlalu longgar. Peraturan ini mempunyai kemampuan untuk mengatur dengan lebih ketat. Seorang polisi, misalnya, dibenarkan menangkap setiap perempuan yang dicurigai menjalankan praktik pelacuran. Perempuan yang berjalan di malam hari, kemudian dicurigai (sebagai pelacur), karena perjalanannya itu bisa ditangkap.

Berbekal peraturan yang baru disahkan itu, polisi melakukan patroli pada malam hari. Jalanan-jalanan Bandung yang dicurigai biasa dipakai sebagai tempat mangkal, seperti alun-alun dan Tegallega, disisir. Hasilnya, banyak pelacur yang ditangkap. Jalanan Kota Bandung pun menjadi sepi dari pelacur. Setidaknya demikian dilaporkan harian Sinar Pasoendan dua tahun setelah peraturan itu dijalankan.

Para lelaki pun, demikian ditulis harian tersebut, bisa bebas berkeliaran di malam hari tanpa harus takut dicurigai sang istri. Sebab, para istri tahu kalau perempuan jalanan sudah dibersihkan oleh polisi. Penangkapan pelacur bisa jadi membuat lelaki aman dan para istri tidak menaruh curiga. Citra pemerintah sebagai penegak moral terjaga. Namun, soal pelacuran ini rupanya tidak lantas selesai, setidaknya pada masa Wolzogen Kuhr menjabat sebagai wali kota. Memang jalanan Kota Bandung lengang, tetapi rumah pelacuran masih bertebaran. Sepertinya polisi tidak punya kuasa untuk memberantas rumah pelacuran.

Selain lokasi yang kadang tersembunyi di balik bisnis legal, keberadaan mereka pun sering kali dilindungi oknum pemerintah. Itulah kenapa kemudian pelacuran di Bandung masih berkembang. Setidaknya demikianlah yang dilaporkan Sinar Pasoendan. Superioritas kulit putih

Mungkin saja apa yang dikatakan dalam harian tersebut ada benarnya, apalagi kalau kita juga tahu bahwa peraturan tentang pelacuran itu lebih banyak menjerat para pelacur. Penanganan pelacuran pun menjadi timpang. Para lelaki yang menjadi pelanggan agak susah dijerat secara hukum. Mereka sering kali bebas dari peraturan yang berkaitan dengan pelacuran.

Akan tetapi, pada masa kolonial dulu persoalannya lain karena kebanyakan pelanggan adalah orang Eropa. Wajar saja para pelanggan ini dibebaskan dari jeratan hukum. Sebab, kalau sampai mereka ditangkapi karena soal pelacuran, superioritas mereka sebagai orang Eropa yang beradab menjadi terancam. Kalau itu sampai terjadi, dasar yang melegalkan mereka untuk menjajah pun ikut terancam.

Itulah kenapa sebetulnya Pak Wali Kota menjadi lebih bingung. Di satu sisi dia harus memberantas pelacuran untuk menjaga citra penegak moral yang beradab. Namun, di sisi lain dia juga harus memberantas pelacuran secara tidak sungguh-sungguh untuk menjaga superioritas kulit putih yang beradab. Kenyataan semacam itu bisa menjelaskan bahwa bukan pelacuran betul yang menjadi persoalan, melainkan kemapanan tatanan kolonial yang mesti dijaga.

Sekarang Wolzogen Kuhr tidak lagi menjabat wali kota. Belanda juga tidak lagi berkuasa di Hindia. Akan tetapi, tidak berarti kebijakan penutupan Saritem bebas dari prasangka kolonialisme yang dulu pernah beroperasi. Mungkin saja pikiran-pikiran yang mendasari pemberantasan pelacuran di masa lalu masih dipakai, dalam bentuk yang berbeda tentu saja. GANI A JAELANI Dosen Sejarah Universitas Padjadjaran

Sumber: http://202.146.5.33/kompas-cetak/0705/30/Jabar/22441.htm