MEDAN (Lampost/Ant): Film yang dikemas dalam kaset video soal kehidupan pelacur anak di Pulau Batam, Riau, diputar di ruang Konferensi Perdagangan Anak dan Seks se-Asia Tenggara yang berlangsung di Hotel Tiara Medan, Senin (29-3). Film itu mendapat perhatian luas peserta.
Film berdurasi 25 menit itu berada dua meter dari ruang pertemuan konfrensi ditayangkan lewat televisi 21 inci menggambarkan fakta nyata masalah kehidupan pelacur anak yang masih berusia 14 tahun.
Anak yang mengaku bernama Laras (14) sudah lama menjadi pemuas seks hidung belang yang sedang berlibur di Pulau Batam. Terkadang, kata Laras, dia terpaksa melayani delapan tamu sehari dan mayoritas uang yang diperoleh diserahkan kepada "Mami" atau germo yang membawanya ke lembah hitam.
"Terkadang dalam sehari saya melayani delapan tamu, banyak di antara mereka yang tidak bersedia menggunakan kondom saat berhubungan badan. Kalau sekarang, pelanggan yang tidak menggunakan kondom saya usir," kata Laras dalam kaset VCD.
VCD yang mendapat banyak perhatian peserta konferensi itu menampilkan sebuah tempat pelacuran di Batam. Para pelacur tampak masih muda, berpakaian seronok sambil mengisap rokok bahkan ada di antaranya yang sedang berpelukan dengan tamunya.
Tayangan itu menggambarkan di pulau yang hanya 19 km dari Singapura itu banyak dijumpai pekerja seks komersial yang masih anak-anak.
Hal itu juga diakui Julie Lebegue dari UNICEF Jakarta. Penyebabnya, antara lain pola hidup konsumtif yang kini merebak selain masalah kemiskinan dan tidak adanya perhatian orangtua dalam mendidik anak-anaknya sehingga mereka terjerumus menjadi pelacur.
Masalah itu juga merebak di negara-negara lain di ASEAN seperti di Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Malaysia aibat belum adanya keterpaduan di antara pemerintah dalam menangani masalah itu menjadikan pelacur anak tetap marak.
Pelacur Anak Lebih dari 30%
Masalah pelacuran anak-anak membuat miris di dada. Kabarnya kini jumlah pelacur anak (10--16 tahun) di Indonesia diperkirakan 140.000 hingga 200.000 orang atau mencapai 30% dari jumlah pelacur baik "resmi" maupun "tidak resmi".
Angka itu terungkap dalam pidato Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yusril Ihza Mahendra pada Seminar Pemberdayaan Anak dalam Situasi Khusus di Jabotabek di Jakarta, beberapa waktu lalu. Angka itu diperoleh dari Yayasan Samin Yogyakarta.
Sementara, menurut Ketua Pokja Konsorsium Pemberdayaan Anak dalam Situasi Khusus di Jabotabek Panca B. Wibawa, angka pelacuran anak di Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabotabek) lebih "mengerikan" lagi. Panca memprediksikan jumlah pelacur anak di setiap lokasi pelacuran di Jabotabek, lebih dari 50% dari jumlah pelacur di lokasi tersebut.
Panca, yang juga pengelola Yayasan Kusuma Buana, mengaku salah satu program lembaganya memberdayakan pelacur anak ini. Menurut dia, pernyataannya tentang pelacur anak bukan isapan jempol atau dibesar-besarkan saja.
Menurut dia, di kawasan Prumpung, Jakarta Timur, tepatnya di bawah jembatan Jatinegara, sebagian besar pelacur, yang jumlahnya diperkirakan mencapai 200-an, berusia di bawah 16 tahun.
Mereka beroperasi sebagai pelacur dengan upaya pengelabuan aparat. "Mereka pura-pura jual kue dan minuman kecil," kata Panca. Dia mengaku lembaganya sedang membina puluhan pelacur cilik ini agar tidak terus melacur.
Pelacur yang beroperasi di Prumpung tersebut, katanya, bukanlah warga di sekitar tempat itu. Namun, pendatang yang kebanyakan dari desa-desa di Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Lokasi-lokasi pelacuran di Jakarta yang banyak terdapat PSK anak-anak, di antaranya Bongkaran, Tanah Abang, Rawa Bebek, Boker, sepanjang bantaran kali dari Manggarai--Dukuh Atas, Kali Jodo, dan Jatinegara. Selain di Jakarta, pelacur berusia muda juga banyak di daerah-daerah lain.
Angka perkiraan 30% yang pelacur anak tersebut, menurut Panca, belum termasuk yang beroperasi di diskotek, di sejumkah bar, kafe, losmen, hotel-hotel, tempat-tempat wisata, dan bioskop serta panti pijat. M-2