Di Bandung pada dasawarsa kedua dan ketiga awal abad ke-20 ternyata tidak ada lelaki hidung belang. Kenyataan ini agak ganjil mengingat pada masa itu Bandung demikian terkenal dengan praktik pelacurannya. Sampai-sampai Haryoto Kunto, kuncen Bandung itu, pernah membilang bahwa pada zaman kolonial ada iklan yang mengingatkan supaya "jangan tinggalkan istri Anda di rumah jika ke Bandung".
Katanya iklan tersebut sengaja dibuat mengingat praktik perselingkuhan di Bandung cukup tinggi. Tentu saja ini sangat erat hubungannya dengan banyaknya layanan seks singkat yang ditawarkan. Berkaitan dengan hal itu, ada cukup banyak informasi, dari berita-berita di koran dan majalah, catatan perjalanan, sampai karya fiksi. Dalam catatan perjalanannya pada 1924 yang dimuat dalam rubrik Dunia Istri Bintang Hindia, misalnya, Anna Syarif mengatakan, sepulang dari rumah seorang kenalannya di daerah Cihapit pukul 03.00, dia melihat di sepanjang jalan ada perempuan "yang kelakuannya tidak senonoh...."
Seorang wartawan mingguan Pertimbangan pada 1917 melaporkan, di sekitar alun-alun, di sepanjang pohon beringin yang tumbuh di situ, ada banyak pelacur yang mangkal. Mereka menawarkan senyum kepada para lelaki yang memang banyak berseliweran di sekitar situ. Wartawan lainnya dari harian yang sama memberitakan tentang pertengkaran dua "kembang" Orion, sebuah nama bioskop di sebelah selatan alun-alun. Keduanya terlibat pertengkaran karena berebut pelanggan pada malam itu, demikian sang wartawan melaporkan.
Dalam Country of Origin, roman yang terbit pada 1935, E Du Perron menulis tentang kehidupan seorang tokoh utama ketika menghabiskan masa mudanya di Bandung, yaitu bahwa kunjungan ke tempat pelacuran merupakan sesuatu yang lumrah. Katanya, pada masa itu ada rumah pelacuran yang cukup terkenal di daerah Tegallega. "Apa benar di sini tempat tinggal Nona Hortense dan Nona Zize?" katanya dalam bahasa Perancis. Pertanyaan dalam bahasa Perancis ini cukup penting sebab hal itu menjadi tanda bahwa si tamu bukan orang biasa. Bagaimanapun mereka sedang berhadapan dengan rumah pelacuran yang sangat elite.
Sayangnya, ketika mereka sudah dipersilakan masuk dan duduk di atas meja panjang dengan didampingi oleh perempuan, mereka hanya mampu mengobrol. Sebab, bagi mereka, bahkan untuk membeli minuman saja, itu sudah terlalu mahal. Dan, mereka pun tidak menghabiskan waktu lebih lama lagi.
Rupanya tempat pelacuran yang dihuni para pelacur Perancis itu tidak cocok untuk saku mereka. Maklum mereka hanya para pemuda pelajar yang iseng. Dan, tempat itu telah menjadi langganan para pengusaha Arab dan para tuan Kebun Eropa kalau mencari kesenangan di Bandung.
Sebagai tambahan, kalau penyakit sipilis bisa dijadikan indikator maraknya praktik pelacuran, perlu juga disebutkan bahwa angka penderita penyakit ini merupakan yang tertinggi di Hindia. Paling tidak itulah yang diungkap Tio Biao Sing dalam tulisannya Het Syphilis in Het Regetnschap Bandoeng yang dipublikasikan pada 1941.
Hidung lain-lain
Demikian, untuk sebuah tempat yang jelas-jelas praktik pelacurannya banyak, ketiadaan lelaki hidung belang merupakan keganjilan yang sukar diterima nalar. Dan, memang demikianlah di Bandung pada masa itu. Bahkan, bukan tidak mungkin di seluruh Hindia tidak ada lelaki hidung belang pada masa itu. Hanya satu penyebabnya: karena mereka pada saat itu disebut lelaki hidung putih.
Rupanya itulah sebutan yang lazim bagi mereka yang gemar menyambangi tempat-tempat pelacuran. Penyebutan itu tampaknya merupakan cara untuk menandai mereka yang kerap main perempuan. Tentu saja mereka yang berhidung putih bukan satu-satunya yang gemar itu. Tapi ada juga warna hidung lain, seperti hitam, kuning, dan atau coklat. Namun, mungkin karena jumlah mereka yang hidungnya putih lebih banyak dan juga lebih sering berkunjung, warna itu pun dijadikan penanda bagi mereka yang doyan kencan dengan pelacur.
Nah, orang yang memiliki hidung berwarna putih tentunya juga memiliki warna bagian tubuh lain yang putih juga (karena akan sedikit aneh, bukan, kalau seluruh tubuhnya berwarna hitam, tapi hidungnya berwarna putih). Bisa dikatakan, pada masa itu mereka yang memiliki kulit berwarna putih adalah orang-orang Eropa dan orang-orang Indo-Eropa. Demikian, agaknya kedua kelompok inilah yang paling rajin berkunjung ke rumah pelacuran sehingga warna hidung mereka dijadikan istilah baku.
Tentang kunjungan orang-orang Eropa ke dunia pelacuran, ini adalah gejala yang muncul pada pertengahan abad ke-19. Hal ini bisa dipahami karena praktik pegundikan yang sudah menjadi standar sejak abad ke-17 mulai mendapat banyak kecaman. Dapat dikatakan, sampai pertengahan kedua abad ke-19, lebih dari setengah lelaki Eropa yang ada di Hindia hidup bersama perempuan pribumi.
Kenyataan itulah yang telah membuat sebagian orang Eropa resah. Bas Veth, yang berkunjung ke Hindia pada akhir abad ke-19, dalam karyanya yang cukup monumental, Het Leven in Nederlandsch Indie (terbit pada 1900), mengatakan, hubungan semacam itu tidak bisa dibenarkan. Percampuran yang sangat memalukan. Dia pun mengatakan, praktik tersebut membuat orang-orang Eropa menjadi degenerasi.
Konon, sebetulnya, praktik semacam itu merupkan penyebab utama kemiskinan di kalangan orang-orang Eropa. Dan, orang Eropa pada masa itu tidak boleh miskin. Sebab, keadaan itu bisa merusak citra orang Eropa secara keseluruhan. Itulah kenapa mereka pun lebih disarankan pergi ke tempat-tempat pelacuran. Kemudian, karena pemerintah juga sadar bahwa kebiasaan tersebut akan membuat penyebaran penyakit kelamin menjadi berkembang, pemerintah pun membuat sejumlah aturan untuk memberi jaminan kepada para lelaki, bahwa mereka akan mendapat perempuan yang sehat.
Pemerintah memberlakukan pemeriksaan kesehatan rutin, di mana setiap perempuan yang sudah terinfeksi tidak lagi diperkenankan menjadi pelacur. Maka, para serdadu, tuan kebun, dan warga sipil Eropa "dibiasakan" untuk menggunakan jasa para pelacur untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Barangkali atas dasar itulah mereka yang sering bermain perempuan dicap sebagai lelaki hidung putih.
Peraturan pemerintah
Menariknya, istilah ini juga bisa dikatakan sebagai satu-satunya istilah publik yang dalam praktik pelacuran mengacu kepada orang Eropa. Usaha orang-orang Eropa untuk menyembunyikan keterlibatan mereka memang tidak main-main. Lihat saja peraturan-peraturan pemerintah tentang pelacuran yang lebih banyak mengatur para pelacurnya, yang notabene adalah perempuan-perempuan pribumi, seperti jelas tercantum dalam undang-undang tahun 1852 dan 1974 tentang praktik pelacuran di Hindia.
Adanya sebutan hidung putih secara jelas melawan hal itu. Sebab, penyebutan itu dengan jelas menunjukkan bahwa, sepertinya, orang Eropalah (dan juga orang Indo-Eropa) yang menjadi pelanggan tetap para pelacur. Dan, ini tentu saja sebuah penghinaan bagi mereka. Sebab, hal itu bisa dianggap menodai keberadaban mereka, yang pada saat itu menjadi dasar legitimasi mereka dalam pelakukan kolonisasi.
GANI A JAELANI Staf Pengajar Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran
Sumber: http://koran.kompas.com